It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
I hate sikap yadi....
@Ricky89, kalo udah umur lewati 26, mereka sudah punya konsiderasi lain selain cinta dan hati. Yadi mungkin gak tegas ama impiannya, tapi yadi tahu kalo ndra bisa lbh maju di tempat lain dia sanggup legowo untuk melepas dia, sekalipun melukai dirinya. Ku anggap yadi dewasa...
tetep gak rela mereka pisah semoga ada kemungkinan kecil mereka bersama
@YANS FILAN, makasih yah apresiasinya. Ku juga sedih sendiri tulisnya, tapi ku udah siapkan sesuatu untuk Yadi di akhir chapter ini juga
'nak, walau kamu berpisah dari buyung, bunda akan tetap jadi bunda kamu. Bunda harap kamu tetap menjaga tali silaturahmi ama kami.' ibu Widya mengatakan kata- kata yang sedikit menyejukkan hatinya sambil memeluknya.
"Nak Yadi, saya hargai pengorbanan kamu untuk buyung. Saya dan bunda akan berdoa khusus untuk kamu supaya mendapat kebahagiaan dalam hidup kamu. Saya sudah anggap kamu anak ayah."
"Ayah, bunda, terima kasih udah anggap saya keluarga. Saya janji akan tetap menjadi anak baik bagi ayah dan bunda." jawab Setiadi sambil menata hatinya yang baru saja berantakan.
"Mas, jangan di tahan mas, nangis aja mas, gak sehat di tahan. Ada kita- kita disini."
Rontje pun larut dalam kesedihan Setiadi, meraih pundak Setiadi, merangkulnya. Isakan tangis mereka berdua terdengar sangat jelas dalam mobil yang di kemudilan Jimmy. Johan di kursi depan mau tak mau ingat kembali waktu- waktu pertama berteman dengannya. Ia pun tak mampu menahan air matanya, mengambil tissue mengusap matanya. Jimmy yang paling tahu derita Setiadi, berusaha berkonsentrasi menyetir.
"Gak usah Jim, gua pulang aja." jawab Setiadi hampir tanpa ekspresi.
"Jangan debat... Gua gak mau lu sendiri. Gua ambil baju- baju lu."
"Biar aku aja yang ambil." sahut Johan.
"Mas Yadi, biar kita pikul kesedihan mas sama- sama, saya kan adik mas juga." Rontje berbicara dengan suara tercekat.
"Makasih yah, kalian bener- bener temen sejati."
'Cin, Yadi kemarin baru pisah dari Hendra, dia ke aussie' sms Jimmy kepada Cindy.
'Hah? Nanti malem gua ke sana'
Sorenya, Cindy pulang eksta cepat karena sudah seharian gelisah akan keadaan Setiadi. Dengan tergesa- gesa Cindy mengetik sms,
'Ran, gw ke Yadi dulu, dia broke up ama Hendra, mau temenin dia'
Baru saja menghidupkan mobil, ponselnya pun berbunyi. Dengan tergesa- gesa ia mengambil ponselnya tanpa melihat siapa yang menelpon.
"Oke, gua tunggu di rumah yah."
"Oke, thanks Cin."
Satu jam Cindy menunggu Randy dengan tak sabar. Layar tv ia lihat dengan pandangan menerawang. Ia tahu Jakarta sudah jauh bertambah macet, jadi tak bisa salahkan siapa- siapa kalau perjalanan Randy memakan waktu 70 menit lebih. Akhirnya pintu pun di buka.
"Sori Cin, macet."
"Iyah, gua ngerti. Ran, lu baiknya mandi ganti baju deh, kita mau nyaman di tempat dia."
"Oke, thanks Cin, ku pengertian banget"
Cindy mengacungkan lari jempol ke arah Randy sambil tersenyum.
Sekitar jam makan malam mereka pun sampai di tempat Jimmy, sesudah mereka membeli makanan untuk semua, pizza kurang lebih 4 buah.
Di rumah kala santai barulah Randy menceritakan apa yang ia dengar tadi. Mata Cindy pun berembun mendengar ceritanya.
"I just want Yadi to be happy. Gak adil Yadi baek kayak gitu harus apes melulu." jawab Cindy kontemplatif, sambil melihat ke arah lantai.
"I wish I could do something for him."
"Sabar Ran, to every problem belong a solution. Biar kita cari jalan yang terbaik nanti."
"Di, nih santai dulu yuk." panggil Jimmy.
Tak terdengar jawaban. Mereka pun bingung, sedang apa Setiadi di kamar tidurnya selama itu. Johan memberi isyarat untuk melihat ke dalam kamar. Mereka pun berjalan ke arah kamar, dan melihat Setiadi sedang duduk bersila di lantai sambil ke dua tangan nya menutupi wajahnya. Jimmy duduk di sebelah Setiadi, melingkarkan tangannya pada pundak Setiadi.
"Udah Di, sssst... Sssst nangis aja Di, keluarin aja." sahut Jimmy sambil memeluk dan membelai kepalanya lembut membiarkan Setiadi menangis sesegukan pada pundaknya.
Kali itu dengan mata kepala sendiri Johan melihat kwalitas persona Jimmy. Jimmy terlihat seperti batu karang yang melindungi Setiadi di setiap dia di hantam badai. Johan pun tak bisa tidak ikut menangis, terharu melihat kepahitan Setiadi juga tergerak hatinya melihat Jimmy yang sigap menopang Setiadi yang sedang runtuh. Benar- benar ia merasa mendapat lelaki sempurna. Johan tak bisa lebih bersukur lagi bertemu dengan Jimmy, sosok pendamping sempurna.