It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@tio_juztalone - agak lama ya lanjutannya,, hehehe,,
@erickhidayat - iya mie mas,,otaknya lg butuh istirahat,,hehehe,.lg banyak beban,.
@CL34R_M3NTHOL - Gak mas,,mksh,,mau setia aja,,hahaha
@handikautama - mas dari dunia medis juga ya ?? Hehehe,, dibilang dari dunia medis,,tapi aku dah mau 4 tahun jadi peneliti,,dah gak praktek dokter lg,,hehehe,,
“ Ketika Kita Mempunyai Niat Tertentu Semesta Akan Mempertemukan Kita Dengan Orang-Orang Yang Mempunyai Niat Yang Sama “
KENDATI kondisi fisikku naik turun, semangat dan niat mengembangkan MF terus terjaga. Dan aku percaya, ketika kita mempunyai niat tertentu, semesta akan mempertemukan kita dengan orang-orang yang mempunyai niat yang sama. Pertemuan-pertemuan terkadang terasa seperti sebuah kebetulan, maka aku kerap melihatnya sebagai keajaiban yang dihadiahkan oleh Yang Maha Kuasa. Di dalam perjalanan menggiat MF, aku pun bertemu dengan Aldivano, salah seorang wartawan pria muda yang ternyata menaruh perhatian yang besar kepada lupus. Tak hanya itu, ide-ide dan semangat juangnya sepertinya tak pernah habis.
Pengupayaan jalur obat murah adalah salah satu hal yang kami perjuangkan karena mahalnya biaya pengobatan lupus. Bayangkan, ada obat rutin lupus yang harganya Rp,25.000,- per butir dengan dosis 3x1. Odapus dengan gagal ginjal pun harus melakukan cuci darah dua kali seminggu dengan biaya Rp.1.000.000,- per minggu. Belum lagi jika harus membeli albumin yang harganya Rp1.500.000,- per vial. Kami berusaha mengumpulkan dana sendiri untuk membantu para sahabat odapus. Yang tentu saja jumlahnya tak sebanding dengan yang dibutuhkan.
“ Mas, pernah berpikir untuk minta bantuan ke Departemen Kesehatan RI gak?? “ tanya Aldivano pada suatu hari.
“ Kamu ada jalur?? “ Aku balik bertanya.
“ Itu sih bisa dicari Mas, kalau niat kita baik, jalannya pasti ada saja kok,,” sahutnya tenang dan optimis.
Aku tersenyum, kata-kata Aldivano seperti suplemen yang memberiku kekuatan dan keyakinan.
Aldivano tak hanya bicara. Bersama teman-teman, ia berhasil mengumpulkan 1500 tanda tangan pendukung jalur obat murah untuk odapus. Kami pun melakukan observasi di lapangan dan membuat laporan yang menjelaskan situasi sahabat odapus secara umum. Dan hari itu di tahun 2006, berangkatlah para wakil MF menjumpai Ibu Menteri Kesehatan RI saat itu, membawa harapan dan doa.
*********************************************************************************************************************************
Suasana formal menguasai ruang pertemuan. Aku merasa sedikit canggung. Karena terbiasa menghadapi penyandang lupus yang kerap tak terduga kondisinya, di MF aku lebih sering bergerak dinamis, fleksibel, berpakaian praktis, dan siap dengan berbagai rencana yang mudah berubah. Sekat yang diciptakan aturan protokol dan pakaian formal yang harus kami kenakan hari itu kontras dengan keseharian kami. Aku mencari-cari cara yang nyaman untuk tetap berbicara hangat dari hati ke hati di tengah suasana formal yang beku tersebut.
“ Selamat siang Ibu Menteri, nama saya Pradika Batara Adibrata, saya ketua Mentari Foundation. Sebelumnya, saya akan memperkenalkan kelima rekan yang datang bersama. Di sebelah sana dokter Susilo, wakil asosiasi, di sebelahnya ada dokter Vika, Ibu Edith wakil sahabat Odapus, dokter Radithya Gunawan, dokter pemerhati lupus, dan Aldivano sebagai wakil relawan,,” Aku membuka pembicaran.
Suasana senyap. Ibu Menteri Kesehatan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Mungkin Ia mengangguk atau tersenyum. Namun, mata low vision ku tak dapat melihatnya. Sofa ruang pertemuan seperti lupa cara menjadi empuk. Wangi bunga yang merebak di dalam ruangan itu sepertinya lupa rasanya hidup di taman. Di dalam Jas yang aku kenakan, aku sendiri lupa rasanya mengenakan kaus dan celana jeans yang santai. Aku berusaha mengatur dudukku agar tetap santun tanpa kehilangan kenyamanan.
Selanjutnya sekilas dokter Susilo menjelaskan maksud kedatangan kami dan isi garis besar laporan yang kami bawa. Sesekali Aldivano menambahkan , bercerita mengenai 1500 tanda tangan dari pendukung jalur obat murah yang berhasil terkumpul. Aku masih belum mendengar suara Ibu Menteri. Namun aku yakin ia menyimak dengan saksama. Setelah dokter Susilo selesai menjelaskan, barulah ia mengajukan pertanyaan.
“ Sebetulnya di Indonesia ada berapa penyandang lupus?? “
“ Dua ratus ribu Bu,,” kali ini aku yang menjawab.
“ sedikit ya,,” tanggapnya.
Aku terkesiap, sedikit?? Bagi kami satu nyawa pun berarti banyak sekali. Di kepalaku berkelebatan ingatan mengenai sahabat-sahabat odapus yang sudah berpulang mendahului kami. Rasa sedih karena kehilangan menyergap lagi.
“ Jika dilihat dari skala nasional, jumlah penyandang lupus lebih sedikit dibandingkan jumlah penderita penyakit lainnya??” Tambah Ibu Menteri seperti dapat membaca pikiran kami.
Aku menghela nafas. Meski sedih, jauh di dalam hati aku sangat mengerti. Ibu Menteri harus memandang dari kacamata yang berbeda. Meski begitu, jauh di dalam hati aku yakin para sahabat odapus perlu diperhatikan dan diberikan bantuan juga. Kenyataan bahwa jumlah mereka terbilang sedikit jika dilihat secara nasional membuatku merasa terpacu untuk berjuang lebih lagi bagi mereka. Hari itu belum ada satu keputusan yang dikeluarkan Departemen Kesehatan. Suasana beku belum kunjung mencair hingga menjelang akhir pertemuan.
“ Baiklah Bu. Kira-kira seperti itu gambarannya,,” tutup dokter Susilo.
Kami pun bangkit berdiri. Bersiap-siap posisi untuk berfoto bersama. Tiba-tiba sesuatu terlintas di kepalaku.
“ kita yel-yel MF dulu yuk,,” cetusku.
“ Oh, Iya, Ibu kan belum tahu yel-yel MF seperti apa, Nanti diajarkan sama Mas Dika,,” dukung Aldivano seraya membantuku berjalan ke dekat Ibu menteri.
“ Begini Bu. Care for lupus, your caring saves lives,,” kataku sambil mencontohkan yel MF. Spontan aku meraih tangan Ibu Menteri kemudian membentuknya menjadi huruf “ L “. Tiba-tiba Ibu Menteri yang sejak awal bersikap formal tertawa lepas. Suasana mendadak cair seperti salju di awal musin semi.
“ Lucu ya,,” ujarnya tak dapat menahan geli.
“ Kok lucu, Bu?? “ tanyaku sambil tersenyum tertahan.
“ Aku coba ya. Begini?? Care for lupus, your caring saves lives,,” Ibu Menteri mengikuti instruksiku.
Aku menyentuh telapak tangannya untuk memastikan Beliau melakukan yel-yel dengan benar. “ Iya,, Bu,, betul begitu. Coba sekali lagi. Habis itu kita coba sama-sama ya,,” tukasku.
Di akhir pertemuan , kebekuan mencair. Kami melakukan yel-yel dengan lepas dan gembira. Saat itulah baru kurasakan kehangatan yang terhubung antara Ibu Menteri dan aku.
Care for lupus, your caring saves lives. Sedikit apapun jumlahnya, jiwa adalah tetap jiwa yang memberikan kehidupan. Sekecil apapun kepedulian yang diberikan akan menyelematkan jiwa sahabat Odapus.
*********************************************************************************************************************************
JIKA pada 2006 aku berusaha mengejar kesempatan yang terlewat dengan mengirimkan surat kepada Ibu menteri Kesehatan, di tahun 2007 aku justru melewatkan kesempatan bersuara yang seharusnya tak perlu kukejar-kejar lagi. Tahun itu MF berkesempatan untuk memperkenalkan diri di Forum Internasional. Dua buah abstrak atau risalah yang kugarap bersama dokter Raditya Gunawan dan dokter Handoko Halim sebagai usulan untuk dipresentasikan di The 8th International Congress of Lupus yang diadakan di Shanghai, China disambut dengan baik. Pada bulan Mei 2007, aku harusnya terbang ke Shanghai untuk mempresentasikan risalahku itu. Sayangnya, setelah sempat mengalami vertigo berat, aku mendadak dilanda depresi. Trauma pada segala sesuatu yang berkaitan dengan operasi kepala bangkit lagi saat aku menjalani serangkaian pemeriksaan, terkait dengan slang VP Shunt yang ada dikepalaku. Aku jadi pemurung dan enggan melakukan apapun , termasuk terbang ke Shanghai untuk peristiwa istemewa yang biasanya pasti kusambut dengan antusias.
Pada suatu pagi, aku terbangun dengan vertigo serius. Semua benda di dalam kamarku terasa serba terbalik.
“ Maaas...” Aku berseru memanggil Mas Wira sambil memegangi kepalaku. Aku mendengar langkah kaki Mas Wira yang tergesa. Aduh, ia pun seperti datang dalam keadaan terbalik.
“ Kenapa Dika?? “tanyanya sambil memegangi bahuku.
“ Aku vertigo,,” sahutku
“ Rasanya kamu sudah lama nggak begini, ya. Mungkin ada masalah sama VP Shunt di kepala kamu. Mungkin kamu harus MRT lagi,,”
Kata-kata Mas Wira menghantam bagian lain kepalaku. Berbagai trauma yang sudah lama terkubur di sana berhamburan lagi. Aku teringat pada ruang sempit mesin MRT. Suara tembakan medan magnet yang menerorku. Sesak napas. Diikat. Terpaksa tak bergerak selama setengah jam di tempat yang tidak menyenangkan. Dan saat itu napasku betul-betul menjadi sesak. Aku memegangi dadaku.
“ Kenapa lagi Dika?? “ Mas Wira memegangi bahuku semakin erat.
Aku hanya megap-megap. Namun, Mas Wira segera mengerti.
“ Sesak ya?? Kita akan periksa secepatnya supaya kalau ada apa-apa kamu bisa segera ditangani,,” tegasnya.
Hasil pemeriksaan menunjukkan, tidak ada masalah serius dengan kepalaku. Meski salah satu VP Shunt di kepalaku memang macet, bukan masalah. Di kepalaku terdapat dua buah VP Shunt. VP Shunt adalah slang untuk mengalirkan cairan otak ke dalam perut. Aku dipasang slang ini sejak operasi otakku yang pertama pada tahun 1999. Pada 2001, VP Shunt-ku sempat macet sehingga aku dipasangi VP Shunt baru. Setelah itu, VP Shunt baru itulah yang bekerja, sementara VP Shunt lamaku mati suri. Dan kali ini keadaan terbalik. Tiba-tiba saja VP Shunt keduaku mati suri dan VP Shunt pertamaku berfungsi lagi seperti sediakala. Semuanya baik-baik saja. Kedua VP Shunt di kepalaku seperti mengatur sistemnya sendiri dengan pengertian. Sebetulnya tak ada yang perlu ku khawatirkan. Namun pemeriksaan MRI memancing dampak yang lebih tidak sehat ketimbang lupus itu sendiri. Satu per satu trauma-traumaku muncul ke permukaan, menenggelamkanku dalam depresi panjang. Kali itu, mentalku lah yang diserang.
“ Jadi betul kamu tidak mau berangkat, Dika?? “ tanya Mas Wira padaku ketika aku memutuskan untuk tidak ikut berangkat ke Shanghai.
Aku menggeleng.
“ Abstrak ini kan kamu yang buat. Jadi sebetulnya kamulah yang paling bisa menjelaskan isinya,,” bujuk Mas Wira lagi.
“ Nggak mau ah Mas. Aku nggak mau naik pesawat. Perjalanannya jauh dan nanti trombosit aku turun. Kalu tiba-tiba ada apa-apa denganku di Shanghai gimana?? “ sahutku pesimis.
“ Itu kesempatan langka, lho,,” Mas Wira masih juga tidak berputus asa membujukku.
Tapi saat itu “ kesempatan “ bukan lagi sesuatu yang kuanggap berharga. Aku hanya ingin berdiam diri. Tidak perlu melakukan apa-apa, tidak perlu memikirkan apa-apa. Melihat aku yang tidak menunjukkan reaksi positif, Mas Wira tidak melanjutkan usahanya membujuk aku. Kendati begitu, bukan berarti Mas Wira tinggal diam. Ia sadar betul pentingnya kongres tersebut dan sayangnya membuang-buang kesempatan hadir apalagi sampai berpresentasi disana. Kebetulan tepat di saat kongres diselenggarakan , Mas Wira juga mendapat tugas berangkat ke Shanghai dari kantornya. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sambil memenuhi panggilan dinas, ia menyusun rencana untuk turut mengiringi delagasi MF.
Koper dan berbagai perlengkapan yang akan dibawa Mas Wira berangkat ke Shanghai sudah tertata. Mereka terkumpul di sudut kamar, menanti diangkat ke dalam mobil. Mas Wira sendiri sudah rapi. Harum minyak wangi yang khas melintas ketika ia berlalu-lalangdi hadapanku. Saat itu dini hari, tapi aku yang kerap diganggu insomnia masih belum kunjung lelap. Aku duduk berpangku tangan. Kubiarkan Mas Wira mempersiapkan sendiri keberangkatannya. Suara mesin mobil yang sedang dipanaskan terdengar sampai ke dalam kamar, mengalahkan suara jangkrik dan detik jam yang sebelumnya merajai kesunyian.
“ Dika, aku berangkat, ya,,” pamit Mas Wira setelah segalanya rampung.
Aku hanya mengangguk.
“ Kamu jaga diri di rumah. Nanti aku kabari seperti apa kongresnya,,” pesannya.
Sekali lagi aku mengangguk.
Mas Wira masih sempat mencium kepalaku. Setelah itu ia meninggalkan kamar. Aku meihat siluet punggungnya menghilang ditelan jarak. Telingku menangkap bunyi mobil yang bergerak meninggalkan rumah kami. Sunyi kembali merayap menguasai suasana. Sura mesin sudah berlalu, tetapi suara jangkrik dan detik jam yang konstan tetap tinggal. Bersama kesepian ini, aku pun tidak pergi kemana-mana.
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@Monic
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
@lian25
@drajat
@elul
@Flowerboy
@ Zhar12
@pujakusuma_rudi
@Ularuskasurius
@handikautama