It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sekali lagi, karna masih sensitif (dan panjang banget ) jawabannya dimasukin ke spoiler aja ya
Oh ya, lets say this is My Agnosticism and Christianity part 0: The Begining
Berhubung ini juga sebenernya untuk menjawab pertanyaanmu, plis, baca dengan seksama. Karna sebenernya ini gak rumit. AT ALL. Ada kalanya diulang, cuma untuk menguatkan statement, plus biar gak lupa.
My advise, for one moment,
"forget everything you think you know"
2. Belum. Belajar katolik gue pun belum seberapa kok, walau gue udah sampe nerima sakramen Krisma. Tp, kalau baca cerita gue di beberapa postingan sebelumnya, gue punya gebetan (sekarang sih udah gak deket deket amat, tp masih mayan oke) yg dulunya muslim taat, lalu berubah jadi atheist dan sekarang jadi agnostik. Jadi yah, gue rasa, kalau gue sepakat dengan orang orang agnostik tanpa perlu belajar lebih jauh tentang agama, itu juga gak masalah. Toh gue pun udah gak merasa cocok di jalur agama. Even gue menemukan ajaran agama lain (bukan katolik), gue rasa gue gak mau ambil. Karna gue ga akan mau percaya dosa, masuk neraka, hidup itu berjuang melawan hawa nafsu, belum aturan aturan yang masih sangat seksis.
Gue sih mau aja belajar DARI ajaran agama, tapi bukan mengikuti (sepenuhnya).
3. Justru Ayu Utami sebenernya, orang yang pertama kali bikin gue merasa gak cocok sama ajaran agama (katolik tentunya), tapi juga justru makin kagum sama Yesus. Gue ada semua bukunya kecuali Manjali dan Cakra Birawa. Trilogi Parasit Lajang sama Bilangan Fu itu yang paling nonjok. Ayu Utami menyebut pandangannya sebagai Spiritualisme Kritis. Percaya sama agama, tapi tetap kritis menjalani. Ya kurang lebih sama kayak gue. Cuman gue sendiri sih, merasa yaaa gue agnostik. Karna ya kayak yg gue bilang sebelumnya. Gue gak percaya dosa, neraka, surga, iblis dan malaikat. Penjelasan detailnya ada di postingan di atas. Gue bahkan bisa jelasin Tuhan itu apa (juga ada di post sebelumnya).
Semuanya justru sederhana. Sederhanaaaaa banget.
Urutan gue sampai ke keyakinan ini, kayak yang gue bilang, berawal dari bukunya Ayu Utami. Yang Trilogi Parasit Lajang (gue pun jadi feminis karna buku buku itu).
Selanjutnya gue baca buku Conversations with God. Fotonya ada di postingan di atas. And it's blowing my mind! Bahkan sampai sekarang ketika gue baca ulang. Sebenernya, kalau pikiran terbuka, buku itu gampaaaaannngg banget dipahami. Masalahnya gue yakin orang udah terlanjur berprasangka, jadi kalaupun baca pasti mikirnya itu buku ribet. Padahal intinya satu, mengutip dari The Ancient One di Doctor Strange (again), "Forget everything you think you know".
Bukunya berbicara tentang semua, and I mean EVERYTHING in this whole Universe.
Sayang aja gue belum nemu buku pertama.
Lalu gue baca bukunya Ayu Utami yang Bilangan Fu.
Salah satu topiknya bahas soal agama monotheisme. Di mana concernnya adalah ketunggalan. Angka 1. Ayu Utami coba menelaah, apakah bilangan 1 justru lahir lebih dulu dari bilangan nol, lalu sedikit mengkomparasi antara agama (asia) timur yang kiblatnya kekosongan (bilangan nol) dengan agama monotheisme yang kiblatnya ketunggalan (bilangan satu).
Kenapa bisa gue percaya sama hal yang ditulis justru oleh "orang awam"? Bukan buku buku suci macam alkitab?
Lewat buku Conversation of God, gue disadarkan bahwa semua manusia itu bisa jadi nabi (bukunya sih gak terang terangan bilang begitu). Masalahnya adalah kita gak percaya sama diri sendiri kalau kita bisa, dan kalaupun iya, kita menjadikan diri kita seolah spesial, menjadi diri yang terpisah, alih alih menyatu dengan seisi dunia.
Kita semua punya potensi yang sama untuk mengadakan mukjizat seperti Yesus, atau membelah laut seperti Musa.
Masalahnya kita gak percaya kita bisa seperti mereka. Makanya jadi gak bisa beneran.
(Ya, sebenernya justru sesederhana itu).
NAAAHH, maka gue pun percaya bahwa tulisan tulisan manusia jaman sekarang pun bisa kok dijadikan pedoman. Terutama karna mereka berpikir kritis dan juga melakukan riset.
Gue pun kemudian percaya dengan inner space travelling pasca membaca buku Supernova nya Dee. Gue percaya reinkarnasi juga dari buku yang sama.
Gue gak mau percaya bahwa mencapai (lets say) "pencerahan" itu HARUS dengan mempercayai sesuatu yang dinilai suci (alkitab misalnya).
Itu cuma salah satu kemungkinan. One of many possibilities. Kalau gak melalui jalur itu pun gak masalah. Tergantung tujuan yang mau dicapai.
Justru malah kalau memang orang merasa tujuan hidupnya adalah untuk menjalankan ajaran agama, mengikuti apa yang tertulis di alkitab, berdoa menurut anjuran yang disarankan (atau diwajibkan) bisa jadi adalah jalan terbaik.
Masalahnya, bukan itu tujuan hidup gue.
My purpose is just simply making peace to my life. Termasuk berarti menyebarkan kedamaian itu ke orang orang lain (karna semua orang, juga bagian dari "my life"). Menjadi agnostik dan semua yang gue jelaskan di cerita My Agnosticism and Christianity ini bekal untuk diri gue sendiri. Dibagikan hanya dengan cara cara seperti ini, ke temen temen, atau mereka yang mau tau. Aplikasi nyatanya sederhana. Sebisa mungkin gak melabeli sesuatu sebagai baik atau buruk, menghargai setiap momen, setiap peristiwa, setiap orang, see the beauty of life (karna ada kesempurnaan di balik SEMUA hal).
Tentu gue masih belum becus menjalani, tapi gue selalu berpatokan untuk menuju ke arah sana. Dan kalau udah sampai, perpanjang lagi titiknya, atau menjaga supaya gak terseret mundur.
4. Sebenernya ya, gue menganggap apa yang gue jalani ini paling benar. Sampai sekarang. Gak akan berubah haluan, tp akan berkembang. Pasti. Paling benar ya buat gue doang. Buat orang lain juga mungkin. Tapi gak semuanya, hanya beberapa orang aja. Sekali lagi, tergantung sama tujuan masing masing orang, hidupnya mau jadi kayak apa.
Bahkan ketika sebenarnya ada orang gak nyaman menjalani hidup di jalur yang dia pilih, (seolah atau beneran) salah jalan, gue hanya akan membantu kalau gue menangkap indikasi mereka bisa nerima jenis bantuan yg gue tawarkan. Itupun hanya sekedar advise, dan sejauh yang gue mampu aja. Karna orang yg paling ahli menyelesaikan masalah kita ya diri kita sendiri.
Sering banget sih malah gue biar biarin aja. Ada kalanya, "untuk menjadi kamu, kamu harus menjadi yang bukan kamu" (dikutip dari Conversation with God buku kedua).
Ada saatnya orang akan sadar kalau mereka "salah" jalan, lalu berubah haluan. Ada saatnya mereka mengubah tujuan. Jadi tetep jalan yang dipake yang itu.
But once again, benar - salah di sini, tergantung "tujuan kamu mau jadi apa".
siip
Tahun ini adalah tahun pertama gue coming out as gay. I mean LITERALLY out! Berhubungan dengan sesama gay. Kencan dan having sex. Selama ini, bahkan dengan orang orang yg gue bilang berkesan, sex belum pernah jadi sesuatu yang bikin gue baper atau yang gue inginkan lagi dan lagi, apalagi dari orang yg sama.
Unless I'm REAALLLLYY horny atau dianya pas lagi sama gue trs tau tau bugil.
Biasanya gue pengen ketemu lagi karna orangnya enak diajak ngobrol, enak untuk jadi temen jangka panjang (literally temen) atau kalau tolak ukurnya fisik, karna enak dipandang dan didengar (gue gampang banget suka sama suara).
Belakangan, baru gue sadar kalau gue suka banget ketika liat cowok lagi senyum.
Sex or any physical contact never comes first.
Hubungan seksual, well, let's say kontak fisik gue dengan yang terakhir ini gue rasa rasain beda dari yang sebelumnya. Like I said, he gives me the best kiss... so far.
Bukan cuma pas pertama, setelah setelahnya, ciumannya tetep enak. Makin enak malah.
Ada kalanya waktu ciuman, kami jeda sebentar, saling menatap mata, lalu senyum. It feels nice.
Sama laki laki lain, gue gak pernah begitu.
Baru sama gebetan yang ini doang. Dan baru gue tau kalau yang kayak gini yang gue suka.
Plus kebiasan dia yg sikat gigi dulu sebelum ciuman. Rasanya jadi manis. Literally manis di bibir. Hahahaha
I know he love his job so much. Capek pun dia tetep seneng. Beberapa kali gue mikir pengen meluk dia, kasih dia ciuman, supaya capek di badannya bisa lebih cepet ilang.
Juga sekaligus untuk ngasih manfaat manfaat lainnya lagi.
(Kata katanya sih, menurut penilitian, pelukan itu punya banyak manfaat.
sumber: http://m.tempo.co/read/news/2015/01/22/060636630/10-Manfaat-Pelukan-bagi-Tubuh )
Plus, I don't wanna lie, gue pun merasakan manfaat manfaat itu dari dia. Jauh lebih besar dibanding ketika gue memeluk pria lain. Maka kadang gue juga pengen meluk dia untuk merasakan manfaat itu.
Tapi di luar kontak fisik, gue gak merasa kalau kami terhubung in a "special" way. Kebalikan dari temen temen kencan sebelumnya.
Kami jarang komunikasi via pesan teks.
Pernah sampai 3 hari tanpa pesan teks sama sekali.
Entah kalau pernah lebih.
Gue ga tau juga lagian mau ngobrol apa.
Tanya how are you? I knew he always feel good even he's so busy.
Udah makan apa belum? Trus kenapa kalau udah makan? Sementara gue gak punya topik lain untuk diomongin karna yaa itu, dia sibuk.
This is the part when I start overthinking.
Gue sebenernya mikir, karna bidang kerja dia itu "belajar" meditasi (dia ownernya malah), dia udah sampai level sekian, he's a man who doesn't have any expectation, gue berpikir dia fine fine aja gak sering sering dapet pesan teks.
Tapi gue juga mikir "iya kalau bener, kalau ternyata gak, dia bosen and see another guy, gimana?"
Tapi yaahh karna minggu lalu, dia whatsapp gue duluan, nanya udah makan apa belom trus ngirim makanan ke kantor, dan karna berapa hari lalu ngajak nonton 45 menit sebelum jam mulai (padahal kami masih sama sama di kantor), keduanya setelah berapa hari gak whatsapp-an, gue rasa kemungkinan pertama gue bener.
Yaaahh semoga aja ke depannya komunikasi (verbal) kami lebih intens lagi.
Bukan cuma ciuman sama pelukannya doang
tapi aku belum cukup bijak menjalaninya kurasa. Beberapa kali berbagi pandanganku ke seseorang, dianya mengatakan apa yang aku jalani ini salah, padahal dia diajak shalat ogah-ogahan. (well aku hampir seperti dirimu, weak agnostic muslim, masih shalat lima waktu)
sering kesel gitu sih liat orang yang sok suci dengan agamanya tapi dia sendiri dalam mengerjakan tidak taat.
Oh iya, bahasan soal orang punya tujuan masing-masing untuk mencapai kedamaian hidupnya cukup mencerahkan, terimakasih kabud, I'll try to mind my own business
Semoga segera menemukan cara komunikasi verbal yang nyambung kabud, sedikit berbagi pengalamanku yang berhubungan dengan orang yang aku sendiri agak sulit berkomunikasi verbal atau semacamnya berakhir tidak menyenangkan.
Even my fellow weak agnostic said, she still strongly believe her faith in christianity cause she believe there's a reason why she born in a christian family. Well, aku juga sama. Tapi belakangan aku mikir, aku lahir di keluarga katolik mungkin supaya aku bisa tau bahwa ini jalur yang kurang cocok, jadi ketika aku pindah jalur (dalam hal ini jadi agnostik) I know what I'm doing. Some people don't. They don't know what they believe in, what the're thinking, doing, and/or saying, most of the time.
Maka aku paham kalau mereka menganggap aku salah. Karna mereka menggunakan sudut pandang mereka. Benar salah sebenernya tergantung tujuannya mau jadi apa. Aku udah jelasin tujuanku di postingan sebelumnya, maka jadi agnostik, buatku, adalah benar. Nah mereka yang menganggap salah, sadar atau nggak, gak tau tujuanku apa. Kalaupun tau, dipikirnya hanya cara merekalah satu satunya cara yang benar, termasuk untuk aku terapkan.
Yaahh aku sih maklumin aja.
Coba dong kak @Llybophi share pengalamanmu yang berakhir kurang menyenangkan.
Aku sebenernya cukup baik kok kalau soal komunikasi. So far, cuma di lingkungan kecil, terutama kalau cuma berdua. Makin banyak orang, makin susah ngomong.
Aku ketemu sama omin, lipi, ombow nyerocos mulu gak udah udah. Ahahahahaha.
Aku juga gak ngerti, kenapa sama gebetan yang sekarang aku gak bisa secerewet itu.
Ada sih tebakan tebakan sotoy tp aku ga tau kebenarannya gimana.
Jatohnya, aku merasa, kami berdua cuma sekedar sex buddy aja.
Yaahh tetep enak sih rasanya, jadi aku sebisa mungkin mikir "ya udah lah ya"
Menyoal overthinking. Aku punya teori, You are overthinking when You care too much.. Which is a good thing jg sih..
Kebiasaan orang Indonesia banyak (ga semua sih) yang suka bicara dengan simbol, atau justru diam dan berharap lawan bicaranya paham dari tindakan atau respon yang diberikan.
Beberapa contoh pertanyaan yang sukar dijawab dengan lugas adalah :
- kamu ga papa? (default jawaban adalah, gpp kok.., walaupun aslinya apa2)
- aku salah ya? (default jawaban biasanya, ga kok..*ga perlu nanya lg. lo mah salah bgt*)
- kita ini gimana ya? (default jawaban biasanya, kamu maunya gimana?.. *lhaaa*)
Memang sih itu budaya yang kurang baik. Harusnya kan kalau ada apa2 diomongkan baik2 sehingga masalahnya clear.
Termasuk diantaranya menebak2 sebenarnya gebetan itu mau ke arah serius atau buat fun aja..
Tapi biasanya selalu ada sign2 tertentu yang memberikan sinyal mau dibawa kemana hubungan ini..
Kalau dari yang kakak paparkan di atas, sinyal2 tersebut ada.
Nanya udah makan atau belum, dan lsg ngirim makan siang ke kantor saat tau belom makan, itu sesuatu lho kak..
Rasanya ga mungkin seseorang yg cuma menempatkan orang lain sebagai pemuas napsu balaka, mau cukup repot untuk kirim2 makanan. (unless dia emg usaha catering dan tagihan maksi dibebankan ke kakak)
Semoga makin lancar ya kaak dengan gebetan barunya. Amiin..
Oya, suka deh dengan sikap kakak yang 'embrace every moment'. hehe
Tapi aku lumayan terkesan juga gimana dia ngajak nonton dadakan.
Aku lebih suka diajak jalan dadakan (terutama kalau tau pasti tempatnya, pasti jamnya, pasti mau ngapaian) daripada direncanain.
Plus waktunya pas aku bisa pulang lebih cepet dari biasanya.
Hari minggu kemaren pun sebenernya cuma mau jemput dia aja sih di GI trus langsung ke kosannya, eehh dia ngajak karaokean (aku pernah sekali dua kali bilang aku suka banget karaoke). Sempet aku tolak karna aku agak capek, tp mukanya agak cemberut, ya udah aku terima aja.
Cuma ya gitu. Kami gak pernah bener bener ngobrol. Pas curhat soal kantor aja (kak omin tau lah yaaa gimana perasaanku sama temen temen kantor belakangan ini) gak banyak responnya.
Di tempat meditasinya dia sih, aku liat salah satu.... Apa yaa... Indikator orang yg berusaha untuk damai atau apalah (lupa aku) salah satunya adalah gak melibatkan diri dalam konflik (atau menciptakan ya? pokoknya bukan menghindari sih).
Makanya aku mikir mungkin dia gak merespon yaa karna skala konflik yg aku ceritain lumayan luas.
But sometimes I'm tired. Guessing all the time. Kebenarannya apa aku gak tau.
Aku juga gak tau, bener atau gak kalau dia fine fine aja kami gak saling komunikasi via pesan teks.
Mudah mudahan sih bisa ketemu lagi.
Aku mau tanya langsung.
Mau terang terang bilang, "sempet kepikiran tanya temen, ask some advise, tapi aku rasa nanya ke kamu langsung bakalan lebih efektif".
Aku juga pernah cerita kekurangan dia (kutulis lagi di sini, biar orang lain yang (mudah mudahan) baca bisa tau juga).
Aku masih merasa dia judgemental.
Idealis mungkin lebih tepatnya.
Waktu chatting basa basi, aku pernah bilang lagi libur, tp aku ke kantor buat ngeprint materi kuliah.
Dia bilang "kalau buat keperluan pribadi, jangan pake fasilitas kantor lah".
Esensinya bagus. Penyampaiannya juga bagus. In my defense, di kantorku pake kertas itu gak perlu laporan. Kertas kosong disediain. Mau ambil berapa pun gak harus bilang, mau dipake buat apa juga gak harus bilang (bahkan aku pernah ngambil buat aku bawa pulang), ngeprint apa dan berapa banyak pun gak perlu laporan. Well, bahkan kalaupun mau, ga ada prosedurnya.
Cuman yah aku kalem aja jawab singkat "tapi dibolehin kok sama kantor".
Technically, I wasn't lying.
Lalu pernah pula aku ditanya hari itu beres kerja jam berapa kira kira.
Aku bilang mungkin jam 12.
Berapa jam kemudian aku post salah satu halaman komik di path.
Dia komen gini dong "so this is what you're doing staying late in the office".
Aku jawab "no no. I just take a little break. Hihi (insert monkeys closed their eyes with their hands emoticon)".
In my defense, I am so freaking tired. Karna kerjaanku juga ngerjain kerjaannya orang yg mana itu buanyaaakkk salah salahnya.
Jumat deadline dan itu haris kamis malem.
Kalau stress aku baca komik bentar, atau kencengin volume musik. Nyanyi nyanyi kadang sambil geleng geleng kepala bahkan joget joget segala.
Aku mencoba memaklumi di mana dia pernah kerja di bagian HRD, plus emang apa yg dia bilang itu ada benernya. Dalam situasi dan kondisi ideal. Dan aku juga ngerti, coba ideal dari diri sendiri dulu.
Tapi bohong kalau aku bilang aku gak terganggu.
I mean he barely know me!
He can't tell me what to do or what not to do.
Terutama yg gak berkaitan sama dia.
Tapi aku gak mau terus terusan mikir begitu sih, so, he can tell me what to do, but it's up to me to ignore or "obey" him.
Not an easy process though.
Dan jadi agak aneh juga karna dia itu "guru meditasi" (sederhananya, tapi istilah itu menurutku lebih dekat untuk mendeskripsikan dia). Dia sudah aware kalau orang bebas untuk memilih mau jadi apa dan mau melakukan apa pun, tapi ironisnya, sejauh ini, aku gak melihat dia menerapkan itu dengan baik.
Setidaknya ke aku.
Aku pikir seharusnya dia udah lepas dari rasa ketidaksukaan seseorang menjalankan sesuatu.
Tapi ternyata masih belum terlalu.
Masih idealis.
Akhirnya, aku nganggep ini sebagai tantangan sih. Aku mau tau, berapa lama dia betah sama aku. Aku mau tau, berapa lama aku betah sama dia. Cause I'm not a quitter. I won't be the one who leave. Dan aku mau tau, berapa lama prinsip itu bisa bertahan.
Doakan aku yaahh
@omin
Itu kali ke-5 (kalau ga salah) aku ke kosan dia.
Dan masih hampir salah masuk gang.
"Kamu tuh, ini bukan pertama kalinya lho kamu maen ke kosanku".
Lalu lupa belokan
"Duh sumpah parah banget!"
Dengan nada bete.
Kalau ngambek ngambek manja aku sih msh fine fine aja.
Aku pun merasa bersalah kok.
Tapi ngambek beneran gitu, kupingku jadi panas. Beneran panas.
Ya aku sih cuma bisa ketawa tawa aja.
Stupid innocent laugh.
Belum lagi kebiasaan dia main handphone di atas motor.
Tau dia sibuk banget.
Tau itu soal kerjaan.
Tapi mainan handphone pas lagi diboncengin itu buatku dissrespectful.
Aku jadi kek tukang ojek.
But then again, disabar sabarin aja.
Aku bisa banget kok untuk gak berpikiran kayak gitu.
Jadi ya udah.
Cuman selain itu, aku merasa ga aman.
Takut dia sewaktu waktu jatoh.
Entah hapenya entah orangnya entah keduanya.
terus jadian, hubungan datar, komunikasi agak jarang (dia sibuk sih) dan monoton, pernah sedikit cek cok, lalu tak lama kemudian aku diputusin :"
hubungan cuma dua bulan tidak penuh. :T
well, sekarang masih sesekali chat sih, sekarang dia terus yang mulai. tapi ya itu, tetap sama seperti dulu, monoton dan entah mau ngobrolin apa.
Gw rasa dia pasti older than you ya?
Orang idealis, memang selalu memisahkan urusan pribadi dan professional. Di bidang kerja dia sepertinya dia terbiasa seperti itu - and it's a a good thing. You don't have to complain, it's just his habit.
Judgmental is having your opinion about someone only based on what you see without understanding the reasons. And treating them based on the predicate you think they deserves.
From my POV his comment is more of giving you advise on being professional, not judging you as someone who's being unprofessional. Now who's the judgmental one again? Not him.
High professionalism juga berarti bahwa you have to walk the talk. Ya jelas kalau harusnya elo bekerja lembur, tapi tiba2 posting fun stuff, sepertinya nggak nyambung. Makanya dia comment seperti itu, surprised why you're goofing around when you're supposedly working. Tapi kamu sudah kasih penjelasan, bahwa you're taking a break, maka dia nggak comment lagi sesudahnya. Well, bayangin kalau bukan dia, tapi boss elo yang bikin comment seperti itu. How would you react? Annoyed like how you felt at him?
Kesal kalau kamu enggak ingat jalan. I can tell dia orangnya very sharp and have very good memory. Makanya dia selalu berharap orang2 sekitar dia bisa sama levelnya dengan dia - dan itu sulit untuk dilakukan. Surprising for a person who usually meditates. Tapi you know what? That's a good sign - he's not afraid to be himself around you. Impatient and all. Not the facade that he shows people who interacts with him daily.
Kalau kamu merasa nggak nyaman dia main cellphone karena alasan keamanan - tell him so. Ini jenis orang yang akan mendengarkan dan menurut kalau kamu punya opinion bagus berdasar consequences apa yang bisa terjadi, dia atau cell atau both bisa jatuh. Kalau nggak kapok - bilang dia pokoknya you've warned him, jadi kalau ada apa2 he's the only one to blame.
Dia sudah ngasih perhatian lebih, ngirim makan regardless itu excess order atau apapun, dan sepertinya dia juga membuka diri untuk mengenal kamu lebih jauh dan mau mendengarkan masalah2 kamu (biarpun nggak langsung menanggapi). Dia (seharusnya) nggak nyinyir ke orang dan menerima apa adanya, tapi ke kamu dia banyak comment - yang menurut my POV juga adalah perhatian lebih dari dia, dan ini cara dia untuk memberi perhatian lebih (ya daripada kasih bunga atau coklat hahaha). Sepertinya dia berminat untuk diajak ke next level. Atau apa mungkin masalah kamu begitu complex bikin dia agak hesitant untuk mengenal kamu lebih jauh?
Mungkin jalan yang terbaik adalah selain be yourself, juga simplify your way of thinking on and around him. Jangan terlalu dipikir, just go with the flow. Dan sepertinya harus lebih relax, jangan terlalu sensitive on how you think he's looking at you and assessing you, don't expect to have him behave like you want him to, and don't overthink everything, just accept him as is. Sepertinya dia jenis orang yang cukup consistent dan simple, worth untuk diexplore more.
Hope you'll have more fun soon!
I feel based from what I see, but I act based from what I (try to) understand.
Makanya aku jawab kalem apa pun yang dia bilang ke aku.
Karna ya kayak yang aku bilang di atas, apa yang dia bilang emang bener.
Aku berusaha untuk ngerti itu.
Masih ada rasa ketidaksukaan karna aku gak biasa digituin.
Apalagi sama orang yang baru dikenal.
Apalagi dengan intonasi yang begitu.
Kaget mungkin kata yang lebih tepat untuk mendeskripsikan hal ini.
Aku juga pernah bilang kok ke dia, waktu ngobrol pertama ketemu malah, kalau aku juga judgemental. Waktu itu sih kalimatnya agak kurang bener, tp intinya kurang lebih gini "aku merasa kamu agak judgemental, well, aku juga sih, terutama dengan ngomong kamu judgemental".
Aku masih ragu kalau dia mau lanjut ke next level. But I'll ask. Mudah mudahan bisa ketemu lagi. Karna udah mau sebulan juga, aku rasa penting untuk melakukan semacam evaluasi. Ngobrol tentang kesan kesan selama sebulan ini, trus maunya gimana, "just" having fun, atau ke hubungan yang lebih serius.
Btw, iya, dia lebih tua dari aku.
Aku 24 dia 31.
Lho ciuman sama pelukannya cuma sekali aja?
Bisa sampe jadian tapi.
Sendiri. Lewat tutorial dari Youtube. Enak. Banget! Gue coba search "meditation for beginners". Ada salah satu channel namanya jbittersweet, dan ada salah satu playlist yang judulnya 30 days meditation challange. Itu yang lagi gue jalani sekarang.
Dalam meditasi, instruksi utamanya selalu "remove old tension" (setidaknya instruksi dari video yang gue "denger". Gambarnya cuma grafis orang pose meditasi jadi emang gak perlu ditonton, toh kudu tutup mata juga).
Ga tau sebenernya terjemahan "tepat" nya dalam bahasa Indonesia. Yang gue pahami, kurang lebih lepaskan segala beban, kekhawatiran, stress, dan semacamnya lewat hembusan nafas.
And it's works!
Anyway, gue bukan mau bahas itu. Sama sekali bukan.
Salah satu cara lain, utamanya buat gue, untuk melepas stress adalah dengan menulis. Bisa apa aja. Tapi biasanya berupa curhatan kayak gini. Kayak profile picturenya @Llybophi "tanpa berpikir, aku bisa menulis". Yaaahh gimana, namanya juga nulis soal diri sendiri.
Justru ada hal hal yang baru gue sadari ketika gue menuliskannya.
Atau hal hal yang udah gue tau, jadi tersusun dan lebih pasti.
Misalnya kayak soal agnostisme dan kekristenan yang sampai ada 5 sequel dan 1 prequel
Jujur sebelum gue tulis, pola pikir gue gak "sesistematis" itu.
Juga tentang life lessons dari orang orang yang pernah deket sama gue.
Juga tentang kekurangan gue.
Gue gak seberapa sadar, bahkan kalaupun sadar gue gak seberapa terima kekurangan diri gue.
Juga kelebihan, juga kenormalan.
I know better about myself when I write it down.
Thanks to kak @Adrian69.
Baca lalu merespon komentar dari dia bikin gue tercerahkan at some points.
Walau udah pagi, baru balik kerja jam 4 dan nanti setelah makan siang kudu ngantor lagi, rasa rasanya gue harus banget nulis ini.
Demi diri sendiri sih.
"Removing old tension".
And learning some new things
Setelah inget dan baca baca lagi gimana perlakuan gebetan yang sekarang, yang, sebut saja, kritis, gue jadi inget sama gebetan lama (tepat sebelum yang sekarang). Dia juga, in some way, suka ngritik gue. Terakhir nelpon gue bahkan gue nanya apa kekurangan gue (setelah tanya apa yang dia suka dari gue. suka bukan dalam artian istimewa sih).
Dia nyebut satu dua, dan gue membenarkan.
Kebiasan atau hal hal buruk di diri gue yang dia sebutin, bikin gue ternotivasi untuk jadi lebih baik.
Bahkan durasi youtube-an gue sebelum tidur jauh menurun sejak dia yang bahas.
"Iyalah capek, abis pulang kerja youtube-an". Something like that. Nurunin gaya hidup juga karna sempet dibahas. Kecil banget kok bahasannya. Makanya gue pake kata "bahas" bukannya "singgung".
Satu kalimat kecil, sebenernya cukup untuk bikin gue "gerak" ke arah yang lebih baik.
Gebetan lama dan gebetan baru sebenernya agak sama. Gebetan lama gue itu juga belum kenal lama sama gue. Tapi cara dia berkomunikasi itu alus banget, jadi enak.
Gak blak blakan kayak yang gebetan yang sekarang. Walau dia bener, gue masih kaget sama cara dia mengkomunikasikannya.
Sebenernya gak masalah kalau udah saling akrab untuk waktu yang lama.
Gue masih agak kaku sih.
Buat gue, orang yang belum lama kenal (baru mau sebulan lho) seharusnya bisa sedikit lebih alus lagi cara komunikasinya.
Cuman gue gak terus manja pengen "balik lagi" ke gebetan lama (balik ke rasa dan status yang sama maksudnya, balik sebagai teman sih gak masalah banget) , atau ngarep gebetan yang sekarang bisa lebih lembut dikit.
Yang dia katakan benar, yang dia katakan baik. Gue harus bisa ngambil esensi tanpa bermain persepsi. Ya, ini masalah persepsi gue sebenernya. Karna kalau dibilang masalahnya ada di caranya dia, itu sih salah.
Cuman gue gak mau bohong, gue gak gampang untuk termotivasi oleh dia.
Sama gebetan lama, waktu gue memutuskan untuk nyerah di satu mata kuliah dan mending ngulang aja semester depan (dengan satu dua alasan, don't ask, don't judge, okay?), Gue sampe mikir "duuhh tapi gak enak sama dia. Ntar dia kecewa gimana". I know he wouldn't say the word "dissappointed" though, tapi toh dia komen komen juga. Yaahh masih peduli lah. Ngasih tips ini itu, sebaiknya gini aja, gitu aja.
Sama gebetan sekarang... not so much.
Tapi justru, tanpa coba ngobrolin soal ini, gue malah merasa, bahwa sebenernya gak perlu motivasi dari dia. Dari gebetan lama pun sebenernya enggak.
Motivasi yang baik itu harusnya dateng diri sendiri.
Jangan dari orang lain.
Soalnya jangan jangan motivasi itu ilang ketika orangnya juga "ilang".
Tapi yaahh, gue masih over sensitive. Masih berusaha ngurang ngurangin sih, tapi ada kalanya, kayak sekarang ini, kangen sama gebetan yang lama and how he treat me.
Well, actually, how he treat people in general, including me. Dia kayak gitu gak ke gue doang kok, tapi ke temen temennya sama mantannya juga.
But, I guess I will do nothing about that. Ya biarin lah kalau kangen ya kangen aja. Toh dia juga pasti tau.
Dan sebenernya pun, lebih ke arah kangen karna komunikasi kami jadi gak seintens dulu sih.
Ya tau gue udah gak ngarepin dia lagi untuk jadi pacar. Tau gue ada gebetan baru sekarang. Tapi kan masih bisa jadi temen. I don't care if he or any other people don't believe in me, but I do. I believe in me. Gue percaya kok kita bisa temenan. Kenapa pula "perubahan status" dari gebetan jadi non-gebetan harus mengubah intensitas komunikasi? Mengubah bentuk sih okelah. Harus. Kayak gak flirting flirting lagi misalnya. Gak kirim kiss kalau setelah nelpon. Gak kirim emoticon kiss waktu chatting (well, ini sebenernya ga masalah sih. gue sama ombow aja kadang suka begitu).
Pake segala alasan biar gue fokus sama yang sekarang. Pffftt. So cliche!
Ini antara dia ke ge eran (jadi merasa oke kalau dirinya bisa bikin fokus gue teralihkan), atau meremehkan gue (jadi self control gue dianggap lemah, disentil dikit, fokusnya langsung beralih ke dia).
Atau yaaahh emang dasarnya mau menjauh, atau ga ada ide mau ngobrolin apa, atau udah punya gebetan, atau malah pacar, atau apalah apalah lainnya gak ngerti deh.
Gue gak mau lah mikirin persepsi orang tentang gue.
Yang jelas sih, gue tau betul kok gue ini kayak gimana orangnya.
Kalau gue berpikir gue mau berteman baik, ya udah emang hanya akan ke arah sana. Gak pake baper baperan ke depannya. Toh udah ada orang lain lagi yang dibaperin.
Yaaahh dibalikin aja deh. Mau berteman baik sama gue syukur, kalau gak ya udah terserah.