It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
jadi belom kebayang perawakannya
“ya bi, ada apa?”
“pembantu rumah utama barusan datang untuk memberitahu, nyonya besar ( Farida ) panggil aden untuk makan malam”
“oh... iya bi, sebentar lagi aku kesana”
Bi Inah beranjak keluar kamar.
Shane perlahan-lahan mengangkat tubuhnya dan turun dari atas ranjang, keluar kamar dan berjalan menuju ruang makan di rumah utama, tempat dimana Farida, dan Dinda berada.
Sesampainya Shane di dalam ruang makan, tampak Farida dan Dinda sudah menunggu, semua menu makanan juga telah tersaji dengan lengkap diatas meja makan.
“ayo, duduk di samping nenek” pinta Farida pada Shane,
Shane melangkahkan kakinya dan berjalan menuju kursi serta duduk disebelah Farida,
“malam ini, kita makan bertiga dulu, karena Hendra belum pulang, tidak apa-apa kan Shane?” tanya Farida,
Shane menggeleng, matanya menatapi sebuah piring di seberangnya yang terbalik, kemudian, Farida pun memulai acara makan malam tersebut. Farida menyendokkan berbagai macam sayur dan lauk yang diletakkannya pada piring Shane,
“Shane harus makan banyak, supaya cepat tumbuh dewasa” ujar Farida,
Shane tersenyum kecil dan mengangguk sebagai pengganti ucapan terima kasih.
***
Selesai makan malam, ketiganya berkumpul di ruang keluarga. Tampak Farida bercerita mengenai Shane yang masih kecil, lagi-lagi Shane hanya tersenyum mendengar cerita neneknya yang sedang mengenang masa kecilnya.
Dinda meminta Dewi untuk menghidangkan satu piring berisi buah-buahan untuk Shane dan juga Farida sebagai camilan dan pencuci mulut.
Ditengah suara gelak tawa dari Farida, Shane dan Dinda di dalam ruang keluarga, pada saat itu juga terdengar suara kaki yang berlarian, kemudian terdengar suara Hendra,
“Nek...”
Mendengar cucu tertuanya memanggilnya, Farida segera menggenggam erat serta menarik sedikit tangan Shane, mengisyaratkan pada pemuda itu bahwa Hendra telah kembali.
Shane mengarahkan matanya pada pintu masuk, dan pada saat itulah ia melihat sesosok pemuda berpostur tinggi dengan wajah yang tampan memasuki ruangan. Dilihat lagi oleh Shane, tampak pemuda itu juga menatapinya, Shane pun mengalihkan pandangannya ke tempat lain,
“mengapa tidak mengganti pakaian terlebih dahulu” ucap Farida,
Hendra tampak gugup, “a...ee... tadi dengar dari security gerbang, kalau Shane sudah datang, jadi buru-buru kesini, maaf nek”
“hmm...”Farida mengeluarkan mimik berpura-pura merajuk pada Hendra, “jadi buru-buru datang kesini bukan karena nenek?? Tapi karena Shane??”
“ah...bukan begitu nek” Hendra segera berlari ke sisi kiri Farida dan duduk disamping wanita tua tersebut,
“Hendra juga mau liat nenek” , Hendra melayangkan sebuah kecupan di pipi Farida, serta memeluk manja.
“oohhhh Dinda, lihat putramu ini, bibirnya sangat manis, pintar merayu” terdengar suara gelak tawa dari dalam mulut Farida dan juga Dinda.
Sambil duduk disisi Farida, Hendra mencuri-curi pandang terhadap Shane, tak jarang tatapan keduanya bertabrakan.
Hendra tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang rapi pada Shane, Shane tampak tersipu, karena ia tak pernah dilihati seperti itu, apalagi dilihati oleh sesama pria.
“apa kau sudah makan nak?” tanya Dinda pada bungsunya itu,
“sudah ma” jawab Hendra dengan pandangan yang tak lepas dari Shane.
“Shane” panggil Farida,
“ya nek”
“orang yang kau tunggu-tunggu sudah datang”, Shane tampak salah tingkah disaat Farida berkata seperti itu, karena ia sama sekali tak pernah mengatakan pada sesiapapun jika ia sedaritadi menunggu Hendra, meskipun untuk awalnya ia sangat penasaran akan sosok Hendra yang sekarang, tapi itu hanya dalam hati.
“apa kau masih mengingatnya??” lanjut Farida. Shane terdiam, ia melihati Farida kemudian Hendra secara bergantian, kemudian, ia menggelengkan kepala,
“tidak nek, mungkin karena sudah cukup lama juga, jadi Shane tak begitu mengingatnya, apalagi sekarang Hendra sudah dewasa, pastinya wajah juga berubah”
Farida tertawa mendengar ucapan Shane,
“ya.. sangat wajar, wajah di masa kecil akan berbeda disaat dewasa”, “agar kalian lebih dekat lagi, sana... Hendra, ajak adikmu ini untuk mengobrol” suruh Farida.
“ah... iya nek”
Hendra bangkit berdiri, kemudian ia berdiri dihadapan Shane sembari mengulurkan tangannya pada Shane. Shane malu, ia pun mengulurkan tangannya dan dirasakan tangan Hendra menggenggam erat telapak tangannya. Keduanya pun meninggalkan ruang keluarga menuju taman belakang, sambil Hendra menggandeng Shane.
***
Suasana taman belakang tampak sunyi, terdengar suara-suara jangkrik yang menemani kebisuan mereka. Rembulan dilangit gelap sana tak begitu terang, cahayanya tampak memudar. Angin malam yang lumayan dingin, menghembus keduanya.
Keduanya tampak terdiam, dari keduanya tak ada yang memulai pembicaraan terlebih dahulu.
Tak lama kemudian, tampak Dewi bersama dengan beberapa pembantu rumah utama lainnya, mendatangi taman, tempat dimana Hendra dan Shane berada, mereka membawa berbagai macam makanan kecil dan juga buah-buahan sebagai bahan camilan obrolan mereka, setelahnya, mereka kembali meninggalkan keduanya.
“hi” sapa Hendra singkat,
“hi” jawab Shane singkat juga,
“apa perjalanan dari Bandung menuju Jakarta melelahkan??” tanya Hendra yang sesekali memasukkan kacang mede ke dalam mulutnya, kemudian mengunyahnya sebagai sarana menghilangkan rasa groginya,
“tak begitu, di dalam mobil, masih sempat beristirahat”
Hendra mengangguk-angguk,
“aku turut berduka cita, atas meninggalnya tante Lily dan juga om Johan”
Shane terdiam dan tersenyum tawar. Melihat ekspresi adik sepupunya seperti itu, Hendra mengerti dan paham akan perasaannya, ia pun memutar otak berusaha untuk mengalihkan pembicaraannya.
“ayo di makan camilannya, semuanya sangat enak, Shane suka yang mana?” tanya Hendra sembari mempromosikan camilan yang berada diatas meja pada Shane layaknya penjual makanan profesional,
“ada kacang mede, kue kacang, coklat beras, rhum, Shane mau yang mana?” lanjut Hendra. Shane menatapi kakak sepupunya itu untuk sejenak, kemudian tatapannya ia alihkan pada camilan kecil yang tersaji diatas meja, kemudian tangannya mengambil coklat beras sebagai pilihannya,
“Shane suka coklat?”
Shane mengangguk,
“baguslah, kalau begitu, kalau aku keluar nanti, aku belikan Shane coklat, bagaimana?”
Shane tersenyum kecil dan menganggukkan kepala. Senyuman di wajah Shane seolah menyihir Hendra, ia bagai tersengat aliran listrik, yang membuatnya terpesona dengan wajah tampan nan cantik adik sepupunya itu, tapi ia segera tersadar bahwa itu hanyalah sebuah perasaan belaka saja, sebuah perasaan kangen cukup lama akan adik sepupunya tersebut.
***
Dari jendela dikamarnya, Hendra menengoki paviliun tempat dimana Shane tinggal, yang kebetulan letaknya hanya dibelakang kamar Hendra. Mata Hendra menangkap lampu kamar di paviliun bagian bawah belum padam, kamar itu pastilah kamar Shane.
Hendra membuka daun jendela, mendudukkan dirinya ditengah-tengah jendela sambil terus menerus menatapi kamar yang lampunya masih belum padam itu.
Hendra membatin,
‘apa Shane belum tidur? Kalau belum tidur.. apa yang sedang dilakukannya ya’
Ingin rasanya Hendra mendatangi Shane pada saat-saat seperti ini, dan ia masih ingin mengobrol dengan Shane, meskipun porsi bercerita Hendra lebih banyak, karena Shane boleh dikatakan sangat pendiam.
Tapi dipikir lagi, hari sudah cukup larut, masih ada hari esok dan hari-hari lainnya untuk bertemu, toh... Shane juga tinggal satu rumah dengannya.
***
“Selamat pagi Den” sapa Bi Inah pada Hendra yang pagi itu memasuki halaman paviliun,
“pagi Bi” Hendra berdiri dengan tatapan mencari-cari, “mm... Bi, Shane nya sudah bangun?”
“bibi kurang tahu Den” tukas Bi Inah, “sebentar ya Den, bibi lihat” lanjut Bi Inah yang meletakkan sapu ijuknya diatas lantai,
“eh eh eh... nggak usah bi, biar aku aja yang lihat” sergah Hendra cepat,
“iya Den”
Hendra pun melanjutkan langkahnya untuk masuk ke ruang utama paviliun setelah pintu masuk. Hal biasa bagi siapapun jika masuk ke suatu tempat dengan melihat-lihat keadaan sekelilingnya. Pandangan Hendra jatuh pada sebuah pintu kayu berukir berukuran sangat besar, dan Hendra pun menebak bahwa pintu itu tak lain adalah pintu kamar Shane, Hendra pun berjalan mendekat.
Diketuk perlahan beberapa kali, pintu juga tak kunjung terbuka, Hendra menggenggam gagang pintu dan mencoba untuk membukanya. Pintu kamar tak terkunci, pintu pun terbuka. Hendra melongokkan kepala terlebih dahulu sebelum sekujur badannya berada di dalam kamar.
Dilihat Hendra, Shane masih terbaring pulas diatas ranjang. Hendra mematikan lampu kamar yang masih menyala, kemudian ia berjalan menuju sebuah meja yang berada tak jauh dari ranjang, dan duduk disana. Kebetulan, pada saat itu posisi tidur Shane sedang menghadap meja tempat dimana Hendra berada, dan Hendra, entah mengapa ia menatapi wajah Shane yang sedang tertidur.
Hendra larut dalam lamunannya, wajah Shane berada didalam benaknya kala itu. Wajah Shane yang sedang tertidur sangatlah manis, manis sekali untuk ukuran seorang anak laki-laki.
“Mother Father Gentleman” ringtone PSY dari ponsel Hendra berdering dengan kencang, Hendra terkejut setengah mati, ia terburu-buru mengeluarkan ponselnya itu dari dalam saku celana, kemudian mengangkatnya dan berbicara secara berbisik-bisik,
“iya iya, nanti aku telepon lagi yaa” bisik Hendra ditelepon.
Dilihat Hendra tubuh Shane mulai bergerak, mata pria muda itu juga mulai berkedut, tanda-tanda Shane akan bangun dari tidurnya.
Hendra bingung, ia mencoba untuk mencari-cari tempat persembunyian, tapi...barang-barang dikamar adik sepupunya itu cukup besar-besar, membuat Hendra tidak ada celah untuk bersembunyi.
Shane terbangun, matanya menangkap sosok Hendra berada di seberangnya. Usaha Hendra mencari celah untuk bersembunyi agar Shane tidak tahu jika ia diam-diam masuk kedalam kamarnya sia-sia.
Yang Hendra lakukan pada saat tertangkap basah oleh Shane adalah tersenyum dengan selebar-lebarnya, memperlihatkan deretan giginya yang rapi serta mimik wajah yang konyol dan menyapa,
“hai...”
Shane tertawa kecil dari atas kasur,
“apa yang kau lakukan disana?” tanya Shane
“ah... itu, ehm... tidak ada, aku hanya duduk disini, ehm... mejamu ini kayunya bagus, eh...mau lihat-lihat koleksi lemari bukumu” Hendra gelagapan,
“benarkah?”
Hendra menganggukkan kepala secepat mungkin diiringi dengan mimik wajah serius yang membuat tawa Shane terdengar hingga telinga Hendra.
“kau tertawa?” tanya Hendra, “lucu?” lanjutnya,
Shane mengangguk,
“bagian mana yang lucu?” tanya Hendra dengan senyuman lebar,
“raut wajahmu”
“oya?” Hendra bangkit berdiri dan berjalan mendekati Shane yang masih terbaring dan tertawa,
“berani kau mentertawakan ku, tidak sopan” Hendra lalu menempelkan kedua telunjuknya pada pinggang Shane, kemudian menggelitiknya, membuat pria muda itu tertawa terpingkal-pingkal meminta ampun pada kakak sepupunya itu.
Bi Inah yang sedang menyapu halaman menolehkan kepala menuju jendela kamar Shane, bibirnya menyungging senyuman kecil. Dalam hatinya, ia mengucapkan terima kasih pada Hendra, karena berkatnya, tuan muda kecilnya dapat tertawa yang mencerminkan ia tak sedih lagi.
“Nah, itu suara aden ya yang ketawa?” tanya pak Adi yang datang dengan tiba-tiba dan membuat Bi Inah terkejut,
“Duh... bikin kaget aja sih” Bi Inah menjulingi pak Adi sambil mengelus dadanya, mencoba untuk menetralisir rasa kagetnya,
“Syukur deh, si aden udah bisa ketawa ya Nah, nggak kayak kemaren-kemaren mukanya cemberut terus kayak kertas kusut”
“hush... jangan ngomong sembarangan, nanti dicariin tuan ama nyonya baru tau rasa gara-gara ngomongin aden”
“ya elah, bukan menghina aden kita, aden kita mah ganteng, cakep, kasep pisan, masa di bandingin ama kertas kusut, abdi teh prihatin aja Nah sama aden” ujar pak Adi,
“prihatin naon?”
“kata orang, kalau sedih terus-terusan itu nggak baik, bisa ngerusak badan, kan kasian kalau badan aden kita rusak”
“iya sih, tapi syukur dah, kayaknya aden Hendra juga sayang sama aden kita”
“pastinya Nah, gimanapun juga, aden kita kan masih sodaraan sama aden Hendra”
***
Sepulang kuliah, Hendra menyempatkan diri mengendarai mobil menuju sebuah toko coklat yang cukup terkenal di Jakarta, disana, ia membeli sekotak coklat yang akan diberikannya pada Shane. Kehadiran Shane perlahan-lahan membuat Hendra berubah, rumah menjadi tujuan utama setelah ia menyelesaikan segala aktivitas kuliahnya, tak seperti sebelum kedatangan Shane, Hendra selalu bepergian dengan teman-temannya jika jam kuliah selesai.
Shane terduduk ditaman belakang paviliun, tepatnya dibawah pohon yang tumbuh dengan rimbun. Sembari menikmati suasana sejuk di bawah pohon, di tangannya terdapat sebuah buku berisikan puisi-puisi yang menjadi salah satu buku favoritnya. Menurut Shane, dari dalam buku itu, ia mendapatkan sebuah arti dan ilham kehidupan. Filsafat-filsafat dan literatur pedoman hidup, dituangkan dengan indah dalam barisan kata-kata perumpamaan.
Begitulah Shane, diwaktu senggangnya, ia senang menghabiskan waktu dengan membaca-baca buku, ataupun melakukan kegiatan yang dapat membuat dirinya sendiri tak bosan.
Sebuah kotak berbungkus indah tiba-tiba muncul dihadapannya, Shane menurunkan buku yang ia baca, dan menoleh pada si pemegang kotak, dilihatnya kakak sepupunya itu berdiri dengan senyuman lebar yang ia hafal hingga akhir hayat. Hendra memberikan kotak yang ia pegang pada Shane,
“apa isinya?”tanya Shane,
“yang pasti, berisi makanan yang kamu suka” ujar Hendra,
“ayo dibuka” lanjutnya,
Shane meletakkan buku yang ia baca diatas pangkuannya, kemudian tangannya sibuk membuka kotak tersebut,
“coklat”
“iya, suka kan?”
Shane menganggukkan kepala, kemudian mengambil satu butir coklat lalu dimakannya,
“enak?”
“iya, enak.. mau?” tawar Shane
“tidak, coklat ini sengaja aku belikan untukmu, kalau aku makan, tidak ikhlas namanya”
Shane tertawa. Hendra melihati buku yang berada di pangkuan adik sepupunya itu, kemudian mengambilnya dan dibacanya,
“buku apa ini?”
“buku puisi”
“kau suka baca puisi?”
Shane mengangguk,
“berniat untuk menjadi pembaca puisi?”
Shane tertawa, kemudian berkata,” tidak, aku hanya suka membacanya saja”
Hendra tersenyum kecil, ia membalikkan halaman demi halaman buku yang dipegangnya. Wajahnya yang diawal tersenyum-senyum, seketika berubah menjadi sedikit serius. Baginya, makna dan arti dalam setiap puisi yang ditulis oleh penulis dalam buku itu sangatlah dalam. Dari kejauhan, tampak bi Inah tergopoh-gopoh membawa nampan berisi dua gelas minuman ke tempat dua pemuda itu berada,
“Silahkan diminum den” ucap bi Inah sembari menghidangkan minuman yang dibawanya diatas kursi tempat keduanya duduk,
“makasih ya bi” ucap Shane pada bi Inah yang setelahnya
berlalu, meninggalkan kakak beradik itu,
“apa yang kau tangkap setelah sekilas membaca buku itu?” tanya Shane,
“entahlah, ada yang ku mengerti, ada yang tak ku mengerti” tukas Hendra, “yang pasti, buku ini sangat bagus untuk ku baca, boleh ku pinjam?”
Shane mengangguk.
Obrolan keduanya berlanjut mengenai keseharian masing-masing sembari mengisi kekosongan topik pembicaraan. Dari pembicaraan mereka itu, diam-diam diantara keduanya terbangun sebuah jembatan komunikasi yang sangat baik. Kesedihan karena kehilangan kedua orang tua yang Shane rasakan sebelumnya, perlahan-lahan mulai sirna karena
Hendra.
***
Tak seperti sore hari sebelumnya yang kebanyakan tak ada di rumah, Hendra berada di dalam paviliun, menemani Shane memainkan permainan anak-anak monopoli, keduanya tampak seru. Keseruan mereka terdengar dari suara gelak tawa dan seruan-seruan lainnya dari dalam mulut masing-masing. Farida beserta Dewi dan juga Dinda, mengunjungi keduanya di paviliun.
Farida sengaja berdeham, menandakan kedatangannya, keduanya segera menghentikan permainan dan menyambut kedua orang penting didalam rumah tersebut.
“nenek” sapa keduanya yang dengan segera berhambur menuju Farida,
“seru sekali tampaknya” ujar Farida sembari bergantian melihati kedua cucunya,
“heheheh” Hendra tertawa,
Farida berjalan masuk ke dalam ruangan utama paviliun dan duduk disofa yang terdapat di dalamnya, bi Inah yang mengetahui kedatangan kedua nyonya besar itu, dengan segera menuangkan teh untuk kedua majikannya tersebut,
“nenek iri dengan Shane” ujar Farida tiba-tiba yang membuat Shane terbengong karena ucapannya, Hendra juga menjadi sedikit bingung,
“e..iri kenapa nek??” tanya Hendra,
“semenjak ada Shane, Hendra sudah tidak mau peduli dengan nenek, Shane juga seperti itu, nenek menjadi sedih”
Baik Shane ataupun Hendra, keduanya menjadi salah tingkah, keduanya pun segera duduk di sisi kiri kanan nenek tersayang
nya itu, menggandeng kedua tangan wanita tua tersebut,
“nenek, kenapa nenek bicara seperti itu?” ujar Hendra,
“nenek kalian kesepian, setiap hari berbicara pada mama, membuat nenekmu bosan” ujar Dinda diiringi suara tawa kecil,
Farida melirik pada Dinda, “aku tak pernah berpikir seperti itu”
Lagi-lagi mimik wajah dari Farida, membuat semuanya yang berada diruangan utama menjadi tertawa.
Shane teringat akan kata-kata ibunya sebelum meninggal, seseorang yang mulai memasuki usia senja, maka sifatnya dengan sendirinya akan terksesan seperti anak kecil, yang haus akan perhatian dan teman untuk mengobrol. Karena, anak-anaknya yang sudah dewasa dan berkeluarga membuat dirinya kesepian dan tak ada lagi yang harus diperbuat, berbeda ketika anak-anaknya waktu masih kecil, orang itu akan sibuk berlalu lalang untuk mengawasi anak-anak mereka bahkan mereka terkadang kewalahan dan kerepotan.
Shane menempelkan kepalanya pada pundak Farida, dengan cepat tangan Farida mengelus-elus kepala cucunya itu,
“ada apa Shane?”
“tidak ada apa-apa nek, kedepannya, Shane akan menemani nenek terus, supaya nenek tidak bosan”ucap Shane lugu. Sikap Shane yang tampak lugu dan manja inilah yang membuatnya disenangi setiap orang yang berada di rumah itu, terlebih-lebih Farida dan juga Hendra.
“hahaha... nenek hanya bercanda Shane, tak mungkin nenek iri denganmu, nenek juga tahu, kakak mu ini akan bosan jika terus-terusan berbicara pada nenek”
Farida juga tak lupa mengelus-elus Hendra sebagai ungkapan rasa sayangnya pada cucu-cucunya itu,
“nenek dan tantemu kemari, karena ada hal yang ingin kami bicarakan pada Shane”
Shane menarik kembali kepalanya, menatapi Farida dalam-dalam,
“kenapa nenek tidak meminta bi Inah untuk memanggilku, aku kan bisa ke tempat nenek”
“tidak apa-apa Shane, nenek sekalian jalan-jalan, semenjak paviliun ini dibangun, nenek juga belum pernah mengunjunginya, karena sekarang paviliun ini sudah ada Shane yang menempati, nenek sekalian jalan-jalan”
Shane mencibir manja,
“Shane, tadi pagi, om mu menelpon tante, om berencana ingin memasukkan Shane ke sekolah perguruan tinggi, bagaimana pendapat Shane?” ujar Dinda,
Shane terdiam,
“iya sayang, karena.. pendidikan itu penting, nenek tak mau kalau nantinya Shane akan menjadi buta huruf seperti nenek” sambung Farida,
“ah.. nenek”
“kalau Shane mau, Shane bisa satu kampus denganku” tawar Hendra pada Shane,
“justru papamu tidak mau kalau Shane satu kampus denganmu” celah Dinda,
“kenapa?” alis Hendra terangkat tampak kecewa,
“papamu takut kalau kau nantinya akan mengganggu Shane terus, kau kan nakal”
Hendra tersenyum geli mendengar ucapan ibunya, ia kemudian melirik Shane dan mengedipkan sebelah mata pada adik sepupunya itu, Shane tersipu malu.
“Hendra bukan nakal, tapi bandel” sambung Farida menanggapi ucapan menantunya,
“ah...nenek, bisa saja”
Farida tertawa. “lantas, bagaimana menurut Shane, apa Shane mau untuk kuliah?” tanya Farida,
Shane terdiam dan berpikir sejenak, lalu berkata, “ untuk aku pribadi, aku mengikuti saja apa keinginan om, karena aku percaya, om juga berpikir demi kebaikanku”
“berarti, Shane setuju dengan niat om untuk menguliahkan Shane?” Dinda memastikan, Shane mengangguk mantap,
“ya sudah kalau begitu, nanti tante akan telepon om untuk memberitahu hal ini, supaya om dapat cepat mengurus segala persiapan Shane berkuliah nanti”
“satu kampus dengan ku saja ya ma” pesan Hendra,
“kalau itu, biar nanti papamu yang menentukan, mama hanya meneruskan amanah dari papamu saja”
“iya, mama sekalian kasih tau papa, biar Shane satu kampus dengan Hendra”
“iya Dinda, satu kampus tampaknya lebih baik, agar Hendra dapat menjaga Shane nantinya” ungkap Farida yang secara langsung menyetujui usulan cucu tertuanya.
Dalam hati, Hendra senang bukan kepalang karena neneknya itu menyetujui usulannya, dan ia sangat tahu sekali sifat ibu atau ayahnya, jika Farida sudah berucap, tidak ada kata tidak untuk mereka, jadi dengan begitu, sudah sembilan puluh sembilan persen Shane akan satu kampus dengannya, dan ia akan terus bersama-sama dengan Shane.
“kalau mama merasa itu lebih baik, nanti Dinda akan beritahu Braddy” ucap Dinda,
“yang penting, Hendra harus selalu bisa menjaga Shane ya, jangan sampai ada anak-anak nakal di kampus yang menganggu Shane, paham?”
“siap nek, paham”
Di lihat Shane, Hendra kembali mengerlingkan mata padanya dan tersenyum nakal. Senyuman yang sesungguhnya tak ia sukai, namun di sukai dari dalam Hendra, karena senyuman itu adalah bagian dari diri Hendra yang ia kenal.
***
“eh, kamu tahu sama keponakan pak Braddy?” tanya Ita pada Iyem di dalam bedeng, tempat dimana semua pekerja wanita bertempat tinggal selama mereka bekerja pada keluarga itu,
“iya...tahu, ganteng ya...” jawab Iyem dengan mata berbinar-binar sambil tangan terus memetiki sayuran,
“ganteng? Apanya yang ganteng, mendingan Hendra kemana-mana” Ita mencibir,
“keponakan pak Braddy ganteng juga tahu” timpal Santi yang kala itu sedang membuka keran untuk mencuci sayur,
“aku tidak suka dengan sikap keponakan pak Braddy, seperti banci” sambung Ita lagi,
“Hush... kamu jangan bicara seperti itu, kalau ketahuan nyonya besar, kamu bisa dimarahi” ujar Dewi yang baru saja bergabung dengan beberapa pekerja lainnya,
“ihh... aku ngomong kan sesuai kenyataan, memang seperti banci, mana ada cowok yang berwajah lembut seperti siapa itu namanya??” pikir Ita,
“Shane” jawab Iyem lantang,
“iya Shane, nama aja susah banget manggilnya”
“kamu aja yang kampungan, tidak pernah bergaul” timpal Dewi,
“maksud kamu apa??” Ita merasa sedikit tersinggung dengan ucapan Dewi,
“iya, apa kamu sudah mencari tahu tentang wajah semua laki-laki di dunia? Apa semuanya berwajah seperti tukang pukul?? Kamu saja jarang keluar untuk jalan-jalan semenjak bekerja disini” celoteh Dewi,
Iyem dan juga Sinta tertawa mendesis setelah mendengar ucapan Dewi,sedangkan Ita, ia terdiam dengan wajah merengut dan tangan yang memetiki sayur.
“aku tidak mau melayani keponakan pak Braddy jika mereka memanggilku” sergah Ita
“masih banyak pekerja yang bersedia ke paviliun untuk melayani mereka jika kau tak mau” jawab Dewi seraya berjalan keluar bedeng.
“menyebalkan!!!” ucap Ita.
***
mention aku ea low updeat
lanjut trus jgn sampe putus, im still here lol
@alexislexis : hehehe makasih boss,
@Gabriel_Valiant : ho oh, iya tuh... kurang ajar, yuk kita gebukin, hehehehe...
Tapi gue month tanya, itu kremasi kan dibandung, tapikan di bandung gak ada laut?
Whaha parah
Makanya main ke bandung, rame.. *promo xixi
Jgn lupa mention ye
Awalnya kupikir Shane tinggal di bali. Kremasi itu kyk upacara ngaben di bali, iya bukan yah?? Hihi :-P
Ohiya bandung ga ada laut yah adanya pemandian air panas.. Shane pasti kremasi ortunya di pemandian air panas! Noh di ciater wkwkwk *canda :-D
Bang titip tampar paling pedes buat Ita si pembantu songong yah! Iuhhh pembantu sok-sokan gitu! #jari tengah buat dia
kalo update di mention ya