It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Seperti biasa setelah pelajaran olahraga aku pasti langsung menuju depan pintu kelasku. Aku menunggu seseorang yang bisa dibilang satu-satunya temanku di sekolah ini. Namanya Bayu. Bukannya aku tidak mau mencoba berteman dengan teman-temanku lainnya. Tapi setiap kali aku mencoba semua usahaku pasti berakhir dengan pengabaian. Aku tidak bisa juga menyalahkan mereka. Mungkin memang ada yang salah dengan diriku. Aku sendiri juga tidak tahu sejak kapan aku jadi begitu pendiam seperti ini. Waktu SD mungkin bisa bilang segalanya berlangsung normal, sampai ketika ayahku meninggal. Entah kenapa aku menjadi merasa berbeda dengan teman-temanku terutama ketika ayah mereka menjemput mereka pulang seusai sekolah. Ah, tapi sudahlah semuanya sudah terjadi dan aku tahu hidup harus terus berjalan. Paling tidak aku masih punya seorang teman yang selalu memahamiku apa adanya.
“Ben..!”
“Eh Bay, lama banget sih lo!”
“Iya tadi pelajaran Pak Nur soalnya, tahu lah dia pasti melebihi porsi jam kelas kan.”
“Oh iya sama setiap di kelas gw juga gitu, pasti lebih walaupun cuma 10 menit.”
“Yuk ke kantin yuk.”
“Yuk.”
Bayu adalah teman satu angkatanku. Walaupun kami berbeda kelas tapi rasanya kami selalu dekat. Aku kenal Bayu sejak minggu awal masuk SMP. Tepatnya di saat MOS. Kejadiannya bisa dibilang sangat kebetulan. Saat itu setiap orang di antara kami diwajibkan membawa sepaket daftar barang oleh senior. Saat itu aku lupa membawa kaos kaki biru, dan Bayu lupa membawa topi hitam. Sangat kebetulan kami berada dalam satu kelompok waktu itu, dan kebetulan pula aku selalu membawa topi kemanapun aku pergi, sedangkan Bayu entah kenapa hari itu dia mengenakan kaos kaki biru. Akhirnya disitu kami saling bertukar barang. Awalnya Bayu terlebih dulu menyapaku karena melihat topi hitam tergantung di tasku. Sejak saat itu kami sering bertemu dan cukup akrab. Entah kenapa sikap pendiamku tidak menjadi masalah di depan Bayu, mungkin karena dia orang yang sangat supel dan mudah bergaul.
“Woi homo kantinnya bukan di kantin cowo woi, kantin cewe sana!”
“Kenapa .. lo takut suka ya ama kita, jangan-jangan lo yang homo lagi.”
“Eh nyolot banget sih.”
Dengan santai Bayu kembali melanjutkan tegukan es jeruknya. Beginilah kondisinya setiap kami jajan bersama ke kantin. Mungkin karena keakraban kami berdua , orang jadi melihat aneh terhadap kami. Hinaan tentang kami homoseksual selalu saja terlontar dari mulut mereka. Tapi Bayu selalu dengan santai menanggapinya, seperti tanpa beban. Sedangkan aku sebenarnya telinga ini sudah gerah dengan cacian mereka. Ingin rasanya aku hantamkan tinju ke muka mereka. Tapi melihat reaksi Bayu yang begitu santai aku jadi ikut terbawa dingin.
“Eh berani lo ya.” Nampaknya Edo, kakak kelas yang sangat sering mengganggu kami merasa tersinggung dengan ucapan Bayu. Ia mendorong Bayu. Tapi Bayu hanya diam saja dan tidak menghiraukannya. Edo semakin marah nampaknya. Kali ini dia mendorong Bayu dengan keras sampai Bayu jatuh dari tempat duduknya. Melihat itu aku tidak bisa lagi menahan diri. Tidak untuk kali ini melihat tingkah Edo yang sudah keterlaluan. Aku langsung berdiri dan satu tinju aku daratkan persis di pipinya. Dia mencoba membalas tapi aku tangkis tangannya, dan satu tinju lain aku daratkan di wajahnya yang membuat dia terjatuh. Darah keluar dari hidung Edo. Suasana menjadi kacau saat itu, beberapa orang mencoba memegangi kami berdua untuk melerai kami. Tapi kami terus berusaha saling menendang hingga akhirnya bapak guru kami datang dan membawa kami ke kantor guru.
Di kantor guru kami berdua diinterogasi. Kami tentunya saling merasa tidak bersalah. Kemudian para guru juga memanggil beberapa siswa lain yang kebetulan menyaksikan kejadian barusan. Termasuk diantaranya Bayu. Mereka ditanyai satu persatu di depan kami. Ketika Bayu ditanyai dia memberikanku isyarat dengan tangannya. Dari gerakan mulutnya aku bisa membaca bahwa dia ingin mengatakan padaku bahwa semua akan baik-baik saja. Nampaknya dia tahu dari raut wajahku. Aku sangat khawatir dengan hukuman apa yang akan diberikan kepadaku. Aku takut ibu akan marah dengan kejadian barusan. Sepeninggal ayah ibu jadi sangat tempramen. Hal yang bisa aku maklumi mengingat perubahan keadaan yang sekejap harus memaksanya menjadi single parent yang harus membanting tulang menghidupi aku dan dua orang adikku.
“Yah sudah nampaknya kalian berdua sama-sama salah. Sekarang bapak mau kalian saling minta maaf.”
Dengan berat hati akhirnya aku mengikuti perintah pak guru. Aku menyodorkan tanganku pada Edo dan begitu juga dia dengan wajah yang juga tidak ikhlas melakukannya.
“Sekarang bapak akan telepon orang tua kalian atas kejadian ini, supaya mereka bisa memberi pengertian yang lebih pada kalian. Juga sebagai hukumannya kalian diskors selama sehari besok untuk tidak bisa mengikuti pelajaran. Mengerti kalian.”
“Mengerti pak.” Ternyata benar pak guru memberitahukan kejadian ini pada ibu. Habislah aku hari ini.
“Ya sudah kalian keluar sana. Kembali ke kelas.”
Kami pun keluar dari kantor guru. Di luar aku melihat Bayu sudah menungguku. Dia tersenyum melihatku dan begitu pula aku.
“Gimana Ben, lo dihukum apa?”
“Gw diskors sehari Bay.”
“Oh syukurlah ga terlalu parah.”
“Tapi pak Sudi tadi bilang bakal ngelaporin kejadian ini Bay ke ibu gw.”
“Hah, wah gawat donk.” Bayu yang sudah tahu perangai ibuku sehingga ia tahu benar akan ketakutanku. Ia sahabat terbaikku dan mungkin hampir semua hal tentang diriku aku ceritakan padanya.
“Iya Bay, makanya gw takut pulang ke rumah nih.”
“Aduh, sorry Ben gara-gara belain gw jadi ribet gini.”
“Gak bukan itu Bay, gw ga nyesel kok udah berantem buat belain lo.”
“Hmm gini aja deh.” Bayu merangkul pundakku sambil mengajakku berjalan ke kelas. “Nanti abis pulang sekolah kita jangan langsung pulang ke rumah, kita main kemana dulu buat nenangin pikiran lo. Terus nanti jam 7 an kita bareng-bareng ke rumah lo, soalnya kan ibu lo pulang jam 8 kan biasanya. Biar gw jelasin semuanya ke ibu lo.”
“Hah gila lo berani emang.”
“Tenang aja serahin semua ama Bayu pasti beres deh. Kan ibu lo ga mungkin marahin gw yak an.”
“Iya juga sih tapi Bay, kita mau kemana?”
“Oh gw tahu, hari ini ada film bagus di bioskop kita nonton dulu aja lah. Gimana?”
“Hmm… Boleh deh.”
“Deal ya berarti ntar pulang sekolah gw jemput lo di kelas OK.”
“OK.”
Aku dan Bayu pun kemudian masuk ke dalam kelas. Aku sebenarnya tidak yakin dengan ide Bayu akan berhasil atau tidak. Tapi nggak ada salahnya juga aku mencoba. Siapa tahu memang nantinya ibuku bisa menjadi luluh dan tidak marah setelah mendengar penjelasan Bayu.
Bel pun berbunyi menandakan waktunya pulang sekolah. Sesuai janji aku menunggu Bayu di depan kelasku. Sekitar 5 menit kemudian Bayu datang. Kami pun memulai perjalanan ke gedung bioskop yang sudah kami sepakati. Filmnya akan dimulai jam 3. Jadi kami harus buru-buru mengingat lokasinya yang agak jauh dan juga kondisi jalanan Jakarta yang sulit diduga kemacetannya.
Tepat pukul 2.45 kami sampai di tempat tujuan kami dan langsung membeli tiket bioskop. Untung saja jalanan Jakarta ramai lancar siang hari ini, jadi kami tidak terlambat. Kemudian selama 2 jam kami asik menonton film. Walaupun sebenarnya aku tidak sepenuhnya bisa menikmati pertunjukan hari ini karena masih mencoba menebak-nebak apa yang akan terjadi nanti malam. Pertunjukan selesai pukul 5 sore, kemudian Bayu langsung mengajakku pulang karena takut terjebak kemacetan kota Jakarta. Kami memilih pulang naik angkot, karena walaupun agak ugal-ugalan tapi sopir angkot biasanya pandai menghindari kemacetan kota Jakarta.
Baru kurang lebih setengah jam perjalanan, benar lah ternyata kami terjebak macet.
“Sorry-sorry nih ya berhubung macet turun disini aja ya.” Sopir angkot di depanku memberikan pengumuman yang membuat penumpang kemudian turun.
“Gimana nih Bay?”
“Bang, boleh carter ga bang sampe ke Galaksi doank deh. Ntar kita tambahin ongkosnya bang.” Sejenak sopir angkot itu berpikir sambil melihat ke arah kami berdua dari ujung kaki ke kepala. Pandangan mata yang aneh menurutku. Kemudian dia mengobrol sebentar dengan temannya yang duduk di sebelahnya.
“Ya udah, tapi kita lewat jalan pintas aja ya biar cepet nih.”
“Iya deh bang, boleh-boleh.”… “Hehe beres kan.”
“Ada aja ya ide lo.”
Akhirnya sopir angkot itupun memotong jalan dan membawa kami menyusuri jalan lain yang sama sekali tidak kami kenal. Awalnya aku berpikir mungkin ini jalan pintas yang dia maksud. Sampai setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, aku merasa aneh karena jalanan di sekitar kami makin terlihat gelap dan rasanya jauh dari perkotaan.
“Bang ini dimana ya bang kok kayanya malah makin jauh?”
“Udah diam aja namanya juga jalan pintas.”
Kecurigaanku makin bertambah ketika sopir angkot ini menghentkan mobilnya di tengah jalan yang sangat gelap. Aku tidak tahu di daerah mana ini, tempat ini sangat asing untukku. Kemudian sopir angkot dan seorang temennya tadi turun.
“Ayo turun.”
“Lah ini dimana bang kan belom nyampe ke Galaksi.”
“Ah banyak bacot cepet turun.”
Kedua orang itu menarik kami, tapi kami mencoba melawan. Kami mulai menyadari kedua orang ini punya maksud yang tidak benar. Namun, tenaga dua orang anak kelas 2 SMP ternyata tidak berdaya melawan tenaga dua orang dewasa. Sampai di luar kami didorong sampai tersungkur ke tanah. Dengan cepat salah seorang dari mereka mencoba melucuti celanaku. Aku mulai panik, aku tidak tahu apa yang mau mereka lakukan. Dalam kondisi yang sangat kacau tersebut aku bisa melihat di sebelahku satu orang lainnya sudah melucuti celana Bayu dan ya Tuhan. Mereka ingin melakukan sodomi kepada kami. Mengetahui hal ini aku melawan semakin keras. Aku tendang kemaluan orang di depanku dan dia jatuh tersungkur kesakitan. Dengan cepat aku mencoba berdiri dan menuju Bayu. Aku tendang sopir angkot yang menindih Bayu dari belakang hingga ia terjatuh. Kemudian aku menarik Bayu berdiri dan mencoba berlari, namun posisi celana kami yang belum dibetulkan membuat kami susah berlari dan akhirnya aku terjatuh. Kedua orang tadi kemudian mengepung kami. Aku dan Bayu mengambil posisi kuda-kuda mencoba melawan mereka. Dalam keadaan seperti ini semut pun akan menggigit. Namun kemudian salah satu diantara mereka mengeluarkan sebilah pisau dari sakunya dan menodongkannya pada kami.
Saat perhatian kami terfokus pada orang yang membawa pisau, tiba-tiba dari belakang orang lainnya memegang tanganku dengan kuat. Dengan cepat aku mencoba mebalikkan badanku dan menghantamkan tinju ke wajahnya. Entah bagaimana kejadiannya tiba-tiba saja aku mendengar orang yang membawa pisau tadi berteriak mendekat. Kemudian aku bisa merasakan sebilah pisau mengenai pingganggku dari belakang. Karena rasa sakit yang luar biasa akhirnya aku terjatuh. Kedua orang itu terlihat mulai ketakutan karena menusukkan pisau ke padaku. Mereka saling memberi isyarat untuk kabur. Namun Bayu yang melihatku terkapar, menarik tangan salah seorang diantara mereka. Tarik menarik sempat terjadi beberapa saat hingga kemudian ada mobil melintas dan berhenti kurang lebih 100 m dari kami. Pandanganku teralih ke mobil yang berhenti itu, dan sekuat tenaga aku mencoba meminta tolong. Aku melihat ada orang turun dari mobil itu. Kemudian aku kembali melihat ke arah Bayu. Tapi sekarang aku tidak bisa melihat kedua orang tadi, yang aku lihat hanya tubuh Bayu yang tergeletak di tanah. Aku mencoba menggerakkan tubuhku, namun tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa tak bisa kubendung dan semuanya menjadi gelap.
Saat aku terbangun, wajah ibuku adalah orang pertama yang aku lihat.
“Ibu..”
“Ben, kamu dah bangun nak. Bentar yang jangan banyak gerak mama panggilin suster dulu.”
Kemudian beberapa menit kemudian dokter dan suster datang memeriksaku. Ternyata aku sudah di rumah sakit. Setelah aku diperiksa aku bertanya kepada ibu tentang keadaan Bayu. Ibuku bilang Bayu ada di kamar lain. Tapi setelah satu minggu baru aku tahu bahwa tubuh Bayu sudah dimakamkan tiga hari yang lalu. Bayu meninggal karena tusukan benda tajam di dadanya. Mendengar berita itu tidak ada satu katapun yang bisa keluar dari mulutku. Rasanya kepalaku seperti tertimpa botol yang sangat keras. Aku benar-benar tidak menyangka hari itu adalah hari terakhirku bertemu sahabat terbaikku, Bayu. Semua rencana Bayu akhirnya terjadi, ibuku memang tidak pernah marah padaku soal hukuman yang menimpaku dan itupun memang karena Bayu. Namun bukan karena Bayu menjelaskan apapun pada ibuku, tapi karena Bayu tidak bisa menjelaskan apapun untuk selamanya pada ibuku.
Setelah kejadian itu selama sebulan aku menjadi pribadi yang benar-benar murung. Tak seorangpun berani mendekatiku. Rasa bersalah yang luar biasa menyelimutiku, karena aku tidak bisa melindungi sahabatku sendiri. Yang karena melindungi aku dia kehilangan nyawanya. Semua hal tentang Jakarta mengingatkanku pada Bayu, hingga akhirnya ibuku menyadari hal itu. Kemudian ibu mengajakku sekeluarga untuk pindah ke Jogja dan tinggal di rumah nenek. Semua itu dia lakukan untuk membantuku melupakan kejadian yang menimpa Bayu, sesuatu yang bahkan sampai sekarangpun tidak pernah aku lupakan.
@kutu22 wah sabar ya diusahakan segera update
@yuzz iya kasian. Yuk nangis bareng #sambil_ngelap_ingus
“Udah lah ngapain juga juga gw cerita ama lo ya.” Katanya dengan senyuman palsu yang bisa aku lihat untuk menutupi kesedihannya.
“Ah…… ee… nggak apa kali Ben, siapa tau lo bisa lebih lega setelah cerita ama gw.”
“Ya udah tidur tidur sono kan gw dah jawab pertanyaan lo.” Kata Ben seraya medorongku untuk menjauh dari kasurnya.
“Iya ngga usah didorong juga gw bisa jalan ndiri.”
Aku mulai merebahkan badan di kasurku. Sejenak aku melihat ke arah Ben yang saat ini berusaha memejamkan matanya yang masih terlihat basah.
“Ben, tetep semangat ya. Bayu pasti bangga kok ngeliat lo sekarang.”
“Hhh, makasih……… Udah tidur nggak cape ngeliatin gw terus.”
Dasar Ben yang aneh, sikapnya bisa selalu berubah tanpa diduga. Baru sebentar dia nampak serius dan sedih, sekarang sikap isengnya sudah muncul kembali. Tapi paling tidak sekarang aku tahu kenapa Ben sangat pendiam dan kenapa barusan reaksinya sangat berlebihan ketika kita di night club. Ah malam ini rasanya sangat panjang, banyak kejadian yang terjadi hanya dalam waktu semalam. Mulai dari pengakuan Sam yang sangat mengejutkan, kejadian di night club sampai cerita Ben barusan. Tapi apapun itu, sekarang aku merasa lebih mengenal keluarga baruku di boyband ini. Mungkin bukan cuma aku tapi juga kami semua.
………………………………………..
Semenjak kejadian di night club malam itu, kami semakin dekat satu sama lain. Rasanya aku benar-benar menemukan 4 saudara laki-laki baru dalam hidupku. Satu bulan camp sekaligus persiapan kami di puncak akhirnya selesai juga. Hari ini satu minggu setelah pelatihan kami selesai, penampilan perdana kamipun sudah menunggu. Karena masih baru dan belum punya album sendiri kamipun diminta untuk menyanyikan lagu-lagu pop penyanyi lain. Penampilan perdana kami kali ini bertempat di salah satu mall ternama ibu kota. Kebetulan hari ini ada acara launching salah satu produk mobil asal Jepang di mall ini. Sebelum naik panggung kami berlimapun dikumpulkan di satu ruangan untuk mendapat briefing dari produser kami.
“Kalian sudah siap kan?”
“Sudah pak..” kata kami serentak menjawab
“Kali ini adalah penampilan perdana kalian. Kalian akan membawakan dua lagu dalam penampilan kali ini. Ingat konsep boyband ini berbeda dengan band yang ada sekarang. Kalian adalah boyband yang akan lebih mengutamakan kualitas vokal. Jadi saya harap kalian bisa menunjukkan itu malam ini. Kalian juga harus ingat ini malam yang penting untuk kalian. Bagaimana kelanjutan karir kalian tentunya sangat ditentukan oleh malam ini. Saya percaya sepenuhnya kalian bisa.”
Setelah beberapa menit briefing dari produser kami. Kami pun diminta untuk bersiap di belakang panggung. Aku sangat tegang menghadapi penampilan perdana kami ini.
“Ko kamu ngga papa kan?”
“Eh ngga papa Sam cuma deg-degan aja gw.”
“Sama gw juga nih Ko mau copot ni jantung.”
“Ah lebay amat sih lo Fad.”
“Yeh beneran tau Go, kalo bisa copot beneran copot nih jantung.”
“Daripada lo semua deg-degan kita latihan aja gimana.” Ben pun menimpali. Aku masih kagum melihat Ben yang berubah dengan cepat dari orang yang begitu serius menjadi lebih fun sekarang. Aku tidak tahu bagaimana prosesnya namun pelatihan kami sebulan di puncak memang membawa banyak perubahan pada chemistry yang terbangun di antara kami.
“Bener tuh kata si Ben, ada baiknya kita latihan dulu. Aku mulai ya.”
Kamipun melakukan sedikit pemanasan untuk mempersiapkan lagu yang akan kami bawakan. Kami harus membagi suara dalam lagu-lagu yang kami bawakan untuk membentuk harmoni. Jadi konsentrasi dan pemanasan semacam ini sangatlah penting. Tak lama kemudian EO acara meminta kami untuk bersiap karena penampilan berikutnya adalah penampilan kami. Aku benar-benar tegang menghadapi saat-saat ini. Sam pun merangkul pundakku.
“Yuk kita berdoa bareng dulu biar semuanya lancar.”
Kami pun berkumpul melingkar. Tangan kami merangkul satu sama lain. Setidaknya sekarang aku merasa sedikit lega karena aku tidak sendiri. Kami akan berjuang bersama untuk melakukan yang terbaik malam ini.
Beberapa saat kemudian kami pun masuk ke atas panggung. Walaupun tidak sebanyak penonton di konser-konser band ternama, namun ratusan penonton ada di depanku saat ini. Alunan musik pun dimulai, dan Sam pun membuka lagu kami dengan teknik vokal yang mengagumkan. Bisa aku bilang dia yang terbaik diantara kami dalam urusan teknik vokal, dan aku pikir karena itu dia selalu menjadi pembuka di setiap lagu kami. Satu per satu kami mulai bernyanyi dan mebangun harmoni yang sudah kami persiapakan. Sepanjang penampilan kami ini, aku tidak bisa mengalihkan perhatianku dari reaksi penonton yang melihat penampilan kami. Aku ingin melihat bagaimana apresiasi mereka pada penampilan kami. Rasanya setiap satu senyum yang mereka lakukan membuatku selangkah lebih percaya diri.
Setelah kurang lebih 15 menit kami menyanyikan dua lagu, tepuk tangan penonton pun pecah. Rasanya hati ini begitu lega melihat mereka bisa menikmati pertunjukkan kami. Saat itu juga aku merasa sangat mencintai pekerjaan ini. Walaupun tepuk tangan mereka belum bisa menyimpulkan keberhasilan kami malam ini, namun paling tidak itu sangat berarti untukku.
Turun dari panggung, aku bisa melihat wajah dan tawa lega keluar dari teman-teman satu bandku. Kami saling memberikan pelukan dan toss ala kami untuk mengungkapkan rasa lega yang menyelimuti kami. Di belakang panggung manager kami sudah menunggu kami.
“Selamat penampilan kalian luar biasa”, kata pak Fery.
“Beneran pak?”
“Iya beneran, Pak Surya punya kejutan buat kalian. Besok siang kalian dimnita datang ke studio jam 12 ya. Sekarang kalian bisa pulang dan isitirahat.”
“Wah kejutan apa ini pak?”
“Udah nanti kalian liat sendiri saja. Ya sudah saya pamit ya.”
“Makasi pak.”
Setelah beberapa meter pak Fery menjauh. Kami saling memberikan toss.
“Yeah, gw yakin besok pasti kita bakal dapet mobil satu-satu.”
“Mana mungkin Go, eh tapi boleh juga sih ya.”
“Masa sih Ko bakal dikasi mobil.”
“Gw juga ga tau sih Fad, tapi siapa tau aja . Hahaha.”
“Udah lah apapun kejutannya yang penting kita bisa ngelewatin malam ini dengan sukses. Ya nggak?”
“Bener-bener Sam, lega banget gw.”
“Iya muka lo dah coklatan dikit tuh, tadi kaya mayat lo.”
“Iya ya Ben… hehe, tegang banget gw soalnya.”
“Ya udah nih abang-abang, gw duluan ya sudah dicariin mama di rumah.”
“Eh bareng Go, kan tadi gw dah bilang.”
“Loh Fad lo ngapain bareng Argo kan beda arah?”
“Oh gw mau nginep tempat kakak gw Ko malem ini. Makanya mau numpang ama si Argo.”
“Yah gw pulang ndiri donk ngangkot. Hahaha.”
“Ya udah buruan yuk kupret.”
“Eh sialan lo manggil gw kupret.”
“Eits…eitsss ga gw kasi tumpangan nih.”
“Ah lo ngga fair ah menyerang orang yang tidak berdaya ini namanya.”
“Hahahaha, Dah yo ah duluan ya!”
“Eh gw juga cabut duluan yan. Tungguin Go.” Ago dan Fadli pun menjauh sambil melambaikan tangan.
“Ya udah aku juga dluan deh ampe ketemu besok ya.”
“Yoi Sam.” Aku dan Ben melambaikan tangan ke arah Sam.
“Ben gw pamit juga deh, lo mau ke parkiran kan?”
“Eh lo bareng gw aja, kosan gw kan sejalan ama rumah lo.”
“Oh iya ya, aseek dapet tumpangan kalo gitu gw malem ini.”
Aku dan Ben pun berjalan ke arah parkiran motor untuk mengambil motornya. Kemudian Ben pun melajukan motornya ke arah rumahku yang juga searah dengan kosannya di Jakarta.
“Eh Ko masih jam 10 nih mau main bowling dulu ngga?”
“Wah boleh tuh Ben.”
“Lo juga suka bowling juga?”
“Iya donk.”
“Ah tapi pasti ngga jago sih keliatan dari tampang lo.”
“Ah sialan berani ngadu hayo aja.”
Kami pun menuju ke salah satu mall yang memiliki fasilitas bowling. Dengan terus mengeluarkan kata-kata tantangan di sepanjang jalan Ben membuatku makin ingin berduel dengannya. Kami pun bersiap-siap layaknya pemain bowling profesional. Kami melepaskan jaket untuk mempermudah gerakan tubuh kami di duel malam ini. Mataku terpaku ketika melihat Ben mengambil sesuatu dari tasnya. Ternyata dia mengambil sebuah headband hitam dan mengenakannya di kepala. Mataku terus terpaku pada headband yang dikenakan Ben sambil mencoba meraba-raba ingatanku dimana aku pernah melihat headband itu sebelumnya. Kemudian aku terkejut ketika tiba-tiba teringat headband itu sama dengan headband yang menjadi hadiah misteriusku di puncak.
“Ben..”
“Napa mau nyerah ya?”
“Nggak mungkin lah,” Aku jadi ragu mau menyakannya saat ini kepada Ben “Mau nanya aja siapa tau malah lo yang mau nyerah.”
“Heh..”
Kamipun memulai permainan kami. Ternyata dia sangat mahir bermain bowling. Tapi biar bagaimanapun aku bukan lawan yang mudah dalam soal ini. Karena sejak kecil ayahku suka sekali mengajakku bermain bowling. Beberapa round pertandingan score kami bersaing sengit. Sampai di akhir pertandingan aku harus mengakui keunggulan Ben dengan score tipis.
“Hah, kalah kan lo.”
“Ah lo cuma menang tipis aja bangga, hah.”
“Tetep aja menang…. Nih mau minum ngga?”
“Mau donk dehidrasi banget nih……..” Aku teringat kemabli soal headband yang dikenakan Ben. Ah aku rasa aku mesti menyakannya, toh nggak apa juga kalo memang Ben yang memberikannya
“Ben?”
“Napa?”
“Headband lo beli dimana bagus?”
Ketika aku menyakannya raut muka Ben sedikit terkejut. Sepertinya dia tersadar akan sesuatu tentang headband yang sedang ia kenakan saat ini. Dia terdiam sejenak sambil meletakkan botol minumannya.
“Oh… ini dari Bayu Ko.”
“Oh sorry…” Aku merasa tidak enak jika harus menyinggung masalah Bayu.
“Ngga apa kali, lo mau nanya soal headband yang gw kasi di puncak kan?”
“Oh jadi bener lo yang ngasi?”
“Iya gw yang ngasi….. itu headband Bayu.”
Aku sedikit terkejut dengan pernyataan Ben “Terus kenapa lo kasi ke gw Ben?”
“Itu harusnya gw kasi ke Bayu di hari ulang tahunnya. Satu minggu seteah dia meninggal.”
“Sorry Ben gw ga bermaksud nanya soal Bayu lagi.”
“Nggak apa Sam, Bayu itu kan kenangan gw. Gw ngerasa lo mirip aja ama dia dalam banyak hal…” …… “ Dan sekarang lo temen gw juga kan.” katanya sambil tersenyum ke arahku merubah suasana tegang yang sempat terbangun sesaat ketika kita membahas masalah Bayu.
“Iya Ben bener, thanks ya!”
“Eh udah malem pulang yuk, besok kita mesti ke studio kan.”
“Yuk.”
Aku dan Ben pun meneruskan perjalanan pulang. Ternyata headband misterius itu memang pemberian Ben, dan yang lebih penting headband itu punya arti lebih dari sekedar hadiah bagi Ben. "Thank Ben buat nganggep gw kaya sahabat terbaik lo. Lo juga saabat terbaik gw kok walaupun gw nggak bilang."kataku dalam hati.
trs smngt ya @stephen_frans ditunggu lnjtnnya jgn lp mention jg ya.