It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hadoooh
Burried The Heart 8
Hari itu, adalah hari pertama dimana Shane berkuliah dan satu universitas dengan Hendra namun beda jurusan dan beda kelas tentunya. Sesampainya mereka disana, mereka berpisah dan beranjak menuju kelas masing-masing. Tampak ada beberapa mahasiswa yang masih berlalu lalang di sekitaran koridor kelas. Tampaknya, jam pelajaran belum mulai pikir Shane.
Disaat Shane akan melangkah masuk kedalam kelas, seseorang memanggilnya, dari suara si pemanggil, Shane tampaknya tak asing, ia pun segera membalikkan tubuh pada datangnya suara. Dilihat Shane, Ferdy tampak berlari-lari kecil menuju arahnya,
“hei..” Sapa Ferdy ketika dirinya berada tepat di depan Shane,
“hei” Shane tersenyum,
“kamu di kelas ini?”
Shane mengangguk,
“berarti kita satu kelas dan satu jurusan dong”
“oya?”
Ferdy menangguk mantap,
“kalau begitu, kalau ada yang tak ku mengerti, aku bisa bertanya dan kau mau membantuku kan?” canda Shane pada Ferdy,
“itu sudah pasti, aku selalu siap membantumu kapanpun kau membutuhkan”
Shane hanya terdiam, ia tak begitu menanggapi ucapan Ferdy, keduanya kemudian masuk ke dalam kelas. Ferdy memilih duduk bersebelahan dengan Shane, agar memudahkan dirinya untuk berkomunikasi dengan teman barunya itu, dan bersiap-siap jika sewaktu-waktu Shane membutuhkan bantuannya.
***
Saat jam istirahat sedang berlangsung, Ferdy bermaksud untuk mengajak Shane menuju kantin untuk makan siang bersama, tapi ternyata, Shane meminta Ferdy untuk menemani dirinya mencari dosen pengajar mata kuliah sebelumnya, karena ia ingin meminta catatan sebelumnya yang ia rasa perlu untuk sebagai bahan pembelajaran nantinya. Ferdy pun dengan senang hati menemani Shane, meskipun dalam benaknya sebelumnya, ia membayangkan duduk makan siang berdua bersama-sama dengan Shane.
Selesai dari ruang dosen yang mengajar, Ferdy kembali menawarkan Shane untuk makan siang, tapi Shane menolak dengan halus, dan memilih untuk mencari Hendra, lagi-lagi Ferdy harus memendam keinginannya dan menemani Shane ke kelas Hendra.
Shane tampak melongokkan kepala ke dalam kelas Hendra, berusaha mencari-cari Hendra dengan pandangannya. Sosok yang ingin ditemui tak ditemukan, Shane tampak kecewa,
“mungkin, Hendra sedang berada di kantin bersama teman-temannya yang lain” ucap Ferdy
Shane menepuk dahinya, ia menyalahkan dirinya karena tak mengingat dimana tempat kakak sepupunya itu sering berkumpul jika jam istirahat sedang berlangsung, atau ketika mata pelajaran kuliah usai. Shane diikuti oleh Ferdy, beranjak menuju kantin.
Benar saja apa kata Ferdy, Hendra tampak duduk di kantin bersama-sama dengan teman-temannya. Teman-teman Hendra yang melihat Shane berjalan mendekat dengan segera memberitahu Hendra. Hendra pun membalikkan tubuh dan bangkit berdiri, menyambut kedatangan adik sepupunya itu, Ferdy tampak salah tingkah ketika Hendra berdiri menghadap mereka berdua yang berjalan ke arahnya.
“bagaimana kuliah hari pertama?” tanya Hendra pada Shane yang baru saja sampai di kantin,
“lumayan”
“lumayan apa?”
“ribet” jawab Shane yang mendapat tawa dari Hendra, “untung ada Ferdy yang banyak membantu” sambung Shane,
Hendra melirik sejenak ke arah orang yang di maksud oleh Shane dan tersenyum kecil, “baguslah kalau Ferdy banyak membantu, tapi ingat, tidak boleh terlalu merepotkan orang” Hendra mengingatkan,
Shane mengangguk dan menjawab, “iya, aku tahu”
Hendra tersenyum kecil sambil mengusap-usap rambut adik sepupunya itu.
“sudah makan?” tanya Hendra pada Shane,
“ini baru saja mau makan”
“ya sudah, pesan saja apa yang mau kau makan, nanti aku yang membayarnya” tukas Hendra, Shane pun beranjak mendekati stand yang berjejer didalam kantin untuk melihati makanan yang akan dipilih sebagai menu makan siang,
Di saat Ferdy akan menyusul Shane, Hendra menghentikan langkahnya sekejap. Ferdy merasakan jantungnya berdegup dengan kencang saat itu, taku akan Hendra,
“Fer...”
“i..iya kak”
“karena Shane masih baru disini, jadi aku minta kamu tolong bantu-bantu dia ya kalau ada apa-apa” pinta Hendra,
“iya kak” jawab Ferdy tegang,
“sekalian kamu jaga-jaga dia kalau ada anak-anak lain yang menganggu dia” lanjut Hendra,
“iya kak pasti”
“ya sudah, kamu makan siang dulu sana, pesan aja yang kamu suka, nanti aku yang bayar, sekalian sama punya Shane”
“terima kasih kak, tidak usah merepotkan” sergah Ferdy,
“merepotkan apa, harusnya aku yang berkata begitu karena sudah merepotkanmu, meminta mu untuk menjaga dan membantu Shane”
Ferdy tak menjawab, ia hanya tersenyum menanggapi ucapan Hendra, kemudian ia menyusul Shane yang kala itu masih saja melihati menu-menu makanan di setiap stand, sedangkan Hendra, ia kembali bergabung bersama-sama dengan temannya, dan pandangannya sesekali ia tujukan pada Shane.
Shane dan juga Ferdy, memilih tempat duduk dimana mereka untuk pertama kalinya duduk dan makan bersama. Shane sempat melirik ke arah Hendra untuk sesaat, disaat itu, ia melihat Hendra memberi isyarat dengan kepala, mata dan juga tangan agar Shane duduk dan bergabung bersama-sama dengan dirinya, Shane menolak dengan menggunakan isyarat pada Hendra. Hendra pun mengalah, ia membiarkan Shane duduk bersama dengan Ferdy sambil mata tetap mengawasinya. Karena sebelumnya ia mendapat petuah dari Farida, neneknya, untuk menjaga Shane ketika sedang bersama.
“tampaknya, Hendra sangat sayang dan perhatian ya padamu Shane” ujar Ferdy ditengah dirinya melahap makanan,
Shane menjawab dengan senyuman,
“sedaritadi, aku lihat, ia tak henti-hentinya melihat ke arahmu” lanjut Ferdy, Shane menolehkan kepala untuk melihati gerak-gerik kakak sepupunya itu sesuai yang diucapkan oleh Ferdy, benar saja, Hendra tampak sesekali menoleh ke arahnya, jika tatapan mereka bertemu, Hendra hanya melempar senyum dan mengerlingkan mata padanya.
“nenekku sebelumnya sudah berpesan pada Hendra agar selalu menajagaku, jadi... mungkin dia hanya melakukan tugasnya saja” jelas Shane yang juga menyendokkan makanannya kedalam mulutnya,
Ferdy jeda sejenak, mencoba mengolah kata-kata yang terucap dari bibir tipis Shane, kemudian ia menyimpulkan suatu hal dan mengucapkannya keluar,
“aku rasa, Hendra tidak menganggapmu sebagai adik sepupu” ujar Ferdy tanpa melihat ke arah Shane yang kala itu terpaku dan menatap ke arahnya
“maksudmu?” ucap Shane dengan debaran jantung yang cukup
kencang,
“ia memperlakukanmu selayaknya seorang sahabat”
“Oh..” Shane menghela nafas lega, Ferdy memaksakan wajahnya untuk mengembangkan sebuah senyuman kecil, meskipun di dalam benaknya, tak terpikir seperti yang ia ucapkan, lain dari yang ia pikirkan.
“sepulang kuliah nanti, kau langsung pulang?” tanya Ferdy,
“mungkin” jawab Shane, “ada apa?”
“tidak ada apa-apa, hanya bertanya saja”
Shane mengangguk-anggukkan kepala dengan bibir membentuk huruf O.
Jam istirahat bagi semua mahasiswa usai, saatnya semua kembali pada kelas masing-masing dan mengikuti pelajaran sesuai mata kuliah mereka. Hendra dan juga teman-temannya sudah terlebih dahulu meninggalkan kantin setelah Hendra berpamit diri dengan mendatangi Shane dan Ferdy.
Shane dan juga Ferdy juga kembali ke dalam kelas mereka serta mengikuti kelas selanjutnya. Selama jam pelajaran berlangsung, tampak Ferdy tak begitu konsentrasi dalam mengikuti pelajaran, ucapan dosen tak menyangkut di dalam
otaknya.
Apapun yang Shane lakukan di samping, lebih menarik bagi Ferdy ketimbang dosen yang sedang berdiri dan berkoar-koar di atas mimbar sana. Ferdy dengan sengaja memposisikan dirinya untuk duduk menyerong menghadap Shane, agar ia dapat dengan leluasa memperhatikan Shane lebih detail.
Jika Shane menengok ke arahnya, ia dengan segara mengalihkan pandangan pada buku di depannya dan memain-mainkan bolpoint agar Shane tak curiga dengan sikapnya. Ia tak mau Shane menjauhinya dikarenakan sikapnya yang terkesan sedikit aneh. Untuk Shane sendiri, ia tak mempersoalkan jika Ferdy mau berbuat apa selagi dalam
batas wajar dan tak menganggunya.
***
“kau langsung pulang?” tanya Ferdy lagi disaat berjalan bersama dengan Shane di koridor kelas karena jam kuliah telah usai,
Shane mengangguk,
“oh...” jawab Ferdy singkat, “sebenarnya aku mau mengajakmu untuk menonton film jika kau mau dan ada waktu, karena di bioskop sedang diputar film bagus” tandasnya kemudian,
“bagaimana kalau hari sabtu ini?”usul Shane,
“sabtu ini?”
Shane mengangguk,
“malam minggu?”
Shane kembali menganggukkan kepala,
“boleh” jawab Ferdy senang,
“sekalian kita ajak Hendra, dia juga hobby menonton film bioskop”
Seketika raut senang di wajah Ferdy berubah menjadi tawar,
“Hendra ikut ya”
“iya, tidak apa-apa kan?”
“iya.. hehehe tidak apa-apa, jadi hari sabtu nanti kita nonton bertiga”
“iya”
“ok.. ok”
“ok, kalau begitu aku pulang dulu ya, Hendra sudah menunggu”
“ok, hati-hati”
Shane pun berjalan dengan cepat meninggalkan Ferdy yang masih memaku sambil menatapi bayangan dirinya yang lambat laun menghilang dari pandangannya. Sesungguhnya, besar harapan Ferdy untuk melewatkan malam minggu bersama-sama dengan Shane, hanya berdua saja tanpa kehadiran Hendra.
Tapi objek yang dituju telah melontarkan kata-kata tersebut, Ferdy bukannya mempersoalkan uang yang akan dikeluarkan untuk membeli tiket untuk 3 orang, yang ia persoalkan adalah suasana kebersamaannya. Dengan adanya Hendra ditengah-tengah mereka, Ferdy telah memprediksikan bahwa Shane akan lebih banyak berinteraksi dengan Hendra dibanding dengannya. Tapi mau tak mau, ia pun harus menerimanya, meskipun ia yang mengajak dan harus menjadi ‘obat nyamuk’ diantara mereka.
Ferdy pun menuju tempat ia memparkirkan motor dengan langkah lesu.
***
“kapan?” tanya Hendra,
“hari sabtu”
“sabtu ini?”
Shane mengangguk,
“entah aku bisa atau tidak”
“jangan sok sibuk” gerutu Shane pada Hendra, Hendra hanya tertawa mendengar ucapan Shane sambil fokus dengan kemudinya,
“aku takut aku ada janji dengan teman-temanku”tandas Hendra melanjutkan ucapannya,
Shane menghela nafas. Hendra menatap sesekali ke arah Shane, dilihatnya Shane melontarkan pandangan pada luar jendela,
“iya iya, aku minta maaf, aku ikut jangan ngambek lagi” rayu Hendra pada Shane,
Shane masih saja menatapi langit di luar jendela mobil yang perlahan-lahan mulai menggelap,
“hei” sikut Hendra
Shane menoleh sejenak ke arah Hendra, kemudian ia kembali melihati pemandangan diluar jendela,
“hei, jangan ngambek lagi dong, kan aku sudah mau ikut”tukas Hendra,
“kalau merasa terpaksa, lebih baik tidak usah”
Lagi-lagi Hendra tertawa mendengar jawaban adik sepupunya itu,
“tidak tidak, tidak terpaksa kok, murni, ikhlas jujur”
Shane tak menggubris,
“hei, sudah dong jangan ngambek lagi, nanti bibirnya jatuh lho”
“biar”
Hendra masih saja tertawa sembari sesekali menatapi Shane yang masih belum menolehkan kepalanya ke arahnya. Sebagai seorang yang lebih dewasa dan seorang kakak sepupu untuk Shane, Hendra harus berusaha menghadapi sikap Shane yang masih kekanak-kanakan. Meskipun begitu, ia tetap sayang pada Shane.
***
Ketika makan malam bersama, Farida mendapati Shane tidak begitu menggubris apa yang dibicarakan oleh Hendra, ia pun mencium adanya sesuatu yang tidak beres diantar Shane dan juga Hendra. Shane tampak lebih banyak memilih diam.
Maka selesai makan malam, di saat Shane sudah kembali ke paviliun, Farida pun memanggil Hendra ke kamarnya,
“ada apa nek?” tanya Hendra ketika ia sudah masuk kedalam kamar Farida,
Farida menepuk-nepuk tempat kosong disebelahnya, “ayo sini, duduk disebelah nenek”
Hendra pun menuruti kata-kata Farida, berjalan ke arah wanita tua tersebut, dan duduk disampingnya,
“nenek mau bertanya pada Hendra”
“tanya apa nek?”
“ada apa dengan Shane, kok sepertinya dia diam terus sewaktu di ruang makan?” ucap Farida, “apa Hendra tahu penyebabnya?” sambung Farida,
“oh.. itu” Hendra tertawa kecil,
“ada apa, coba Hendra cerita pada nenek”
“sewaktu di mobil perjalanan pulang, Shane bilang kalau temannya Ferdy mengajaknya untuk menonton film bioskop, lalu Shane mengajak Hendra”
“lalu?”
“lalu Hendra jawab ‘aku takut aku ada janji dengan teman-temanku’ begitu, Shane lantas ngambek” Hendra menirukan ucapannya ketika ia mengucapkannya pada Shane didalam mobil,
Farida menyimak cerita Hendra, kemudian ia mengangguk-angguk dan jeda untuk sejenak waktu, berpikir mencari solusi untuk kedua cucu tersayangnya itu,
“jadi begitu ceritanya”
“iya nek”
“hmm...”Farida bergumam, kemudian meraih tangan Hendra untuk di gengamnya, “Hendra”
“ya nek”
“kau tahu kan kalau Shane masih berumur dibawahmu”
“iya nek, Hendra tahu”
“jadi, kalau sifatnya masih kekanak-kanakan, nenek minta Hendra untuk memakluminya ya”
Hendra mengangguk pelan,
“apalagi Shane dulu, sebelum orang tuanya meninggal, ia sangat dimanja, karena ia adalah anak satu-satunya di keluarga almarhum tantemu”
Hendra terdiam menyimak ucapan Farida, kalimat demi kalimat,
“sekarang, tante dan juga om mu, sudah lebih dulu meninggalkan Shane dan juga kita semua, otomatis, Shane tidak ada lagi yang memanjakannya, jadi bertemu denganmu sebagai kakak sepupunya, menjadikan dirinya ada lagi sebuah tempat untuk bermanja-manja” tukas Farida, “jadi nenek harap, Hendra dapat mengerti posisi Shane, dan berusaha mengalah untuknya, ya”
“iya nek, Hendra akan menuruti kata-kata nenek”
“selama Shane disini, Hendra juga tahu kan, bahwa orang yang paling dekat dengannya adalah Hendra, jadi sekarang ini, biarpun ia mendapatkan teman baru, dan temannya itu mengajaknya untuk menonton film, ia juga mau mengajak Hendra, itu bukti dari Shane tidak pernah melupakan Hendra sebagai orang terdekatnya”
Hendra terdiam,
“saran nenek untuk Hendra, luangkan waktu lebih banyak untuk Shane ya nak, karena Shane sangat kesepian, hanya dengan Hendra ia dapat berinteraksi, kalau sama nenek, banyak hal-hal yang tak dapat Shane bicarakan, karena faktor senior”
Hendra lagi-lagi terdiam,
“kalau untuk teman-teman Hendra, kapan-kapan kan masih bisa untuk berkumpul bersama-sama, ya kan?”
“iya nek, Hendra paham”
“ya sudah, sana pergi ke paviliun, ajak Shane mengobrol, dan bilang lagi padanya jika hari sabtu nanti Hendra ikut bersama dengannya”
“iya nek”
Hendra mengecup kening Farida sesaat sebelum ia
meninggalkan kamar neneknya itu. Farida menghela nafas dan tersenyum ketika Hendra sudah keluar dari dalam karanya. Dari dalam laci meja kecil yang terletak di samping tempat tidur, ia mengeluarkan sebuah bingkai foto yang berisikan gambar diri dari Lily, almarhum putrinya yang telah meninggal, pada foto itu Farida berkata,
“nak... sekarang, semua orang didalam rumah ini, telah menggantikan dirimu untuk menyayangi putra semata wayangmu, jadi... kau tak usah lagi khawatir, terlebih-lebih Hendra, keponakanmu, ia sangat menyayangi putramu seperti ia menyayangi adik kandungnya sendiri”
Selesai berbicara pada foto putrinya kecilnya, Farida pun mengusap air mata yang ia rasakan menggores halus wajahnya yang sudah dipenuhi oleh goresan-goresan halus berlalunya sang waktu.
***
Burried The Heart 9
Hendra berjalan memasuki pekarangan paviliun, kemudian ia beranjak masuk kedalam dan menuju ruang kamar Shane. Di depan kamar Shane, ia mengetuk pintu untuk sejenak waktu, tak ada jawaban, Hendra pun mencoba membuka gagang pintu kamar, ternyata pintu kamar Shane tak terkunci. Hendra pun masuk dengan perlahan-lahan,
“Shane” panggil Hendra pelan, “apa sudah tidur?” sambungnya dengan pandangan yang langsung ia tujukan pada tempat tidur. Dilihatnya Shane terbaring di atas tempat tidur dengan posisi tubuh yang ia miringkan menghadap jendela.
Dengan sangat perlahan-lahan Hendra menutup pintu, takut jika ia membangunkan Shane yang ia pikir sudah terlelap. Shane sendiri, ia masih belum terlelap dalam tidurnya, ia masih terjaga, telinganya menangkap suara langkah kaki Hendra berjalan mendekat ke arahnya,
“Shane, sudah tidur?” panggil Hendra lagi, dengan kepala yang melongok-longok ingin memastikan apakah adik sepupunya itu sudah lelap dalam tidurnya,
Shane sengaja menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya, dengan begitu, Hendra tahu bahwa pemuda kecil yang sedang merajuk itu belum terlelap. Hendra sempat tertawa kecil dengan suara yang tertahan melihat kelakuan adik sepupunya yang sedang merajuk tersebut. Hendra pun mendaratkan tubuhnya pelan-pelan diatas ranjang, di sebelah Shane.
Shane tampak kasak-kusuk didalam selimut, kemudian menggeser tubuhnya, ia tak berniat berdekatan dengan Hendra. Hendra sengaja ikut menggeser tubuhnya agar ia dapat berdekatan dengan Shane. Shane masih melakukan hal yang sama, ia masih tetap menggeser tubuhnya, begitu pula dengan Hendra, ia masih menggeser tubuhnya agar dapat menempel dengan Shane.
Hingga pada akhirnya Hendra menyadari Shane sudah berada diujung ranjang dan hampir terjatuh, disaat itulah Hendra dengan sigap dan cepat meraih tubuh Shane yang berbungkus selimut untuk di dekap, dan Shane tidak jadi jatuh dari atas ranjang.
Shane merasa pengap dengan udara yang berada didalam selimut, dengan kasar menyibak selimut dan memperlihatkan wajahnya serta rambutnya yang kusut pada Hendra, bukannya marah, Hendra tertawa kecil,
“apa yang kau tertawakan??” tanya Shane dengan nada kesal,
“rambutmu, berantakan”
Shane meniupi dengan mulut poni rambutnya yang menganggu pandangannya. Hendra mengulurkan tangannya untuk merapikan rambut adiknya tersebut meskipun di awal, Shane sempat menebas tangan Hendra, tapi toh ia membiarkan Hendra merapikan rambutnya,
“nah... kalau rambutnya rapi begini kan lebih ganteng”
Shane merasa wajahnya merah padam dan panas, ia kembali merebahkan diri di atas kasur setelah menggeser Hendra dengan paksa, ia juga tak lupa menyelimuti dirinya, kali ini tak sampai kepala, hanya sebatas leher, karena udara didalam selimut cukup pengap. Shane membelakangi Hendra. Hendra menggunakan tangannya untuk menyangga kepalanya sambil tidur menatapi langit-langit kamar,
“aku janji, lain kali tidak akan membuat Shane ngambek lagi” ucap Hendra tanpa ada sesiapapun yang menyuruhnya,
“untuk hari sabtu nanti, aku akan temani Shane untuk menonton film bioskop bersama dengan Ferdy” lanjut Hendra.
Hendra menolehkan kepalanya untuk melihati Shane, dilihat adiknya itu masih belum ada reaksi, sambil tersenyum Hendra kembali meluruskan lagi kepalanya mengatapi langit-langit.
“terus, kalau Shane mau kemanapun, aku mau temani Shane”
Shane yang mendengar Hendra berkata seperti itu, melirik Hendra, meskipun lirikannya tidak sampai pada sosok Hendra,
“janji?”
“iya, Janji” Hendra menjulurkan jari kelingkingnya tepat didepan wajah Shane, Shane tersenyum kecil dan dengan malu-malu mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Hendra.
“tapi Shane juga harus janji sama aku”
“apa?”
“tidak boleh ngambek lagi”
Shane terdiam sejenak, melepaskan kaitan jari kelingking, menaikkan selimut sebatas hidung, kemudian mengangguk perlahan.
Selanjutnya, Hendra bercerita panjang lebar diatas ranjang bersama-sama dengan Shane, sesekali, terdengar suara tawa dari mulut keduanya, karena cerita yang Hendra ceritakan pada Shane sangat lucu, sampai-sampai, Hendra tak menyadari bahwa Shane telah terlelap dalam tidurnya.
“hahahaha” tawa dari mulut Hendra terhenti ketika ia mendapati dengkuran halus dari dalam mulut Shane terdengar,
“Shane sudah tidur ya?”
Tidak ada jawaban dari lawan. Hendra pun bangkit dari rebahnya, membenarkan posisi selimut yang menutupi tubuh Shane, kemudian ia pun menarik perlahan kepala Shane untuk di dekap, membiarkan pemuda kecil itu tertidur dalam dekapannya.
***
Pagi-pagi sekali, Hendra sudah terjaga dari tidurnya, dilihatnya, Shane masih tertidur dengan pulas didalam dekapannya. Hendra tersenyum kecil, dan dengan lembut, tangannya mengusap rambut Shane yang menutupi sebagian dahi pemuda kecil itu.
Jarum jam dinding, baru menunjukkan pukul 07:25 pagi. Hendra mendengar suara ketukan pintu dari arah luar kamar Shane, terdengar suara Bi Inah yang sedang memanggil,
“Den, bangun den, sudah pagi”
Dengan sangat perlahan, Hendra mengangkat kepala Shane yang menempel didekapannya, kemudian dengan perlahan-lahan juga ia menarik tubuhnya, turun dari atas ranjang dan berjalan menuju pintu kamar,
“eh.. den Hendra, maaf kalau sudah mengganggu, bibi tidak tahu kalau aden tidur disini” tukas Bi Inah,
“iya bi, tidak apa-apa”ujar Hendra, “Shane belum bangun” sambungnya,
“ngg...” Bi Inah tiba-tiba lupa dengan apa yang akan diucapkan,
“biar saya saja bi yang bangunkan dia”
“eh iya, titip adennya bibi ya den”
“iya bi”
Bi Inah pun berlalu, ia masuk ke dalam ruang makan guna mempersiapkan sarapan pagi untuk kedua majikan kecilnya. Hendra kembali masuk kedalam kamar, mendatangi ranjang. Dengan lembut ia memanggil bangun Shane,
“hei..”
“mmm...” jawab Shane tak jelas,
“ayo bangun, sudah pagi”
Shane menggelinjang, mengubah posisi tidurnya membelakangi Hendra,
“hei... ayo bangun, nanti telat kuliah lho”
“masih ngantuk” ucap Shane dengan nada suara berat, kepala nya juga terasa berat dan masih diselimuti kabut mimpi,
“nanti sepulang kuliah, baru dilanjutkan lagi tidurnya” ucap Hendra lembut,
“heee...”
***
Selesai membersihkan diri dikamarnya, Hendra tidak bergabung bersama nenek dan ibunya untuk sarapan, ia memilih untuk sarapan bersama-sama dengan Shane di paviliun. Selama sarapan berlangsung, Shane tampak malu karena Hendra didapatinya menatapi ke arahnya.
“apa yang kau lihat?” tanya Shane sedikit grogi,
“tidak ada, hanya merasa pagi ini kau cukup berbeda dari biasanya”
Shane terdiam, mulutnya masih terus mengunyah roti panggang buatan bi Inah.
“apa yang beda?”
“entahlah”
“makan saja rotimu, jangan terus melihati aku, aku tidak bisa dimakan” ujar Shane,
Hendra tertawa kecil dan menuruti perkataan Shane, menghabiskan sarapan paginya. Setelah selesai, ia lebih dulu berpamit pada Shane untuk memanaskan mobil dan berkata menunggunya, Shane mempercepat sarapannya, kemudian menyusul Hendra di pekarangan rumah.
***
Sesampainya mereka berdua di kampus, Hendra mengajak Shane untuk ke kantin. Sebenarnya, Shane tak begitu suka jika berkumpul bersama-sama dengan teman-teman Hendra, tapi karena Hendra terus memohon-mohon, mau tak mau Shane pun mengikuti kaka sepupunya itu.
Disana, tampak Ferdy yang duduk terpisah dari teman-teman Hendra, ketika Shane datang, Ferdy terlihat tersenyum lebar menyambut dirinya. Pikir Shane, untung saja ada Ferdy, jadi ia bisa menjauh dari teman-teman Hendra, dan menghabiskan waktu sembari menunggu masuk kelas.
Ada sedikit perasaan cemburu di hati Hendra disaat melihat Shane selalu memilih duduk bersama dengan Ferdy jika ia mengajaknya ke kantin kampus ketimbang berkumpul bersama dengan teman-temannya. Tapi, Hendra berpikiran dewasa, ia membiarkan adik sepupunya itu untuk bersama dengan temannya, dengan pandangan tetap mengawasi.
“pagi” sapa Ferdy di saat Shane mengarah padanya,
“pagi juga”
Ferdy menyodorkan minuman kesukaan Shane yang sudah dipesannya terlebih dahulu sebelum pemuda kecil itu datang. Shane melihati minuman itu dan juga Ferdy secara bergantian dengan tatapan bingung,
“apa ini?”
“coffee latte kesukaanmu” ujar Ferdy
Shane tersenyum kecil ia pun duduk tepat di seberang Ferdy, dan keduanya pun berhadapan.
“sudah sarapan?” tanya Ferdy
“sudah” jawab Shane, “kamu??” tanya Shane
“sudah juga”
Keduanya pun terdiam, Shane menyeruput coffee latte yang dibelikan oleh Ferdy,
“hari sabtu nanti, jadi kan?”
Ferdy tampak linglung. Ingin rasanya ia membatalkan acara yang sudah dijanjikan pada Shane, dikarenakan pemuda kecil itu mengajak Hendra, tapi dipikir lagi, jika ia membatalkan janjinya, apa yang akan dipikir oleh Shane tentang dirinya.
“jadi” ucap Ferdy seadanya,
Shane tak menjawab, senyuman yang sudah di hafal Ferdy menjadi sebuah jawaban bagi Ferdy sendiri.
“oh iya, sudah beberapa hari berkenalan, aku masih belum memiliki nomor ponselmu”ungkap Ferdy, “boleh aku minta?” sambungnya,
“boleh”
Mulut Shane pun mengucapkan digit nomor ponselnya, Ferdy dengan cepat mengetik nomor ponsel orang yang menurutnya penting itu. Di dalam kumpulan temannya, Hendra tampak meliriki Shane, ia berharap disaat ia menatap ke arah adik sepupunya itu, yang ditatap juga ikut menatap ke arahnya, tapi nyatanya tidak.
Shane tampak tertawa-tawa sambil mengobrol dengan Ferdy, seberkas kekecewaan meyambangi hati Hendra, sampai-sampai, ia tak fokus dengan apa yang sedang dibicarakan oleh teman-temannya. Bel tanda masuk kelas terdengar, Ferdy mengajak Shane untuk segera masuk kedalam kelas. Dilihat lagi oleh Hendra, keduanya berlalu dari pandangannya tanpa Shane menatap ke arahnya, Hendra sedikit kecewa.
***
Shane merasa Hendra sedikit lain dari biasanya. Ia tampak terdiam panjang selama di dalam mobil perjalanan pulang. Biasanya, Hendra selalu mengajaknya berbicara, tapi tidak untuk kali ini. Tatapan Hendra hanya lurus menatapi jalur jalanan yang mobil mereka lewati,
“ada masalah?” tanya Shane
“tidak” jawab Hendra singkat,
Shane makin bingung, tidak biasanya Hendra berbicara sesingkat itu. Sebenranya, masih banyak yang ingin ditanyakan Shane, tapi pemuda kecil itu lebih memilih diam dan tak lagi bertanya, daripada nantinya suasana menjadi semakin keruh.
Sikap aneh Hendra makin terlihat ketika keduanya sampai di rumah. Hendra tampak terburu-buru turun dari dalam mobil dan masuk ke rumah utama tanpa menggubris dirinya, seolah-olah Shane tidak ada. Shane semakin bertanya-tanya dalam hati, apa yang salah salah dengan dirinya, sehingga Hendra tidak menggubrisnya.
Shane tak mau mendatangi Hendra, ia lebih memilih kembali ke paviliun. Setelah mengganti pakaian, Shane membawa sebuah sekop menuju taman belakang. Di taman belakang, Shane mengumpulkan bunga-bunga bougenvile berguguran diatas tanah dan dimasukkan kedalam sebuah kantung kain, selanjutnya ia melangkahkan dirinya menuju lahan kosong tempat dimana dirinya sering mengubur bunga.
Dengan tangan yang tampak sibuk menggali sebuah lubang, semakin ia merasakan kekesalan atas sikap Hendra, dengan perasaan kesal yang melanda ia melemparkan sekop itu begitu saja, sekop itu terpelanting dan memantul pada tembok, tergeletak diatas tanah.
Dada Shane naik turun menahan emosi. Wajahnya memancarkan ekspresi kekesalan,
“kenapa kau lempar sekop itu” suara Hendra tiba-tiba muncul dari arah belakang Shane yang sedang berjongkok,
Shane menolehkan kepala, menatapi Hendra dengan tatapan penuh kekesalan. Ia bangkit berdiri, kemudian berjalan mendekati Hendra,
“tanya pada dirimu sendiri” ucap Shane ketus dan berniat beranjak pergi dari hadapan kakak sepupunya itu,
Dengan cepat Hendra menarik tangan pemuda kecil itu, kemudian memaksa Shane yang meronta-ronta untuk tetap berdiri di hadapannya,
“apa salahku sehingga kau mendiamkan aku sedari tadi?”
Shane mengungkapkan kekesalannya, Hendra berusaha menenangkan Shane yang masih saja meronta-ronta layaknya seekor kelinci yang tertangkap,
“hei...hei... dengarkan aku, dengarkan aku” pinta Hendra diiringi nada memelas,
Mendengar nada bicara Hendra yang memelas, Shane menghentikan secara bertahap sikap merontanya, matanya menatapi Hendra dengan lekat, menanti-nanti penjelasan yang akan diucapkan oleh Hendra,
“aku minta maaf atas sikapku, tak seharusnya aku mendiamkanmu” sesal Hendra,
Shane masih terdiam, mata bulatnya masih menatapi Hendra dengan tajam
“aku..aku..”Hendra terbata, “aku sedikit cemburu dengan Ferdy” wajah Hendra tampak memerah,
Shane sedikit terkejut mendengar ucapan Hendra,
“tak tahu kenapa, setiap kau bersama dengan Ferdy di kantin dan tak bersamaku dengan teman-temanku, aku merasakan perasaan itu”
Shane menelan ludah berulang kali, hembusan nafasnya
terdengar menggebu-gebu keluar masuk dari dalam lubang hidung,
“maka dari itu, aku mencoba menenangkan diriku sendiri dan mencoba mengambil sisi positifnya, tapi kau merasa kalau aku mendiamkan dirimu, aku minta maaf, karena aku tak bermaksud seperti itu, aku hanya menenangkan perasaanku saja”
Shane terpaku, ia mencoba melepaskan pegangan tangan Hendra pada kedua pundaknya. Setelah menatapi Hendra sejenak, Shane kemudian berjalan terhuyung-huyung meninggalkan Hendra yang masih berdiri menatapinya memasuki paviliun.
***
Hendra berdiri di jendela dengan pandangan menghadap paviliun. Kedua alis tebalnya terus menerus menekuk menatapi jendela kamar Shane, ingin rasanya pada saat itu juga ia mendatangi Shane, dan menemani pemuda kecil itu. Tapi niatannya itu ia urungkan untuk sejenak waktu, karena pada saat-saat seperti itu, rasanya tak mungkin jika Shane akan menerima keberadaannya.
Sedangkan Shane, pemuda itu memilih duduk di teras belakang paviliun. Tatapannya kosong menatapi suatu arah. Pikirannya kacau tak jelas. Terlebih-lebih jika mengingat kata-kata Hendra yang cemburu jika melihat dirinya bersama-sama dengan Ferdy. Lantas hatinya ikut bertanya, apa yang Hendra cemburukan? Bukankah semuanya berjenis kelamin sama?
Entahlah, Shane tak begitu mau memikirkannya. Berulang kali ia mendenguskan nafas, seolah-olah dirinya di timpa oleh sebuah beban yang berat. Bi Inah yang pada saat itu kebetulan melewati teras belakang, diam-diam memperhatikan majikan kecilnya itu. Ia seolah-olah ikut merasakan apa yang di rasakan oleh majikan kecilnya tersebut, meskipun ia tak tahu menahu tentang apa yang sedang dirasakan oleh Shane.
Bi Inah berlalu, kemudian ia kembali lagi melihati majikan kecilnya itu, wanita paruh baya itu, mencoba mendekati tuan mudanya,
“den” panggil Bi Inah pelan,
“he? Iya bi”
“aden seharian belum makan, aden mau makan apa? biar bibi yang buatkan untuk aden”
Shane terdiam sejenak, kemudian membalikkan tubuh dan melihati Bi Inah. Kemudian, dengan sebuah senyuman kecil yang tampak ia paksakan, Shane berkata,
“tidak apa-apa bi, bibi tidak usah repot, aku belum lapar” sergahnya,
Bi Inah terdiam,
“tapi...aden belum makan apa-apa sejak tadi, bibi takut nanti aden jatuh sakit”
Lagi-lagi Shane tersenyum kecil dan menjawab,
“tidak apa-apa bi, aku belum lapar, kalau aku lapar, nanti aku buat sendiri, bibi istirahat saja”
Kedua alis bi Inah tertekuk, ia hanya dapat terdiam ketika tuan muda kecilnya berkata seperti itu,
“ya sudah, kalau aden butuh apa-apa, aden panggil bibi ya, nanti bibi sediakan yang aden mau”
Shane mengangguk, dan wanita paruh baya itu pun perlahan-lahn menjauh dengan langkah yang tampaknya agak ragu.
Shane menghela nafas panjang.
***
lanjut
@wooyoung : ilustrasinya, xixixi
@elul : hayooo pilih sapa, xixixi
@Barc : gak bole ikutan galau yak hehehe
@arifinselalusial : dimaklumin ya, soalnya smbil krja jg bwtnya, hehehe
@yeltz : hehe kirain tahu klo saia bwt crita baru, sm2 dah dibaca, smoga yg ini bisa ngimbangin the dancer yaa
@jokerz : situ ikutan cmburu jg gak??? hehehe