It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
#senggol @Monster26
kim hyu sung, namanya,,
Esok paginya, ketika akan berangkat kuliah, tampak Hendra sedang berdiri menanti Shane yang akan berangkat bersama-sama dengannya. Ia tampak cemas, berulang kali ia melihati arloji yang melingkar dipergelangan tangannya, tapi yang ditunggu tak kunjung muncul.
Batinnya terus menerus mengucapkan pilihan, antara mendatangi Shane ke paviliun atau tidak mengunjungi Shane, akhirnya, ia pun memutuskan untuk mendatangi Shane ke paviliun.
Sesampainya Hendra di ruang tengah paviliun, dilihat oleh Shane bi Inah sedang berdiri didepan kamar Shane sambil mengetuk-ngetuk pintu pria muda tersebut, ia pun mendatangi bi Inah,
“Shane belum bangun bi?” tanya Hendra,
Bi Inah menggelengkan kepala,
“kurang tahu den, daritadi bibi ketuk pintu, aden tidak mau membukakan pintu”
Wajah Hendra terpancar kecemasan, dalam hatinya bertanya-tanya apa yang sebenarnya yang terjadi pada Shane, mungkinkah ucapannya kemarin itu cukup menganggu pikiran adik sepupunya itu,
“coba aku yang ketuk bi”
“i..iya den” bi Inah menggeser tubuhnya, Hendra menggantikan berdiri di posisi bi Inah berdiri sebelumnya, dan ketukan pintu terdengar,
“Shane” panggil Hendra,
Tidak ada sahutan dari dalam kamar, Hendra mencoba untuk mengetuk lagi,
“Shane, apa kamu sudah bangun?”
Hendra menaik turunkan gagang pintu, mencoba untuk membuka pintu, tapi sayang, pintu terkunci dari dalam. Kecemasan dari dalam diri Hendra tampak memuncak, ia mencoba mengetuki pintu lebih keras, takut Shane tidak mendengar suara ketukan pintu,
“Shane, kamu sudah bangun? Kamu tidak apa-apa kan?” ucap Hendra dengan nada cukup panik
Tampak bi Inah ikut memancarkan kecemasan,
“Shane” panggil Hendra untuk yang kesekian kalinya,
“bagaimana den, bibi jadi khawatir”
Hendra mengerutkan kedua alisnya, ia memikirkan cara untuk membuka pintu kamar dan memastikan bahwa adik sepupunya itu tidak terjadi apa-apa di dalam sana,
“aku akan mendobrak pintu ini” ujar Hendra pada bi Inah,
“iya..iya, iya den, dobrak saja, nanti kalau pintu sudah rusak, biar bibi minta pak Adi yang membetulkan”
Hendra meminta wanita paruh baya itu untuk menjauh dari pintu, dan dirinya mengambil posisi untuk bersiap-siap. Hendra menghela nafas panjang berulang kali sebelum memulai aksi mendobrak pintu kamar Shane, tepat saat Hendra akan mendobrak, pintu kamar tiba-tiba saja terbuka, tampak Shane berdiri di ambang pintu kamar.
Bi Inah dengan cepat mencondongkan tubuh dan memeluk majikan kecilnya tersebut,
“aduh...aden, aden tidak apa-apa kan, aden bikin bibi khawatir saja, aden tidak apa-apa kan??” ucap bi Inah berulang-ulang,
Hendra yang melihat Shane yang berdiri di ambang pintu, berulang kali menghembuskan nafas lega, karena sekarang ia sudah tahu jika adik sepupunya itu tidak apa-apa,
“aku tidak ada apa-apa bi” ujar Shane menenangkan bi Inah yang tampak histeris serta memeluki erat dirinya,
“aden lain kali jangan begitu lagi ya, bibi dan aden Hendra benar-benar khawatir dengan aden” bi Inah melepaskan pelukannya dan menatapi Shane,
Shane tersenyum tawar, “iya bi”
Mengerti akan kehadiran Hendra disana, bi Inah pun berlalu, membierikan waktu untuk kedua pemuda itu untuk saling berbicara. Hendra berjalan mendekati Shane, ditatapnya Shane dalam-dalam, dilihat olehnya, Shane juga menatapinya. Hendra tak tahan menatapi tatapan sendu yang terpancar dari dalam mata Shane, ia pun membuang pandangan ke segala arah,
“jangan menatapiku seperti itu” ujar Hendra grogi,
Shane pun melepaskan pandangannya pada Hendra. Hendra mencoba untuk melirik-lirik ke arah Shane, ingin mengetahui, apakah Shane masih melihati dirinya, ketika mendapati Shane tak lagi melihatinya, Hendra pun berniat untuk masuk kedalam kamar,tapi Shane yang tak bergeser, membuat Hendra tidak bisa masuk ke dalam kamar.
Hendra pun memikirkan cara agar dirinya bisa masuk kedalam kamar dan berbicara secara empat mata dengan Shane. Hendra pun menerobos masuk ke dalam kamar dengan tangan menggandeng tangan Shane. Bagai kerbau yang tercocok hidungnya, Shane pun ikut tertarik masuk ke tengah ruangan kamar, Hendra tak lupa menutup pintu terlebih dahulu sebelum ia berbicara pada adik sepupunya itu.
“apa yang salah denganku” tanya Hendra dengan dada naik turun menahan kekesalan
Shane terdiam,
“jika kau mempermasalahkan ucapanku kemarin, aku minta maaf” suara Hendra terdengar meninggi, “aku.. aku hanya berusaha mengucapkan yang sebenarnya ku rasakan” terdengar suara Hendra perlahan-lahan memelas,
Shane masih terdiam, pikirannya kacau, bingung untuk
berucap,
“aku...aku.. sebenarnya, sebenarnya, tidak begitu suka jika kau teralu dekat dengan.. dengan Ferdy”
Shane masih saja terdiam membisu,
“kenapa kau diam, beri aku satu jawaban” tukas Hendra,
“aku tak tahu harus menjawab apa, tak tahu harus berbuat apa” sergah Shane lirih,
Kini, keduanya tampak terdiam. Hendra perlahan-lahan memajukan dirinya, kemudian ia mencondongkan tubuh untuk meraih Shane masuk ke dalam dekapannya. Sebuah perasaan aneh mengembang dibenaknya, karena sedewasa ini, belum pernah sekalipun ia memeluk seseorang dengan sebuah perasaan yang mengambang tak jelas,
“sesuhngguhnya, aku sangat menyayangi dirimu” ucap Hendra lirih tepat pada telinga Shane, “aku tak rela jika ada orang lain yang mendekatimu ataupun merebutmu dariku” lanjutnya masih dengan kedua tangan terlingkar pada pundak Shane,
“aku takut jika kau menjauhiku” ucap Hendra lagi,
Shane hanya berdiri terpaku dalam dekapan Hendra, ia membiarkan pemuda tersebut mendekap dirinya sesampai pemuda itu puas,
“aku tahu, jika yang ku lakukan ini salah, tapi anggaplah perlakuanku ini sebagai wujud rasa sayang seorang kakak terhada adiknya”
Shane masih saja bungkam tak berkomentar, pelukan Hendra, dekapan Hendra, seolah-olah bagai sebuah gembok yang mengunci mulutnya untuk berucap. Hendra tahu jika Shane mendengarkan dan memahami setiap ucapannya, perlahan-lahan, ia melepaskan pelukannya atas Shane.
“jika kau bingung dengan ucapanku dan perlakuanku terhadapmu, hal yang sama juga aku rasakan, aku juga bingung dan merasa aneh, tapi... biar bagaimanapun aku menghindar ataupun kau yang menghindar, aku masih tetap merasakan hal itu”
Shane menundukkan kepalanya, ia tak berani menatapi Hendra secara gambalang, karena ia tahu, jika ia menatapi Hendra, maka sebuah perasaan yang Hendra rasakan juga akan ia rasakan. Perasaan tak jelas mengenai kedekatan dirinya dengan kakak sepupunya itu, sebuah perasaan yang tak seharusnya timbul diantara kedua pria.
“sekarang, setidaknya kau sudah mengerti tentang perasaanku terhadapmu, dan jika setelah ini kau mendiamkan aku, aku akan rela dan aku akan mencoba terima dengan semuanya, karena aku tahu, aku lah yang terlebih dahulu memperkeruh hubungan sepupu diantara kita”
Hendra ikut menundukkan kepalanya, ia mengungkapkan ucapan yang benar-benar keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam. Pasrah dengan keadaan selanjutnya.
Shane benar-benar pasrah juga dalam keadaan seperti ini, tak banyak yang bisa dilakukannya selain hanya terdiam, berdiri dan mendengarkan Hendra mengucapkan kata-kata yang terlahir dari dalam hatinya.
“maafkan aku yang telah berkata seperti ini padamu, sekali lagi, aku hanya bertengkar dengan hati dan juga perasaanku untuk mengutarakannya padamu”
Kali ini, Shane sudah tak tahu harus berbuat apa, ia hanya membiarkan Hendra terus menerus mengungkapkan seluruh perkataan yang memenuhi pikiran dan hatinya.
“T’lah tiba waktunya
Untukku menyatakan
Padamu sebenarnya, apa yang kau rasa
Maafkan hati ini yang tak bisa berhenti menyayangimu
Walau ku tak bisa menjadi milikmu
Juga sebagai yang tercinta
Di hidupmu
Kekasih yang ku cinta
Kekasih yang ku mau
Ku tau saat ini
Kau masih ragu
Maafkan hati ini yang tak bisa berhenti menyayangimu
Walau ku tak bisa menjadi milikmu
Juga sebagai yang tercinta
Di hidupmu
Oooh...
Maafkan hati ini yang tak bisa berhenti menyayangimu
Walau ku tak bisa menjadi milikmu
Juga sebagai yang tercinta
Di hidupmu
Sungguh bukan maksudku untuk memaksamu menjadi milikku
Yang selama ini sudah menemaniku untuk sebagai yang tercinta
Di hatiku
Uuuh...”
Maafkan – Nikita Willy.
***
Lewat beberapa hari, setelah kejadian di dalam kamar tersebut, Hendra tampaknya menjaga jarak dengan Shane karena malu.
Shane tak lagi seperti sebelum-sebelumnya yang merasa di diamkan oleh Hendra, ia tahu dengan perasaan yang dirasakan oleh kakak sepupunya itu. Meskipun berada dalam satu mobil, komunikasi mereka tampak terbata-bata, terlebih-lebih di saat Hendra mengajak Shane berbicara, ia tampak gugup jika berbicara dengan Shane. Ia malu terhadap Shane, dan juga terhadap dirinya sendiri. Hari hari dilewati dengan keadaan seperti itu untuk beberapa waktu ini.
Malam minggu telah datang.
Waktunya untuk pasangan muda-mudi untuk bertemu, bersama-sama melewatkan malam panjang tersebut. Ferdy tampak sibuk mendandani dirinya serapi, sewangi dan setampan mungkin, agar dirinya tak tampak buruk didepan Shane yang terlahir dengan paras sangat menawan.
Selesai, ia pun menaiki motor kesayangannya untuk menuju gedung bioskop yang sudah dijanjikannya pada Shane sebelumnya. Ferdy merasa hari sabtu sangatlah lambat, seolah niatnya untuk bersama-sama dengan Shane meskipun ada Hendra nantinya di tengah-tengah mereka, terhalang oleh datangnya waktu.
Di dalam kamarnya, Shane sudah tampak rapi. Ia masih belum mau beranjak dari cermin yang berada di hadapannya, bukan untuk mempersoalkan penampilannya pada malam itu, tapi ia memikirkan, apakah kakak sepupunya itu akan mempertanggung jawabkan janji padanya yang menyatakan dirinya akan menemani dirinya untuk menonton film bioskop bersama-sama dengan Ferdy.
Shane membalikkan tubuhnya, mengarahkan pandangannya pada jendela di kamarnya, dilihatnya dari jendela, lampu kamar Hendra tampak menyala, itu menartikan bahwa si pemilik kamar masih berada di dalam kamar. Shane kemudian memutar balik tubuhnya untuk kembali menghadap cermin, tak lama setelah ia melihati lampu kamar Hendra yang masih menyala, dari balik bayangan cermin, ia melihat lampu kamar Hendra sudah padam. Pikir Shane, jika di karenakan kejadian beberapa waktu lalu Hendra tak jadi menemani dirinya, maka ia memutuskan untuk pergi menemui Ferdy sendirian.
Terdengar suara ketukan pintu kamar dari luar, dibalik suara ketukan pintu kamar, terdengar suara bi Inah yang memanggil,
“den...”
“ya bi” jawab Shane seraya berjalan ke arah pintu dan membuka pintu kamar tersebut, “ada apa bi?” tanya Shane,
“barusan aden hendra berpesan sama bibi, minta tolong bibi untuk bilang ke aden, kalau aden Hendra sudah menunggu di depan”
Shane tertegun sejenak, ternyata, Hendra seorang pria sejati, ia bersikap profesional dan menepati janjinya untuk menemani dirinya, meskipun diantara keduanya sedang ada konflik perasaan,
“ah... iya bi, aku sekarang kesana”
Bi inah pun berlalu dari hadapan Shane.
***
Jalanan tampak sedikit macet, karena banyak mobil-mobil dan motor yang memadati jalanan yang berniat juga untuk melewatkan malam minggu tersebut. Tampak di dalam mobil, baik Hendra maupun Shane, keduanya terdiam.
Hendra tampak berpura-ura fokus dengan kemudinya, tapi sesekali ia meliriki Shane dari balik kaca spion. Shane juga begitu, ia tampak memperhatikan luar jendela, tapi disisi lain, ia mencuri-curi menatapi Hendra dari balik bayangan kaca jendela.
Kali ini, Hendra yang merasa tak biasa jika ia harus berdiam diri lama atas Shane, apalagi beberapa hari sebelumnya, keduanya tampak saling menjaga jarak satu sama lain, bicara seperlunya, bertemu meskipun didalam rumah juga seperlunya, tak seperti lalu-lalu,
Hendra pun berinisiatif untuk membuka suara terlebih dahulu,
“kau pakai parfum merk apa?” tanya Hendra beralasan,
“hah? Oh.. ini, aigner” respon Shane cepat,
“seri?”
“mm.. aigner seri revolutionary”
“oh, aigner seri terbaru itu ya”
Shane tersenyum kecil,
“jalanan lumayan macet” gumam Hendra,
“iya”
Keduanya jeda sejenak,
“kau tak menghubungi Ferdy terlebih dahulu dan memberitahukan bahwa kita sedang terkena macet sedikit” tukas Hendra, “kasihan dia jika menunggu terlalu lama”
“ah.. iya sebentar lagi aku beritahu dia”
Baru saja Shane berniat untuk menghubungi Ferdy, yang bersangkutan lebih cepat satu langkah menghubungi dirinya. Bunyi ponsel yang begitu kencang, membuat Shane terburu-buru untuk mengangkat panggilan tersebut,
“ha..halo”
“hai Shane” sapa penelpon di seberang sana,
“hai”
“bagaimana, apa sudah menuju kemari?”
“ya, sudah, sedang terkena macet sedikit”
“oh, ok aku sudah sampai, aku tunggu ya”
Hendra yang tampak serius, diam-diam memperhatikan percakapan keduanya, tanpa ditanya siapa si penelepon, ia sudah dapat menebaknya,
Shane mengakhiri pembicaraan,
“Ferdy” ucap Shane yang berusaha menjelaskan pada Hendra, Hendra yang sudah tahu dari awal, berpura-pura tidak mengetahui,
“oh, Ferdy bilang apa?”
“dia bilang, dia sudah sampai, dan sedang menunggu kita”
Hendra tersenyum kecil.
***
Ferdy tampak duduk menunggu didalam ruang tunggu dalam bioskop sambil menatapi barisan panjang yang mengular di podium penjualan tiket, dan orang-orang yang berlalu lalang didepannya.
Di tangannya terdapat 3 lembar tiket pertunjukan film yang sesuai rencana akan di tonton oleh dirinya, Shane dan juga Hendra. Jika ia terpikir tentang Hendra yang berada di tengah-tengah dirinya dan juga Shane, ia sudah membayangkan bahwa film yang di tonton akan terasa hambar. Entah karena adanya Hendra, atau karena perasaannya yang takut akan Hendra. Ferdy pun menghela nafas panjang,
“kenapa... juga harus ada dia” gumam Ferdy dengan kedua alis terangkat dan berdecak,
“hei” sapa Shane tiba-tiba,
“hei” balas sapa Ferdy yang kemudian bangkit dari duduknya,
“sudah lama?” tanya Shane berbasa-basi,
“ah...tidak kok, tidak”
Keduanya tampak tersenyum-senyum. Mata Ferdy tampak mengelilingi seklilingnya, mencari-cari sosok yang sebetulanya tak ingin ia ada,
“mmm...katanya Hendra ikut, mana dia?”tanya Ferdy seadanya,
“oh, dia lagi ke toilet, paling sebentar lagi juga datang”
“oh iya iya” ujar Ferdy sembari mengangguk-anggukkan kepala, sebuah anggukan yang mengandung banyak arti,
“sudah beli tiket?”
“sudah, nih” Ferdy mengangkat tangannya dan menunjukkan 3 lembar tiket yang dipegangnya,
Shane kembali tersenyum,
“oh ya, Shane mau beli makanan atau minuman apa?”
“ah.. tidak usah repot, nanti aku saja yang beli”
“tidak apa-apa, aku yang belikan untuk Shane” tukas Ferdy sambil menggiring Shane untuk mendekati stand penjual snack dan minuman yang berada didalam bioskop,
“tidak usah repot Fer”
“apanya yang repot, sama sekali tidak merepotkan, Shane mau apa? popcorn, nachos, hotdog, lemon tea, pepsi, cola atau apa?” Ferdy berpromosi layaknya penjual.
Karena di desak terus oleh Ferdy, Shane pun menyerah, ia melihati menu, dan memilih popcorn serta segelas pepsi berukuran besar sebagai pelengkap saat menonton nanti.
Ferdy pun memesan makanan yang sama dengan Shane. Saat pria itu mengeluarkan dompet berniat untuk membayar pesanan keduanya, muncul Hendra yang langsung menyodorkan uang pada kasir.
Tampak disana Hendra dan Ferdy berebut untuk membayar, sampai-sampai kasir stand penjual makanan tersenyum-senyum sendiri karena bingung. Ferdy pada akhirnya mengalah, membiarkan Hendra yang membayar makanan yang dibeli untuk dirinya dan juga Shane.
Biarpun mereka bertiga semuanya adalah pria, namun bagi Ferdy, dibayarkan oleh orang lain atas pesanannya, adalah hal yang paling memalukan baginya, apalagi hal itu diketahui dan dilihati oleh Shane. Ketiganya berjalan meninggalkan stand, menuju tempat duduk disekitaran sembari menunggu pemberitahuan.
Sesuai yang diperkirakan oleh Ferdy bahwa dirinya akan menjadi obat nyamuk ditengah-tengah Shane dan juga Hendra, dilihat olehnya, Hendra sesekali memakan popcorn dan juga meminum minuman yang dipegang oleh Shane, dan keduanya tampak terlibat dalam suatu percakapan kecil yang
Ferdy sendiri tak ingin tahu.
***
Shane duduk dengan diapit Hendra disebelah kiri dan Ferdy disebelah kanan. Mata Shane tampak serius menatap ke arah layar, begitu juga dengan Hendra. Sedangkan Ferdy, ia tak fokus dengan film sedang terputar dilayar.
Mata Ferdy sesekali melirik ke arah tangan Shane yang tersangga di sisi kiri sanggahan kursi tempat ia duduk, ia juga sesekali melirik ke arah Hendra, memastikan Hendra sedang seru dengan film yang mereka tonton. Ferdy mencari akal untuk mencoba menggenggam tangan Shane, ia sengaja memfokuskan tatapan pada layar, kemudian dengan jantung yang berderap dengan sangat kencang dan perasaan tegan, ia mengarahkan tangan pada tangan Shane.
Shane terkejut, sehingga secara tak sengaja ia menyenggol minuman yang berada di lubang di tengah-tengah kursi dirinya dan juga Ferdy, membuat minuman itu terjatuh dan tumpah diatas lantai mengenai celana dan juga sepatu yang Ferdy kenakan.
Ferdy juga terkejut bukan main, kejadian itu menarik perhatian beberapa penonton yang berada di sekitar mereka dan juga Hendra. Hendra melongokkan kepala untuk melihati kejadian yang sedang berlangsung di sampingnya,
“maaf, kamu tidak apa-apa?” tukas Shane dengan suara pelan,
“tidak.. tidak apa-apa” ujar Ferdy yang juga dengan suara pelan sambil mengusap-usap bercak tumpahan minuman di celananya,
Hendra hanya memasang tatapan dingin ke arah Ferdy.
***
Burried The Heart 11
“maaf, tadi itu aku tak sengaja, aku terkejut” ujar Shane meminta maaf pada Ferdy ketika film usai dan mereka berada di luar theater bioskop, pada saat itu, Hendra sedang berada di dalam toilet, karena toilet cukup ramai, waktu Hendra berada di dalam toilet menjadi cukup panjang,
“tidak apa-apa” sergah Ferdy, “aku yang salah, tak seharusnya aku tiba-tiba berbuat seperti itu” lanjutnya dengan perasaan malu,
Shane mengangkat kedua alisnya, pada saat yang bersamaan, Hendra berjalan keluar dari dalam toilet, kemudian ketiganya berpindah ke sebuah tempat makan untuk bersantap malam, setelah itu, ketiganya pun berpisah.
Sebenarnya, jika malam itu Hendra tidak bergabung, Ferdy ingin mengajak Shane untuk jalan-jalan memutari ibukota, tapi karena kakak sepupu dari Shane berada ditengah-tengah mereka, Ferdy pun mengurungkan niatannya tersebut.
***
Jalanan menuju arah pulang, tidak begitu macet lagi seperti pertama kali Shane dan juga Hendra akan berangkat. Tampak lengang. Lampu-lampu jalanan yang berada disepanjang kiri kanan jalan, menyinari jalanan dengan sinarnya yang cukup temaram. Hendra sesekali melirik ke arah Shane yang tampak sibuk membalas pesan singkat di ponselnya,
“dari siapa? Tampaknya seru sekali” ujar Hendra diiringi senyum kecil,
Setelah mengirim, Shane dengan segera keluar dari menu pengirim pesan singkat, kemudian mengunci ponsel dan menjawab,
“mmm... dari Ferdy” jawab Shane tanpa melihat ke arah Hendra,
“oh...”
Tebakan Hendra dari dalam hati ternyata benar. Sedikit kecemburuan merambat di hatinya, tapi sesegera mungkin ia hapus rasa itu, dan ia berusaha untuk berpikir positif,
“kamu... tidak marah kan?” tanya Shane,
Hendra tertawa kecil mendengar ucapan Shane, “buat apa aku marah, Ferdy itu kan teman baikmu”
Shane tersenyum tawar, “aku takut jika kau marah” gumam Shane yang dengan segera melempar pandangan keluar jendela karena malu. Tangan kiri Hendra, meraih tangan kanan Shane yang menggenggam ponsel,
“siapapun yang dekat denganmu, aku tak berhak marah, karena semua itu adalah pilihan, lagipula, aku tak dapat berbuat banyak, karena aku hanya seorang kakak sepupumu”
Mendengar ucapan Hendra seperti itu, Shane segera menolehkan kepala menatapi pemuda di sampingnya. Ia berusaha mencerna setiap kata-kata Hendra,
“ya... kakak sepupu, hehehe hanya kakak adik”
Shane berucap dengan nada datar, ia membiarkan tangan Hendra tetap menggenggam tangannya, merasakan kehangatan dari Hendra. Hati Hendra bagai teriris-iris ketika melihat ekspresi Shane yang nampak kecewa, sesungguhnya, ia tak bermaksud seperti itu pada adik sepupunya, ia hanya berusaha melawan segala perasaan aneh yang mulai merambat hatinya.
Jika pada saat itu Shane tidak berada disampingnya, mungkin Hendra sudah berteriak sekencang mungkin untuk menenangkan dirinya sendiri.
“ngomong-ngomong, sewaktu di dalam gedung bioskop tadi, ada apa dengan Ferdy?” tanya Hendra,
“hah? Oh, ee.. itu, dia.. dia menyenggol minumannya, minumannya tumpah mengenai celana” jelas Shane menutupi hal yang sebenarnya,
“oh... aku pikir ada kecoa yang merambat di pahanya” canda hendra yang membuat Shane ikut tertawa kecil,
“hari ini, hari pertama kita menonton di bioskop bersama ya” sergah Hendra,
Shane menoleh sejenak ke arah Hendra, kemudian meluruskan pandangan pada jalanan, dan menjawab, “iya”
“aku janji, malam minggu berikutnya, aku akan mengajakmu lagi untuk menonton”
“aku aj...” belum sempat Shane meneruskan kata-katanya, Hendra lebih cepat selangkah memotong,
“hanya berdua”
Shane pun membatalkan niatnya untuk mengucapkan kata yang ada di benaknya beberapa waktu lalu.
***
Hari sudah tampak larut, jalanan juga sudah tampak mulai sepi. Mobil yang Hendra kendarai, perlahan-lahan memasuki pekarangan rumah dan berhenti di garasi belakang rumah dekat dengan bedeng. Pada saat itu, Ita yang masih belum tidur dan sedang berada di teras bedeng, dengan cepat masuk ke dalam rumah serta menarik Iyem yang belum tidur juga untuk keluar menemaninya di teras bedeng,
“Yem.. Yem...lihat-lihat, keponakan pak Braddy yang banci itu baru saja pulang dengan tuan muda kita” ujar Ita kepo pada Iyem
“mana... mana” Iyem berusaha melihati dengan hal yang diucapkan oleh Ita,
“Tuh, di garasi”
“aaaa.... tuan muda Shane, ganteng banget” seru Iyem,
“howeekkksss...” Ita sengaja memasang ekspresi ingin muntah pada Iyem,
“kenapa? hamil?” cetus Iyem,
“amit-amit ganteng, muka seperti banci begitu, dibilang ganteng, seperti kau harus memeriksakan matamu ke dokter mata” celoteh Ita,
“Ita, kalau kamu tidak suka, kamu tidak boleh membicarakan orang seperti itu, toh tuan muda Shane tidak pernah berinteraksi denganmu”
“kalau saja aku di minta untuk ke paviliun, aku tidak sudi”
Iyem hanya mendiamkan Ita yang masih sibuk dengan ocehannya, dari dalam bedeng, terdengar telepon berdering, panggilan dari rumah utama, Iyem beranjak masuk untuk mengangkatnya, kemudian ia keluar lagi,
“Ita, di panggil nyonya muda”
“iya deh”
Ita bergegas meninggalkan teras menuju rumah utama. Saat dalam perjalan Ita menuju rumah utama, gadis belia itu berpapasan dengan Shane yang akan kembali ke paviliun, Shane pun menyapa Ita dengan senyuman ramah, Ita menggubris senyuman sapa dari Shane. Gadis belia itu malah memasang ekspresi judes terhadap pemuda kecil itu, dan bergegas menuju rumah utama.
Shane sedikit heran dengan pembantu yang satu itu, ia merasa tak pernah menyakiti ataupun berkata kasar kepada pembantu-pembantu di kediaman tersebut, tapi mengapa Ita bersikap seperti itu padanya, Shane pun tak ambil pusing dengan sikap Ita dan melanjutkan perjalanan menuju paviliun, baginya, Bi Inah adalah pekerja yang benar-benar setia padanya dan selalu ada untuknya.
***
Meskipun tak sesuai yang di rencanakan, yaitu menonton film berdua dengan Shane karena adanya Hendra, setidaknya Ferdy cukup senang, karena Shane mau menemani dirinya. Setidaknya Ferdy juga sudah berhasil menggenggam tangan pemuda kecil ituwalau hanya sebentar dan terjadi hal memalukan.
Ferdy merebahkan dirinya diatas ranjang membentuk bintang, tatapannya menatapi langit-langit kamar. Sesekali, ia tampak tersenyum-senyum sendiri jika mengingat kejadian yang belum lama tadi terjadi di dalam theater bioskop beberapa jam yang lalu. Ia mentertawakan dirinya yang bodoh, yang memberanikan diri untuk menggenggam tangan Shane, meskipun ia tahu jika Hendra berada tepat disebelah Shane.
Ferdy mengutak-atik ponselnya, ia membuka menu galeri foto, dilihatinya satu per satu foto Shane yang ia bidik secara diam-diam. Wajahnya tak henti-hentinya menyungging senyum tatkala melihati foto-foto tersebut. Ia tahu, mengerti dan sangat paham, jika perasaan terhadap Shane yang sebagaimana juga adalah seorang laki-laki adalah salah, namun, ia membiarkan semua itu. Ia membiarkan dirinya jatuh kedalam sosok Shane yang sangat ia kagumi.
***
Hendra membiarkan air yang mengucur deras dari dalam shower membasahi sekujur tubuh polosnya. Terlintas di benaknya kejadian ketika dirinya, Shane dan juga Ferdy masih berada di dalam gedung theater. Dari lirikan sudut matanya, Hendra melihat Ferdy menggerakkan tangannya untuk menggenggam tangan Shane.
Hendra menutup matanya rapat-rapat, berusaha menghilangkan kejadian itu dari dalam pikirannya. Air masih dengan sangat derasnya menyirami sekujur tubuhnya, dari kepala hingga kaki.
Jika ia kembali mengingat hal tersebut, hatinya seolah terbakar api sebuah perasaan yang tak jelas. Hendra mengepalkan tangannya, secepat kilat kepalan tangan ia hantamkan pada tembok kamar mandi dihadapannya dan menghasilkan suara dentuman pukulan yang cukup kencang. Sakit di kepalan tangan, tak sebanding dengan rasa sakit yang sengaja ia pendam dan ia dirasakan didalam hati ketika Shane berada di sampingnya di dalam mobil.
“aku memintamu untuk menjaga Shane, bukan untuk menyukainya, bedebah!!!” gertak Hendra mengungkapkan kekesalannya.
“kau pikir aku tak melihat apa yang kau lakukan terhadap Shane, kau pikir aku buta??? Aaaaarrrgghhhhhhhhh”
***
“Shane”
Telinga Shane menangkap sebuah suara yang sangat lembut. Suara itu sangat tak asing bagi dirinya, suara yang beberapa bulan lalu, masih ia dengar.
“ma...”
Tiba-tiba saja dari dekat jendela, muncul seberkas kemilau cahaya yang amat indah. Cahaya itu perlahan-lahan berubah menjadi sosok seorang wanita cantik yang duduk di sisi ranjang tidur Shane. Dengat gesit Shane memeluk wanita cantik yang tak lain adalah ibundanya tersebut,
“ma... Shane kangen mama”
Lily menjulurkan tangan lentiknya di usapnya rambut putranya yang berwarna hitam legam nan halus itu. Jemarinya menyusupi setiap helai rambut Shane,
“anak bodoh, mama tidak pernah kemana-mana sayang, mama selalu ada bersamamu”
“mama bohong, mama sudah berada di tempat jauh, meninggalkan Shane seorang diri disini”
Lily tersenyum anggun, memancarkan pesona dirinya yang sangat cantik di saat iamendengar ucapan manja dari dalam mulut putra semata wayangnya,
“percayalah, mama tidak pernah menjauh, mama selalu berada di dekatmu, memperhatikanmu, hingga akhirnya kau benar-benar berubah, tumbuh menjadi seorang pria dewasa”
Tanpa Shane sadari, air mata kerinduan, menggenang di pelupuk mata dan di akhiri dengan lelehan, karena pelupuk matanya sudah tak sanggup lagi untuk menampung jumlah air mata yang banyak tersebut, Shane pun menangis terisak. Isakan memilukan bagi sesiapapun yang mendengar. Sebuah tangisan kerinduan akan orang tua,
“anak laki-laki tidak boleh menangis, anak laki-laki harus kuat”
Shane menjawab dengan nada terisak-isak, “aku tidak menangis ma, tapi air mata ini terus menerus meleleh”
Lily memiringkan posisi kepalanya dan menempel pada putranya, tangannya yang halus dan jemarinya yang lentik, masih saja membelai-belai rambut dan wajah Shane yang sudah dipenuhi oleh goresan air mata. Sebelumnya, Lily tersenyum manis, kemudian ia berucap,
“jika kau sudah mulai dapat meneteskan air mata, itu tandanya kau sudah mulai mengerti dengan segala hal yang kau hadapi selama berada di dunia nak”
Shane masih saja terisak dalam tangisnya, dan masih mendekap erat ibunda tercintanya tersebut,
“tidak ada lagi yang menemani Shane berbicara jika Shane merasa kesepian” Shane mencurahkan apa yang ia rasa pada ibundanya,
“dengarkan mama nak, walaupun raga mama sudah tidak lagi berada di sisimu, dan kedua biji mata mama, tidak lagi dapat melihatmu tumbuh dewasa, masih banyak orang-orang yang menggantikan mama untuk selalu menjagamu, menemanimu, dan juga menyayangimu, sebagaimana mama menyayangimu”
Shane masih saja terisak dalam tangisnya. Lily dengan lembut mengangkat wajah putranya, dengan penuh kasih sayang dan cinta kasih. Lily mengusap goresan air mata yang membanjiri wajah putra tunggalnya itu,
“sudah, jangan menangis lagi, jika Shane masih menangis, maka mama akan tidak tenang di alam sana”
Bagai seorang bocah kecil, Shane tergesa-gesa mengusap air matanya meskipun isakan tangis masih terdengar dari dalam mulutnya,
“Shane tidak menangis lagi ma”
Lily tersenyum kecil, “ini baru anak mama yang kuat yang tidak suka menangis”
Shane berusaha tertawa. Dipandanginya wajah ibundanya itu secara dalam, ibunda tampak masih cantik. Masih sama seperti Shane melihat untuk yang terakhir kalinya. Lagi-lagi air mata kerinduan kembali meleleh dan menggores pipinya yang halus.
Lily mengerutkan wajahnya, “anak mama kenapa menangis lagi??”
“Shane rindu pada mama, juga papa”
Lily memeluk tubuh putra mungilnya. Semerbak aroma tubuh Lily, tercium oleh indera penciuman Shane, aroma tubuh yang masih sama,
“mama dan papa, juga sangat merindukan Shane”
“jika mama mau pergi, aku ikut dengan mama, agar kita dapat berkumpul seperti dulu lagi”
Lily tersenyum kecil, masih dengan tangan yang mengelu-elus rambut putranya,
“anak bodoh” tukas Lily,
“Tuhan masih sayang kepadamu, ia masih memberi udara untuk kau hirup dan bernafas setiap hari, untuk apa kau memikirkan hal lain?”
Shane tertunduk sedih,
“aku ingin berkumpul kembali bersama papa dan mama”ujar Shane lirih,
“setiap orang sudah diberi waktu untuk kembali pada Sang Pencipta, begitu juga dengan dirimu, jika waktumu sudah tiba, maka kau juga akan pergi meninggalkan semua orang-orang yang datang dan pergi secara silih berganti, dan pada saat itu, mama dan papa akan menjemputmu di pintu surga, dengan begitu, kita juga berkumpul kembali seperti dulu”
Selesai mendengar ucapan Ibundanya, Shane merasakan kemilau cahaya yang terpancar dari tubuh Lily perlahan-lahan meredup. Seiring memudarnya kemilau cahaya, sosok Lily pun ikut tampak semakin memudar. Shane panik, ia berusaha menggenggam erat tangan ibundanya,
“ma.. mama mau kemana? Shane ikut ma, mama jangan pergi lagi ma”
“waktu mama sudah tiba nak, mama harus pergi” ucap Lily lirih,
Sosok Lily semakin lama semakin memudar dan perlahan-lahan menghilang dari pandangan Shane, ia hanya meninggalkan sebuah suara sebagai pesan terakhir darinya,
“mama jangan pergi ma, jangan tinggalkan Shane, Shane ikut ma” tangis Shane semakin kencang,
“mama akan selalu berada di sisi Shane, di dalam hati Shane, mama dan papa akan selalu menjaga dimanapun Shane berada”
“maaaaaa.... jangan pergi ma, Shane ikut maaaaa....”
Mata Shane terbelalak dengan sangat lebar
“maaaaaaaaaaaa.............”
Dada Shane naik turun, peluh membanjiri tubuhnya. Udara dari pendingin udara didalam kamar serasa tak menyejukkan dirinya, ia memandang sekelilingnya yang lengang dengan sebuah pandangan kosong. Rupanya ia bermimpi. Memimpikan sosok Ibundanya.
Shane meraih gelas berisi air minum yang sengaja ia letakkan di dekat ranjang, kemudian di tenggaknya hingga tak bersisa. Pemuda kecil tersebut tampak mengatur nafasnya yang tak beraturan terlebih dahulu, mengusap semua keringat yang membanjiri tubuhnya, kemudian ia kembali merebahkan dirinya diatas ranjang, memejamkan mata, dan mencoba untuk melelapkan kembali dirinya dalam tidur.
“Ku buka album biru
Penuh debu dan usang
Ku pandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Kata mereka diriku s’lalu di manja
Kata mereka diriku s’lalu di timang
Nada nada yang indah
S’lalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Tak’kan jadi deritanya
Tangan halus dan suci
T’lah mengangkat diri ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Rela dia berikan
Oh Bunda ada dan tiada dirimu
Kan selalu ada di dalam hatiku”
Bunda – Melly Goeslaw.
suka sama Hendra tapi juga suka sama Ferdy..
Shane maaf,, tidak bisa memberimu solusi wkwk
love this story :x
buat si ferdy pergi saja sono ke neraka...hahahaha
@ all : maaf pagi2 udah mention, just info aja, seri ini udah ada twitter nya, disana bwt para pmbca, bs nemuin ulasan di setiap part brikutnya,
bgi yg berkenan, bisa di follow di
@BurriedTheHeart
sekali lagi, makasih ya dah mau luangin wktunya bwt baca and ninggalin jejak,
morning all