It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@ Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
Pagi Semua,,
“ ,,Menyeberang Dimulai Dengan Keputusan Melangkah Bukan Keputusannya Yang Mematikan Langkah,, ”
Setelah kembali dari Shanghai, Mas Wira bercerita kepadaku. Kira-kira inilah yang terjadi disana menurut kisah yang dituturkan pasangan hidupku.
Mas Wira menginjak kakinya di Kota Shanghai. Ia menghirup udara negeri tirai bambu itu, kemudian mengembuskannya kembali dengan kebahagian dan kesenduan yang tidak terpilah. Mas Wira merasa bahagia karena dapat ikut serta mengantar MF ke kongres internasional SLE, sendu karena membayangkan seperti apa jika aku turut hadir di sana.
“ Dika pasti akan segera sembuh,,” hibur dokter Siani.
Mas Wira mencoba tersenyum, memanggil kembali sisa-sisa ingatannya akan kebahagianku ketika abstraksiku diterima oleh panitia kongres.
“ Wajtu tahu risalahnya diterima, Dika senang sekali. Dia bercerita dengan bersemangat. Kamu tahu kan bagaimana Dika kalau sudah bicara?? “ ujar Mas Wira paa dokter Siani dan dokter Maryani, dua orang dokter aktif mendukung kegiatan MF dan mewakili MF mengikuti kongres.
“ Semangat Dika itu mudah menular. Kalau dia sedang bersemangat, kita semua ikut bersemangat,,” tanggap dokter Siani sambil menahan senyum.
“ Tapi ketika dia sedang seperti sekarang ini, kitalah yang harus menjadi semangatnya menjalankan MF,,” timpal dokter Maryani.
Mas Wira mengangguk sepakat.
“ Aku betul-betul bisa ikut merasakan kebahagiannya waktu itu,,” kata Mas Wira sambil menerawang seakan mencoba melihat jauh ke hari-hari yang lalu.
Tapi kemudian ia kembali menatap sekitarnya. Kepada kota Shanghai yang baru saja menyambutnya. Kepada delegasi MF yang siap berbagi kebaikan dan mewujudkan impian. Saat itu Mas Wira sadar bahwa ia harus menatap lurus ke masa depan dan menapaki jalan menuju ke sana.
*********************************************************************************************************************************
“ Penerima lifetime achievement untuk kemajuan ilmu di bidang Lupus adalah dr. Eng Tan...” pembawa acara kongres mengumumkan. Hadirin bertepuk tangan meriah menyambut peneliti muda tersebut. Ia berjalan dengan langkah yang mantap dan wajah yang cerah. Pada pembukaan The 8th International Congress on SLE diberikan penghargaan kepada orang yang berjasa mengabdikan hidupnya demi kemajuan ilmu dalam penanganan lupus. Tahun itu, penghargaan tersebut jatuh kepada seorang dokter dari Malaysia. Dokter Eng Tan.
Dokter Eng Tan naik ke atas podium dan mulai menyampaikan pidatonya.
“ Sebelumnya saya mengucapkan banyak terimakasih karena kehormatan yang diberikan kepada saya ini. Penghargaan ini justru membuat saya merasa harus berbuat lebih banyak lagi kepada masyarakat,,kita harus mempunyai impian dan impian itu harus diwujudkan,, Saya terlahir sebagai seorang anak desa di Malaysia. Sejak saat kecil, saya sudah mendapat pesan dari nenek saya untuk menjadi dokter agar dapat menolong lebih banyak orang. Kata-kata nenek adalah doa dan impiannya yang kemudian menjadi impian saya juga. Impian itulah yang memicu saya untuk terus bekerja keras hingga akhirnya dapat meraihnya,,” tutur dokter Eng Tan.
Kisah dokter Eng Tan menyentuh dan menginspirasi. Seperti juga dokter Eng Tan, MF pun mempunyai impian untuk menolong banyak orang. Semoga impian itu terus berkembang dengan esensi yang sama.
Prof Richter mengamati peserta Patient Program satu per satu sebelum kemudian berkata “ coba kalian semua di ruangan ini saling memandang!! “
Ketika para peserta tengah saling memandang satu sama lain, Prof Richter bertanya,, “ Apakah ada di antara Anda semua di sini yang tampak persis?? “
“ Tidak...”, sahut para peserta hampir bersamaan.
Patient Program adalah salah satu program menarik di The 8th International Congress on SLE. Program tersebut bertujuan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang lupus serta berbagi tip gaya hidup sehat bagi Odapus. Setiap hari program berlangsung sejak pukul 09.30 – 16.00. Program dibuka dengan materi dari para ahli dan ditutup dengan olahraga seperti taichi, aerobik, dan yoga untuk menjaga kebugaran. Di dalam program ini pasien, keluarga atau siapa saja yang tertarik pada lupus dapat bertanya dan berkonsultasi scara langsung kepada para ahli. Prof Richter adalah seorang tenaga ahli yang di daulat memberikan materi. Di antara semua pemateri, Patient Program yang diceritakan Mas Wira, dokter Maryani dokter Siani, materinya adalah salah satu matri yang paling ku ingat.
“ Nah,,, karena kita semua unik dan tidak pernah sama persis, setiap Odapus memiliki perjalanan lupus dan kondisi yang berbeda-beda pula. Hal itulah yang membuat para dokter dan tenaga kesehatan lainnya harus memberikan perhatian khusus kepada tiap-tiap odapus yang istimewa tersebut. Yang pasti, setiap odapus, seperti apa pun kondisinya, harus selalu kuat dan tabah. Dan karena mereka terbentuk untuk menjadi orang-orang yang kuat dan tabah, seperti apa pun setiap odapus di mata saya mereka adalah manusia super,, “ paparnya memotivasi.
Kata –kata Prof Richter seperti vitamin bagi para odapus. Mereka yang mungkin sempat kehilangan keyakinan diri dan alasan untuk tetap bertahan kembali bangkit. Meski tak mendengar kata-katanya secara langsung, melalui cerita dokter Maryani pun semangatnya sampai kepadaku. Materli lain yang menurutku cukup berkesan adalah materi yang diberikan oleh Ms. Shania Park, salah satu odapus dari Korea yang juga Presiden Asosiasi Lupus Korea.
“ Berhentilah bertanya “ kenapa saya “ karena itu hanya akan menimbulkan kemarahan, penolakan, kekecewaan dan keputusasaan. Karena pengetahuan adalah sumber kekuatan, pelajari lebih banyak mengenai penyakit ini. Batasi aktivitas sesuai kekuatan, pelihara kebiasaan dan pola hidup yang baik, dan jangan lupa untuk selalu berpikir positif dan mencintai diri kita,,” begitu tuturnya.
Oleh-oleh cerita dari Shanghai ini kusimpan baik-baik. Kutanam di MF agar berbuah ranum dan dapat kubagikan kepada para sahabat Odapus di tanah air.
Mas Wira memandangi poster MF yang terpampang di antara 421 poster lain dari seluruh dunia. Ada rasa haru, bangga dan harapan yang bertunas di dalam hatinya.
“ Keren ya,,” kata dokter Siani yang berdiri di sebelah Mas Wira.
“ Iya poster kita sampai juga di sini,,” sahut Mas Wira sambil masih belum lepas memandangi poster MF.
Seluruh poster yang masuk di The 8th International Congress on SLE dibagi menjadi 15 kelompok. Hampir semua poster berisi karya tulis ilmiah, hanya sembilan poster yang mengangkat topik lain, dua diantaranya adalah MF. MF memboyong dua poster untuk dipresentasikan yang satu bertajuk “ Challenges for Indonesian’s Lupus Peer Group “,, dan lainnya bertajuk “ Strengthening the Faith ; A Spiritual Healing for Lupus Patients “,, Sesuai dengan semboyan kami,, “ Your caring saves lives “,, perhatian dan kepedulian menjadi titik berat kami dalam menjalankan MF. Melalui kedua poster tersebut aku memperkenalkan MF, mengapa MF ada, dan bagaimana menjalani kehidupan setelah seseorang terdiagnosis lupus. Penyandang lupus harus siap bersahabat dengan lupus karena dengan demikian, diharapkan tubuh, jiwa dan pikiran penyandang lupus menjadi seimbang. Hal tersebut akan membuat penyandang lupus lebih maksimal menjalankan hidupnya. MF pun menfasilitasi para sahabat odapus dengan pendekatan-pendekatan spiritual. Program spiritual healing yang digelar MF mengajak sahabat odapus untuk meningkatkan keyakinan kepada Yang Maha Kuasa. Di dalam spiritual healing sahabat odapus pun diajak untuk merenungkan segala hal yang terjadi pada dirinya dan melihatnya dari sisi hikmahnya.
“ Kita foto yuk, di depan poster kita, nanti kita ceritakan ke Dika. Kalau sudah sembuh, dia pasti iri deh,,” ajak dokter Siani.
“ Iya yuk,,” sambut dokter Maryani.
Maka Mas Wira, dokter Maryani dan dokter Siani berfoto didepan poster MF.
*********************************************************************************************************************************
CERITA yang disampaikan Mas Wira tak segera membuatku bangkit dari depresi. Namun, Mas Wira tak berputus asa. Ia tak pernah lelah mencari akal untuk membujukku bangkit dari keterpurukan meski aku tak banyak merespon.
Detik jam mencacah waktu, jangkrik menyayat keheningan. Di luar kamar, suara “kresek-kresek” entah apa yang sebetulnya samar-samar terdengar jelas sekali di telingaku. Semua orang sudah lelap, termasuk Mas Wira yang berbaring di sebelahku. Mataku sendiri terbuka lebar. Kesadaranku masih penuh. Benih-benih pikiran buruk tumbuh subur dikepalaku. Sejak vertigo yang kualami menyerang kembali di tahun 2007, akibatnya aku menjadi pencemas, tidak produktif, malas keluar rumah, sulit diajak bertukar pikiran, dan tidak menyenangkan. Selama berbulan-bulan aku mengikuti perjalanan malam hingga pagi sayup-sayup datang, lalu menjadi hari baru yang utuh. Insomnia yang kualami akibat depresi membuatku terpaksa di bawa ke psikiater.
Semua obat penenang yang diberikan oleh psikiaterku enggan kuminim. Efek samping prednison yang membuatku nyaris buta menjadikanku trauma pada segala jenis obat. Aku tak ingin sesuatu yang lebih buruk menimpaku. Maka aku memilih membiarkan diriku tetap dilanda insomnia dan depresi ketimbang harus menenggak obat-obatan apa pun. Mas Wira yang bekerja selalu balak-balik ke rumah karena perasaan tidak tenang. Ia khawatir uratku putus dan aku meninggal karena pola tidur yang abnormal. Maka, ia terus mencari akal untuk membawaku keluar rumah dan menjalani perawatan. Semua menjadi serbasalah. Tak ada yang dapat membuatku senang. SMS teman-teman yang menunjukkan kasih dan perhatian langsung kuhapus tanpa kubalas. Hal-hal yang dulunya kuanggap menyenangkan tak lagi membuatku ceria. Aku pun kehilangan selera makan. Bobotku turun delapan kilogram. Mataku berat berkantung dan kulitku semakin tidak segar.
Namun pasangan hidup ku tidak pernah menyerah dan kehabisan akal. Pada suatu hari, aku mendapatinya mengepak pakaian kami.
“ Mau ke mana, mas?? “ tanyaku.
“ Singapur,,”
“ Sama aku juga?? “
“ Ya Iya dong Dika, sama kamu juga,,” sahut Mas Wira sambil melipat beberapa pakaian untuk dimasukkan ke dalam koper.
“ Berarti kita harus naik pesawat?? “ tanyaku seperti orang bodoh.
“ Iya, naik pesawat. Perjalanannya nggak lama kok,,” sahut Mas Wira dengan nada suara santai.
“ Bukan itu Mas, Inggat nggak?? Kata dokter kalau naik pesawat trombosit aku bisa drop. Kalau trombosit drop di pesawat gimana?? Kalau aku pingsan gimana?? Nanti kalau aku nggak tertolong lagi gimana?? “ berondongku.
Mas Wira menghela napas. Aku tahu segala paranoidku membuatnya repot dan sedikit gemas. Namun, toh akhirnya ia tetap menjawab dengan sabar,, “ Gini deh. Kita beres-beres saja dulu. Kalau besok nggak jadi nggak apa-apa juga, yang penting kita sudah siap-siap,,”
Aku tidak mengiyakan, tetapi tidak juga menolak. Mas Wira juga tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengusap-ngusap bahuku, berusaha menyeka kekhawatiranku. Namun, kekhawatiranku tak terseka setitik pun. Ketika Mas Wira meninggalkan kamar, diam-diam aku membongkar kembali barang-barang yang sudah ditatanya di dalam koper.
Keesokan paginya, ketika aku sedang duduk-duduk di sofa, Mas Wira tiba-tiba menggamit tanganku mesra. Tumben sekali.
“ Ikut yuk sayang,,” ajaknya
“ Ke mana?? “ tanyaku malas seperti biasa
“ Ikut saja, sebentar kok,, tuh mobilnya sudah dipanaskan,,” kata Mas Wira, meski lembut, terasa betul ia berusaha menarikku untuk bangkit berdiri.
Aku tak punya pilihan. Selain tak ingin berpikir, aku merasa terlalu lemas untuk memberontak. Jadi kubiarkan Mas Wira membimbingku menuju mobil. Bahkan untuk aktif bertanya-tanya ke mana ia akan membawaku pun aku tak sanggup. Ternyata Mas Wira membawaku ke bandara udara, tanpa sepengetahuanku barang-barang yang kubongkar dari koper sudah dikemasnya kembali. Kepergianku menuju Singapura sebetulnya sudah pasti. Ia sudah mengurus seluruh tiket dan administrasi rumah sakit. Rupanya, secara cerdik, itulah caranya memaksaku berangkat ke rumah sakit dan ditangani secara medis.
Dengan sabar Mas Wira menuntun langkahku yang berat menaiki tangga pesawat terbang. Perasaanku tidak enak dan tidak senang. Namun, aku tak punya pilihan. Aku tak mungkin berlari pulang meninggalkan bandara dan Mas Wira. Pesawat terbang lepas landas. Aku memejamkan mata, mencoba berdamai dengan rasa tak aman yang mau tak mau harus kuhadapi. Hingga kemudian pesawat melayang dengan stabil tak ada hal buruk yang terjadi padaku.
“ Kira-kira trombosit kamu turun nggak?? “ Mas Wira berbisik di telingaku.
Aku menggeleng.
“ Kamu pingsan nggak, seperti yang kamu takutkan kemarin?? “ tanyanya lagi.
Aku menggeleng lagi.
“ Naik pesawat ternyata nggak apa-apa kan?? “
Kali itu aku mengangguk perlahan.
Keyakinan diriku meningkat sekian persen. Ternyata dunia luar bukan dunia menakutkan yang kupikirkan di dalam kepalaku. Aku mengurung segala bayangan mengerikan seperti aku mengurung diriku di dalam rumah. Kubiarkan berbagai phobia tumbuh menjadi bayang-bayang besar yang mengusaiku. Dan untuk melawan bayang-bayang itu, Mas Wira tahu aku harus dihadapkan pada kenyataan yang sesungguhnya tak sebesar dan semengerikan bayangan itu sendiri.
“ kamu akan baik-baik saja Dika,,” kata Mas Wira, tenang tetapi yakin.
Hatiku merasa tentram.
Perjalanan singkat menuju Singapura menyapu bayang-bayang buruk yang kupupuk lima bulan belakangan. Benih-benih pikiran baik mulai tertanam sedikit demi sedikit.
**********************************************************************************************************************************
KARENA kondisi fisikku jauh lebih baik dibandingkan operasi pertamaku tahun 1999, kali itu, begitu tiba di Singapura, aku tak langsung di bawa ke rumah sakit. Mas Wira dan aku sempat menginap dulu di hotel, kemudian menjalani rangkaian observasi secara lebih santai dan perlahan-lahan. Hati-hati aku belajar menyentuh rasa takutku. Mengenali seberapa kuat aku sesungguhnya. Mencoba menjarakkan diri dari drama-drama yang kubuat sendiri. Hingga pada tanggal 13 September 2007, aku dipersiapkan untuk menjalani operasi FESS (functional endoscopic sinus surgery). Tindakan itu harus dilakukan karena infeksi dalam hidung yang terlalu lama kudiamkan sudah sampai ke tulang. Inilah yang mengakibatkan vertigo. Operasi dilakukan di wilayah rongga hidung dengan memasukkan alat endoskopi melalui hidung. Alat itu akan menyedot sinus di wilayah pipi kanan dan kiri, dahi kanan dan kiri, serta batang hidung. Karena peradangan yang sudah kronis, tulang rawan di daerah hidungku yang membesar pun harus dipotong.
Menjelang operasi kekhawatiran berlebihan yang menghantuiku hampir setengah tahun belakangan kembali membuntuti. Apalagi pada operasi kali itu takhyul seperti sengaja menakut-nakuti.
“ Mas banyak angka sial,,” kataku sebelum operasi.
“ Angka sial apa Dika?? “ tanya Mas Wira.
“ Coba perhatiin deh Mas, sekarang tanggal 13. Aku dirawat dilantai 13, kamar 1308,,”
“ Itu Cuma kebetulan,,” tanggap Mas Wira singkat.
“ Tapi kemarin kan di Indonesia ada gempa dan terasa sampai ke Singapur sini,,” Ujarku.
“ Apa hubungannya?? “
“ Bagaimana kalau gedung rumah sakit ini runtuh karena gempanya sampai ke sini?? “
“ Kamu mulai mengada-ada,,,” kata Mas Wira.
“ Atau bagaimana kalau operasiku tidak berhasil dan aku tidak terselamatkan di meja operasi?? “
“ Jangan berpikir yang aneh-aneh, Dika. Banyak berdoa saja,,” Kata Mas Wira datar. Ia sama sekali tidak merespons kecemasanku dengan emosi.
Aku sendiri merasa tidak karuan. Jika memungkinkan, aku ingin lari saja dari rumah sakit. Kembali ke sarangku yang aman di rumahku. Perasaan ku gamang. Meski sebelumnya keyakinanku sempat bangkit, menjelang operasi aku merasa merapuh lagi. Waktu bergulir sangat cepat. Tak terasa, aku di dorong memasuki ruang operasi. Mas Wira pun harus meninggalkanku sendirian, sebelumnya ia masih sempat mengingatkanku untuk tak putus berdoa.
Sehari sebelum operasi aku sempat nmenghafalkan “ the opening “,, terjemahan surat Al-Fatihah dalam bahasa inggris. Di tengah suasana operasi yang dingin mencekam, kesendirian yang tak bisa kuhindari dan ingatan-ingatan traumatis atas segala tindakan tidak nyaman yang harus kutempuh di masa operasi pertamaku, aku menggemakan “ the opening “ di dalam hati. Setiap kalimatnya kujadikan pegangan.
“ ....Thee do we worship, and thine aid we seek,, Show us the straight way,,The way of those on whom thou hast bestowed the grace,,Those whose (portion) is not wrath and who go not astray,,,,,,,,”
Aku takut. Seperti mimpi rasanya kembali berada di ruangan operasi semacam ini lagi. Setelah operasi ini, akankah aku terbangun dalam keadaan sadar?? Sekali lagi aku mengulang “ The Opening “ meski hanya dalam sehari.
In the name of God, Most Gracious, Most Merciful...........
Kesadaranku belum utuh terkumpul. Kaki dan tanganku masih terkulai, belum dapat kugerakkan. Seorang perawat di ruang operasi menghampiriku dan menyondorkan butiran obat penghilang nyeri yang harus kuminum. Susah payah aku menenggaknya. Rasanya pahit. Seperti pengalaman depresi yang menderaku berbulan-bulan belakangan. Sang perawat memberiku kepingan biskuat untuk menawar rasa pahit. Seperti doa dan dukungan yang kupanjatkan dan kuterima dari orang-orang terkasih. Di atas segalanya, aku bersyukur karena operasiku telah berakhir. Tidak ada gedung yang runtuh. Aku pun tidak meninggal di atas meja operasi seperti yang kukhawatirkan. Keyakinan diriku yang sempat merapuh perlahan-lahan mengukuh kembali.
Setelah lima bulan berlalu, baru malam itu aku dapat bernapas melalui hidung dengan normal, tidur dengan nyenyak dan tenang.
Pada tanggal 13 September. Di lantai 13. Kamar nomor 1308.
Setelah satu hari dirawat, aku diizinkan meninggalkan rumah sakit. Namun, karena masih dibutuhkan tujuh hari untuk pemulihan dan observasi pasca-operasi, aku harus menginap di hotel dulu sebelum kembali ke tanah air. Pada suatu malam aku terjaga. Ada sesuatu yang terasa asin di mulutku. Aku mengambil tisu dan... astaga....
“ Maaaass!! “ Aku membangunkan Mas Wira.
Mas Wira terjaga kaget.
“ Gumpalan darah,,” Aku menunjukan “ asin-asin” yang baru kupindahkan dari mulutku ke lembaran tisu. Aku panik. Apa ini?? Apakah sesuatu yang buruk?? Apakah gumpalan darah ini membahayakan nyawaku?? Adakah yang salah dengan operasiku??
“ Kenapa ini Mas?? “tanyaku karena Mas Wira tak terdengar mengucapkan apa-apa.
“ Besok kita tanya ke dokter. Kamu tenang dulu. Istirahat saja dulu,,” ujar Mas Wira akhirnya.
Aku mencoba membaringkan diri. Mas Wira mengusap-usap punggungku agar aku merasa lebih tenang. Aku berusaha untuk tidur kembali, dan karena memang merasa lelah, aku dapat segera pulas. Sementara aku tahu malam ini Mas Wiralah yang tak dapat tidur nyenyak. Sebentar-sebentar ia menilik keadaanku, apakah aku baik-baik saja dan masih bernapas. Malam itu berlalu relatif cepat untukku. Namun, untuk Mas Wira, aku tahu malam seperti setahun.
“ Tidak apa-apa kok. Itu kondisi yang normal setelah operasi. Itu memang gumpalan darah yang harus keluar pasca-operasi,,” kata dokter setelah memeriksaku.
Pasca-operasi dokter menanam tampon untuk menyerap darah serta memasang alat berupa stent, alat penyangga yang mempertahankan rongga hidung tetap terbuka agar memudahkan proses pembersihan bekas luka pasca-operasi. Darah yang terlontar dari mulutku adalah darah sisa operasi tersebut, tetapi tak ada perlu dikhawatirkan dengan itu. Tak ada luka baru.
*********************************************************************************************************************************
TANGANKU mengenggam tabung plastik dengan semacam slang yang berkepala bulat. Benda tersebut merupakan “oleh-oleh” dari Singapura. Untuk membersihkan sisa lukaku, setiap hari aku harus menyemprotkan larutan garam fisiologis dari tabung tersebut ke dalam hidungku. Rasanya sangat tidak nyaman. Seperti orang tenggelam yang hidungnya kemasukan air.
“ Yuk, bisa, bisa... Bismillah...” Mas Wira berdiri dibelakangku. Memegangiku yang seakan hampir pingsan. Memberikanku kekuatanuntuk segera menyemprotkan isi tabung tersebut ke dalam hidungku. Meski dengan sangat berat, akhirnya isi tabung itu kusemprotkan ke dalam hidungku. Sensasi seperti tenggelam itu menyongsongku lagi. Perih-perih itu mengigitiku lagi. Namun kali ini kondisi mentalku telah pulih. Aku tak harus dipaksa. Tak harus “di seret “ dengan akal-akalan seperti ketika Mas Wira membawaku ke Singapura untuk operasi FESS. Mas Wira cukup memberiku dukungan dan semangat dalam diriku melakukan bagiannya. Aku belajar bahwa kesehatan jiwa jauh lebih penting dibandingkan kesehatan fisik. Sebab jiwa yang sakit akan menyeret fisik untuk ikut sakit bersamanya. Sebaliknya, jiwa yang kuat akan menguatkan fisik yang lemah untuk ikut kuat bersamanya.
Aku belajar dari dua operasi yang kualami dalam rentang satu windu, operasiku di tahun 1999 dan operasiku di tahun 2007. Pada operasi pertamaku di tahun 1999, fisikku yang lemah terselamatkan oleh kondisi mental dan semangatku yang menyala-nyala. Sebaliknya di tahun 2007, kondisi fisikku yang seharusnya tak begitu ikut merosot bersama kesehatan menatalku yang menurun. Hal lain yang kupelajari adalah, harapan yang dipegang teguh adalah sesuatu yang membuat jiwa kita selalu kuat. Namun pada kondisi tertentu, justru keikhlasan dan kepasrahanlah yang harus dijadikan senjata yang menguatakan jiwa kita. Hidup memang ajaib. Tuhan mengajarkan kita menyikapi berbagai situasi dengan cara yang berbeda-beda, namun senantiasa terjaga dalam kebijaksanaan. Jiwa adalah tumpuab. Dan dalam bersandar kepada-Nyalah mutiara hikmah yang menjaga jiwa selalu teruntai. Ketika jiwa ku kalah, aku seperti mati suri. Dan ternyata berbagai peristiwa masih menuntun jiwaku menuju hidup. Aku menggengam jiwa yang masih terjaga dalam degup dan denyut. Yang Maha Kuasa masih memercayakan napas kepadaku. Kelak, jika ia memutuskan untuk mengambilnya lagi, aku tak akan mengembalikannya dengan sia-sia.
*********************************************************************************************************************************
“ DIKA, depresi itu seperti terperosok di lubang yang sangat dalam. Kita hanya bisa keluar ketika kita berbuat sesuatu. Dan Cuma diri kita sendiri yang dapat mengeluarkan diri kita dari lubang itu,,” ungkap Mas Wira pada suatu hari.
Ungkapan itu seperti air yang dipercikkan ke wajahku. Aku seperti terjaga tiba-tiba. Setelah sekian lama tenggelam dalam depresi, itulah kata-kata pertama yang membuatku harus segera bangkit kembali. Meski aku tak pernah merespons, Mas Wira tak pernah absen menceritakan sendiri perkembangan dirinya serta MF kepadaku. Ternyata cara tersebut cukup efektif. Setiap kata-kata Mas Wira masuk ke telingaku, meski tak selalu kucerna dengan baik pada akhirnya, ada juga kata-kata Mas Wira yang tertangkap dan memicuku untuk bergerak lagi.
“ Tapi aku sudah ketinggalan jauh Mas. Aku nggak tahu harus mulai dari mana,,” ujarku.
“ Jangan pikir dari mana. Mulai bisa dari mana saja. Just do it,,” sahut Mas Wira ringan
Sejak hari itu, hatiku mulai melangkah kembali. Aku yang pada awalnya enggan keluar dari rumah, mulai memberanikan diri pergi keluar. Aku yang awalnya enggan bertemu dengan orang lain, mulai kembali membiasakan diri berinteraksi. Sedikit demi sedikit kepercayaan diriku pulih. Aku belajar bahwa dunia berputar bersama diri kita. Ketika kita berhenti bergerak, dunia juga seakan berhenti berputar. Sebaliknya, ketika kita bergerak, semesta pun akan membantu kita mencapai mimpi-mimpi. Sepanjang tahun 2007, kegiatan MF seperti berhenti. Satu-satunya yang kuhasilkan hanyalah abstraksi yang bahkan tidak ku presentasikan sendiri di Shanghai. Maka, untuk mulai menembusnya, pada akhir tahun 2007 aku mempersiapkan From Jakarta to Shanghai, event World Sight Day yang jatuh pada bulan November 2007.
*********************************************************************************************************************************
“ Ibu terima kasih ya,,” ucapku seraya meletakkan karangan bunga harum di dekapan Ibu Ari Wardiman, Direkstur Kementerian Kesehatan RI.
“ Terimakasih kembali,,” sahut Ibu Ari Wardiman dengan suara bergetar. Ketika aku memeluknya, hangat air matanya terasa di pipiku. Aku jadi ikut terharu dan ingin menangis juga.
“ Senangkamu sudah sehat dan bisa berkarya lagi, Dika,,” Ujar Ibu Ari sambil mengusap-usap bahuku.
Aku menanggapinya dengan senyuman.
Ibu Ari Wardiman memberi dukungan besar kepada MF. Ia pun menjadi supporter keberangkatan delegasi MF ke Shanghai. Karena itulah kurasa sangat penting mengundangnya ke kelompok edukasi From Jakarta to Shanghai dan memberikan ucapan terima kasih secara khusus. Setelah menyerahkan karangan bunga tersebut, aku kembali duduk di sebelah Mas Wira.
“ Tadi ekspresi Ibu Ari sulit digambarkan lho, Dika,,” bisik Mas Wira,,, “ Dia Khawatir sekali waktu kamu sakit sampai tidak bisa ikut ke Shanghai. Dia tahu biasanya kamu paling semangat berbagi tentang lupus dan MF di mana-mana,,”
Aku kembali mengingat masa-masa sakitku. Sakit yang sebetulnya dapat kuatasi hanya dengan mengambil keputusan untuk tetap bergerak. Depresi seperti membelenggu diri sendiri. Kita sendirilah yang membuat diri kita menjadi pesakitan yang tak berarti. Padahal ketika aku akhirnya memutuskan untuk melepaskan diri dari belenggu tersebut, tak ada yang berubah. Aku dapat kembali berpikir dan bertindak seperti sediakala.
“ Acaranya lancar saja kan Mas?? Orang-orang kelihatannya bagaimana?? “ tanyaku.
“ lancar dan cukup ramai. Banyak yang melihat – lihat display alat bantu low vision,,” Kata-kata Mas Wira sambil mengarahkanku ke stand alat bantu low vision.
“ Yang konsultasi juga lumayan banyak, mereka kelihatannya excited,,” Ujar Mas Wira lagi.
Aku mencoba mendengarkan suara-suara di sekitarku, menghirup dalam-dalam udara yang bergerak di dalam ruangan. Ada rasa lega dan syukur yang memenuhi rongga pernapasanku.
“ Tapi yang paling seru sih nanti Dika,,”
“ Apa Mas?? “
“ Waktu aku dan dokter Gunawan berbagi oleh-oleh cerita Shanghai,,,hehehehe,,,”
Aku menepuk lengan Mas Wira sambil tertawa kecil.
Ibu Ari Wardiman kembali menghampiriku, wangi bunga yang masih juga didekapnya merebak dan menyusup ke hidung ku, rasanya nyaman.
“ Dika semoga kamu sehat-sehat saja dan bisa berkarya lebih banyak lagi, jangan sakit-sakitan, jaga baik-baik hidup kamu,,” pesan Ibu Ari.
Aku mengangguk saja.
Tetapi usia adalah misteri Yang Maha Kuasa. Tak lama setelah hari itu, Bu Arilah yang justru lebih dulu dipanggil Tuhan.
From Jakarta to Shanghai adalah event MF terakhir yang dihadirinya.
Operasi demi operasi yang kujalani membuatku kian kuat. Mulai dari yang besar hingga yang kecil-kecil, dan tak terhitung banyaknya. “ Ingin sembuh “ yang menjadi motivasi awal, pada akhirnya harus berubah menjadi keprasahan menerima lupus yang terus bercokol di tubuhku. Aku percaya itu adalah bentuk kekuatan yang lain. Lupus tak membuatku berhenti berkarya. Lupus yang bersarang tubuhku seperti serigala tidur. Bertahun-tahun mengidapnya membuatku belajar tak membuatnya terbangun.
Pak dokter mau ngelanjutin pendidikan di dlm ato luar negeri? Smoga lancar ya urusannya.
@tio_juztalone - mksh mas,,msh mau dengan setia membaca cerita ku,,gimana kbr adiknya mas ??
pengalaman bidang yang mana mas ?? Hehehe,, jd bingung,, gubrak