It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@Monic
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@ Zhar12
@pujakusuma_rudi
“ Bersama Cinta Aku Selalu Merasa Lengkap Dan Utuh “
Ternyata belum ada jawaban atas kesembuhan total penyakit lupusku ini. Aku empat kali mengalami pendarahan akibat trombosit dan leukosit yang rendah dibandingkan orang sehat. Pendarahan ini lah yang berujung pada operasi di tahun 2004. Adanya kerusakan jantung berupa cairan pada selaput jantung harus dilakukan operasi untuk mengeluarkannya.
Aku merasa limbung. Lagi-lagi aku mengalami pendarahan, darah yang keluar dari hidung begitu banyak, dengan mata low vision-ku, aku masih dapat menangkap merahnya darah, mengerikan. Menguasai ruang sempit itu dan membuatku merasa akan pingsan. Sambil berpegangan di dinding kamar mandi, aku berjalan perlahan-lahan menuju slang. Meski sudah berkeringat dingin, aku masih sanggup membersihkan diri dan ke kamar mandi sendiri. Karena pendarahan seperti itu tak hanya sekali kualami, aku sudah cukup terbiasa mengatasinya. Namun, pendarahan kali itu ternyata berlangsung lebih banyak daripada biasanya. Darahku keluar secara terus menerus. Tubuh ku semakin lemas dan aku semakin tak punya tenaga untuk bergerak.
“ Mas Dika sudah pucat sekali ini,,” kata Pak Ade, sopirku dengan khawatir.
Aku tak sanggup menjawab.
“ Langsung ke rumah sakit saja ya Mas,,” Kata Pak Ade lagi. Tanpa menunggu tanggapan dariku, Pak Ade dan Bi’ah, home care nurse-ku segera mengangkutku dari rumah ke dalam mobil. Kondisi membuat Pak Ade sopir kami harus sesigap dan seterampil sopir ambulans. Mobil kami yang kebetulan berwarna putih pun harus selalu siap menjadi ambulans pribadiku. Ia harus selalu cukup prima untuk berpacu dengan waktu, mengantarku ke rumah sakit ketika keadaanku tiba-tiba genting. Hal yang tak bisa berkompromi dengan kondisiku saat ini hanyalah kemacetan Jakarta. Mau tak mau kami tunduk pada arogansinya dan menyusun startegi sendiri untuk berdamai dengannya.
Pendarahanku dari hidung yang masih mengalir lancar berbanding terbalik dengan kendaraan yang merayap tersendat-sendat di jalan raya. Teliang ku masih menangkap bunyi klakson yang sahut menyahut dan seruan-seruan khas kernet-kernet kendaraan umum.
“ Jam pulang kantor Mas,,makanya begini,” Kata Pak Ade. Ada keresahan di dalam suaranya.
Bi’ah sendiri terus berbalas SMS dengan Mas Wira, meski masih harus tinggal di kantor, Mas Wira terus memonitor keadaanku melalui telepon dan SMS.
Krriiinnggggggg.......
Dan Bi’ah mengangkat teleponnya,, “ Halo...Iya,, Pak. Sekarang kelihatannya pucat sekali. Iya, Pak, sebentar.” Bi’ah meletakkan telepon didekat telingaku.
“ Halo, Dika,,” sapa Mas Wira segera.
“ Mas darahnya masih keluar terus!!” aku segera mengadu.
“ Begini saja. Kamu transit dulu di rumah sakit terdekat. Cek . Siapa tahu ada yang harus ditangani secara darurat. Tadi aku sudah bilang sama Bi’ah. Kalian sudah dekat Cilandak, kan?? Tadi aku sudah cek, di sekitar situ ada Help Unit Medical Center. Kamu berhenti di situ saja. Alamatnya sudah aku SMS ke Bi/ah,,” Instruksinya.
“ Iya, Mas,,” sahutku
Sementara itu tampak Bi’ah sedang mengomunikasikan instruksi Mas Wira kepada Pak Ade.
“ Oke” Aku mendengar suara Pak Ade.
Aku merasa mobilku berbalik arah. Aku sendiri pasrah membiarkan orang-orang kepercayaanku menentukan ke mana sebaiknya aku dibawa.
**************************************************************************************************************************
“ SILAKAN melanjutkan perjalanan. Namun, begitu sampai di Rumah Sakit Pondok Indah langsung masuk UGD, ya,,” pesan dokter yang memeriksaku.
Trombositku yang terus merosot bisa menyebabkan terjadinya perdarahan spontan, di mana pembuluh darah bisa pecah secara tiba-tiba. Kami semua menyadari gentingnya keadaanku saat itu. Maka, tanpa banyak membuang waktu. Bi’ah memapahku ke kursi roda dan mendorongku cepat-cepat menuju mobil. Sebisa-bisanya Pak Ade mengendarai mobil dengan cepat. Kadang-kadang mobil terasa bergerak zig-zag. Kadang-kadang aku merasa terguncang-guncang. Saban kali terjadi guncangan yang agak hebat. Pak Ade mengecek keadaanku.
“ Mas nggak apa-apa??”
“ Tidak apa-apa, terus saja,,” Selalu Bi’ah yang menjawabkanuntukku. Meski sebenarnya darahku terasa mengalir lebih deras setiap kali ada guncangan.
Pak Ade pun melanjutkan perjalanan. Entah melalui jalan yang mana dan menghadap lalu lintas yang seperti apa. Aku yang sudah berbaring nyaris kehabisan darah tak sanggup lagi mengenali situasi terlalu rinci.
Slang tranfusi terpasang di lenganku. Setelah mendapat pertolongan pertama, aku merasa sedikit lebih baik. Bi’ah dan Pak Ade masih siaga menungguiku, sementara itu Mas Wira berjanji akan segera menyusul ke Rumah Sakit setelah pekerjaannya selesai.
Menjelang malam Mas Wira datang.
“ Kamu sudah tidak apa-apa??” tanyanya segera.
Aku mengangguk.
“ Aku tadi sempat SMS-an dan telepon sama Ibu dan Bapak,,” Mas Wira mengabarkan.
“ Katanya apa?? “ tanyaku.
Mas Wira tidak menjawab.
“ Ibu dan Bapak mau kesini Mas?? “ tanyaku lagi.
“ Iya,,” sahut Mas Wira
Aku tersenyum. Sampai usia berapa pun, seorang anak tetaplah anak. Ada perasaan aman dan tenteram jika orangtua dekat, terutama saat-saat berat.
“ Mungkin Bapak dan Ibu akan datang besok. Jadi malam ini kamu istirahat dulu saja,,” Saran Mas Wira.
Aku mengangguk. Kucoba memenjamkan mata dan menebus kelelahan hari ini dengan istirahat yang berkualitas.
Pengobatan Lupus tergantung dari berat ringannya dan alat tubuh yang terkena Lupus, untuk itu diperlukan penilaian medis secara berkala. Jika terdapat gejala ringandapat diberikan obat antiinflamasi non steroid (OAINS) seperti hydroxychloroquine. Jika terdapat gejala yang berat dan sampai mengancam jiwa seperti diriku baru diberikan kortikosteroid seperti prednison, metilprednisolon dan obat immunosupersif seperti azathioprine, cyclophosphaminede, mycophenaolate mofetil dan cyclosporine. Obat-obat itu memang sangat berguna untuk mengobati Lupus, tetapi mempunyai beberapa efek samping. Efek samping yang ditimbulkan beragam dari ringan sampai berat dan terkadang baru dirasakan setelah jangka waktu lama.
Ibu dan Bapak datang keesokan harinya, langsung dari Bandung.
“ Ya Allah Dika, kamu pucat sekali,,” cetus Ibu spontan. Ia langsung menyentuh kakiku. Aku merasakan tangannya yang hangat di kakiku yang dingin, “ Dika...kamu kok sampai kelihatan seperti...seperti...mayat begini, sih??” sambung Ibu. Kekhawatiran dan keterkejutan terasa jelas di nada suaranya.
Bapak lebih banyak diam. Ia hanya berdiri disisiku sambil mengusap-usap keningku.
“ Kemarin kami mengobrol cukup banyak sama Mas Wira,,” kata Ibu lagi.
“Bahas apa Bu??” tanyaku.
Ibu terdiam. Sama seperti Mas Wira ketika aku bertanya sehari sebelumnya.
“ Bahas apa Bu??” ulangku.
“ Seandainya karena keadaanmu sekarang kita harus mengambil tindakan yang cukup berat, kamu harus siap ya Dika,,” Kata Ibu akhirnya.
Tindakan yang cukup berat?? Maksud Ibu apa??
“ Tapi belum tentu, kita lihat saja perkembangannya,,” Sambung Ayahku menenangkan.
Jantungku terasa sakit karena berdetak kencang. Menduga-duga ke mana kira-kira arah pembicaran Ibu dan Bapak. Apa kira-kira yang mereka bicarakan dengan Mas Wira??
Setelah keadaan genting berlalu, kami kembali berkonsultasi dengan dokter. Ruang praktik terasa mencengkam. Kesunyian seperti mulut singa yang terbeka lebar di hadapan Mas Wira dan aku. Kami ada di sebuah ambang yang menegangkan dan menentukan.
“ Ini sudah sering terjadi ya?? Pendarahan yang keluar dari hidung??” Dokter membuka percakapan.
“ Iya dokter,,” sahut Mas Wira dan aku hampir bersamaan.
“ Sudah berapa lama pendarahan yang berulang-ulang ini berlangsung?? Tanya dokter lagi.
“ Sudah sekitar tiga tahun ini dokter,,” sahutku.
Dokter terdiam sejenak.
“ Begini,,” katanya akhirnya. “ Ada kerusakan jantung berupa cairan pada selaput jantung Anda dan vegetasi pada katup jantung serta adanya perkapuran pada pembuluh darah. Hal ini tidak bisa dibiarkan. Jadi saya rasa Anda harus melakukan operasi untuk mengeluarkan cairan pada selaput jantung Anda.
Aku langsung lemas mendengarnya.
“ Tapi.....” sambung dokter itu cepat, “ Mas Dika dan Mas Wira tidak harus mengambil keputusan sekarang juga. Silakan pulang dulu, pikirkan baik-baik tindakan yang ingin kalian ambil,,” Kata dokter itu.
Aku mencoba tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Namun, kata-kataku tertahan di tenggorokan.
“ Terimakasih, dokter,,” kata Mas Wira akhirnya, mewakili kami. Ia lalu menggamit lenganku, mengajakku keluar dari ruang praktik.
Di pintu ruang praktik, aku berpegangan erat-erat pada lengan Mas Wira. Sekecil apapun kemungkinannya, kami tak berhenti mengharapkan kesembuhan. Walaupun aku merasa tak sanggup. Sehebat apapun pendarahan yang kualami, aku tak pernah menyangka akan disodori pilihan yang demikian ekstrim. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Mas Wira, menitipkan seluruh keresahanku disana.
“ Sebetulnya masalah ini yang sempat aku bahas dengan Ibu dan Bapak. Sudah lama kemungkinan operasi mengeluarkan cairan di selaput jantungmu diajukan pihak dokter dan rumah sakit. Namun, selalu kita sangkal. Kita selalu berusaha mencari jalan keluar lain. Setelah kamu mengalami pendarahan hebat kemarin, mau tidak mau kita harus memikirkan kemungkinan ini,,” Papar Mas Wira.
Aku merasa kecut.
“ Hari ini Bapak, Ibu dan Adik-adik kamu datang ke rumah. Sekali lagi kita bicarakan kemungkinan ini ya Dika, kali ini dengan Kamu,,” Kata Mas Wira lagi.
Aku mengangguk. Bukan karena ingin, tapi karena tak merasa punya pilihan lain. Ingatanku mundur pada peristiwa beberapa tahun sebelumnya, ketika pertama kalinya kemungkinan efek samping Lupus berdampak pada Jantungku atau organ tubuh yang lain,,,
“ Kamu SLE dan pendarahan terus?? Wah, itu sih harus diperiksa jantung atau paru-paru,,” kata seorang dokter di sebuah rumah sakit pada suatu hari.
Bulu kudukku berdiri. Dengan segera aku menepis kata-katanya berlalu.
Saat itu tahun 2001, dua tahu setelah aku divonis menyandang Lupus. Meski terus menerus mengalami pendarahan, tak pernah sedikit pun terbesit untuk melakukan operasi di organ Jantung. Mas Wira dan aku masih mengharapkan bahwa aku baik-baik saja.
Kata-kata dokter juga mendengung di kepalaku, mengganggu seperti suara lalat terbang-terbang didekat telinga. Sebisa mungkin aku mengusirnya, “ Dia bukan dokter lupusku, ia hanya tahu sedikit mengenai riwayat lupusku, jadi, aku tak perlu menganggap serius kata-katanya,,” Kataku dalam hati.
Selama tiga tahun berulang kali aku mengalami pendarahan hebat yang tak kunjung henti. Berulang kali pula aku melakukan tindakan untuk menghentikan pendarahanku. Namun harapanku untuk sembuh tak pernah ikut meleleh dibakar apa pun. Tak kusangka pada akhirnya kata-kata itu harus kupertimbangkan juga. Bahkan mungkin akan menjadi satu-satunya pilihan untuk terus bertahan hidup. Kata-katanya kembali berdengung dikepalaku. Kali itu kata-kata itu seakan terkurung dan tak akan pernah bisa ditepis dan dibebaskan lagi..............
Ibu, Bapak dan adik-adikku yang berprofesi sebagai dokter berkumpul dirumah. Secara serius kami membahas keputusan operasi diorgan jantungku tersebut. Karena kondisi fisikku tidak bisa menunggu lagi. Malam itu kami berusaha berbicara dengan segala pertimbangan yang paling rasional. Keputusannya “Ya” atau “Tidak” sesungguhnya hanya sekedar formalitas. Jika ingin menyelamatkan hidupku, kemungkinan jawabanya hanyalah “Ya”.
“ Jadi siap untuk operasi secepatnya ya Mas,,” kata adikku tenang tetapi serius dan sungguh-sungguh.
Aku mengangguk, meski hatiku ciut, aku berusaha untuk menjaga agar kepalaku tetap dingin dan dapat berpikir secara rasional.
Malam sudah larut, seperti harapanku untuk sembuh. Walau keputusannya sudah pasti, pembicaran malam ini berlangsung cukup lama karena kami mencoba memikirkan segala kemungkinan serinci dan seobyektif mungkin. Jam dinding berbunyi, mengingatkan kami semua bahwa sudah hampir tengah malam.
“ Istirahat Dika, besok kamu harus ke dokter lagi,,” Kata Ibu.
Aku mengangguk. Aku bangkit dari tempat dudukku dan pergi ke kamar.
Didalam kamar aku berbaring tapi tak segera lelap. Tak tertahan air mataku berlinang. Setengah mati aku menahan emosiku dalam pertemuanku keluarga, namun pada akhirnya kesedihan itu tak bisa dibendung lagi..............
**************************************************************************************************************************
Kemarin Dokter Lupusku, dokter Heru memperkenalkan rekannya yang akan mengoperasi aku, namanya dokter Anwar. Namun saat hari ini aku menunggu dokter Anwar betapa terkejutnya aku ketika.............
“ Selamat siang, Bapak Dika, ya??” sapa seorang dokter laki-laki di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
“ Iya betul....” sahutku.
“ Saya dokter Panji Suwandi, nanti saya yang akan mengoperasi Mas Dika,,” ujarnya.
“ Lho,,,,kok,,,saya....dokter Anwar di....di....mana??” tanyaku terbata. Tidak ada yang pernah memberi tahu kepadaku bahwa operasiku akan dilakukan oleh dokter lain. Dokter asing yang baru kukenal menjelang operasi. Perasaanku tidak menentu. Ada perasaan bingung dan sedikit tidak aman.
“ dokter Anwar berhalangan Mas Dika. Kita langsung saja. Sebelum operasi ada beberapa hal yang mau saya tanyakan,,” ujarnya.
Masih dalam keadaan bingung dan terkejut, aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sang dokter. Ia sendiri terlihat terburu-buru, seakan ingin segera menyelesaikan rangakaian operasiku. Aku merasa tidak semakin nyaman. Butuh waktu dan keberanian untuk meyakinkan diriku menjalani operasi ini. Maka, peristiwa bergantinya dokter secara tiba-tiba tersebut cukup mampu menggoyahkanku. Setelah selesai menjawab beberapa pertanyaan, aku bersiap masuk ruang operasi. Mas Wira masih menungguiku. Ia tampaknya dapat membaca keterkejutanku dan kegundaha di wajahku.
“ Dia pasti akan sebaik dokter Anwar, Dika tenang saja. Kan dokter Anwar sendiri yang menunjuk dia,,” Mas Wira mencoba menenangkan aku.
Aku pun mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku akan menjalani sesuatu yang besar. Hariku harus tenang. Aku harus memercayai siapa pun yang akan menanganiku. Di dalam ruang operasi aku tak putus berdoa. Hingga akhirnya bius melelapkan kesadaranku dan menenggelamkanku dalam pengaruhnya.
**************************************************************************************************************************
Aku membuka mata, operasiku baru saja rampung. Ketika aku tersadar, hal pertama yang langsung terasa adalah nyeri jahitan bekas operasi. Pasti pengaruh pain killer-ku sudah habis. Mas Wira menunggu di sisi tempat tidurku. Begitu melihatku bergerak sedikit, dengan sigap ia mencondongkan tubuhnya untuk menangkap apa yang kira-kira aku butuhkan. Daerah sekirar dadaku nyeri sekali hingga aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya sanggup meneruskan rasa nyeri itu dengan gerakan bibir yang mungkin sebetulnya tidak terlalu jelas juga. “ Sakit............. “
“ Sakit, ya?? “ Mas Wira ternyata segera mengerti. Ia terlihat mencari-cari sesuatu, lalu kemudian tiba-tiba menghilang dari sisi tempat tidurku. Tak lama Mas Wira kembali bersama seorang perawat yang segera memberiku pain killer. Nyeri yang menggigitku perlahan mereda.
“ Tadi perawatnya sedang menonton televisi Dika,,” Mas Wira melaporkan.
Tak terbayang bagaimana nasibku jika Mas Wira tidak ada disisiku ketika itu. Aku bersyukur ia menjadi orang pertama yang selalu kulihat setelah operasi. Aku bersyukur ia adalah orang yang selalu ada disisiku.
Dari ruang pemulihan pasca-operasi, aku dibawa ke ruang perawatan. Perasaanku gamang. Setelah operasi selaput jantungku ada rasa yang aneh, Namun, di sisi lain, ada kelegaan karena telah menjalani sebuah fase yang memang harus kujalani. Mas Wira tiba-tiba masuk, langkahnya terlihat ringan, Ia membawa sebuah wadah.
“ Selamat ya, kamu telah berhasil melahirkan si cairan,,” katanya jenaka.
“ Hah?? Cairan?? “ aku tidak langsung menangkap maksudnya.
“ Iya, Nih, mau lihat nggak?? “ ia mendekatkan wadah yang ternyata berisi cairan ke dekat wajahku.
“ Ya Ampun, Mas, bahasa mu itu lho nggak banget,,”
Mas Wira tertawa berderai. Tawanya menular kepadaku hingga aku jadi tersenyum juga. Efek pain killer menelan rasa sakit sehingga aku pun masih bisa lepas tertawa tanpa halangan apa pun. Pasangan hidupku memang penuh kejutan. Baru saja ia menyelematkan hidupku secara serius selepas operasi. Tak lama setelah itu, tiba-tiba ia membawa candaan tidak lucu yang entah bagaimana dapat membuatku tertawa begitu lepas. Bersama Mas Wira aku melewati suka dan duka, kecemasan dan ketenangan, tangis dan tawa, serta berbagai rasa dan pemikiran. Bersamanya, aku selalu merasa lengkap dan utuh.
Efek pain killer surut. Nyeri yang ditimbulkan luka bekas operasiku mendera lagi. Sakitnya luar biasa. Jarang sekali aku menangis karena kesakitan, kecuali saat itu.
“ Kenapa?? “ tanya Bi’ah yang melihatku meneteskan air mata.
“ Sakit sekali....” sahutku
“Udah,,udah,,tidak usah nangis Mas Dika,,” Kata Bi’ah seraya mengambilkan pain killer dan memberikannya kepadaku.
Bi’ah...Bi’ah. Aku mencoba tersenyum. Home care nurse-ku yang satu ini tahu betul cara merawat, meski kadang terlihat tidak empatik dan tanpa ekspresi. Bagaimanapun, aku bersyukur karena Tuhan mengirimkannya kepadaku. Belum tentu home care nurse lain sanggup menghadapi apa yang dihadapi Bi’ah. Aku ingat ada seorang pembatu rumah tangga kami pamit pulang karena ngeri melihat kondisiku. Alasannya menggelikan sekaligus mengharukan takut melihat Mas Dika meninggal. Namun Bi’ah mampu melewati saat-saat yang paling berat bersamaku. Dialah yang menghadapi masa-masa perdarahanku yang paling gawat. Pernah juga aku terserang infeksi virus herpes zoster. Aku ingat ketika itu dokter yang memeriksaku pun tak dapat menyembunyikan kebergidikannya ketika melihat kulitku yang hitam terbakar secara meluas di area perut dan punggungku, sementara Bi’ah tidak, dialah yang mengurusku. Membantuku memakai obat, membantuku membersihkan diri. Sedikitpun herpesku tak membuatnya merasa gentar.
Setelah menenggakpain killer-ku aku menyentuh bahu Bi’ah.
“ Terima kasih,,” ujarku.
“ Sama-sama, kalau Mas Dika sakit lagi nanti bilang. Tapi tidak usah pakai nangis,,” ujarnya.
Aku mengangguk.
Bi’ah mungkin tidak tahu. Kali itu aku hanya berterima kasih karena pain killer yang baru saja dia berikan. Namun, karena kesetiaannya ada disisiku senantiasa.
Seneng dech tulisan Mas @Rendesyah makin rapi.
Dibuat lebih dramatis dikit lg dong mas... Gak hrs sih, kan cm request dr pecinta drama. Hehe
Dukungan moril dr orang2 terdekat memang sangat penting ya bagi pasien supaya tetap semangat n optimis.