It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Shampo, minyak goreng, pasta gigi.. sudah semua sepertinya,” ujarku sambil memastikan semua barang-barang yang ada di trolley sesuai dengan daftar barang yang harus kubeli.
Sebenarnya hari ini aku malas sekali untuk keluar rumah kalau tidak ibu yang menyuruhku untuk membeli semua ini, karena Ibu sedang ada urusan di kantornya. Sejak kejadian kemarin di sekolah, rasanya malu untuk bertatap muka dengan banyak orang lagi. “Sungguh aneh!” aku menjitak pelan kepalaku.
“Hei..,” ucap seseorang di belakangku.
Aku menoleh ke belakang. “Andra?” ucapku kaget. Ah, aku sering sekali mendapatkan kebetulan tanpa keberuntungan.
“Banyak banget belanjaannya?” tanya Andra sambil tertawa yang dikuiti oleh seseorang di sampingnya. Seorang lelaki berawajah mirip seperti Andra tapi tingginya hampir menyamai Andra.
“Pesanan ibu semua. Adikmu?” tanyaku menunjuk pada seseorang di sampingnya.
“Hmm, iya,” ujarn Andra singkat sambil menepuk pundak adiknya.
Setelah membayar semua barang yang kami beli di kasir, kami melangkahkan kaki meninggalkan supermarket, dan pergi bersama kerumahku.
Sesampainya dirumah, kami langsung duduk di depan teras sambil menikmati indahnya langit sore yang bewarna jingga.
“Adikmu siapa namanya, Ndra?” bukannya menanya pada orangnya langsung, aku memilih menanyakan hal itu pada Andra.
“Dony,” ujarnya singkat.
“Kelas berapa?” tanyaku lagi.
“3 SMP,” balas Dony sambil tersenyum.
“Kamu tumbuh sangat cepat,” ucapku sambil tertawa. Dia yang baru kelas 3 SMP saja, tinggi badannya sudah melebih diriku.
“Tahun depan, aku akan bergabung dengan klub sepak bola sekolah kalian dan bermain bola bareng Kak Nino,” ujar Dony.
Aku tersenyum. “Kedengarannya sangat menyenangkan.”
“Aku ambil minum dulu,” ujar Andra lalu beranjak dari tempatnya dan melangkah duduk ke dalam rumah.
“Kak Lian.. tidak menyukai sifat kakakku ya?” tanya Dony pelan.
Aku terkejut mendengar perkataannya. “Tidak lah. Dia baik. Hanya saja terkadang aku tidak bisa memahami sifatnya.”
“Apa Kak Andra berbuat kurang ajar ya?”
“Eh? Dony.. apakah kamu ini tipe yang bisa membaca pikiran orang ya?”
“Aku adalah mentalist,” ujarnya dengan sok serius lalu tertawa beberapa saat kemudian. “Kak Andra adalah tipe orang yang kurang bisa bergaul dengan para gadis.”
“Hmm? Bukannya dia selalu dikelilingi oleh para gadis di sekolah?”
“Dia belum pernah pacaran dengan seseorang sebelumnya,” ujar Dony.
Aku tertawa mendengarnya.
“Tapi kurasa dia akan segera menyukai seseorang,” ujarnya lagi sambil tersenyum padaku.
Aku mengkerutkan dahiku.
***
Kali ini kami makan malam bersama lagi. Aku merasa masih asing dengan kondisi seperti ini. Biasanya hanya ada orang tiga yang duduk bersama di sini. Tapi sekarang menjadi berbeda, 8 orang duduk disini untuk makan malam sambil menceritakan sesuatu atau saling bercanda.
“Besok apakah kalian akan menontonku di pertandingan? Lagian kan.. besok tanggal merah,” ujar Nino.
“Pertandingan sepak bola? Of course! Aku akan ikut. Sewaktu SMA aku adalah mantan anggota cheers, jadi serahkan saja padaku!” ujar Mbak Sasa bersemangat.
“Nino, makannya pelan-pelan. Jangan penuhi mulutmu dengan makanan begitu!” ujar Ibu. Aku tertawa melihat Nino.
“Maaf, tapi cumi bakar buatan Ibu enak sekali!” puji Nino.
“Yang benar?” tanya Ibu bersemangat.
“Ini adalah yang terbaik,” pujinya lagi. Aku tertawa mendengarnya.
“Pacarmu akan datang juga kan?” ujar Kak Ades.
“Sepertinya tidak, dia punya pekerjaan rumah yang harus dia selesaikan,” jelas Nino.
“Kamu juga akan datang kan, Yan?” tanya Nino.
Aku benci diriku kenapa harus merasa senang saat ini. “Tentu,” ujar sambil tersenyum. Kulirik Andra yang memandangiku dengan tatapan anehnya lagi, saat aku melihatnya dia dengan cepat melemparkan pandanganya ke arah lain.
Setelah makan malam selesai, semua orang pada masuk ke dalam kamarnya. Aku lebih memilih diluar bersama Kak Ades, menikmati udara malam. Lagian besok libur, jadi tidak ada tugas yang harus ku kerjakan.
Setelah mendengarkan Kak Ades bercerita tentang hobinya yang berabu games dan jepang, aku bercerita juga padanya, karena dia lebih dewasa pasti dia akan lebih bijak memberi pendapat.
“Jadi temanmu jatuh cinta pada cowok yang sudah punya pacar? Tapi tak tahu harus bagaimana?” tanyanya memastikan sesuatu.
“Dia marah pada dirinya sendiri dan mengatakan bahwa dirinya itu menyedihkan dan rasanya sangat melelahkan,” ujarku.
“Bukankah dia marah karena mersa cemburu?”
“Cemburu?” kataku.
“Kalau istilah dalam games, jika masih ada rasa cemburu, karakter itu tidak akan pernah naik level,” ujarn Kak Ades sambil tersenyum.
“Lalu dia harus bagaimana?” tanyaku bingung.
Kak Ades mengeluarkan Ipad-nya lalu menekan layarnya beberapa kali. “Reset!” ujarnya sambil menunjukan sebuah games pada layar Ipad-nya.
“Reset?” ujarku. Aku ingin kembali ke masa dimana aku tidak mengerti cinta. Menghapus kejadian saat seseorang menyelamatkanku dengan bibirnya.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah di bangunkan Ibu dengan teriakannya beberapa kali. Akhirnya dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar, meski aku masih ingin tidur 10 menit lagi saja.
“Potong beberapa lembar dada ayamnya sekitar 5cm,” ujar Ibu saat melihatku tiba di dapur.
“Ibu membangunkanku hanya untuk motongin daging ayam?” tanyaku kesal.
“Ini untuk bekal kalian menonton pertandingan bola,” jelas Ibu.
Aku menghela nafasku. Kemudian mengambil pisau dan mulai memotong daging ayamnya.
“Lian! Benar-benar payah. Lihat potonganmu tak beraturan!” omel Ibu.
“Ibu cerewet sekali. Aku jadi terganggu memotongnya,” ujarku sambil tertawa.
“Hush, memotong seperti itu berbahaya, bisa kena tangan!”
Akhirnya seperti biasa, ibu tak hanya menyuruhku memotong dagingnya saja. Tapi bagian-bagian lainnya juga. Setelah semuanya selesai aku menaruh karaage yang sudah matang ke dalam kotak bekal dan memasukkannya ke dalam tas ku.
Setelah mandi dan bersiap-siap untuk pergi, aku baru sadar rumah ini telah sepi, ternyata mereka sudah pada pergi semua. Menyebalkan sekali! Apa susahnya menunggu sebentar saja.
“Mbak Sasa? Mau kemana?” ujarku saat aku melihatnya di depan gerbang rumahku.
“Aku minta Maafff! Aku akan pergi ke pantai dengan pacarku,” ujarnya.
“HAA? Tapi..”
“Sampaikan permintaan maafku pada Nino dan yang lain yaa,” ujarnya lalu dengan segera masuk ke dalam mobil yang baru saja tiba di depan kami.
“Ah! Sangat menyebalkan, aku sendirian,” gumamku kesal.
Sesampainya di sana, aku langsung duduk di bangku yang terletak di pinggir lapangan. Aku menggedarkan pandanganku, mencari sosok Nino, lalu melambaikan tanganku saat dia melihatku.
“Kamu datang juga, Yan?” ujarnya sambil berlari ke arahku.
Aku mengangguk.
“Mana Mbak Sasa? Dia bilang dia akan datang juga?” tanya Nino.
“Tadi dia meminta maaf karena tidak bisa datang,” jawabku.
“Ah, padahal aku sangat ingin melihatnya, kata Nino, dia sangat cantik?” ujar Bimo, teman sekelasku saat kelas 10. “Aku ingin mencetak hattrick di depannya, seperti ini!” ujarnya sambil memperagakan bagaimana dia akan menendang.
“Tapi, kamu kan pemain belakang, Bim?” sindir Nino sambil tertawa. “ Yan, entar ambil foto aku yang keren yaa!” ujarnya lagi sambil memegang kamera yang kugantungkan di leherku.
“Tenang saja!” tukasku.
“Lian! Terimakasih sudah datang,” ujar Nino sambil tersenyum padaku, lalu berlari ke tempat temanna berkumpul.
Aku membalas senyumnya.
“Aku pikir sebaiknya kamu tidak salah mengerti?” ujar Bimo yang membuatku kaget.
“Hmm?” tanyaku bingung.
“Dia baik kepada semua orang. Itulah mengapa semua orang menyukai Nino,” ujarnya lagi.
“Aku tidak---.”
“Bagus deh kalau begitu,” ujarnya memotong kalimatku lalu pergi ke arah Nino.
“Apa-apaan dia?” gumamku merasa kesal dan bingung.
“Kak Lian!!” ujar seseorang dari belakangku.
“Dony! Kamu ingin menonton juga?” tanyaku saat melihatnya.
“Iya aku kan pemain masa depan klub ini,” ujarnya sambil tertawa lalu berjalan dengan cepat menghampiriku. “Kak Andra! Kamu berjalan pelan sekali!”
Andra berhenti berjalan saat melihatku menundukkan kepalaku. “Kanu datang?” tanyaku pada Andra.
“Nino tadi menelponku,” ujarnya pelan lalu duduk disampingku.
Aku menikmati pertandingan sepak bola antar sekolah ini. Terlebih bisa melihat Nino dari sini. Dia begitu bersemangat mengejar bola. Meski babak awal skor 0-0, Nino menunjukkan kemampuannya di babak kedua dengan mencetak gol. Akhirnya pertandingan berakhir dan dimenangkan oleh klub dari sekolahku.
“Nino! Tendanganmu tadi bagus sekali,” pujiku sambil menghampiri Nino dan teman-temannya yang sedang beristirahat di pinggir lapangan.
“Begitu ya? Terimakasih,” ujarnya sambil tertawa.
“Nino!” teriak seseorang. Dia lagi?
Kenapa dia selalu hadir di saat aku tak ingin melihatnya.
“Viny?” ujar Nino sambil melambaikan tangannya ke arah Viny yang sedang berlari menuju pinggir lapangan, tempat kami berkumpul.
“Maaf aku baru bisa datang. Padahal aku sudah mengerjakan tugasku dari tadi malam,” ujar Viny.
“Tidak masalah,” balas Nino.
“Ini aku bawakan makan siang untukmu!” ujar Viny. “Aku buat karaage juga.”
Padahal aku baru saja berpikir untuk mengeluarkan bekal untuk Nino dari tasku.
“Wah, terimakasih ya,” ujar Nino sambil mengacak rambut Viny.
“Karena aku buat banyak, jadi semuanya bisa ikut makan,” ujar Viny yang disambut antusias dengan teman-teman Nino.
Aku menghela nafasku. “Eh, aku pergi deluan ya. Aku harus mengerjakan beberapa hal.”
“Sayang sekali,” gumam Viny.
“Terimakasih sudah datang, Lian,” ucap Nino.
Aku segera berlari menuju tempat favoritku di sekolah ini. Tempat dimana bisa membuatku merasa nyaman. Sesampainya aku di bagian paling atas gedung sekolah, aku langsung duduk dan membuka kotak bekal yang aku persiapkan untuk Nino tadi pagi.
“Kenapa begitu sesak?” tanyaku dalam hati sambil mengelus pelan dadaku. “Aku hanya perlu me-reset-nya bukan?
“Boleh aku makan?” ujar Andra yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.
“Kenapa?”
“Karena aku lapar,” jawabnya lalu mengambil karaage dari kotak bekalku dan memakannya. “Enak!” ujarnya lalu memakannya lagi.
“Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?” tanyaku kesal. Tiba-tiba air mataku mulai mengalir walau aku sudah menahannya sejak tadi, kedatangannya membuat aku ingin meluapkan emosiku.
Dia hanya tersenyum.
“Aku tidak selalu seperti ini. Lagian, bisanya aku tak menangis di depan orang lain,” ujarku sambil menyeka air mataku.
“Hmm.. maaf soal yang kemarin,” ujar Andra pelan.
“Tidak apa-apa. Lagipula kamu tak bermaksud apa-apa, kan?”
Dia menggelang. “Bukan. Itu pertama kalinya aku berinisiatif untuk melakukan hal itu.. aku terus bertanya kenapa aku harus memelukmu?.. akhirnya aku mengerti bahwa.. aku.. aku mulai menyadari ada rasa yang berbeda ke kamu. Suka. Aku suka kamu, Yan,” jelas Andra pelan sambil menundukkan kepalanya.
Aku tercengang mendengar pengakuannya. Mendengar kalimat “Suka” pertamaku.
makasih udah baca
ide ceritanya sipp, walau kyk'y agk bs ditebak jln cerita'y tp tetep aja penasaran gmn lanjutn versi ninolian
keep writing bro!
Tapi, kok gampang bener si Andra mengungkapkan perasaannya ya? Apa gk terlalu buru-buru?
Dan di part 4 itu, di awal crt lian juga masih ngobrol tp tiba2 si lian malah ngobrol sama nino bukan andra. Bukannya itu lian masih ngobrol sama andra ya?
Itu sih yang buat bingung. Tapi buat ide cerita nya aku suka sih.
Oia ada yang mau aku tanyain lagi. Yang kost di rumah lian itu kan 4 org, kok pas saat di meja makan malah jadi 8 bukannya 7 ya?
Untuk alurnya agak terlalu cepat. Banyak yg agak membingungkan jadi aku harus ngulang baca nya dari part sebelumnya.
Tp basicly aku suka kok sama cerita nya.
jd curhat gara2 namny andra
Itu udh beda waktunya, pas andra-lian(part3) itu siang hari. Pas nino-lian(part 4) itu udah malam hari latarnya
horeeee