It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@Monic
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@Flowerboy
@don92
@CL34R_M3NTHOL
“ ……….Dari Jalan Gelap Itulah Cerita Panjang Tentang Matahari Pagi Dan Kupu Kupu Akan Bermula,,”
DOKTER yang memeriksaku kutaksir masih cukup muda. Perawakannya mungil, kulitnya sawo matang, rambutnya ikal, tidak terlalu panjang. Di hidungnya bertengger kacamata oval tanpa bingkai. Namanya Dokter Rheina . “ Tapi cukup panggil saya dokter Ina,,” katanya dengan suara yang ringan seperti angin. Pada hari keduaku dirawat di rumah sakit, dokter Ina datang dengan hasil diagnose sementara.
“ Yang Mas Dika alami namanya ITP, Idiopathic Thrombocyto Penic Purpura. Ini adalah kondisi ketika trombosit seseorang turun dengan drastis tanpa diketahui penyebabnya,,” papar dokter Ina.
“ Tapi penyebabnya bisa dicari kan dokter ?? “ tanyaku khawatir ketidakpastian itu akan berlangsung terlalu lama.
“ Oh,, bisa kok Mas Dika. Justru ini saya ke sini untuk memberi tahu kalau besok kami akan mengambil sumsum tulang belakang Mas Dika, dari situ penyebab ITP bisa dicari,,” jawab dokter Ina.
Keesokan harinya dokter Ina datang lagi bersama seorang perawat dan seperangkat peralatan untuk mengambil sumsum tulang belakangku. Tanpa banyak basa-basi, ia langsung berdiri di sebelah tempat tidurku untuk melaksanakan tugasnya.
“ Telungkup ya Mas Dika,,” Dokter Ina menginstruksikan.
Aku menurut. Telungkup membuat aku tidak bisa melihat apa yang dilakukan dokter Ina. Aku hanya mendengar suara peralatan yang sedang dipersiapkan. Sepertinya tidak sedikit. Jantungku berdebar kencang. Aku tak pernah melihat pengambilan sumsum tulang belakang sebelumnya, apalagi mengalaminya sendiri. Aku mencoba menerka-nerka seperti apa kira-kira prosesnya.
“ Tolong ambilkan dingklik suster,,” Perintah dokter Ina.
Hah dingklik untu apa ya,, kataku dalam hati.
Aku mendengar suara dingklik diletakkan dibelakang tempat tidurku. Disusul dengan suara sepatu yang dilepas. Aku mendengar dingklik bergesar sedikit. Sepertinya dokter Ina naik ke atas dingklik tersebut.
“ Siap-siap ya Mas, ini akan sedikit sakit,,” Kata dokter Ina dengan suara yang masih juga seringan angin. Ketegangan membuat aku sendiri merasa seberat batu.
“ Oke,, satu,,dua,,,”
Dan………
JLEBBBBB!!!!
Sesuatu yang tajam dan pasti cukup besar ditusukkan ke salah satu ruas tulang belakangku. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertahan dipangkal tengggorakan. Aku merasa sesuatu tersedot keluar ditubuhku.
Sebelum aku sempat mengindra proses itu seluruhnya, benda besar dan tajam itu sudah dicabut dari punggungku. Sakitnya setengah mati. Nyawaku seperti ikut tercabut bersamanya. Aku membenamkan kepalaku di atas bantal dan wajahku terasa nyaman diseka sejuk sarung bantal.
“ Sudah selesai Mas Dika, Cuma sedikit kan sakitnya ?? “ Tanya dokter Ina.
Sedikit bagaimana dokter ?? Dika berkata dalam hati.
Aku tak langsung menelentangkan diri, meredakan shock karena sakit mendadak di salah satu ruas tulang belakangku. Namun, aku masih mendengar suara dingklik yang digeser dan sepatu yang dikenakan kembali oleh dokter In, suara peralatan yang sepertinya sedang dibersihkan dan ditata kembali, serta instruksi-instruksi dokter Ina kepada perawat yang membantunya.
Setelah Mas Wira membantuku membalikkan tubuh, tampak dokter Ina sudah bersiap-siap mohon diri. Ia tersenyum kepadaku. Ringan. Seperti angin, seperti suaranya.
“ Selamat beristirahat Mas Dika, begitu hasil pemeriksaannya keluar, pasti akan langsung saya informasikan,,” ujarnya santai.
Dokter Ina meninggalkan kamarku bersama sang perawat. Aku mengamati punggungnya. Tepat di bagian yang sama dengan tempat ia menusukku dengan benda besar yang tak sempat kulihat wujudnya.
*********************************************************************************************************************************
SEHARI kemudian, dokter Ina datang lagi. Kali ini dengan hasil pemeriksaan sumsum tulang belakang. Seperti pada hari-hari sebelumnya, dokter Ina datang dengan senyum dan aura yang santai. Aku berharap itu artinya ia datang dengan kabar baik.
“ Mas Dika, hasilnya sudah keluar,,” Ujar dokter Ina.
Aku duduk tegak, siap menangkap kabar yang akan dilemperkan. Mas Dika pun tampak mendengarkan dengan saksama.
“ Jadi penyakit Mas Dika disebut SLE atau Systemic Lupus Erythematosus,,” kata dokter Ina.
Mas Wira dan aku saling berpandangan, SLE ?? Penyakit apa Itu ??
“ Ini penyakit kelainan darah, makannya trombosit Mas Dika tersu turun. Jika terus dibiarkan, pembuluh darah Mas Dika bisa pecah ke mana-mana, SLE atau kita sebut saja Lupus ya, supaya mudah diingat adalah penyakit autoimun, semacam alergi pada tubuh sendiri,,” Papar dokter Ina lagi.
“ Bagaimana mungkin orang alergi pada tubuhnya sendiri ?? Apa bisa ?? “ Tanya Mas Wira, sulit membayangkan kondisinya.
“ Bisa Mas Wira, Jika zat antibody yang dibentuk tubuh, yang seharusnya digunakan untuk melawan zat asing, malah berbalik melawan tubuh sendiri. Serangan antibodi ini menimbulkan gejala yang sangat beragam. Karena itulah Lupus sering disebut penyakit seribu wajah dan sering terbaca seperti penyakit lain. Kemarin misalnya, Mas Dika sempat diduga terkena demam berdarah kan ?? “
“ Nah pada Mas Dika ini, Zat antibodi menghancurkan trombosit hingga trombosit itu drop jauh sekali. Penyakit Lupus ini memang menyerang orang produktif, namun jarang sekali menyerang pria seperti Mas Dika, rasio Pria lebih kecil terserang penyakit Lupus dibandingkan Wanita hingga 1 berbanding 10. Pada kasus orang lain, Zat antibodi menyerang bagian yang lain. Biasanya ada ruam berbentuk kupu-kupu di wajah penyandang Lupus. Tapi pada Mas Dika…….” Dkter Ina mengamati wajahku.
“ Pada Dika sepertinya tidak ada dokter,,” pungkas Mas Wira.
“ Iya pada Mas Dika tidak ada, Hanya muncul bintik-bintik merah ini, pucat dan lemas ya Mas ?? Gejala Lupus memang unexpected “ kata dokter Ina setelah yakin wajahku bebas dari ruam.
“ Lupus ini disebabkan oleh apa Dokter ?? “ tanyaku. Aku mencoba mengira-ngira apakah aku pernah salah memperlakukan tubuhku atau tertular penyakit ini dari orang lain.
“ Diduga lupus timbul karena pengaruh lingkungan, zat kimia, kelainan genetik, dan beberapa factor lainnya. Pada Mas Dika kami belum bisa memastikan apa pemicunya. Kami masih akan melakukan observasi sampai beberapa hari ke depan. Nah, untuk beberapa saat ini kami akan member Mas Dika dua puluh tablet prednison dalam sehari,,”
“ Dua puluh ?? Banyak sekali !! “ aku terkejut.
“ Iya Mas Dika, dua puluh,,” Kata dokter Ina seakan-akan tak ada yang aneh dengan menenggak dua puluh tablet dalam sehari,, “ Ini jenis kortekosteroid untuk meningkatkan trombosit Mas Dika,,”
“ Jika trombosit saya sudah naik, apa saya masih harus minum dua puluh tablet prednison sehari dokter ?? “ tanyaku lagi.
“ Kita lihat nanti ya Mas Dika, sebab kortekosteroid bukan sekedar obat untuk menaikkan trombosit. Ini juga obat utama penderita lupus,,” sahut dokter Ina.
SLE. Systemic Lupus Erythematosus, Lupus. Penyakit itu sama sekali asing untukku. Perasaanku mengambang. Aku tak tahu apakah penyakit ini mematikan seperti kanker atau tak terlalu gawat setaraf cacar air misalnya. Aku mencoba menerkanya lewat penjelasan dokter Ina, tapi tak berhasil. Bagiku pemaparan dokter Ina tidak cukup member penunjuk segawat apa lupus sebetulnya. Dokter Ina yang terlalu ringan dan santai seperti angin pun tidak bisa dibaca. Semua samar-samar seperti gejala lupus si penyakit seribu wajah itu sendiri.
“ Sudah ya Mas Dika, kalau ada perkembangan lagi, nanti kami kabarkan. Tablet prednisonnya jangan lupa diminum ya,,” pesan dokter Ina sebelum meninggalkan kamar.
Aku tersenyum tipis. Akhirnya percaya adalah satu-satunya pilihan. Meski menenggak dua puluh butir tablet dalam sehari terasa berlebihan, dokter Ina pasti lebih tahu. Aku memutuskan untuk mematuhi intruksinya. Jalan gelap yang merentang di depanku menuntunku entah ke mana. Namun, justru dari jalan gelap itulah cerita panjang tentang matahari pagi dan kupu-kupu akan bermula. Aku menggenggam lenteraku erat-erat. Namanya harapan.
*************************************************************************************************************************************
DI CERMIN TOILET kantor, tatapanku berpapasan dengan tatapan dua karyawan dari divisi lain. Sekilas ada yang membeku.
“ Eh itu adiknya Dika ya ?? “ bisik salah satu dari antara mereka.
“ Bisa jadi. Mirip ya, emangnya adiknya kerja disini juga ?? “ tanggap temannya.
Aku dicubit rasa kecewa. Mereka adalah orang ke sekian yang menatapku seolah aku ini orang lain. Saat itu aku ingin berseru,, “ Ini aku. Dika !! Coba deh, lihat baik-baik !! Masa kalian tidak kenal ?? Belakangan memang tak terlihat seperti Dika yang dulu. Namun, sejauh itukah perbedaannya sampai dari jarak setengah meter pun kalian tak tahu siapa aku,,”
Aku mengamati pantulan wajahku sendiri di cermin. Pipiku yang dahulu tirus kini membulat seperti bulan. Kulitku tertarik-tarik seperti baju kesempatan. Kacamataku pun tak lagi muat. Aku memejamkan mata sejenak, menyesap dan mengolah perasaan tak menentu yang menghujaniku, mencoba menyadari bahwa aku memang terlihat berbeda. Aku tahu tak seharusnya tatapan orang-orang membuatku begitu kecewa, apalagi tersinggung. Namun, bagaimana menyangkal sergapan kesepian karena tiba-tiba seperti menjadi orang asing di kantor sendiri ??
Siang itu Pak Hendi, direktur Bank Nusantara, memintaku datang ke kantornya untuk menyampaikan laporan. Aku berharap kali ini aku akan terbebas dari tatapan dan perlakuan yang membuatku merasa seperti orang lain. Setidaknya aku masih bekerja dan berpikir seperti Dika yang dulu. Begitu sampai kantor Pak Hendi, tanpa banyak basa-basi aku langsung menyampaikan laporan dan ide-ide yang telah kususun. Aku tahu direktur yang satu ini tak pernah punya banyak waktu, maka aku berusaha berbicara selengkap dan seefektif mungkin.
“ Jadi begitu kira-kira. Bagaimana menurut Bapak ?? “ Aku menutup penuturanku.
Pak Hendi Mengamatiku seakan menyimpan banyak pertanyaan.
“ Mungkin ada yang kurang jelas pak ?? “ pancingku
“ Ini,, Mmmmm,,, wajah kamu nggak apa-apa Dika ?? “ tanyanya dengan nada prihatin.
Aku merasa seperti digelindingkan dari puncak gunung. Jadi, setelah aku menjelaskan sampai berbusa-busa dan berpikir semalaman bagaimana menyampaikan ide-ide ini secara efektif, masih wajahku juga yang menjadi pusat perhatian ??
“ Dika ?? wajah mu nggak apa-apa ?? “ ulang Pak Hendi, Rupanya ia benar-benar ingin tahu.
“ Nggak apa-apa, pak. Efek samping obat,,” sahutku pendek.
“ Kamu sudah terapi ke mana saja ?? “ Tanya pak Hendi lagi, masih dengan kader keprihatinan yang sama.
Aku diam.
“ Kalau kamu belum menemukan tempat terapi yang cocok, saya tahu tempat yang bagus. Nanti saya kasih alamat dan kontaknya ya,,” ujar Pak Hendi lagi.
“ Mengenai laporan dan ide-ide saya tadi, ada yang perlu ditambah , dikurang atau ingin bapak tanyakan ?? “ Aku mencoba kembali ke topic semula. Pekerjaan.
Pak Hendi berpikir sejenak, kemudian menggeleng.
“ Atau…..ada tanggapan, Pak ?? “ tanyaku lagi.
“ Oh Tidak ada kok,,, kamu cepat sembuh ya Dika,,” pesannya.
Aku meninggalkan kantor Pak Hendi dengan semangat yang meruntuh. Setengah mati aku berusaha untuk tegar, bekerja seperti biasa dan tak mendramatisir penyakit Lupus yang berdiam di tubuhku. Namun, perlakuan orang lain tanpa sengaja selalu meruntuhkannya. Bukan salah mereka. Aku tahu perlakuan mereka alamiah adanya. Seperti Pak Hendi, aku tahu ia tak bermaksud mendramatisasi keadaan, menyinggung, apalagi meremahkanku. Seharusnya aku berterima kasih karena ia menunjukkan kepedulian dan perhatian yang besar kepadaku.
Semua menjadi serba salah. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Wajahku membulat seperti bulan dan perasaanku tak tentu seperti gerhana.
*********************************************************************************************************************************
SEBULAN mengonsumsi tablet prednison, kira-kira sejak bulan Februari hingga Maret 1999 menimbulkan efek-efek samping yang hadir bertahap. Pertama moon face, kemudian kulit yang menggelambir seperti kulit sapi, lalu muncul lagi flek. Mulai dari yang putih sampai yang cokelat. Aku tak ingin ada informasi yang terlewat. Maka, setiap perubahan yang terjadi pada tubuhku tak pernah luput kulaporkan pada Dokter Ina.
“ Nggak apa-apa, Mas Dika. Itu efek samping obat, nanti juga hilang,,” kata dokter Ina tenang-tenang saja.
“ Tapi sampai kapan dokter ?? “ tanyaku
“ sabar saja,,sabar,,”
“ Kaki saya juga semakin mengecil….”
“ Ah, masa… ?? “
“ Flek dikulit saya juga tambah banyak. Kapan kadar prednison saya dikurangi ?? “
Dokter Ina terlihat sedikit kesal,,, “ Mas Dika, ini kan sedang saya kurangi sedikit – sedikit. Makan obat itu seperti membangun rumah. Dasarnya harus kuat. Kalau takaran obat kamu saya kurangi secara drastis sekarang, apa yang sudah kita bangun bisa ambrol lagi, paham ?? Jadi kalau mau sembuh, tahan dulu sebentar. Sekarang ini jadi jelek sedikit tidak apa-apa kan ?? “ Jeles dokter Ina.
Bukan ‘ menjadi jelek ‘ yang kupermasalahkan, tetapi bagaimana obat-obatan itu membuatku semakin tak nyaman dari hari ke hari. Selain pada tampilan fisik, tablet prednison dengan kandungan korteksteroid yang merupakan immunosuppressant
Menekan kekebalan tubuh. Akibatnya aku menjadi lebih rentan. Setiap hari aku merasa seperti orang yang sedang bermimpi. Mengambang. Lambat. Saban kali aku mengulang-ngulang perkataanku karena tak yakin telah menyampaikannya dengan benar.
Ketika kondisku sudah semakin memburuk, Mas Wira dan aku memutuskan untuk mencari second opinion. Pilihan kami jatuh kepada dokter bernama Prof Adi yang kami jumpai di rumah sakit berbeda. Awalnya ia tampak terburu-buru dan tak acuh. Namun, setelah memeriksa riwayat kesehatanku, ia terlihat sedikit terkejut.
“ Dengan efek samping seperti ini, sudah waktunya doktermu menurunkan dosis obat prednison yang kamu konsumsi. Siapa dokter yang menangani kamu ?? “ Tanya Prof Adi.
“ Dokter Rheina ,,” sahutku.
“ Oh,, dokter Rheina,,” tanggapan Prof Adi seraya meraih secarik kertas di atas meja praktiknya.
“ Ini memo untuk dokter kamu itu. Nanti tolong disampaikan ya. Saya serius. Jumlah tablet prednison yang kamu konsumsi itu terlalu banyak. Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus, saya khawatir efek sampingnya akan semakin buruk,,” kata Prof Adi sambil menulis.
Ada kekhawatiran yang menjalari pikiranku. Seburuk apa efek samping yang mungkin terjadi ?? Tubuhku sudah member rambu-rambu peringatan. Namun, minimnya pengetahuan tentang lupus dan obat-obatan yang ku konsumsi membuat segala rambu itu hanya menjadi peringatan intuitif. Aku mengenggam tangan Mas Wira, mencari ketenteraman dan rasa aman di sana. Tangannya hangat. Atau mungkin terasa lebih hangat karena tanganku dingin dan kaku.
“ Segera diberikan ke dokternya Dika ya, ke dokter Rheina,,” kata Prof Adi serius ketika menyerahkan memo itu kepada Mas Wira.
Sehari kemudian, Mas Wira dan aku segera menemui dokter Ina, membawa memo yang dititipkan Prof Adi dan menyampaikan seluruh pesannya tanpa dikurangi atau ditambah. Dokter Ina membaca selintas memo dari Prof Adi, kemudian meletakkan memo itu di meja kerjanya.
“ Terserah kamu, Mas Dika. Kamu mau percaya saya atau Prof Adi ?? “ tanyanya seringan dan sesantai angin seperti biasanya.
Aku diam. Keyakinanku terombang-ambing. Aku mencoba mempertimbangkan, tetapi aku tak tahu apa yang harus menjadi dasar pertimbanganku.
“ kalau kamu mau percaya sama Prof Adi, silakan. Kamu berobat saja sekalian dengan Prof Adi,,” kata dokter Ina lagi tanpa beban.
Biar bagaimanapun dokter Ina adalah dokter yang merawatku sejak pertama kali aku divonis mengidap Lupus. Dialah yang mengikuti perkembangan penyakitku. Selama satu bulan, aku pun sudah menjalani perawatan sesuai caranya. Kembali terngiang kata-katanya mengenai membangun rumah dan dasar yang kuat. Meski tak ada pegangan yang betul-betul pasti, pada akhirnya aku harus memilih salah satu untuk dipegang dan dipercaya.
“ Saya,,, saya percaya sama dokter,,” kataku akhirnya. Tangan dinginku menekan erat tangan Mas Wira, berusaha untuk menekan kegalauan yang ada.
“ Oke kalau begitu, tetap makan obatnya seperti biasa ya,, sabar saja,,” Ujar dokter Ina.
Ada keraguan di dalam hatiku. Apa aku mengambil keputusan yang tepat ?? kata-kata Prof Adi sepertinya masuk akal, tetapi bukankah ia tidak mengikuti perkembanganku sejak awal ?? Selintas aku teringat juga pada pembawaannya yang tak acuh dan terburu-buru. Apa betul ia dapat kupercaya ?? Dalam keadaan yang serba tak pasti, aku mencoba menjejak. Baru di kemudian hari kusadari bahwa keputusan yang kuambil seperti menyenggol sebuah kartu pada deretan susunan kartu domino. Lalu timbullah efek beruntun yang tak bisa kucegah larinya.
Terima kasih udah mau baca ceritaku. Ku lagi bahas tentang cinta dalam konteks yang ku tahu untuk saat ini.
btw, efek obatnya bisa bikin low vision bahkan buta. kasihan dika.
Btw, senior apa siiiiiih
mudah"an cerita ini memberi inspirasi lagi buat kt smua.. hehehe
#brbbacadulu
Ak tuh plg sebel banget kaloo ktemu jenis dokter kayak dr reina..
Eh.., btw lupus bisa disembuhin gak sih???
Ooooh......... TS @rendesyah itu dokter ya ? hmmm......
*takut....... selalu jatuh cinta sama orang medis......hahaha*