It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
mantap mas broo...
terkadang jd malu, tmn2 odapus kyk mbak putri aja semangat jalanin hidup nerima pemberian khusus dr tuhan tanpa mengeluh.. nah saya udah dikasih sehat masih aja banyak ngeluh. hhe
pembelajaran yang berarti bgt mas buat saya... makasih udah update cerita ini
hehehe,,semoga ya mas ada yg terbit,,tapi gak sampai kesana ko aku nulis cerita ini
Mau jadi relawan mbak?? Mbak tinggal dimana ??
semangat buat kita semua mas,,
keren juga,,hehehe
makasih mas,,
tetap semangat mas,,selalu penuh syukur,,
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@just_pie
@caetsith
@ken89
Selamat Pagi menjelang siang
“ Sungai Selalu Mengalir Dengan Indah, Matahari Menyentuh Beningnya dan Menghadiahinya Kemilau “
FARHAN dan aku mengalir di sungai yang sama. Kami berdua sama-sama menyandang Lupus yang menyerang darah dan sendi. Sama-sama semapt disinyalir terkena demam berdarah. Sama-sama menjadi pelanggan MRI dan pain killer, sama-sama pernah mengalami masalah dengan otak, aku pernah mengalami abses otak sementara Farhan mengalami tumor otak. Tetapi Farhan yang bernama lengkap Farhan Radian Lubis adalah permukaan air yang tenang, sementara aku riaknya. Ia teduh dan menenteramkan, sementara aku tak pernah berhenti bergerak kesana dan kemari. Farhan adalah pendengar yang baik, sementara aku suka sekali bercerita. Farhan mengingat hal-hal kecil dan personal seperti tanggal ulang tahun, sementara aku mengingat hal-hal yang lebih besar dan umum seperti rumah sakit atau dokter yang cocok untuk direkomendasikan. Kami berdua sama-sama sempat bekerja di bank, tapi di bidang yang berbeda. Farhan menangani perangkat lunak komputer sebagai corporate communications sementara aku menangani manusia dengan berbagai macam karakter.
Perbedaan membuat kami dapat saling melengkapi, sementara kesamaan membuat kami dapat saling memaham. Persahabatan kami terjalin erat sejak dokter Heru memperkenalkan kami di akhir tahun 2004, ketika aku mulai merintis MF. Masih teringat jelas saat pertama Farhan mengetahui aku dan Mas Wira adalah pasangan gay, ia sangat kaget namun akhirnya bisa menerima kami berdua sebagai sahabat baiknya.
*********************************************************************************************************************************
SAAT tahun 2004, dokter Heru merekomendasikan dua orang sahabat odapus. Talita dan Farhan. Tanpa menunda-nunda, aku segera mengirimi pesan kepada mereka berdua. Talita tidak menjawab, namun Farhan membalas pesan ku saat itu juga.
“ Halo Pradika Batara Adibrata, aku Farhan Radian Lubis. Panggil saja Farhan, dokter Heru sudah cerita tentang kamu, salam kenal. “
Aku bersorak di dalam hati, gembira mendapat teman baru. Karena ingin mengenal Farhan lebih dekat, aku segera meneleponnya.
“ Halo....”
“ Halo....ini Farhan ya?? Aku Dika....”
“ Halo, Dika,,” Farhan membalas sapaanku. Sejak awal, aku tahu Farhan dan aku pasti bisa berteman baik. Dan Firasatku sama sekali tidak salah.
“ Apa kabar, Farhan?? Bagaimana kondisi kamu?? Sedang sehat?? “
Selanjutnya, kami mengobrol sampai berjam-jam. Dan inilah yang diceritakan Farhan.
*********************************************************************************************************************************
Sejak akhir 1999, kondisi fisik Farhan menurun. Trombositnya drop. Tubuhnya lemah. Sebentar-sebentar ia terserang demam. Farhan sempat diduga terkena thypus dan demam berdarah, namun pada akhirnya dokter menyimpulkan tak ada penyakit serius dalam tubuhnya.
“ Ini mah kamunya aja yang merasa sakit, padahal sebetulnya kamu sehat-sehat saja,,” Kata salah satu dokter yang memeriksa Farhan pada suatu hari.
Farhan tak bisa membantah. Hasil pemeriksaan medis tentu dianggap lebih obyektif daripada perasaan Farhan sendiri.
“ Hanya merasa?? Bagaimana dok?? Saya sampai pernah tidak bisa bangun dari tempat tidur kok,,” batin Farhan. Namun Ia tidak mengungkapkannya. Ia menyimpan keresahan itu di dalam batinnya sendirian.
Pertanyaan dan keraguan Farhan mengendap, tertimbun oleh berbagai kesibukan dan peristiwa, sampai mengapung kembali ke permukaan pada tahun 2002. Ketika itu Farhan yang lagi-lagi merasa ada yang tak beres dengan tubuhnya, memeriksakan diri ke dokter Sastranegara.
“ Kamu pakai pemerah pipi ya?? “ tanya dokter Sastranegara, sambil mengamati wajah Farhan dengan saksama.
Refleks Farhan meraba pipinya sendiri,,,” Dok saya kan laki-laki,,saya tidak pakai ko dok, memang pipi saya kenapa dok?? “ ia berbalik bertanya.
Dokter Sastranegara tidak langsung menjawab. Ia mengamati kembali wajah Farhan, hingga keningnya berkerut.
“ Sepertinya.... ini Lupus,,” jawab dokter Sastranegara.
Lupus apa?? Batin Farhan kebingungan. Yang ia tahu Lupus adalah novel remaja yang menceritakan siswa SMA bandel yang suka makan premen karet. Apa hubungannya lupus dengan wajahnya yang seperti diberi perona?? Dan dari cara berbicaranya, bagi dokter Sastranegara lupus sama sekali bukan sesuatu yang lucu dan menyenangkan seperti si lupus di dalam novel.
“ Lupus itu salah satu penyakit autoimun, Farhan. Salah satu gejalanya muncul ruam kupu-kupu di wajah,,” ujar dokter Sastranegara seraya meraih selembar kertas di meja praktiknya.
Mata Farhan mengikuti gerakan dokter Sastranegara, tetapi pikirannya bertualang kemana-mana. Menduga-duga.
“ Kamu saya refer ke dokter Vonny, ya. Dia spesialis penyakit dalam. Kamu bisa tanya lebih banyak lagi ke dia,,” kata dokter Sastranegara sambil menulis sesuatu di kertas, kemudian memberikannya kepada Farhan.
Farhan menjalani serangkaian pemeriksaan. Menanti sepuluh hari. Ketika hasil tesnya keluar ditemani Edith sang isteri, Farhan berangkat ke dokter.
“ Ini postif lupus farhan,,”kata dokter Vonny serius.
Farhan dan Edith sama sekali awamperihal penyakit tersebut. Namun, mereka tahu lupus pasti bukan penyakit main-main.
“ Terimakasih dokter, kalau begitu kami pamit dulu,,” kata Farhan seraya beranjak.
Farhan menoleh pada Edith yang segera menggandeng tangannya, mengajak suaminya keluar dari ruang praktik dokter Vonny.
Kamu nggak tanya-tanya cara menangani lupus dan apa itu lupus dit?? “ tanya Farhan.
“ Kamu langsung yakin kalau kamu memang mengidap lupus?? “ Edith balik bertanya.
Farhan terdiam.
“ Langsung yakin?? “ Edith mengulang pertanyaannya.
Farhan menggeleng.
“ Sebaiknya kita cari second opinion dulu, Mas, supaya jangan berpikir negatif dulu,,”
Farhan bersepakat dengan istrinya. Hati kecilnya pun tak betul-betul meyakini vonis dokter yang dijatuhkan padanya. Farhan dan Edith mencari second opinion dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, dan satu dokter ke dokter lainnya, sampai kepada seorang Profesor di Singapura. Namun, hasilnya tetap sama. Lupus bersemayam di dalam tubuh Farhan. Akhirnya Farhan memutuskan untuk berdamai saja dengan lupus. Menerima kondisnya sebagai pengidap penyakit autoimun yang langka itu.
*********************************************************************************************************************************
PENGALAMAN kamu hampir sama dengan pengalaman ku, Han,,” tanggapku setelah mendengar cerita Farhan di telepon. “ Sesudah itu, aku berhenti bekerja “.
“ Kalau saya masih terus bekerja Dika,,” kata Farhan
“ Terus bekerja?? Wah, hebat sekali kamu. Kamu gak pernah flare?? Pekerjaanmu lancar-lancar saja?? “ tanyaku takjub.
“ Cukup lancar. Kalau sakit ya ditahan saja, jangan dirasa, nanti malah tambah sakit. Lagi pula Isteri dan anak saya baik sekali. Dukungan mereka penuh. Saya todak tega membuat mereka khawatir dengan kondisi saya,,” Jawab Farhan.
Aku tersenyum mendengar kata-kata Farhan. Caranya mengambil sikap kupandang sebagai bentuk kebersyukuran yang luar biasa terhadap hidup. Ia bersyukur atas orang-orang yang dikasihinya, karenanya ia berusaha untuk mandiri dan tak merepotkan mereka. Farhan bukan orang yang mudah mengeluh. Ia bersahabat dengan lupus yang disandangnya.
Pada suatu hari di bulan April 2014, Farhan menyentuh kening Kevin, putranya. Demamnya sudah turun.
“ Besok kamu sudah bisa sekolah, Vin. Hari ini istirahat yang betul supaya besok betul-betul sehat,,” pesan Farhan.
Bocah sepuluh tahun yang masih berbaring di tempat tidur itu mengangguk.
Sebelum meninggalkan kamar Kevin dan bersiap-siap menghadiri meeting di kantor, Farhan mencium kepala Kevin.
Sedikit tertatih Farhan berjalan ke pintu. Beberapa saat belakangan, ia mengalami nyeri sendi di kaki kanan dan kesulitan menelan. Sengaja ia berusaha terlihat baik-baik saja agar Kevin yang sedang sakit dan Istrinya Edith yang sudah mengkhawatirkan demam tinggi kevin menjadi semakin takut. Kendati begitu, bukan berarti Farhan mengabaikan kesehatannya. Hari itu Farhan sudah berniat pergi ke dokter. Selain untuk sekedar pemeriksaan rutin, ia akan bertanya lebih lanjut seputar nyeri sendinya. Rencana Farhan akan segera pergi ke dokter selepas meeting. Namun, mendadak kakinya linu tak tertahan. Tangan kanannya juga mati rasa. Maka Farhan segera menelepon ke kantor.
“ Saya ke dokter dulu sebentar ya. Meeting-nya bisa diundur setelah saya ke dokter kan?? “
*********************************************************************************************************************************
“ WAH, Bapak harus masuk rumah sakit sekarang juga,,” kata dokter yang memeriksa Farhan.
Farhan terperanjat.
“ Ini stroke akibat penyumbatan darah,,” lanut dokter berkata.
“ Tapi keluhan saya hanya nyeri sendi dok....”
“ Ini bukan nyeri sendi biasa. Darah Bapak menggumpal. Lupus bapak memang menyerang darah kan?? Jangan menunda-nunda lagi ya. Bapak harus segera dirawat sekarang,,” tegas dokter.
Farhan seperti terbangun dari mimpi. Dinding kamar rumah sakit mengepungnya. Bunyi berbagai alat yang konstan dan monoton merasuki kepalanya. Pagi itu Farhan terkonsentrasi pada kesehatan Kevin dan bersiap-siap berangkat meeting. Siangnya ia sudah berbaring di rumah sakit dengan slang infus yang menjulur. Di meja sebelah tempat tidurnya, telah menanti berbagai jenis obat yang harus ditenggaknya setiap hari. Serangkaian pemeriksaan telah selesai dijalaninya sendirian. Farhan ingat, pada pemeriksaan rutin sebelumnya, ia disebut mempunyai sindrom antifosfolipid di tubuhnya. Antifosfolipid menekan kadar zat yang disebut anexxin V dan mempercepat pembekuan darah. Salah satu bagian dari bekuan darah tersebut bisa saja pecah dan memblokir pembuluh darah sehingga memotong pasokan darah ke sejumlah organ penting di dalam tubuh, antara lain jantung. Kondisi tersebut dapat menyebabkan kematian.
Farhan terperjam. Ia berharap bagian itu terlewat disimak oleh Edith dan Kevin. Ia ingin orang-orang yang paling dikasihinya itu tetap tenang dan bahagia, jangan sampai ada sesuatu yang membeku dan menghambat langkah mereka. Ketika Farhan sedang berdoa di dalam hati, pintu kamarnya terbuka. Masuk Edith dan Kevin.
“ Ko jadi papa yang sakit sih?? Kecapaian ya kerjanya?? “ tanya Kevin seraya duduk di sisi tempat tidur Farhan. Siang menjelang sore itu, ganti ia yang mengelus-elus dan mencium kening sang papa.
Farhan tersenyum. Nyerinya luruh.
“ Harusnya kamu bilang dari kemarin kalau sakit begini Mas,,” kata Edith.
“ Kamu ninggalin kantor ya?? “ Bukannya kamu banyak kerjaan?? I’m alright kok, sudah diperiksa, dikasih obat penanganannya bagus dan sigap,,”
Edith melirik tumpukan obat di meja sebelah tempat tidur sang suami. Ia tidak berkomentar.
“ Papa cepat sembuh ya,,” kata Kevin. Kata-katany adalah doa dan kekuatan. Saat itu juga, Farhan merasa sudah sembuh.
*********************************************************************************************************************************
“ TAPI sekarang kamu sudah sehat kan Han?? “ tanyaku, kami masih asyik mengobrol di telepon.
“ Sudah kok, Dika. Saya sudah kerja lagi, sudah aktif lagi. Kamu kan tahu, lupus itu penyakit musiman,,” sahut Farhan. Suaranya teduh dan menyamankan.
Kami mengakhiri pembicaran dengan kata-kata yang menguatkan. Berjanji untuk saling mendukung.
Jarak jakarta – Bandung dan kondisi fisik kami yang terbatas membuat kami jarang bertemu muka. Namun, aku percaya, frekuensi yang sama merentang batas. Memilihara ikatan lebih daripada apapun.
Di pertengahan tahun 2010, aku nyaris hilang kontak dengan Farhan. Hingga pada suatu hari, Mas Wira mendapat telepon langsung dari Edith. Mas Wira dan Edith mengobrol cukup lama di telepon. Aku menunggunya dengan tidak sabar, ingin segera mengetahui kabar farhan.
“ Apa katanya Mas?? “ tanyaku segera setelah Mas Wira selesai bertelepon dengan Edith.
“ Farhan kena brain tumor, sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit,,” lanjut Mas Wira.
Jantungku seperti berhenti saat itu juga. Aku pernah mengalami brain abscess dan aku tahu persis seperti apa sakitnya. Bunyi mesin MRI yang intimidatif kembali berdengung-dengung di kepalaku. Rasa perih seperti diiris-iris pun terkenang kembali. Lupus bukan penyakit ringan. Ini ditambah dengan tumor otak pula. Semoga Farhan dapat kuat dan bertahan...........
“ Dia minta rekomendasi dokter buat farhan,,” kata Mas Wira lagi.
“ Jhon Chang di Singapura,,” sahutku cepat,, “ tolong SMS ke Edith, mas, kasih kontak Jhon Chang Singapura. Sebagai alternatif, kasih juga kontak dokter Triwarsana. Di Indonesia dia yang paling bagus,,”
Suara jari Mas Wira yang mengetik SMS bersaing dengan detik jam di ruang tamuku. Sementara itu, aku bertanya tidak sabar. “ Bagaimana ceritanya, Mas?? Kok bisa Farhan kena brain tumor?? Ketahuannya bagaimana?? “
Setelah selesai mengirim SMS, Mas Wira meneruskan cerita Edith kepadaku....
“ Mas,, Mas Farhan,, kamu kenapa?? “ Edith mengguncang-guncang bahu Farhan. Malam itu tiba-tiba saja Farhan muntah di atas tempat tidur mereka.
“ Itu muntah saya?? “ tanya Farhan, keheranan melihat muntah yang membasahi seprei dan sebagian baju tidurnya.
“ Kamu nggak merasa Mas?? “ Edith balik bertanya.
Farhan menggeleng.
“ Menurut saya sebaiknya Mas MRI. Paling nggak supaya kita tahu ada apa dengan kepala kamu,,”
Gamang Farhan mengangguk. Bertanya-tanya apa yang sebetulnya mencuri kesadarannya.
Saat itu bulan April 2010, kepala Farhan sering sakit. Ia mengalami demam tinggi, trombosit, dan hemoglobin yang menurun dan sakit-sakit di seputar pipi dan mata. Kata dokter, kemungkinan Farhan terserang demam berdarah. Namun, apakah demam berdarah membuat kepala terasa ditarik-tarik?? Peristiwa hilang kesadaran dan murah secara tiba-tiba yang terjadi pada Farhan meyakinkan Edith bahwa ada sesuatu dengan kepala Farhan. Maka, tanpa menunggu-nunggu lagi, keesokan harinya Edith membawa Farhan untuk pemeriksaan MRI.
Ruang praktik sunyi. Hasil pemeriksaan MRI Farhan membentang di meja praktik, tetapi dokter tidak memberikan penjelasan apa-apa. Seperti kehilangan kata-kata, ia hanya mengamat-amati kertas di hadapannya sampai akhirnya Edithlah yang bertanya.
“ Ada apa dengan kepala suami saya dok?? “
“ Begini Bu,,” kemudian sunyi lagi.
“ Katakan saja dokter,,apapun hasilnya,,” ujar Farhan. Bukan berarti ia tidak khawatir, tapi ketenangannya selalu mampu meredam kekhawatiran sebesar apapun.
Dokter menarik napas berat sebelum akhirnya menjelaskan dengan hati-hati. “ Di otak Bapak ada penggumpalan dan pendarahan. Mungkin tumor. Tapi belum pasti. Saya sarankan Bapak melakukan pemeriksaan MRI ulang sekaligus MRS. Grafik yang ditunjukkan MRS akan menunjukkan apakah gambar bercak di hasil tes MRI Bapak disebabkan oleh cairan atau massa padat...” MRS atau Magnetic Resonance Spectropcopy memberikan hasil lebih detail daripada MRI.
Farhan menelan ludah. Tumor otak?? Hati kecilnya berharap sang dokter salah membaca.
Tetapi kenyataan berkata lain. Serangkaian pemeriksaan dan berbagai opini dari sana dan sini memastikan bahwa tumor tumbuh di otak Farhan. Pada bulan Juli 2010, Farhan terpaksa berhenti bekerja. Ia bolak-balik menjalani perawatan dan terapi. Bolak-balik berangkat ke Singapura untuk menjalani beragam pengobatan, termasuk akupunktur. Dari jauh, aku tersu memantau keadaannya dan tak putus mendoakannya. Jika memungkinkan, aku meneleponnya untuk sekedar mengobrol dan memberinya kekuatan. Hal yang pali mengagumkan dari Farhan, Lupus dan tumor yang bersarang di tubuhnya tak mengguncang ketenangannya.
“ Bagaimana keadaan kamu, Han?? “ tanyaku di telepon pada suatu hari, setelah farhan menjalani perawatan.
“ Lebih baik, Dika. Tapi saya harus terus minum pain killer,,” sahutnya.
Tidak ada gejolak di nada suara Farhan, justru aku yang jadi bergejolak. Di fase-fase abses otakku, aku pun terus-menerus menenggak pain killer. Di rumah sakit pain killer hanya diberikan untuk menangkal sakit-sakit yang amat sangat. Farhan tak perlu memaparkan seperti apa sakitnya. Aku langsung mengerti karena aku pernah mengalami hal yang sama. Lebih parahnya lagi, pain killer tak selalu memenangkan pertarungan melawan rasa sakit.
“ Farhan, kamu yang kuat ya. Lihat semuanya dari segi pemaknaan dan hikmah. Aku mau cerita tentang kopi, emas dan kupu-kupu,, kamu mau dengar nggak?? “
“ Mau Dika,,”
“ Sebetulnya ada kesamaan konsep diantara ketiganya. Aroma kopi yang harum sekali baru muncul setelah kopi direbus di air mendidih. Emas baru menjadi emas terbaik jika kuat ditempa. Dan kupu-kupu dapat menjadi kupu-kupu yang indah jika mau bersabar menjalani prosesnya sebagai kepompong. Aku rasa kamu juga begitu Han. Semua yang kamu alami ini akan membuatmu menjadi Farhan Radian Lubis yang terbaik. Tuhan percaya padamu dan tahu kamu punya potensi untuk menjadi seseorang yang hebat. Karena itulah dia menempa kamu,,” Tuturku panjang lebar.
“ Dika saya selalu kagum dengan kamu,,” tanggap Farhan.
“ Aku biasa-biasa saja kok,,” sahutku.
“ No, Dika,, Kamu hebat. Kata-katamu selalu menguatkan. Kamu selalu bersemangat dan punya kepedulian yang besar terhadap sesama. Saya selalu ingin bisa seperti kamu,,”
“ Kebawelanku ternyata ada gunanya, ya?? “ tanyaku.
Kami berdua lalu tertawa berderai.
Farhan, sesungguhnya aku pun selalu ingin menjadi seperti kamu. Penguasaan dirimu berada diatas rata-rata. Kekuatanmu tersimpan di dalam tinggal diam dan tenang. Tidak semua orang mempunyai kharisma yang meneduhkan seperti dirimu.
Perjalanan Jakarta – Bandung terasa panjang, karena aku ingin segera tiba di rumah Farhan. Di pangkuanku terdapat sebotol besar ramuan daun sirsak dan jintan hitam. Ramuan tersebut kudapat dari Syifa, seorang penyandang kanker usus. Suaminya seorang herbalis. Dengan bantuan suami Syifa membuat sendiri ramuan tersebut. Ramuan tersebut berkhasiat bagi Syifa. Kankernya membaik. Dengan suka ria ia bercerita mengenai ramuan tersebut kemana-mana, termasuk kepadaku.
Farhan adalah orang pertama yang kuingat ketika Syifa bercerita. Siapa tahu ramuan tersebut juga dapat menyusutkan tumor di otaknya. Sampai aku menyampaikan kisah ini, tumor otak Farhan selalu berisiko untuk diangkat. Tak ada yang tahu pasti pula dari mana dan mengapa tumor tersebut bisa tumbuh di sana. Maka, mau tak mau Farhan harus bersahabat dengan tumor dan lupus yang berbagi ruang di tubuhnya. Tak ada kepastian juga mengenai khasiat ramuan tersebut terhadap tumor, tapi kupikir tak ada salahnya dicoba. Kucek bahwa ramuan tersebut tidak kontraindikasi bagi penyandang lupus. Ia bukan imuno stimulator seperti temulawak, meniran, mengkudu atau kunyit. Berhasil atau tidaknya urusan belakangan, tetapi aku hanya ingin berikhtiar. Keep moving, keep dancing It’s better than doing nothing.
“ Kita sampai mas,,” Pak Ade memberitahuku.
Aku mengangguk. Di bantu Putri aku turun dari mobil.
“ Dika ,,” sambut Farhan yang ternyata sudah menunggu di depan rumah.
“ Farhan “ aku membalasnya. Masih sambil membawa-bawa botol ramuan, aku segera memeluknya.
“ Ini ramuan yang aku ceritakan. Katanya kanker Syifa menyusut karena ini. Kamu coba deh,,” Ujarku seraya memberikan botol tersebut kepada Farhan. Selanjutnya aku bercerita seperti biasa. Aku bercerita mengenai Syifa, suaminya, dan mencoba menularkan energi positif yang dititipkan Syifa melalui obat tersebut. Aku terus bercerita sampai Putri berbisik kepadaku.
“ Mas,, Mas Farhan mungkin capek mengobrol disini. Disambung nanti saja kalau sudah duduk enak,,” Ujar Putri.
“ Oh iya,, maaf ya Han, aku suka keterusan,,” aku mengusap-usap bahu Farhan yang seperti biasa diam dan sabar mendengarkan.
“ Nggak apa-apa, Dika. Saya senang kok. Apalagi kita sudah lama nggak ketemu,,” sahut Farhan.
Kamu berdua berangkulan hangat, berjalan menuju ruang tamu Farhan sambil masih terus berbagi cerita dan berbagi kekuatan. Hari itu, sambil berkunjung, dalam hati aku tak putus mendoakan kesehatannya.......
Farhan adalah permukaan air yang tenang, aku riaknya. Kami mengalir di sungai yang sama, menuju laut yang sama. Kelok membawa kami entah kemana, tetapi kami memercayainya. Terus mengalirlah dan menyelamatkan kami dari menyerah dan keputusasaan.