It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
lanjuuutt..:D
lanjut
kaka mention yaah
mention aldo juga kk @Monster26
Burried The Heart 7
Pagi itu, Dinda kedatangan tamu. Seorang ibu muda yang berkisar usia Dinda. Namanya Vina. Vina boleh dikatakan sebagai teman lama Dinda, mereka pernah bersatu sekolah ketika masih muda dulu.
Keduanya tampak mengobrol dengan sangat seru karena sudah sangat lama mereka tidak pernah bertemu. Terdengar suara tawa mereka ketika mereka bercerita mengenai suatu hal,
“oh iya, seingatku, kamu masih memiliki seorang anak perempuan bukan?” tanya Dinda,
Vina menyeruput teh hangat yang di sajikan oleh Dinda untuknya, kemudian di tengah ia menyeruput minumannya, ia mengangguk,
“siapa namanya? Umur berapa? Kenapa tidak kau ajak kemari? Sudah lama aku tidak melihatnya”
“namanya Maya, tahun ini dia berumur 20 tahun” jawab Vina sembari meletakkan cangkir berukir yang dipegangnya di atas meja, “bagaimana dia bisa ku ajak, dia sedang sibuk mencari-cari universitas, katanya dia ingin berkuliah dan menjadi seorang sarjana” sambung Vina,
“20 tahun?”
Vina mengangguk,
“berarti, putri bungsumu berusia sama dengan putra
almarhum adik iparku”
“adik ipar mu? Yang mana?” tanya Vina dengan mimik wajah yang serius,
“Lily, kau kenal juga bukan”
“astaga” seru Vina, “Lily sudah meninggal?”
Dinda mengangguk lirih,
“kenapa? dia meninggal karena apa?”
“dia meninggal karena kecelakaan waktu perjalan bisni bersama dengan suaminya”
“suaminya juga meninggal?” Vina tak kalah terkejut,
“begitulah, maka dari itu, mengapa putra Lily bisa tinggal disini bersama-sama dengan kami” jelas Dinda,
“astaga, aku benar-benar tidak tahu, terakhir aku kontak dengan Lily, waktu aku dan keluarga akan berlibur ke bandung, tapi itu pun sudah sangat lama sekali” kisah Vina,
“ya.. adik iparku dan suaminya meninggal juga sudah lumayan lama, sudah hampir menginjak dua bulan”
“aku turut berduka cita ya Dinda” ujar Vina sembari memegangi tangan teman baiknya itu, sebagai wujud rasa bela sungkawa,
“iya sama-sama” ucap Dinda yang mencicipi kue kering yang tersaji diatas meja, “ngomong-ngomong soal putrimu, kenapa tak kau kuliahkan saja di Jakarta, di Jakarta kan banyak sekali universitas-universitas bagus”
Vina menghela nafas sejenak, kedua alisnya terangkat, dan bibirnya menyungging senyuman kecil namun tawar,
“Dinda, kau bukannya tidak tahu dengan sifat anak-anak sekarang, susah diatur, mereka lebih memilih untuk mengikuti ego mereka” ucap Vina, “ aku sempat berpikir seperti itu juga, ingin menguliahkan putriku itu di Jakarta, tapi yang dibilang putriku ada benarnya juga kalau dipikir lagi”
“apa yang dibilang”
“dia bilang, ‘ma.. aku seorang perempuan dan di Jakarta itu, banyak sekali orang-orang jahat, mama lihat bukan, di televisi banyak sekali kasus perkosaan yang menimpa gadis-gadis belia’”ucap Vina menirukan ucapan putrinya,
“yaa.. kalau dipikir lagi memang ada benarnya juga, tapi di kota kecil kan tidak terlalu berkembang, dan maaf ya bukan aku bermaksud untuk menghina, rata-rata universitas disana juga tidak bisa di banding dengan Jakarta”
“aku tahu itu, aku juga sebenarnya menginginkan yang terbaik untuk putriku, tapi apa daya kita sekarang yang sudah termakan usia, anak-anak jaman sekarang pemikirannya sudah melebihi kita”
Keduanya tertawa kecil dan menjeda sejenak pembicaraan. Iyem yang pada saat itu diminta oleh Dinda untuk menemani mereka disana, dengan sigap dan cekatan menuangkan teh ke dalam cangkir Vina dan juga Dinda ketika dilihatnya cangkir majikan dan tamunya itu telah hampir kosong, kemudian ia kembali pada tempat awal semula dirinya berada,
“ah.. bagaimana kalau kau rundingkan dengan putrimu, lebih baik kuliah di Jakarta saja, dan soal tempat tinggal, biar dia tinggal disini” usul Dinda,
“bicara apa kau ini, tentu aku tidak mau merepotkanmu dan juga mama mertuamu” tolak Vina secara halus,
“kau ini, seperti baru mengenal aku dan mama mertuaku saja, sama sekali tidak merepotkan, kau juga tahu bukan bahwa mama mertuaku sangat menyayangi anak-anak” ujar Dinda,
“iya Dinda, aku tahu, tapi...” belum sempat Vina meneruskan kata-katanya, Dinda sudah dengan cepat menyergah ucapannya,
“sudah, lebih baik jika nanti kau kembali, kau rundingkan dulu dengan putrimu, siapa tahu putrimu memiliki pemikiran yang sama denganku, kalau soal mama mertua dan suamiku, nanti aku yang beritahu, mama mertua ku pasti senang mendengarnya” ucap Dinda, “
“jika putriku setuju dengan usulanmu, lantas bagaimana dengan putramu dan keponakanmu?” ucap Vina diiringi mimik wajah sedikit cemas,
“kau tenang saja, putraku itu, sangat cepat akrab dengan siapapun, kalau soal keponakanku, dia juga anak yang sangat baik, juga cepat akrab dengan siapapun, jika putrimu tinggal bersama-sama dengan kami, mereka bertiga pasti akan cepat menjadi teman baik, apalagi usia mereka semua juga tak jauh beda satu sama lain”
Vina kembali menghela nafas, “sungguh, aku merasa sungkan, tapi nanti coba aku tanyakan dengan putriku dulu”
“tak usah sungkan, kau juga bukan orang lain bagiku”
Keduanya tertawa kemudian melanjutkan obrolan lainnya sembari bersantai menikmati teh dan camilan yang tersaji. Kebetulan pada saat itu, Hendra baru saja selesai merapikan diri dan bersiap untuk berangkat kuliah bersama dengan Shane, Dinda yang hafal dengan langkah kaki putra sulungnya itu, segera memanggilnya,
“Hendra” panggil Dinda dari ruang tamu,
“ya Ma” jawab Hendra,
“ayo kesini dulu sayang, mama mau mengenalkan kamu dengan teman mama”
“iya Ma”
Terdengar suara sepatu yang melangkah menuju ruang tamu, dan pada saat itu, Hendra muncul di ambang ruang tamu.
“selamat pagi Den, mau minum teh?” tanya Iyem ramah,
“pagi Iyem, boleh, gulanya jangan banyak ya”
“iya Den” Iyem pun bergegas masuk menuju dapur untuk mengambil cangkir kosong, kemudian ia menuangkan teh yang sudah tersedia di ruang tamu, dan cangkir berisi gelas itu ia berikan pada Hendra,
“silahkan Den”
“terima kasih Iyem”
Iyem kembali pada posisi nya,
“ayo sapa tante Vina”
“selamat pagi tante” sapa Hendra ramah yang setelahnya menikmati teh hangat ditangannya,
“selamat pagi” Jawab Vina dengan raut wajah pangling,
“Dinda, ini... ini putramu yang dulu masih kecil itu kan?”
“iya, yang dulu suka berlari-lari kalau kamu datang itu”
Hendra tampak tersenyum malu-malu mendengar ucapan ibunya,
“aduh... tante sampai pangling, Hendra sudah besar sekarang, ganteng lagi” ujar Vina yang tak henti-hentinya memandangi Hendra dengan pandangan kekaguman,
“ah.. tante bisa saja”
“bener lho, kalau misalnya dijalan bertemu, pasti tante tidak akan mengenali Hendra, beda sekali dengan masih kecil dulu”
Hendra tersenyum malu,
“Hendra sibuk apa saja sekarang?” tanya Vina,
“kuliah saja tante”
“oh, ya ya ya” Vina mengangguk-angguk, “kalau sudah lulus, kan bisa membantu papa kamu di perusahaan ya” sambungnya,
“mudah-mudahan tante”
“terus, Hendra sekarang sudah umur berapa? Sudah punya pacar belum?”
“aku berumur 24 tante” jawab Hendra yang kemudian terdiam sejenak, “masih single”
“ah... masih bau kencur, belum boleh pacaran, kuliah dulu yang paling utama” ujar Dinda pada Vina, dan kedua ibu-ibu itu melepaskan tawanya,
Hendra melihati jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan, kemudian ia berkata pada ibunya,
“ma, Hendra ke paviliun dulu ya, mau lihat Shane sudah siap atau belum, soalnya hari ini hari pertama Shane kuliah, Hendra tinggal dulu ya ma, tante”
“iya iya, tidak apa-apa, yang pasti tante sudah melihat Hendra, ya sudah sibuk dulu saja, biar mamamu yang menemani tante disini” ujar Vina dengan senyuman lebar diwajahnya
Hendra pun memberikan cangkir kosong yang di pegangnya pada Iyem, setelah memberi salam pada ibunda nya dan tamunya, Hendra pun berjalan seraya meninggalkan ruang tamu menuju paviliun. Vina memperhatikan Hendra yang berjalan menjauh hingga pemuda tersebut menghilang dari pandangannya,
“waktu cepat berlalu ya Din, tak di sangka putramu sudah dewasa seperti itu” ujar Vina
“ya... anak-anak sekarang pertumbuhannya memang sangat cepat”
“aku masih ingat ketika aku pertama kali datang kesini, putramu ini masih sekecil ini” ucap Vina sembari mencontohkan dengan tangan, “sekarang sudah berubah menjadi seorang pemuda dewasa yang gagah dan bersahaja”
“ah... bisa saja kau ini”
***
“pagi bi Inah” sapa Hendra ramah ketika melewati pekarangan paviliun dan melihat bi Inah sedang menyapu halaman,
“selamat pagi Den”
“Shane sudah bangun bi?”
“sudah Den, aden Shane nya sudah bangun, mungkin sekarang sedang sarapan”
“ok, terima kasih ya bi”
“sama-sama den”
Hendra melangkah masuk menuju paviliun dan berjalan ke arah ruang makan di dalam paviliun. Dilihatnya adik sepupunya itu sedang sarapan dengan posisi duduk membelakanginya,
“hei...” sapa Hendra pelan yang tak ingin adik sepupunya itu terkejut dengan sapaannya,
“eh.. sudah datang, ayo berangkat” ucap Shane dengan mulut yang di penuhi dengar roti dan tampak terburu-buru menghabiskan susu yang masih penuh di dalam gelas,
“hei hei hei, tak usah terburu-buru, habiskan dulu sarapanmu, nanti kamu tersedak lho”
“tidak apa-apa, sudah selesai juga kok”
“sudah.. duduk dulu saja” Hendra menekan tubuh Shane yang tampak bangkit berdiri untuk duduk kembali di kursinya, “aku juga belum sarapan, boleh aku sarapan disini?”
“siapa yang bilang tidak boleh” ujar Shane, “sebentar, biar aku panggilkan bi Inah” sambung Shane yang bersiap untuk memanggil wanita paruh baya itu untuk menyiapkan sarapan untuk kakak sepupunya, tapi niatnya itu dengan segera di tahan oleh Hendra,
“tidak usah, biar aku saja, bi Inah sedang sibuk bersih-bersih”
“yakin? Bisa?” tanya Shane memastikan,
“hanya memanggang roti saja, siapa yang tidak bisa, kau ini”
Hendra mengetuk pelan kepala Shane, sedangkan Shane, ia hanya tersenyum kecil saja sembari menyeruput susunya yang masih ada.
Hendra mengeluarkan dua lembar roti tawar dari box penyimpan makanan diatas meja, kemudian dua lembar roti tawar itu dimasukkannya kedalam pemanggang otomatis yang terletak di mimbar dapur, setelah menakan pemanggang tersebut, ia menunggu beberapa saat hingga pemanggang memantulkan roti yang sudah terpanggang dengan sempurna tersebut,
“lihat... mudah kan?” ucap Hendra sambil mengambil roti tersebut dari dalam pemanggang, dan mengolesinya dengan selai coklat ketika kembali ke meja makan,
“ternyata kau bisa” Shane tertawa geli,
Hendra hanya tersenyum mendengar ucapan adik sepupunya. Shane bangkit berdiri dari duduknya, dari dalam lemari es, ia mengeluarkan sekotak susu segar yang masih dingin, kemudian ia menuangkan susu segar itu kedalam gelas, dan di hidngkannya untuk Hendra,
“terima kasih”
“bayar” tukas Shane,
“utang dulu boleh?”
“cash”
Hendra mencubit lembut pipi Shane, sedangkan pemuda kecil itu merasa geli ketika Hendra berbuat seperti itu padanya.
“apa tidak telat berangkat kuliah?” tanya Shane dengan kedua alis yang terangkat,
Hendra melihati arloji dipergelangan tangannya, kemudian dengan lahap melahap roti panggang buatannya,
“hari pertama kuliah, tidak apa-apa jika terlambat sedikit” jelas Hendra, “masih diberi toleransi” sambungnya.
Shane mengangguk-anggukkan kepalanya. Hendra tampak menikmati sarapan paginya dengan pandangan tak tertuju pada Shane, sedangkan Shane, ia juga tampak terdiam, tapi sesekali ia mencuri-curi pandang terhadap Hendra,
“jangan memandangi aku seperti itu” ucap Hendra gusar dengan pandangan yang tak tertuju pada Shane, membuat pemuda kecil itu terkejut sekaligus malu dan burru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain,
“Pe-De benar dirimu, siapa juga yang sedang melihatimu” Shane menutupi rasa malunya,
Hendra hanya tertawa melihat tingkah adik sepupunya itu.
***
@nakashima : lhaaaa, baru update kan xixixi bgus yak?? makasih ya bwt ksetiaan koment n wktu bwt bacanya hehehe, xixixi...
tunggu kelanjutanhya
@nakashima : duh jdi malu, dipuji2, pdahal di boystories, banyak crita yg lbih bgus lhoo..makasih bnyak bwt responnya yg antusias