It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kok ngak dilanjut sih..
Mas, saya gak bisa komen panjang lebar, minta di mention ajja..
terima kasih
Pasti bakal nggak tega baca endingnya....
@redensyah lanjutkan pak... Lanjutkan.....
Wilu jeung enjing wae.....
Lope te'es
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@Monic
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
“ Harapan Dapat Tumbuh Dimana Saja, Di Tempat-Tempat Yang Mungkin Tak Pernah Kita Duga “
Aku adalah penyandang Lupus (Odapus) sebuah penyakit autoimun yang langka, apalagi ini diderita oleh laki-laki seperti aku. Perbandingan Odapus laki-laki dengan Odapus Wanita adalah 1 berbanding 10, jadi 1 Odapus laki-laki sama dengan 10 Odapus Wanita. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh, penyakit Lupus adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Manusia memiliki sistem kekebalan tubuh yang berfungsi untuk menyerang benda asing, virus, bakteri atau kuman yang dapat menyebabkan penyakit. Tetapi pada penyandang Lupus, sistem kekebalan yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung tubuh mengalami kelainan. Tubuh tidak dapat membedakan antara benda asing yang harus dimusnahkan dengan jaringan tubuh sendiri yang bermanfaat untuk kelangsungan hidup. Akibatnya yang diserang adalah jaringan tubuh sendiri dan menyebabkan kerusakan pada organ tubuh. Lupus bukanlah penyakit menular, faktor keturunan bbukan sebagai penyebab langsung penyakit ini. Walau mungkin dari orang tua diperoleh gen yang abnormal yang berpotensi untuk penyakit ini, tetapi ada faktor lain sehingga penyakit ini dapat terjadi. Dugaan para ahli tentang penyebab penyakit ini adalah karena faktor hormon, tetapi belum diketahui horman mana penyebabnya.
Saat di Singapura, dokter Huang berkata bahwa hasil penelitian terbaru tentang penyebab Lupus pada laki-laki adalah adanya kelainan genetik pada kromosom seks. Pada umumnya manusia memiliki 2 kromosom seks, kecuali pada kasus-kasus tertentu seseorang memiliki 3 kromosom. Laki-laki memiliki kromosom X dan Y, sementara wanita memiliki 2 kromosom X. Variasi genetik pada kromosom X dapat meningkatkan risiko terkena lupus. Meski kromosom X merupakan kromosom wanita, namun variasi tersebut lebih berpengaruh pada laki-laki yang hanya mempunyai kromosom X. Lupus bukanlah penyakit menular, bukan kanker dan tidak terkait dengan AIDS. Sama seperti diabetes, Lupus tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan sampai senormal mungkin.
Boleh jadi kemungkinan kelebihan asupan kortekosteroid yang terkandung dalam obat lupuskulah yang menyebabkan aku juga terkena abses otak. Abses otak inilah yang hampir-hampir merenggut nyawa dan sembilan puluh lima persen penglihatanku. Akhirnya, selain menyandang lupus, aku pun menjadi penyandang low vision. Setelah operasi pertama, aku lalu berhenti bekerja dan tinggal bersama ayah-ibuku di Bandung. Mas Wira yang bekerja di Jakarta datang setiap akhir pekan. Aku pun tetap mencoba memeriksakan penglihatanku dari satu dokter mata ke dokter mata lainnya, berharap fungsi penglihatanku masih dapat diperbaiki. Namun semua dokter berpendapat kurang lebih sama, “ syaraf mata Anda sudah pucat, tidak ada harapan,,”.
Ketika harapanku hampir padam, salah seorang temanku memantiknya lagi.
“ Kamu sehat, Dika?? “ tanya Koko, temanku itu, pada suatu hari.
“ Alhamdulillah,,” sahutku
“ Mata kamu bagaimana?? “
“ Mataku...ya...begini saja.....”
“ Kalau begitu aku mau kasih informasi nih,,” Koko menepuk bahuku.
“ Wah infromasi. Infromasi apa ya??..”
Rupanya Koko merekomendasikan seorang dokter mata yang menurutnya cukup baik.
“ Namanya Dokter Pramuditho Hermawan,,orangnya telaten sekali,, Yah...siapa tahu Dika, dicoba saja,,” kata Koko
Siapa tahu. Dicoba saja. Dua pernyataan yang tidak menjanjikan apa-apa, tapi punya ruang cukup lapang untuk harapan. Aku pun memutuskan untuk mencoba menemui dokter Pramuditho Hermawan ini. Apa pun hasilnya nanti, toh aku sudah menerapkan “ siapa tahu “ dan “ dicoba saja “ itu.
Ruang praktek dokter Pramuditho adalah diantara ruang praktek lain yang berjejer di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo. Tidak banyak yang menunggu giliran ia periksa, tapi meski tak melihat, aku tahu di antara anak-anak yang berceloteh, berlari-lari, atau tiba-tiba tertawa lepas, aku adalah sebuah keganjilan. Ternyata dokter Pramuditho adalah spesialis mata khusus anak, jadi aku adalah orang dewasa yang menunggu diperiksa. Duduk diam. Ditemani seorang perawat.
“Pradika Batara Adibrata,,” panggil perawat dari ruang praktek dokter Pramuditho. Entah apa yang ada di pikiran pasien-pasien lain ketika melihatku memasuki ruang praktek. “ Sudahlah, Dika,, ‘ siapa tahu ‘,, ‘ di coba saja ‘ kataku kepada diri sendiri. Ruang praktek dokter ini menyambutku dengan kesan yang jauh berbeda dengan ruang-ruang praktek sebelumnya. Ia seperti segera memelukku dengan hangat dan bersahabat. Suara dokter ini yang sejuk dan riang pun langsung menyapaku menyenangkan,, “ Halo...Dika ya?? Coba, coba kesini,,kita lihat..........”
Kehangatan dokter Pramuditho memberi nyawa kepada segala hal yang tinggal di ruang prakteknya, bertiup dan berputar seperti siklus udara. Aku percaya aura yang kuat memberi pengaruh di ruang praktek ini, semua yang kusentuh dan menyentuhku terasa nyaman. Aku duduk menghadap dokter Pramuditho, siluet gesturnya tenang dan santai. Kendati begitu, jelas terasa bahwa ia menanggapiku dengan penuh perhatian dan tidak setengah-setengah.
“ Jadi Dika....” ia membuka penjelasannya. Entah mengapa tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya dan vonis yang membunuh harapan ternyata cukup mempengaruhi keyakinan diriku. Aku berangkat membawa harapan. Saat itu, aku sangat takut harapan itu ditumpas lagi.
“ Begini, iya, memang syaraf mata kamu sudah pucat....”
Nah, itu dia kata kuncinya!! Kalimat itu!! Seketika bendungan dalam diriku seperti dibobol. Tiba-tiba aku menangis......
“ Lho,,lho kenapa?? Kamu kan masih punya lima persen penglihatan,,” ujar dokter Pramudhito menenangkan. Suaranya lembut dan kebapakan.
“ Coba, Dika kita lihat, dengan lima persen ini kira-kira apa yang masih bisa kita lakukan. Pasti ada,, “ lanjutnya. Ucapannya mengalir hangat sampai hati. Perlahan-lahan harapan tahu ia punya kesempatan untuk tetap hidup. Anak-anak selalu membutuhkan rasa aman dan kepercayaan pada harapan. Sebagai dokter mata anak, dokter Pramuditho tahu betul bagaimana memenuhi kebutuhan itu. Pada dasarnya, selalu ada anak-anak dalam diri setiap orang. Juga diriku. Terutama pada saat itu. Dokter Pramuditho mengambil selembar koran dan menunjuk headline besar di halaman pertama koran tersebut.
“ Kamu bisa lihat ini huruf apa nggak?? “ tanyanya kepadaku.
Aku mengerutkan kening, berusaha mengenali siluet huruf di hadapanku.
“....K?? “ teriaku akhirnya.
“ Tuh, kan.... kamu masih bisa baca, kok. Cuma saja kamu harus melihat huruf yang lebih besar dan bentuknya seperti ini,” kata dokter Pramuditho seraya melipat koran yang ditunjukkannya kepadaku. Aku masih bisa mengenali setiap detail gerakannya. Tiba-tiba saja aku merasa kondisi penglihatanku tidak terlalu buruk.
“ Kamu Cuma perlu sedikit.... latihan. Nanti aku kasih PR, ya,,” Ujar dokter Pramuditho. PR?? Hmmmmm..... lucu sekali.
“ Terus kamu pakai kacamata tidak sebetulnya?? “ tanya dokter Pramuditho lagi.
“ Pakai sih, tapi kan............”
“ Ya sudah, kacamatanya dipakai dong,,” potong dokter Pramuditho sebelum aku selesai bicara.
“ Buat apa dokter?? Kan saya tidak bisa lihat apa-apa. Sama saja,,” ujarku.
“ Dika,,,” dokter Pramuditho mengusap-usap bahuku,, “ sedikit apa pun cahaya yang masuk ke matamu pasti punya pengaruh, jadi pakai deh kacamata kamu,,”
Aku tersenyum. Aku suka caranya menghargai harapan kecil dan memberinya kesempatan untuk bertumbuh. Aku jadi teringat bagaimana Mamahnya Mas Wira ketika memberikan kami harapan untuk bisa bersama dan mengaku ke-keluarga-ku,,Mamah pernah meneliti di tahun 1995 tentang Gay di Indonesia,, dari 100 responden saat itu hanya 18 laki-laki gay yang mengakui bahwa keluarganya tahu tentang orientasinya, dan dari 18 laki-laki gay itu hanya 5 laki-laki gay yang keluarganya bisa menerima keadaannya. Dari 5 laki-laki gay hanya 3 laki-laki gay yang mampu hidup bersama pasangannya lebih dari dua tahun, dan dari 3 laki-laki hanya 1 laki-laki gay yang mengaku hidup bersama dengan pasangan gay-nya lebih dari 5 tahun, lebih tepatnya mereka telah hidup bersama selama 14 tahun. Penelitian Mamah Mas Wira inilah yang memberikan ku sebuah harapan untuk berani jujur kepada keluargaku tentang orientasi dan hubunganku dengan Mas Wira. Tahun 1999 adalah tahun ke-3 Aku dan Mas Wira hidup bersama. Sama halnya dengan Mamahnya Mas Wira, dokter Pramuditho tahu bagaimana caranya menghargai harapan kecil dan memberinya kesempatan untuk bertumbuh.
“ Mulai sekarang, setiap berbicara dengan orang lain, buatlah seakan kamu bisa melihat mereka dengan jelas. Tatap mereka dengan sungguh-sungguh. Ikuti gerak mereka dengan bola mata kamu. Perlakukan mata kamu seakan-akan dia sehat-sehat saja,,” nasihat dokter Pramuditho optimis.
Selanjutnya, ia membekaliku dengan setumpuk PR, antara lain menitik-nitik gambar. Pada anak-anak ada kasus dikenal dengan sebutan lazy eyes, yaitu fungsi penglihatan anak-anak tidak bekerja dengan maksimal karena kurangnya rangsangan. “ Fungsi penglihatan kamu juga harus dirangsang, Dika “ pesan dokter Pramudhito
Harapan dapat tumbuh di mana saja, ditempat-tempat yang mungkin tak pernah kita duga. Untuk kasusku, harapan ini tidak tumbuh di dokter-dokter ahli mata atau pada obat-obat mahal. Ia tumbuh di sebuah rumah sakit oleh seorang dokter mata khusus anak-anak yang telaten. Belajar dengan melihat dengan mata yang selalu punya ruang pandang lebih luas : Mata hati.
*********************************************************************************************************************************
I’M A MORNING PERSON, bagiku pagi selalu ramah. Shubuh mengirimiku suara azan yang belum ditindas keriuhan kota. Matahari yang belum tinggi dan berbagi ruang dengan embusan angin, bersama-sama menyentuh halus pipiku. Embun belum pergi, ketika aku berjalan-jalan keluar rumah dengan kaki telanjang, mereka yang masih belum beranjak dari rumput menyapa telapakku. Sejuk dan basah. Rasanya nyaman sekali. Di rumah keluargaku di Bandung, ada sebuah taman mungil yang indah. Lucunya, baru setelah mengalami low vision inilah aku dapat sepenuhnya mengenali pesonanya, terutama pada pagi hari. Ada banyak hal kecil yang terabaikan ketika aku masih dapat melihat dengan jelas. Keterbatasan penglihatanlah yang justru menuntunku kepada rasa syukur atas hal-hal yang dulu tak pernah kuperhatikan ini.
Harmoni vocal Rida Sita Dewi mengalun melalui radio rumah. Langkahku berusaha menapak stabil seiring iramanya.
Di Kala Kusadari, Diri Ini Mencari
Satu Tambatan Hati, kala Lelah Menjadi
Dan Kini Kumengerti, Yang Ku Rasa Di Hati
Apa Yang Akan Terjadi, Bila Semua Hanya Mimpi
…….dan,,, HUP!! Aku tersandung meja. Dengan sigap Ibu menangkapku.
“ Aku lupa mejanya ada di sebelah situ, Bu,,” Ujarku.
“ Tidak apa-apa. Lama-lama kamu hafal sendiri, kok, yuk kita coba latihan lagi,,” Kata ibu seraya membantuku kembali berdiri tegak.
Di masa ini emosiku sempat naik turun. Aku yang terbiasa melakukan segala sesuatu sendiri dengan kedua mata sehat, tiba-tiba seperti dibawa kepada masa padam listrik yang tak berkesudahan. Namun, aku selalu ingat apa yang dikatakan ayahku,, “ Dika, ketika ada sesuatu yang hilang di tubuh kita, akan ada sel lain yang menggantikan fungsingnya. Kamu akan melihat dengan kulit, dengan pendengaran dan dengan penciuman........”
Apa yang ayahku sampaikan benar adanya. Hidup ini menakjubkan. Meski Tuhan mengambil sembilan puluh lima persen penglihatanku, indraku yang lain justru membimbingku melihat melebihi mata. Our creator designed beyond our mind. Ia tidak mengambil tanpa menggantikan dengan yang lebih baik.
AKU membiasakan diri menjadi Pradika Batara Adibrata dengan penglihatan terbatas. Hal yang perlu kulakukan adalah mencari tempat yang tepat untuk belajar menjadi pribadi yang maksimal dan mandiri. Setelah mencari informasi ke sana-sini, aku memutuskan belajar cahaya netra, sebuah yayasan yang menfasilitasi para penyandang tuna netra
“ Aduh, mimpi apa ini?? Masa anakku mau belajar ke cahaya netra ?? “ Ibu ku terdengar terperanjat ketika aku mengajukan keinginanku.
“ Aku kan harus belajar bu...”
“ Tapi kenapa harus ke cahaya netra?? Kamu kan tidak buta nak....”
Sebetulnya ibu benar. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara low vision dan totally blind. Penyandang low vision masih dapat dilatih untuk memanfaatkan sisa penglihatannya, sementara totally blind tidak. Namun low vision adalah ‘ barang baru ‘ yang belum umum dikenal, aku tak punya banyak pilihan. Saat itu aku tak menemukan wadah khusus untuk orang-orang seperti aku.
“ Jadi Bu, memangnya aku harus belajar ke mana lagi?? “
AKHIRNYA, pada suatu akhir pekan, jadi juga aku berangkat ke cahaya netra. Mas Wira lah yang mengantarkanku, sepertinya Ibu belum sepenuhnya setuju. Meski begitu, kasih sayang membuatnya tak bisa melepaskan dukungannya. Pagi itu, meski tanpa banyak bicara, Ibu memilihkan pakaian untukku. Ia sendiri jugalah yang menyeterikakannya hingga licin, hangat dan wangi.
“ Semoga dapat sesuatu,,” pesan ibu ketika mengantarkanku sampai ke depan rumah.
Aku menggenggam tangan ibu, meyakinkannya bahwa aku tahu persis apa yang kulakukan.
“ Hati-hati Wira, dijaga Dikanya ya,,” Kata Ibu lagi. Kali ini kepada Mas Wira.
“ Iya Bu, saya dan Dika pamit dulu,,” sahut Mas Wira.
Cahaya Netra adalah bangunan dengan aura klasik, sederhana tetapi kokoh. Pelataran parkirnya luas. Suara daun-daun pohon yang bergerisik menunjukkan kencangnya angin yang bertiup disana. Mas Wira menggamit lenganku, menuntunku berjalan ke sebuah bangsal yang teduh. Suara langkah kaki dalam berbagai ritme, nyanyian, orang-orang yang sedang membaca dan berbicara saling bertabrakan dipantulkan gama. Suara-suara itu teredam ketika kami memasuki sebuah ruangan. “ Ini kantornya,,” bisik Mas Wira kepadaku. Kami pun dipersikan duduk.
“ Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?? “ tanya seseorang petugas dengan suara lembut bersahabat.
“ Saya mau belajar, Bu. Saya ini law vision dan saya butuh bimbingan agar dapat bergerak dengan keterbatasan penglihatan.......”
“ Wah, maaf sekali, disini kami hanya menerima penyandang tuna netra. Belum ada layanan bagi penderita low vision,,” sahut petugas tersebut.
“ Atau barang kali Anda tahu dimana kami bisa belajar?? “,, tanya Mas Wira.
“ Mohon maaf, Pak........” tandas petugas itu cepat. Kami tahu itu berarti tak ada informasi lain yang dapat ia berikan kepada kami.
Aku menghembuskan nafas kecewa. Harapan besar dan semangat yang kubawa dari rumah seperti ambruk di pintu depan cahaya netra. Padahal aku siap belajar dalam kondisi apa pun dan aku siap menampung informasi apa pun yang mungkin kugunakan. Namun, jalan seperti langsung di blokir sebelum aku sempat mencoba menapakinya.
“ Baik kalau begitu terima kasih, ya “, ucap Mas Wira.
Petugas itu menjabat tangan Mas Wira dan aku. Ia mengantar kami sampai ke pintu. Untuk keluar, bukan untuk memasuki wilayah belajarnya.
AKU menggenggam gagang telepon dengan jantung berdebar, menanti seseorang di seberang menjawab panggilanku. Low Vision Developing Foundation. Namanya cukup spesifik, Yayasan ini sudah pasti memfasilitasi para penyandang low vision seperti aku. Aku tak putus berharap. Pasti ada sebuah tempat yang siap memberiku bekal untuk lebih mandiri.
Tuuuuuuutttt........
Belum terangkat
Tuuuuuttttt............
“ Halo Low Vision Developing Foundation,,” sambut suara di seberang.
“ Halo,,” sahutku. Aku sedikit kesulitan mengatur nafasku sendiri. Ada semacam semangat yang menggempur jantungku.
“Low Vision Developing Foundation..” ulang suara di seberang.
“ Ya,, halo,, nama saya Pradika Batara Adibrata, saya penyandang low vision, saya....saya mau belajar mengoptimalkan kemampuan saya di LVDE, Apakah bisa?? “
“ Boleh saya tahu umur Anda?? “ Sang pengangkat telepon balik bertanya.
“ Umur?? Kenapa umur?? “
“ Kebetulan LVDF hanya menerima murid anak-anak,,’ ujar sang pengangkat telepon.
“ Oh Cuma anak-anak, ya,,” ulangku setengah suara. Lagi-lagi aku merasa kecewa.
“ Kira-kira mbak tahu tidak , dimana penyandang low vision yang sudah dewasa bisa belajar?? “ tanyaku, mencoba-coba mencari informasi.
“ Maaf kami kurang tahu,,” sahutnya
Kami lalu sama-sama menutup telepon. Lagi-lagi hasilnya nihil.
************************************************************************************************************************************
NAMUN, percayalah pada hal ini : harapan yang terus dikayuh jarang membuatmu kecewa, Kadang ia hadir seperti hadiah pada saat yang tak kita duga, dari orang yang tak kita sangka. Untuk kasus ku, harapan ini datang melalui dokter Heru, dokter yang menangani lupusku setelah aku tak lagi dirawat oleh dokter Rheina.
“ Dika, kamu tahu Yayasan Sahabat Mata?? “ tanyanya pada suatu hari ketika aku konsul rutin ke tempat praktiknya. Tiba-tiba saja, tanpa pembicaran seputar low vision sebelumnya.
“ Sahabat mata ya ?? Hmmmmm...” Aku mencoba mengingat-ingat.
“ Yayasan ini membantu orang-orang dengan gangguan penglihatan..” ujar dokter Heru sebelum aku sempat menemukan jejak apa pun di memoriku mengenai yayasan itu.... “ Coba kamu tanya-tanya disana, siapa tahu kamu bisa belajar disana. Nanti saya kasih alamat dan kontaknya ya,,” lanjut dokter Heru.
Singkat cerita pergilah aku ke yayasan yang dikatakan dokter Heru. Tempatnya nyaman dan bersahabat sesuai namanya. Meski aku tidak dapat melihat dengan jelas, keasrian terasa di udara yang bertiup dan aroma tumbuh-tumbuhan yang kulintasi sepanjang wilayah Sahabat Mata. Sahabat Mata didirikan oleh beberapa penyandang tuna netra yang berhasil menyelesaikan studi mereka di perguruan tinggi . Tujuannya mulia. Untuk meningkatkan partisipasi dan kualitas tuna netra di bidang pendidikan dan tenaga kerja . Yayasan ini persisi seperti yang kubutuhkan. Tak ada persyaratan usia dan tak ada batasan bagi penyandang low vision.
“ Selamat siang,,” sambut seorang konselor seraya membimbingku memasuki sebuah ruangan. Suaranya lembut, juga tangannya. Dengan santun ia menunjukkan di mana aku dapat duduk, sebelum kemudian duduk di hadapanku.
“ Jadi apa yang bisa saya bantu mas?? “ tanyanya.
“ Saya penyandang low vision, kemampuan melihat saya masih lima persen. Namun dengan kemampuan melihat saya seperti ini, saya tidak cukup terlatih untuk bebas bergerak sendiri. Saya ingin belajar mandiri. Saya ingin bisa berjalan tanpa merepotkan orang lain, melakukan sebanyak mungkin hal yang bisa saya lakukan supaya hidup saya lebih produktif,,” ungkapku.
“ Wah, semangatnya bagus sekali mas,,” tanggap konselor itu....” Coba mas cerita dari awal mengenai riwayat low vision mas.......”
Maka aku pun bercerita. Konseler itu mendengarkan dengan sabar sambil sesekali menanyai beberapa hal. Aku menceritakan semua yang mungkin kuceritakan, dan sebisa mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan secara informatif. Setelah beberapa jam konseling, sang konseler belum memberi simpulan apa-apa. Namun, ia tidak mematahkan harapanku.
“ Kita konseling lagi nanti ya mas. Mas pasti bisa belajar di sini kok. Kami hanya butuh mengetahui apa kebutuhan Mas, dan apa yang bisa kami berikan. Jangan putus asa, peliharalah terus semangatnya,,” pesannya menghangatkan hati.
Aku mengucapkan terimakasih. Kata-katanya membuat keyakinanku untuk belajar di sana semakin mantap.
Setelah beberapa kali konseling, Sahabat Mata menemukan apa yang kubutuhkan. Aku perlu mempelajari orientasi mobilitas. Orientasi Mobilitas adalah kemampuan menggunakan indra-indra yang masih berfungsi untuk mengenali ruang dan melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Pihak Sahabat Mata lalu memperkenalkan aku kepada Ibu Ninik Sumarna. Seorang guru SLB Bagian A yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri untuk membina anak-anak tuna netra. “ Ninik Sumarna “. Suara Ibu itu lembut, sejuk dan sekaligus segar seperti udara pagi hari. Sentuhannya halus seperti rumput dan embun yang menyentuh telapakku. Kehadirannya seperti cahaya, meski mataku tak dapat melihat secara utuh, namun jejak berkasnya jelas terasa.
“ Pradika Batara Adibrata “,, Aku memperkenalkan diri.
“ Sini, Mas ganteng,,” Bu Ninik membimbingku ke sebuah ruangan, hati-hati dan sabar seperti fajar yang tak pernah terbit tergesa.
“ Hari-hari ini kita belajar memakai tongkat putih, ya,,” ujar Bu Ninik sambil membantuku duduk di sebuah kursi kayu.
“ Tongkat putih?? “ tanyaku.
Bu Ninik lalu meraih tanganku, menyentuhkannya pada sebuah logam yang dingin dan kurus seperti belulang. “ Ini namanya tongkat putih, Mas Pradika. Tongkat inilah yang nantinya akan menjadi teman Mas Pradika memonitor berbagai titik..” Jelas Ibu Ninik. Tiba-tiba perasaanku jadi sendu. Aku teringat pada orang-orang bita yang sering kulihat dan kukasihani di jalan. Sekarang akulah si buta itu.
“ Tongkat ini bisa dilipat empat supaya praktis di bawa-bawa,,” Jelas Ibu Ninik. Kali itu ia mengarahkan jari-jariku pada siku-siku tongkat putih yang dapat dilipat-lipat itu. Dibimbingnya tanganku melipat dan merentang tongkat tersebut.
“ Kalau sudah bisa pakai tongkat ini enak sekali, Mas Pradika. Mas bisa ke mana-mana sendiri, tidak harus tergantung dengan orang lain,,” Suara Bu Ninik yang menyejukkan kembali berembus di telingaku.
Aku seperti di dengarkan kembali pada tujuanku belajar di Sahabat Mata. Dengan hati-hati aku meraba tongkat putih di tanganku. Mencoba mengenalinya tanpa jarak karena kelak ia akan menjadi bagian dari keseharianku. Tongkat putih ku memijak lantai dengan pasti, tetapi hatiku masih mencari pijakan. Aku harus lebih ikhlas. Tongkat putih ini adalah jembantanku mempelajari orientasi mobilitas.
“ Awas, ada got di depan kamu,,” Mas Wira memperingatkan.
Aku mengayun tongkatku. Gamang tak memijak. Hati-hati aku mencari dataran yang lebih rata. Tongkat putih ini adalah semacam kaki yang mendahului langkahku. Dalam pelajaran orientasi mobilitas ini, aku belajar bahwa menggunakan tongkat putih ternyata tak sembarangan. Aku harus menggerakkannya membentuk busur, seratus delapan puluh derajat, agar dapat memonitor situasi didepanku. Bu Ninik banyak mengajarkanku membaca dengan kulit dan telinga. Banyak meraba dengan tangan maupun dengan tongkat. Memasang telinga tajam-tajam ketika berjalan. Bu Niniklah yang membuatku peka terhadap suara jalan raya. Di pinggir jalan, ia tak pernah jemu mengingatkan, “ Ayo dengarin tuh, nggak ada kan suara mobil?? “
Lama kelamaan, mendengarkan suara mobil di jalan menjadi sesuatu yang kulakukan secara otomatis. Dari deru yang samar pun aku sudah dapat memprediksi kan jarak mobil tersebut dari tempat berdiri. Mas Wira tetap sabar membantuku menangani low vision ini. Subuh adalah saat kami bersama untuk belajar. Sejak dulu, pergi shalat subuh berdua dengan Mas Wira adalah momen yang istimewa bagiku. Aku suka memulai hari dengan pergi ke masjid. Aku suka merasakan udara pagi yang mengantar kami menempuh perjalanan yang sebetulnya tak terlalu jauh ini. Kali itu sambil melatih kemampuan orientasi mobilitasku.
“ Gang sempit Dika,,” Mas Wira memperingatkanku. Aku tahu apa yang harus kulakukan, Bu Ninik sudah mengajariku. Aku lalu memegang bahu Mas Wira dan berjalan di belakangnya seperti anak-anak yang bermain ular naga. Pelajaran orientasi mobilitas lain yang kudapatkan adalah perkara tuntun-menuntun. Ketika berjalan, aku tak boleh pasrah mengikuti orang yang kugandeng. “ Itu supaya kamu yang terbawa step-nya, Mas Pradika,,” begitu kata Bu Ninik. Saat berjalan di gang sempit seperti yang aku lakukan saat itu, aku harus sepenuhnya percaya pada orang didepanku. Dan orang yang menuntunku pun tak boleh lupa bahwa ada seseorang yang meletakkan kepercayaan di bahunya. Ia harus berhati-hati. Perjalanan menuju masjid yang sesungguhnya tidak terlalu panjang menjadi sangat panjang. Mas Wira dan aku harus bangun lebih pagi. Kami harus punya stamina dan kesabaran yang juga lebih besar untuk menempuh perjalanan ini, terutama Mas Wira. Ia dapat berjalan dan melihat dengan mata sehat harus memperlambat langkahnya. Mengawasi pasangan hidupnya ini.
“ Jangan miring, nanti kamu tertabrak,,” kata Mas Wira lagi.
Aku tersenyum. Pasangan hidupku ini jarang bermanis-manis, tapi aku pernah meragukan kasih sayangnya. Perkara romantis, ia sangan irit. Ia menunjukkan kemesraan dan perhatian hanya di saat yang paling perlu. Namun ia ada disisiku setiap kali aku membutuhkannya. Aku tahu meski terlihat acuh, Mas Wira tak pernah membiarkanku terjatuh, metaforik maupun harfiah. Kami tiba di mulat gang. Mas Wira menghentikan langkahnya. Suara kendaraan terdengar lebih riuh. Angin yang tak lagi terjaga, dinding-dinding gang bertiup lebih kuat. Aku berpindah ke sisi Mas Wira. Menggamit tanganya. Sengaja semesra mungkin lalu berbisik. “ Mas, Mas aku sayang sekali sama Mas Wira,,,”
“ Ah,,apa,, sih kamu,, norak amat. Di jalanan benginilagi,,” sahut Mas Wira dingin.
Aku tersenyum geli. Hanya orang yang mengenalnya dengan sangat dekatlah yang dapat menemukan percikan haru yang menyelip diam-diam di sela nada suaranya yang terkesan dingin. Dan hanya orang yang betul-betul tahu caranya berjalanlah yang dapat merasakan betapa ia memperlambat langkahnya sepersekian detik lagi, mungkin ia ingin kami punya waktu lebih lama untuk bergandengan sampai ke masjid. Atau mungkin low vision ini jugalah yang membuatku lebih peka merasakan hal-hal di luar indar penglihatan seperti ini dan mensyukurinya. Entahlah, yang pasti, dengan sepasang mata sehat ataupun dalam keadaan low vision aku menikmati perjalanan pagi hari seperti ini.
Suara azan terdengar semakin dekat. Masjid sudah dekat. Dalam pelajaran orientasi mobilitas, aku belajar menyadari di mana aku berdiri, melihat apa yang dapat kuingat. Langkah selop terdengar ramai. Pagi itu di masjid, dengan penuh syukur aku berdoa pada Tuhan atas apa yang sudah Dia berikan. Atas perjalanan pendek yang telah kutempuh dengan selamat. Dan atas perjalanan panjang yang akan kutempuh nanti di bawah bimbingan-Nya.
*********************************************************************************************************************************
SEKIAN waktu berlatih orientasi mobilisasi membuatku merasa lebih dari hari ke hari. Pada suatu ketika, jalur penerbangan Jakarta-Bandung dibuka, kurasa itu kesempatan yang baik untuk menguji kemandirianku. Jarak kedua kota ini tak terlalu jauh. Aku bisa mencoba naik pesawat terbang sendirian.
Awalnya Ibu tidak setuju,, “ Sendirian Dika?? Yang betul saja,,” Kata Ibu.
“ Di jakarta nanti aku dijemput Mas Wira, Bu,,” Aku berusaha meyakinkan Ibuku.
“ Tapi di pesawat bagaimana?? Kalau ada apa-apa, kamu mau minta tolong sama siapa?? “..
“ Buuu..kan ada pramugari. Penumpang lain juga pasti siap membantu, kok. Aku kan tinggal duduk dan mengikuti tuntunan aturannya,,”
Ibu tidak menjawab.
“ Bu tahu Pak Budi kan?? He’s totally blind. Tapi dia bisa naik pesawat sendirian lho, pulang pergi lagi, kalau dia nggak apa-apa, apalagi aku yang hanya low vision ini,,”
Akhirnya Ibu mengizinkanku pergi sendirian, meski harus kuyakinkan berkali-kali. Ia pun menitipkan berbagai wejangan dan menelepon Mas Wira dari Bandung. Ibu mengantarkanku ke Bandara dan terus ada didekatku selama masih memungkinkan. Pesawat yang kutampangi seperti meraung ketika lepas landas. Mungkin ia sedikit gelisah. Memutuskan untuk terbang berarti harus berani melipat roda yang selama ini menjadi pijakannya. Pesawat harus menukik, memercayai sayap yang merentang disisi-sisinya dan bernegosiasi dengan angkasa. Ada bagian diriku yang mengerti betul rasanya menjadi pesawat itu. Ketika memutuskan untuk berangkat sendiri ke Jakarta, berarti aku harus berani “ melipat roda”, meninggalkan orang-orang yang selalu sedia menopang ku. Aku pun harus memercayai pesawat terbang yang membawaku dan bernegosiasi dengan segala sesuatu di sekitarnya.
“ Semuanya akan baik-baik saja. Pesawat terbang ini bisa mengatasinya, berarti aku juga. Lagi pula, ini hanya perjalanan Bandung-Jakarta, Dika,,” Aku berkata pada diri sendiri.
Deru mereda, pesawat udara mengudara lebih stabil. Aku merasa lebih jauh dari tanah, tapi justru pada saat itulah aku tak lagi terlalu gelisah. Aku tersenyum sendiri. Di dalam hati, aku berterimakasih pada Pak Budi.
“ Kita kan tidak bisa melihat, yang lainnya kita bisa,,” Ujar Pak Budi pada suatu waktu padaku. Selalu optimis.
Pak Budi adalah dokter di Sahabat Mata, ia juga ketua di Persatuan Tuna Netra Indonesia. Tak hanya itu, ia pun salah satu teknisi paling pintar yang pernah aku kenal. Tak sekedar bolak-balik naik pesawat terbang sendiri, ia pun mampu mengutak-atik gadget sendiri dengan terampil. Aku pertama kali mengenal Pak Budi ketika sedang mencari alat bantu untuk penyandang tuna netra dan low vision.
“ Di Sahabat Mata ini ada kok, yang bisa memasangkan program Jaws dan SMS Talk,,” Kata Bu Ninik pada suatu hari.
“ Oh ya?? “ sambungku bersemangat.
“ Namanya Pak Budi. Nanti deh Ibu kenalkan,,”
Jaws dan SMS Talk adalah dua alat bantu yang sangat penting bagi kami penyandang tuna netra dan low vision. Jaws yang merupakan kependekan Job Access with Speecb adalah piranti lunak pembaca layar. Ia mempunyai kemampuan melafalkan apa yang ditampilkan di layar, baik yang sedang diketik maupun yang sudah diketik. Sementara SMS Talk adalah piranti lunak aplikasi yang berfungsi membacakan SMS yang masuk. Sistem piranti lunak ini mengubah setiap teks ke dalam bentuk suara sehingga penyandang tuna netra dan low vision tak selalu harus bergantung pada reader. Kemudian pada suatu hari, Bu Ninik memperkenalkan aku kepada Pak Budi. Sesuai saran Bu Ninik, aku langsung membawa laptop dan ponselku untuk digarap oleh Pak Budi.
Aku menyerahkan ponsel dan laptopku. Sisa penglihatanku yang lima persen ini masih dapat melihat siluet Pak Budi. Sama sekali tak terbayang olehku, bagaimana Pak Budi yang totally blind dapat mengutak-atik ponsel dan laptopku dengan lancer. Aku mendengar suara “ctak ctuk “ dan “ tik tak tuk “yang gegas dan tanpa keraguan. Dari sana aku tahu Pak Budi mengerti betul apa yang dikerjakannya.
“ Ko Bapak bisa sih?? Tanyaku takjub.
“ Bisa apa?? “ Ia berbalik bertanya. Suara “ ctak ctuk “ itu masih tak terputus.
“ Bisa bongkar-bongkar gadget sendiri. Padahal kan Bapak……” Aku tidak meneruskan kalimatku, takut Pak Budi tersinggung.
“ Saya tidak bisa melihat?? Hahahahaahaha….. Kita kan cuma tidak bisa melihat, yang lain kita bisa,,” sahutnya. Ringan dan yakin. Itulah untuk pertama kalinya kalimat sakti itu terlontar. Dan aku mengingat – ingatnya sebagai motivasi hingga hari ini. Sambil bekerja, Pak Budi sambil bercerita.
“ Saya bisa begini berkat sahabat saya,,” ungkapnya. Selanjutnya Ia bercerita mengenai sahabatnya semasa kuliah. Seorang mahasiswa Institit Teknologi Bandung yang dengan setia menjadi reader untuknya.
“ Kuliahnya berat. Tapi dia selalu punya waktu untuk membacakan buku-buku teks saya. Selain tak semua buku diterjemahkan dalam braille, dulu belum ada program Jaws seperti ini Mas Dika, jadi orang-orang seperti kita sangat tergantung kepada reader,,” Papar Pak Budi.
Aku teringat bahwa pada suatu masa, mataku pernah awas dan sehat. Ketika itu aku bisa membaca apa saja. Menonton apa saja. Mengambil apa saja dengan cermat. But sometimes, you don,t know what you’ve got ‘til it’s gone. Baru setelah menyandang low vision aku sering merasa iri mendapati Mas Wira asyik membaca berjam-jam. Baru setelah menyandang low vision juga, ketika aku hanya mendengar dan bukan lagi menonton televisi, kusadari betapa menariknya menonton tayangan-tayangan seperti National Geographic. Seharusnya bunga-bunga, binatang, alam yang disorot secara detail itu adalah hadiah berharga bagi mata kita. Cantik, ajaib, dan akan mengantar kita pada ketakjuban dan rasa syukur yang tidak berbatas. Aku lalu ingat pada tabloid –tabloid kosong dan film yang kulalap dengan kedua mata sehatku dulu. Tahu-tahu aku merasa malu. Lamunanku ketika itu dibuyarkan oleh suara Pak Budi “ Ini, silakan sudah bisa digunakan. Mau dicoba dulu?? “
Setelah hari itu aku dan Pak Budi jadi cukup sering mengobrol, terutama jika aku datang untuk memperbaiki gadget-ku. Mendengar kisah inspiratif dan tularan optimisme yang mengalir dari seluruh dirinya selalu membuatku bersemangat juga. Suara “ ctak – ctuk “ dan “ tik tak tuk “ ketika Pak Budi bekerja seperti derap yang mengiringi ceritanya. Ada ketukan yang membangkitkan semangat. “ Buta mata bukan buta hati,,”, ungkapnya pada suatu ketika.
Pak Budi berbicara mengenai apa saja. Mulai dari kedua anak yang disayanginya, kecintaannya terhadap ilmu yang mendorongnya berkuliah hingga S3, sampai pengalamannya naik pesawat terbang sendirian.
“ Sendirian Pak?? Memangnya tidak takut kenapa-kenapa ya?? “ tanyaku pada suatu hari.
“ Ah tidak. Naik bus dalam kota justru yang lebih berbahaya. Di dalam pesawat terbang, semua fasilitas sudah tersedia. Aman. Pramugari pun pasti membantu,,” sahutnya.
“ Kalau Bapak bisa, pasti saya juga bisa ya?? “
“ Iya donk Mas Dika pasti bisa,,” Pak Budi meyakinkan. Aku merasa tertantang. Sejak hari itu, aku bertekad berangkat dengan pesawat terbang sendiri pada suatu waktu. Dan akhirnya aku melakukan.
“ Mbak, saya mau ke kamar kecil, bisa tolong bantu saya?? “ tanyaku kepada pramugari yang melintas disebelahku.
“ Oh,, mari Mas,,” tanggapnya ramah.
Dengan santun dan hati-hati, Pramugari itu membimbingku ke kamar kecil. Aku bersyukur karena manusia diciptakan tidak sendiri. Ketika ada yang membutuhkan pertolongan, selalu ada manusia lain yang dikirimkan untuk menolong. Dalam hati, aku semakin yakin bahwa perjalanan sejauh apapun dan ke mana pun tak seharusnya membuatku takut.
“ Silakan Mas, kuncinya disebelah sini ya,,” tunjuk pramugari itu setelah mengantarku sampai ke kamar kecil.
“ Oke, terimakasih ya,,”
Aku mengunci pintu. Buang air kecil. Dan ketika akan membukanya...lho..lho?? Apa yang terjadi ini?? Aku tak bisa membukanya. Panik. Aku meraba-raba punggung pintu. Mencoba mendorong dan menarik pintu serta pegangannya. “ Haduuuhh, gimana lagi nih?? “ gumamku dengan suara bergetar dan jantung berdegup kencang. Aku tahu pintu kamar kecil pesawat terbang ini harus kubuka sendiri. Kali ini pramugari tak ada disekitar pintu sehingga aku tak bisa memintanya untuk membukakan dari luar. Aku mengutak-atik pintu “ ctak-ctik “ dan “ tik-tik-tik” dan........ KLIK!!!!
“ Aaaaaakhirnyaaaaaa.........,” legaku dengan suara agak tertahan.
Lemas dan masih gematar aku berjalan perlahan-lahan menuju tempat dudukku. Begitu duduk tenang kembali, aku menghela napas, sebebas-bebasnya aku mengumpulkan kembali oksigen yang tadi hampir habis diserap kepanikanku dikamar kecil. Meski kita selalu dianugerahi orang-orang yang siap menolong di sekitar kita, ada kalanya kita harus menyelesaikan sesuatu sendiri. Aku menyandarkan kepalaku ke kursi penumpang. Tersenyum sekali lagi. Mengingat-ingat urutan-urutan persitiwa yang kutemui di separuh perjalanan dengan pesawat terbang ini, dan seluruh perjalananku sebagai penyandang low vision. Dalam hati aku bersyukur karena dianugerahi begitu banyak orang yang membukakan kedua mataku, baik mata jasmani maupun mata hati, juga dibimbing untuk mandiri dalam hal-hal yang harus kulakukan sendiri. Perjalananku masih panjang. Semoga episode selanjutnya, aku pun bisa menjadi mata bagi orang lain.
And if I’m really a morning person, dark of the night shall never kill me.
“ Keajaiban Hadir Dengan Cara-Cara Yang Sederhana, Pada Matahari Yang Terbit Setiap Hari, Pada Warna Sayap Kupu-Kupu dan Pada Kekuatan Cinta Orang-Orang Terkasih-mu “
PERNAH mendengar peribahasa “ asam di gunung, garam di laut bertemu di kuali “?? Kisah Mas Wira dan aku berkebalikan dari peribahasa ini......
“ Dika, kamu dari SMP 5, kan??” tanya Koko, salah satu sahabatku sesama pengurus OSIS di Garuda Perkasa.
“ Iya,,” sahutku
“ Bendahara Umum kita yang tahun lalu juga dari SMP 5, lho. Kamu kenal?? Tuh yang itu, namanya Rahagi Wirasena,,”
Ditengah acara serah terima jabatan pengurus OSIS, aku mengamati sosok Rahagi Wirasena yang ditunjuk Koko. Ia tampak pendiam dan serius. Aku mencoba mengingat-ingat wajah sekian banyak teman SMP-ku. Iya, sih sepertinya aku pernah melihatnya di sekolah. Namun aku lupa-lupa ingat.
“ Dia orangnya pintar, Dika. Atlet golf lagi,,” Koko memberi informasi tambahan.
Aku hanya mengangguk-angguk. Saat itu Koko adalah satu-satunya sahabatku yang tahu aku berbeda dengan laki-laki lain. Bukannya menjauhi karena aku berorientasi berbeda namun justru Dia lah yang sering mencarikan-ku pasangan,,Koko bukan lagi sekedar teman, dia adalah sahabat yang tahu bagaimana bersikap layaknya sahabat. Pada tahun 80 an akhir dan 90 an awal sangat jarang sekali orang yang dapat menerima aku sebagai laki-laki yang berbeda, namun tidak bagi Koko. Koko pertama kali tahu aku berbeda ketika ia bermain ke rumah ku dan melihat koleksi-koleksi poster aktor-aktor Indonesia di era 80an akhir yang kusimpan rapi di lemari pakaian ku seperti Tio Pakusadewo, Ryan Hidayat, Onky Alexander, Donny Damara, Ari Wibowo, Mathias Muchus yang berperan sebagai gay di film Istana Kecantikan dan lain-lain. Koko membuka lemariku karena kami kehujunan saat pulang dari sekolah, aku yang menyuruhnya membuka mengambil pakain di lemariku untuk dipakai dirinya. Selang satu minggu setelah kejadian itu Koko bertanya kepada ku tentang siapa aku,,dan akhirnya aku bercerita tentang diriku kepadanya. Aku memohon kepada Koko untuk tidak menceritakan kepada siapapun termasuk kepada keluargaku.
Saai itu tahun 1988 di sekolah ku sedang dilakukan serah terima jabatan kepengurusan OSIS. Selanjutnya, tim bendahara OSIS angkatan 1988 SMA 5 menerima jabatan dari Tim OSIS sebelumnya. Dan disitulah untuk pertama kalinya aku berinteraksi secara langsung dengan Rahagi Wirasena. Meski sati sekolah di masa SMP dan SMA, Mas Wira tak ada di gita cinta remajaku. Aku hanya mengenalnya sebagai kakak kelasku yang aktif di OSIS, pintar, serius dan pendiam. Kami tidak sepermainan. Ketika sama-sama remaja, ia tidak pernah bermain denganku, aku pun saat itu belum memiliki ketertarikan padanya. Ketika SMA,aku lebih mudah terpikat dengan pria-pria yang agak nekat dan penuh kejutan, seperti pemain basket, pemain sofbol, atau seorang cowok yang berani mengirimiku surat ke rumahku dari SMA lain. Sejak kapan kisah Mas Wira dan aku sebetulnya dimulai?? Entahlah. Mungkin benihnya mulai tertanam sejak ulang tahunku yang ke-17.
“ Serta muuuuliiiiaaaa, serta uuuuliiiiaaaa......” Riuh teman-teman yang hadir di pesta ulang tahunku menyanyi. Ketika lagu selesai aku langsung meniup lilin yang menyala di atas kue ulang tahunku. Ketika tujuh belas lilin itu padam, teman-teman bertepuk tangan riuh.
“ Sekarang bagi-bagi keu, Dika. Potongan pertama buat pacar, buat pacar,,” seru salah satu seorang temanku.
“ Enggak dong. Potongan pertama buat orang tua aku. Tanpa mereka aku kan tidak akan ada. Boro-boro sampai mencapai tujuh belas tahun,,” sahutku sambil memotong kue dan mengantarkannya kepada Ayah dan Ibuku.
“ Semoga kamu semakin sukses ya,,” ucap Ibu. Ia dan Bapak lalu bergantian menciumku.
Saat ulang tahun ku ke-17 aku sudah memiliki teman dekat namanya Brahma. Namun ada lagi satu sahabat wanita ku yang bernama Rini, semua orang mengira aku berpacaran dengan Rini. Dan saat hari ulang tahun ku itulah, baru kuketahui belakangan, diantara sekian banyak teman yang kuundang dan hadir di hari bahagia ku itu ada seseorang yang diam-diam mulai menaruh hati padaku. Tak berani mendekati karena menyangka aku tidak sendiri.
*********************************************************************************************************************************
SELEPAS SMA, aku diterima di Farmasi Institut Teknologi Bandung. Lagi-lagi aku bertemu dengan Mas Wira. Ia sudah diterima di ITB setahun sebelum aku, di jurusan Tehnik Mesin. Aku suka mempunyai banyak teman, teruatama di masa awal kuliahku, aku membuka diri seluas-luasnya. Aku mengikuti kegiatan apa pun yang bisa kuikuti dan bersikap ramah mungkin kepada siapa pun. Pada malam minggu, rumahku penuh dengan teman-teman. Tidak ada yang kuperlakukan lebih istimewa, semuanya sama.
Sejak itulah Mas Wira mulai pelan-pelan mendekati. Kadang-kadang ia menelepon. Mengajakku keluar hanya berdua. Bahkan sempat memintaku menjadi MC salah satu acara fakultas Teknik dalam rangka mengakarbkan diri denganku. Aku menyadari usahanya, tapi hatiku belum sampai tertambat padanya. Mengikat diri dengan seseorang bukan sebuah keputusan yang dapat kuambil dengan mudah. Kendati begitu, selama bertahun-tahun kami menjadi teman baik. Diam-diam waktu memupuk sesuatu. Kandidat lain datang dan pergi, tetapi Mas Wira tidak pernah gugur.
“ Dika, untuk tugas akhir aku harus ke Belanda dua tahun,,”
“ Dua tahun?? Lama betul Mas?? “ Aku tersentak.
Kemudian sunyi mencuri percakapan kami sejenak.
“ Sambil jalan pulang yuk,,” Mas Wira memecah kesunyian.
Mas Wira dan aku berjalan menyusuri ITB tanpa berkata apa-apa lagi. Aku sibuk berdialog dengan hatiku sendiri. Kenapa kabar yang disampaikan Mas Wira membuatku begitu gundah?? Apakah Mas Wira memang punya porsi yang sangat besar dalam hidup dan keseharianku?? Kami memang belum pernah tinggal berjauhan dan dapat bertemu nyaris kapan saja. Namun, jika ia hanya sekedar sahabat, tak seharusnya aku segundah ini. Rasa bangga bercampur dengan rasa takut kehilangan. Rasa sayang yang hangat seperti meluap tiba-tiba. Aku belum pernah merasakan yang sedalam itu dengan siapa pun. Bersama Mas Wira aku merasa nyaman. Kami dapat berbagi dalam suka dan duka. Saling mendukung. Saling menguatkan. Bertukar pikiran mengenai visi dan misi, serta mimpi masing-masing. Meski mulai menyadarinya, kadang aku masih mempertanyakan perasaanku sendiri. Hingga pada hari itu, berita yang disampaikan Mas Wira selepas kuliah membuatku menyadari betapa pentingnya Mas Wira untukku. Aku melirik Mas Wira di sebelahku. Ia berjalan sambil menatap sepatunya sendiri. Apakah dia merasakan hal yang sama?? Entah mengapa sesuatu menahanku untuk menanyakan perasaannya.
“ Aku berangkat minggu depan,,” kata Mas Wira.
“ Artinya Mas tinggal sebentar lagi ada di sini,,” tanggapku.
Mas Wira mengangkat wajahnya dan mata kami bertemu. Saat itu aku tak merasa perlu bertanya apa-apa lagi. Aku tahu apa yang dirasakannya.
*********************************************************************************************************************************
“ ....UDAH dulu ya Dika. Dahh.....” Dan telepon ditutup.
Biaya telepon interlokal yang mahal dan dana mahasiswa yang seadanya berbanding terbalik. Mas Wira selalu berusaha meneleponku walau hanya sebentar, bahkan kadang terasa terburu-buru. Sehari sebelumnya aku memang baru saja menerima surat Mas Wira yang panjang berlembar-lembar. Suratnya selalu berbanding terbalik dengan pembicarannya yang singkat-singkat di telepon. Mas Wira bukan orang yang suka mengumbar kata cinta dan rindu. Namun, di dalam setiap kalimat di suratnya, bahkan dalam cerita-ceritanya yang sama sekali tan mengandung rayuan, semuanya jelas tersirat. Aku merasakannya.
Masa-mas inilah yang membuat Ayah dan Ibu ku merasa aneh dengan diriku. Mas Wira sering menelepon dan mengirimkanku surat, namun aku masih bisa menyangkal kepada Ayah dan Ibu kalau kami hanya sahabatan. Memang selama dua tahun yang tanpa komitmen itu, ternyata hati kami sudah saling terikat dengan sendirinya. Masing-masing kami tetap saling mencari dan membutuhkan. Masing-masing kami tak lagi tertarik kepada orang lain. Ikrar yang tak terkatakan itu memintas jarak dan waktu. Tak sengaja aku melihat sebuah majalah tergeletak di sebelah meja telepon persisi terbuka di halaman ramalan bintang. Aku meraihnya.
“ SAGITARIUS “
“ Sagitarius sulit mengambil keputusan. Namun, jika sudah mengambil keputusan mereka akan konsekuen,,”
Aku merenungkan kolom zodiakku tersebut. Apakah Mas Wira adalah sejenis keputusan yang sudah kuambil dan aku akan konsekuen dengan apa yang kupilih?? Bagaimana meyakinkan orang tua ku dan orang tua Mas Wira??
*********************************************************************************************************************************
SEKEMBALINYA Mas Wira dari Belanda tidak ada yang berubah. Ia bercerita banyak hingga aku tiba-tiba mengajukan “ proposal “ yang tak kuduga.
“ Dika aku tahu kamu sama dengan aku,,satu alasan mengapa aku mengambil tugas akhir di Belanda,,yaitu aku ingin meyakinkan diriku sendiri apakah aku sayang dengan kamu,,Dan bagaimana kalau kita menikah saja di Belanda?? Atau kita hidup bersama?? “
Aku terperanjat.
Kami berdua sudah lulus kuliah, bahkan bekerja. Kami sudah yakin pada kemantapan hati kami masing-masing. Namun menikah?? Hidup bersama?? Sementara kami adalah laki-laki?? Tunggu dulu. Itu urusan lain, ada banyak hal yang perlu dipikirkan untuk memasuki tahap itu.
“ Bagaimana kita harus meyakinkan orang tua kita Mas?? Apa yang akan kita lakukan adalah sebuah aib bagi keluarga kita?? “ tanyaku kepada Mas Wira.
“ Aku hanya tinggal meyakinkan orang tua mu Dika, Mamah dan Papah sudah tahu dengan kelakukanku, tidak mungkin mereka mengizinkan aku pergi ke Belanda tanpa tahu apa penyebab utamanya,,sekarang kita tinggal berjuang menemui orang tua mu dan meyakinkan mereka,, Memang ini tidak wajar,,tapi kamu harus yakin dengan kekuatan cinta,,”
Sejak peristiwa itu Mas Wira memperkenalkan diriku kepada keluarganya. Mamahnya menyambut diriku dengan senyuman dan Papah Mas Wira juga menyambutku dengan senyum, tidak ada raut muka dibuat-buat senyuman tersebut. Aku benar-benar kaget, ada sebuah keluarga yang benar-benar bisa menerima anaknya seorang gay, ini adalah pengalamanku yang pertama ditengah-tengah sebuah keluarga yang menerima kekurangan anaknya. Setelah makan bersama, kami berinteraksi di ruang keluarga. Mamah Mas Wira menceritakan semua hal tentang bagaimana Mas Wira telah menyukaiku sejak SMA, bagaimana Mas Wira meminta ijin tugas akhir di Belanda, dan masih banyak hal yang membuatku benar-benar terkejut dengan perjuangan Mas Wira. Hari itu merupakan salah satu hari yang terbaik di dalam hidupku.
Selang beberapa hari aku berbicara dengan Ibuku tentang jati diriku, Ibu menangis dan menyalahkan dirinya sendiri. Ibu merasa tidak bisa mendidik diriku. Aku berlutut dihadapan Ibu, dan siap menerima resiko yang akan Ibu Berikan. Aku tahu hari ini sudah membuat luka hati seorang Ibu, namun aku yakin Ibu masih bisa menerimaku.
“ Apa laki-laki yang kamu cintai itu Wira?? “,, tanya Ibu tersedu-sedu.
“ Iya Bu,, Mas Wira sudah mengenalkan aku dengan keluraganya,,”
Ibu hanya terdiam, lalu mengangkat wajahku.
“ Bicarakan ini dengan Ayahmu Dika,, ajak Wira ke rumah,, Ibu tetap menerima kamu sebagai anak Ibu dan Ayah,,”
Aku mengangguk, lalu Ibu mencium keningku dan pipiku,,
“ Sudah malam, kamu istirahat ya,,” Ucap Ibu.
Esoknya aku bertemu dengan Mas Wira dan menceritakan semuanya tentang peristiwa semalam. Mas Wira bersedia datang ke rumah dan menjelaskan semuanya kepada Ayah dan Ibuku. Hari ini aku benar-benar melihat keseriusan Ms Wira untuk dapat hidup bersama dengan diriku.
Ibu sudah bercerita kepada Ayah, sore harinya aku diajak berbicara oleh Ayah. Ayah sebenarnya sudah curiga dengan diriku sejak Mas Wira di Belanda. Namun Ayah menepis jauh-jauh pikirannya. Profesinya sebagai dokter mampu menepis pikiran itu, tapi saat menerima kenyataan itu Ayah benar-benar bersikap dingin kepadaku, namun aku tahu betapa Ayah masih sayang kepadaku. Ayah hanya berkata “ Ini hidup mu Nak, jadi lakukan yang membuat dirimu bahagia, walaupun masih sulit untuk menerima, Ayah akan tetap berusaha menerima kenyataan ini,,”
Malamnya Mas Wira datang bersama dengan orang tua nya dan bertemu dengan orang tua ku,,Ayah Mas Wira meminta maaf kepada Ayah dan Ibu ku karena anaknya sudah lancang mencintai Putranya. Namun malam itu kami berdua direstui oleh orang tua kami.
“ Kalau memang serius ya dijadikan saja, Dika,,” Kata Ibu.
“ Iya, Bapak melihat Wira anak yang baik,, dan sudah teruji,,cinta kalian unik,,” Timpal Bapak.
11 Agustus 1995, adalah hari yang bersejarah bagi kami,, Karena kami memutuskan untuk hidup bersama. Ibu tidak henti-hentinya menangis saat itu, Acara itu berlangsung di Belanda.
Aku ingat beberapa hari sebelum kami ke Belanda, Mas Wira dan Aku sempat membicarakan berbagai hal, terutama seputar kehidupan rumah tangga kami nantinya.
Dika, ada tiga keputusan berani yang harus aku ambil sekaligus waktu dekat ini,,”
“ Apa saja Mas?? “
“ Mengajak kamu hidup bersama, berhenti bekerja dan kembali ke sekolah,,”
“ Mas mau berhenti bekerja dan sekolah lagi?? “
“ Iya supaya aku bisa punya penghasilan yang lebih baik untuk kasih makan keluargaku nantinya. Aku mau belajar manajeman di Jakarta. Sesudah kita memutuskan hidup bersama, aku akan menitipkanmu lagi ke Ibu dan Ayah Mu dulu, lalu aku sendiri akan menitipkan diri di rumah kakakku, Mas Hari di Jakarta. Kamu tidak keberatan kan?? “
Aku menggeleng sambil tersenyum.
Ternyata sejak remaja aku memang selalu jatuh cinta pada laki-laki yang “ nekat “. Namun nekat yang kali ini tak seperti nekat-nekat yang kukenal di masa cinta monyatku. Nekat yang kali ini bukan tanpa pertimbangan, justru dibuat setelah melakukan pertimbangan serius. Mas Wira memperhitungkan masa depan dan siap berjuang untuk menghadapinya. Hal-hal seperti itulah yang membuatku merasa aman berada di sisinya.
Saat itu minggu terakhir Desember tahun 1995, tiga hari setelah hari ulang tahunku. Setelah melangkah menapaki usia baru, aku melangkah menuju fase baru dalam hidupku.
Aku melirik Mas Wira.
“ Senyum dong, Mas, biar tambah ganteng,,” godaku.
Mas Wira tersenyum.
Mas Wira. Sosok yang kukenal sebagai laki-laki yang serius dan pendiam sejak remaja, bertolak belakang dengan aku yang spontan.
“ Kamu sepertinya nggak ada capenya ya,,” Kata Mas Wira.
“ Gara-gara itu kan Mas Wira jadi naksir sama aku,,” Tanggapku berseloroh.
Mas Wira yang memang tak suka mengumbar rayuan tidak menjawab. Hanya geleng-geleng sambil senyum dikulum. Sejak hari itu perjalanan Aku dan Mas Wira sebagai “ KAMI “ yang utuh dimulai. Kami memiliki banyak perbedaan, namun justru itulah yang membuat kami dapat saling mengisi dan melengkapi.
“ Asam di gunung, garam di laut bertemu di kuali,,’ Kisah kami sebaliknya. Sejaka lama kami telah berada di “ Kuali “ yang sama. Berjalan bersisian tanpa sungguh menyadarinya. Pada suatu titik barulah kami menyadarinya bahwa sebagai asam dan garam di dalam kuali, kami siap menjadi bumbu yang berpadu menciptakan citra ras. Tak lagi akan terpisah, tak dapat lagi disapih,,,,,,,,,”