It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Mama selalu punya pemikiran yang jauh ke depan. Saat aku berpikir bahwa hukuman yang kuterima karena berciuman dengan laki-laki sepertinya hanya sekedar kembali ke rumah dan tidak lagi ngekos, nyatanya mama sudah punya pikiran dua langkah ke depan dengan kebijakannya yang protektif.
Saat hari pertama kuliah, aku langsung disapa oleh ujian akhir semester salah satu mata kuliah yang paling rumit. Pikiranku bercabang ke segala arah karena banyak pikiran yang tidak bisa kuhilangkan dengan mudah. Masalah dengan mama, kembali ke rumah dan tidak ngekos lagi, dan Kelvin yang belum juga menelponku. Ditambah lagi, sorenya dan sore-sore selanjutnya yang aku tidak tahu sampai kapan, aku harus pulang dengan orang yang belum kukenal sama sekali. Supir pribadiku.
Sabtu malam sebelumnya, sepulangnya aku dari mal dekat komplek untuk nonton film sendirian, mama sedang bersama seseorang di ruang tamu rumah. Laki-laki berusia sekitar tiga puluhan yang sama sekali tidak kukenal. Mama dengan semangat langsung mengenalkanku padanya. Pak Imam. Supir pribadiku.
“Supir pribadi?” tanyaku pada mama saat mama mengenalkanku. Aku tidak percaya ini, kenapa tiba-tiba aku bisa punya supir pribadi? Yang sebenarnya tidak kubutuhkan.
“Iya, Ibel. Jadi kamu gak perlu nyetir sendiri ke kampus. Nanti sampai kampus kamu kecapekan kalau nyetir sendiri,” kata mama tenang.
“Ibel masih kuat kok, Ma. Gak perlu supir pribadi segala,” kataku, kulirik wajah pak Imam yang air mukanya berubah menjadi agak murung. Mungkin takut kalau akan kehilangan kesempatan kerjanya.
“Pilihannya kamu pakai supir pribadi atau kamu pindah kampus! Hanya itu!” mama berdiri dan bicara dengan lantang, nada bicaranya sudah meninggi.
“Kenapa gak ada pilihan Ibel tetep ngekos dan ngelanjutin hidup seperti biasa, Ma?” tanyaku, terdengar seperti menantang mama yang seharusnya tidak boleh kulakukan.
“Karena kamu gak berhak lagi untuk itu!” kata mama keras. Hatiku serasa ditusuk ribuan jarum ketika mama membentakku seperti itu. Kutatap mata mama lekat-lekat. Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin melawan. Tapi aku mulai jengah dengan kediktatoran mama yang seperti ini. Aku bukan robot.
“Ya. Mungkin Ibel juga gak berhak buat dapetin waktu mama yang berharga itu,” kataku dan langsung pergi dari ruang tamu. Aku berlari kecil meniti tangga ke lantai atas, dan langsung mengunci kamar setelah aku masuk ke dalamnya.
Semuanya sangat berantakan sekarang. Kuhempaskan tubuhku ke ranjang dan kupeluk erat guling favoritku. Dalam waktu kurang dari seminggu hidupku berubah dari orang yang merasa sangat beruntung menjadi orang yang sangat menyedihkan. Apa lagi yang kupunya sekarang? Mama seperti sudah mengambil semuanya dariku tanpa pernah memberikan aku penggantinya.
Seharusnya aku sudah ada di kosan sekarang. Bermain gitar bersama Rakha. Menjitak kepalanya ketika dia salah memainkan kunci nada, dan membicarakan siapa lagi cewek yang akan jadi targetnya. Semua hal menyenangkan di rumah kosan kecil yang tidak pernah kurasakan di rumah besar dan sepi ini.
Satu hari lagi, dan aku akan kembali masuk kuliah. Artinya aku akan bertemu lagi dengan Rakha. Awalnya aku berencana setiap pulang kuliah akan main sebentar di kosan, setidaknya sebagai langkah membiasakan diri pergi dari rumah kos itu. Tapi bagaimana bisa aku melakukan rencana itu bila aku punya supir pribadi? Dengan memiliki supir pribadi, artinya mama yang mengontrol kapan aku pulang dan kapan aku sampai di kampus. Aku ini anak atau narapidana?
Aku muak, kulempar gulingku sembarangan arah. Hampir mengenai gitar seperti hari itu. Kutatap langit-langit kamarku dengan pikiran di kepala yang carut marut. Apa artinya hidup jika aku tidak bisa memilih?
Aku sama sekali tidak merasa bersalah karena membentak mama, dan mama sepertinya juga begitu padaku. Dia sama sekali tidak ke kamarku dan mengetuk pintuku. Dia sama sekali tidak khawatir. Pada akhirnya, aku hanya mengurung diri di kamar seorang diri dan hanya keluar saat aku kelaparan.
“Sudah gak marah?” tanya mama saat aku sedang makan siang besoknya.
Aku menatap mama dan tidak mengatakan apa-apa. Mama berjalan mendekatiku dan duduk di kursi di hadapanku.
“Minggu depan, mama ingin kamu temani mama ke pernikahan anaknya teman mama,” kata mama dengan ramah. Tidak seperti tadi malam.
“Ya,” kataku seadanya. Memangnya aku bisa menolak?
“Mama ingin kamu bertemu seseorang disana.”
Aku mendelik dan menatap mama penuh tanya, “siapa?” tanyaku.
“Seseorang,” katanya lalu beranjak dari tempat duduknya.
Apa-apaan ini? Sebuah perasaan aneh muncul di hatiku. Gusar. Penasaran. Entahlah. Perasaan yang mampu membuatku tidak bernafsu makan lagi dan langsung kembali ke kamar. Mengunci diri lagi yang rasanya percuma karena sampai malamnya pun pintuku tidak diketuk sama sekali oleh mama. Aku mengharapkan perhatian kosong. Sia-sia.
Kulirik jam di tangan kiriku. Seharusnya pak Imam sudah tiba di gerbang kampus sekarang. Waktu dan tempat yang sama seperti hari pertama kemarin dia menjemputku. Tapi sampai detik ini, tidak ada tanda-tanda kemunculan mobilku mendekati kampus. Dari tadi aku sudah beberapa kali duduk-berdiri dari kursi panjang warung di depan gerbang kampus, tempat aku menunggu.
“Nungguin supir?” suara seseorang mengagetkanku. Rakha, entah darimana dia muncul.
“Eh. Hehe iya nih,” jawabku seadanya.
“Manja banget sih lu, Bel,” ledeknya. Huh, dia tidak tahu duduk perkaranya. Sebenarnya aku ingin cerita padanya alasan sesungguhnya kenapa aku tidak ngekos lagi dan sekarang mendadak punya supir pribadi. Tapi cerita itu pasti akan menyambar ke cerita tentang sosok Kelvin.
“Lumayan lah, Kha. Jadi di mobil gue masih bisa main hape,” balasku.
“Ya udah deh. Gue duluan ya,” katanya pamit.
“Oke,” kataku meski sebenarnya aku sedikit tidak rela.
Dan Rakha pun pergi meninggalkan aku sendiri. Sudah? Begitu saja? Baru dua hari masuk kampus, aku melihat ada yang berbeda pada Rakha. Sikapnya lain. Terasa lebih dingin, tidak seperti biasanya. Aku ingin bertanya tapi masih belum menemukan waktu yang tepat. Aku kenal Rakha, dia hanya akan cerita bila aku dan dia duduk empat mata. Tidak ada orang lain.
Beberapa bulan lalu, kali pertama aku melihat wajah Rakha seperti yang kulihat hari ini. Dia tertawa tapi tidak sungguh-sungguh tertawa. Dia tersenyum tapi tanpa rasa. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Saat dia sedang di kamar kosnya sendiri, aku menemuinya.
“Kalau pacar itu harus menuhin semua yang diinginkan pacarnya ya?” dia malah bertanya balik setelah kutanyakan apa dia sedang ada masalah apa.
Aku mengangkat bahu dan menatapnya bingung. “Mana gue tahu? Kan gue jarang pacaran,” kataku berguyon. Tapi dia tidak bereaksi sedikitpun, malah memalingkan pandangannya pada jendela di kamarnya. Menatap kosong ke langit luas.
“Bukan masalah lu sering pacaran atau gak, Bel. Tapi coba pikir menurut akal sehat lu, apa harus kita mengorbankan segalanya untuk pacar?” dia menegaskan kembali pertanyaanku.
Aku berpikir, mencoba memberikan jawaban terbaik yang kubisa. “Kalau cinta, memang kita senang mengorbankan apa saja demi orang yang kita cintai kan?”
Rakha menghela nafasnya. “Tapi kan, kami cuma pacar,” dia mendelik padaku dengan mata berkaca-kaca. Hampir menangis tapi aku tahu dia mencoba menahan air matanya.
“Pacar itu kan langkah pertama, Kha. Pada akhirnya kita akan menemukan tahap dimana seisi dunia ini gak ada artinya kalau orang yang kita cinta gak ada,” ujarku.
Rakha tersenyum kecut. “Entah apa ada langkah selanjutnya buat gue sama dia, Bel,” katanya datar.
“Lu kenapa sih emangnya?” tanyaku penasaran.
Dia tersenyum lagi. “Biasa. Yang di Bandung lagi ngambek,” jawabnya lalu terkekeh bodoh.
“Lu cinta banget sama dia ya?”
“Ya bisa di bilang begitu. Karena dia beda dari yang lain, Bel,” jawabnya.
“Kalau lu lagi ada masalah sama dia, anggap aja masalah itu ujian buat lu sama dia naik level ke tahap selanjutnya. Hubungan itu tentang dua orang melangkah bersama. Kalau hanya satu orang yang melangkah, itu bukan sebuah hubungan, Kha,” ujarku, entah darimana aku mendapatkan kata-kata itu. Mengalir begitu saja melewati mulutku.
Rakha mendadak menjitakku pelan. “Senga ah lu! Pacaran aja jarang, tapi bahasanya seolah lu pecinta sejati,” ledeknya.
“Gak pake jitak berapa sih?” gerutuku kesal sambil memegangi kepalaku.
“Lima puluh juta! Sini bayar!” katanya.
“Jadi harga lu cuma lima puluh juta?”
“Iya. Sini kalau ada. Gak ada kan?”
“Matre!” kataku sambil beranjak dari kursi di kamar Rakha. Dia sedang tertawa karena gerutuan terakhirku. “Gue balik ke kamar ya,” aku pamit.
“Bel,” panggilnya saat aku berada di ambang pintu. Aku membalikkan badan dan menatapnya.
“Ya?”
“Terima kasih ya,” ujarnya lembut sambil tersenyum. Senyumannya yang paling menawan dengan lesung pipit itu. Aku mengangguk lalu pergi meninggalkannya.
Aku ingin melihat senyuman itu lagi. Senyuman yang diperlihatkannya ketika masalahnya seolah telah terselesaikan. Bukan senyuman klise seperti yang dua hari ini diperlihatkannya pada dunia. Aku tahu dia sedang sedih dan aku ingin membantunya dengan apa pun yang kubisa.
Sepersekian detik kemudian aku berpikiran untuk menyusul Rakha ke kosan. Dan saat kami sudah berduaan saja nanti, dia akan bercerita padaku dan memperlihatkan senyuman indahnya lagi. Tapi rencana kecilku itu berantakan saat kulihat mobilku sedang berusaha melewati kerumunan mahasiswa yang baru selesai kuliah di sore hari.
Mungkin besok. Ya, besok.
**
@T_bex
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
@peteradamtenor
@zeva_21
@sonyarenz
Ujian akhir semester akhirnya usai setelah aku menjawab sebagian besar soal dengan mengarang bebas. Satu soal, tapi jawabannya bisa sampai satu halaman polio. Sakit. Jemariku terasa pegal karena menulis panjang.
Aku belum sempat mengatakan pada Rakha bahwa aku akan berkunjung sepulang kuliah hari ini, karena kupikir aku bisa mengatakannya saat pulang dan berjalan bersama menuju rumah kos. Tapi rencanaku berantakan ketika aku diminta membantu dosen merapikan lembar jawaban, sementara Rakha sudah ngeloyor lebih dulu tanpa sempat kucegah.
Ingin kuhubungi Rakha untuk menungguku, tapi biarlah dia pulang sendiri dulu. Aku pun berjalan menyusuri jalan kecil menuju rumah kos sendirian. Aku terkenang kembali saat aku pertama kali melewati jalan ini saat sedang mencari rumah kos.
Aku sudah menghubungi pak Imam dan mengatakan bahwa ada kuliah tambahan. Tentu saja berbohong, karena bagaimanapun dia karyawan mama. Kalau aku berkata yang sebenarnya, pasti dia akan mengatakan hal yang sama pada mama. Aku tidak mau menambah masalahku dengan mama. Cukup yang sudah terjadi sekarang ini saja
Kubuka pagar rumah kos. Teras rumah sepi, tidak ada orang sama sekali. Aku terus berjalan masuk. Saat melewati kamarku dulu, kucoba untuk membuka pintunya. Tidak dikunci. Aku melongok ke dalam. Suasana di dalam kamar sungguh berbeda. Sekarang kosong, tidak ada lagi barang-barangku yang berantakan. Aku menghela nafas. Tidak sedikit kenangan indah yang terjadi di kamar ini. Dan sebagian besar kenanganku disini adalah bersama Rakha.
Aku meneruskan jalan ke dalam rumah kos. kamar Rakha berada di bagian belakang. Dulu aku ada niatan untuk pindah ke kamar di depan kamar Rakha. Ada gosip yang mengatakan penghuninya akan lulus sehingga kamar itu nantinya kosong. Tapi itu hanya gosip. Nyatanya sampai sekarang dia masih menempati kamar itu. Huh, dasar mahasiswa abadi.
Aku semakin dekat. Pintu kamar Rakha pun sudah terlihat. Pintunya tidak ditutup. Ada niatan untuk mengagetkannya saat aku berada di depan pintu. Tapi apa yang kulihat di dalam kamar Rakha, membuatku termenung. Aku tidak percaya dengan apa yang sedang dilakukannya.
“Lu mau kemana?” tanyaku bingung. Rakha sedang memasukkan beberapa baju ke dalam kopernya. Dia berkemas.
“Eh, Bel,” Rakha agak terkejut melihat kehadiranku. Dia menghentikan pekerjaannya sebentar. “Lu kok gak bilang-bilang mau kesini?” dia bertanya balik.
“Serius, lu mau kemana?” tanyaku, tidak menggubris pertanyaannya barusan. Di kepalaku terpikir bahwa dia akan pergi ke Jogja dan melanjutkan kuliah disana. Semoga bukan itu yang akan terjadi.
“Oh,” dia memandang kopernya sebentar, “gue mau pindah ke kosan Inu. Biar ada temennya,” katanya lalu nyengir.
Syukurlah. Entah bagaimana reaksiku nanti kalau Rakha benar-benar akan pindah ke Jogja. Aku melangkah masuk kamar dan duduk di tepian ranjangnya. “Lu pindah gara-gara gue?”
Rakha mendelik padaku sebentar. Dia menutup sleting kopernya lalu duduk di sampingku. “Ge er lu, Bel,” balasnya.
“Dih. Kan tadi lu bilang biar ada temennya. Dan disini lu udah ga ada temen karena gue udah cabut kan?” aku mencoba membela argumenku.
“Temen gue kan bukan cuma lu, Bel,” balasnya.
“Terus kenapa pindah, bukannya disana tempat makan jauh?” tanyaku lagi.
Rakha diam dan menunduk. Awalnya kupikir dia akan menjawabnya dengan candaannya yang garing. Candaan yang kurindukan seperti biasanya. Tapi dia diam. Wajahnya sama murungnya seperti sore-sore kemarin saat dia pulang sendiri.
“Sorry. Gue gak ada maksud apa-apa. Bukan urusan gue juga sih lu mau ngekos dimana, itu hak lu, Kha,” kataku pelan.
Dia mengangkat kepalanya dan menatapku. Sorot matanya yang tajam itu seolah merasukiku melewati mata turun ke hati. Hatiku bergetar karenanya. Aku menatap Rakha heran, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan orang yang kusukai selama setahun lebih ini?
“Lu kenapa sih, Kha? Beberapa hari ini gue lihat lu beda dari biasanya,” tanyaku dengan penuh kekhawatiran.
Rakha memalingkan pandangannya dari mataku. “Lu bener, Bel. Lu alasan gue mau pindah dari kosan ini,” katanya datar. Lalu menatapku lagi dengan sorot mata yang sama tajamnya.
Aku memandangnya heran. Sungguh? Benar-benar karena aku? Apa yang kulakukan?
“Kalau alasannya karena masalah belajar gitar, gue bisa ngajarin lu di kampus. Bawa aja gitarnya ke kampus,” kataku.
Rakha menggeleng. “Enggak, Bel. Bukan itu.”
“Terus kenapa gue? Tadi kan gue becanda doang,” kataku.
Tiba-tiba semua terjadi dengan begitu cepatnya. Bibir Rakha sudah menempel di bibirku dalam hitungan detik. Aku tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Aku bisa saja mendorongnya saat ini juga, tapi aku tidak ingin melakukannya. Aku tahu ini yang aku inginkan, namun aku perlu alasan mengapa dia melakukannya.
“Karena gue cinta sama lu, Bel,” kata Rakha sesaat setelah dia menarik wajahnya dari wajahku.
Aku memandangnya dengan tatapan sejuta arti. Pipiku pasti memerah karena dia mengatakan hal tadi dengan begitu lembut. Hatiku bergejolak riang. Kalau saja akal sehatku hilang, pasti aku sudah lompat-lompat kegirangan sekarang karena seorang Rakha baru saja menciumku.
Tunggu. Itu artinya?
“Dan bodohnya gue baru menyadari itu setelah lu pergi,” katanya. Kedua tangannya meraih tanganku dan membelainya pelan. Kalau aku cowok normal, tentu saja sudah kutendang dia saat dia mencoba menciumku tadi.
“Emm,” aku tidak bisa berkata-kata.
“Gue benar-benar mengutuk diri gue karena membiarkan lu pergi tanpa sempat mengatakan ini semua sama lu, Bel,” ujarnya. Kedua tangannya masih membelai lembut jemariku dan matanya masih menatapku seolah sedang menularkan racun asmara.
“Lu gay?” tanyaku. Sedetik kemudian aku sungguh menyesal telah menanyakan hal itu. Dari ribuan komentar yang bisa kuberikan, aku malah bertanya memastikan kalau dia gay. Tentu saja, Bel. Cowok straight mana yang melakukan apa yang baru saja dilakukan Rakha tadi? aku menghardik diriku sendiri.
Rakha terkekeh pelan. Lalu dia melepas genggaman tangannya dan berdiri. Dia berjalan sedikit menuju pintu dan menutupnya. Saat pintu tertutup, dia berdiri sambil menatapku. “Ya. Sepertinya begitu,” katanya lalu tersenyum. Senyumannya yang dulu, senyuman yang memiliki rasa. Tidak seperti senyumannya kemarin sore.
“Cewek-cewek lu?” tanyaku, Rakha hanya mengernyitkan dahi menatapku balik. Seolah aku sebenarnya sudah tahu jawaban dari pertanyaanku. Ya sepertnya aku tahu. Cewek-cewek itu hanya kedoknya. Hebat sekali dia. “Darimana lu tahu kalau gue gay?”
“Gue rasa itu bukan hal penting,” katanya lalu kembali duduk di sampingku. Dia tersenyum lagi padaku, tapi aku masih belum berhasrat untuk membalas senyumannya itu. “Gue sayang sama lu, Bel. Gue jatuh cinta sama lu. Itu yang terpenting sekarang. Dan gue lega karena gue berhasil mengatakan hal ini sama lu,” ujarnya.
“Sejak kapan?”
“Hmm, mungkin sejak liburan setelah semester satu. Saat lu harus pulang ke rumah lu dan gue sendirian disini,” jawabnya.
Aku menatapnya lekat-lekat. Menanti kalimat Rakha selanjutnya.
“Gue benci saat ada liburan kampus, Bel. Karena saat itu gue harus berpisah sama lu. Meskipun hanya seminggu atau dua minggu, gak mudah buat gue ngelewatin itu semua tanpa lu,” katanya dengan terus menatap mataku. “Mungkin lu gak tahu, tapi saat lu pulang ke rumah, hampir setiap hari gue buka pintu kamar lu dan berharap lu udah disana lagi baca buku kuliah atau lagi main gitar. Tapi lu gak ada. Sehingga hari dimana lu balik ke kosan ini, selalu jadi hari yang membahagiakan buat gue.”
Dia menggenggam tanganku semakin erat.
“Bel. Saat lu bilang lu akan cabut dari sini, gue pikir hidup gue akan jadi liburan selamanya. Dan gue benci liburan. Gue benci saat gue harus jauh dari lu, Bel,” ujarnya.
Kata-kata Rakha sungguh menyentuhku. Mataku berkaca-kaca karena terkesima. Kata-katanya sungguh ajaib. Tidak kusangka dia sudah menaruh rasa padaku sejak lama. Bodohnya aku tidak pernah menyadari hal itu.
Aku langsung memeluk Rakha. Memeluknya tanpa ingin melepaskannya. Satu dua air mataku menetes. Ini seperti mimpi jadi nyata di saat pangeran yang aku mimpikan sudah berada di hadapanku dan menantikan aku untuk siap menuju istananya.
“Gue juga benci liburan, Kha,” kataku. Aku sedih sekaligus bahagia. Air mata ini adalah air mata haru sekaligus air mata kebahagiaan. “Mungkin lu gak tahu, tapi saat di rumah, gue selalu main gitar dan membayangkan lu ada di hadapan gue. Terus lu ngasih komentar bodoh padahal gue gak pernah salah mainin gitarnya kayak lu,” aku meneruskan. Pelukanku semakin erat. Kurasakan kedua tangan Rakha mengelus punggungku lembut.
Rakha melepaskan pelukan kami. Dia menatapku sekali lagi. “Gue mau lu jadi pacar gue, Bel,” katanya. Dengan cepat aku mengangguk. Apa alasanku untuk menolaknya? Dia pujaan hatiku. tidak ada alasan untuk aku menolaknya. Aku akan bahagia karenanya.
Rakha mencium bibirku sekali lagi dengan lembut. “Gue gak akan ngecewain lu, Bel. Gue sayang banget sama lu,” katanya dan menciumku lagi, seolah tidak ada puasnya.
Aku tersenyum, sangat bahagia. Beberapa saat kami hanya saling bertatap mata dan tersenyum. Mata kami seperti sedang saling berbicara dan membagi kebahagiaan.
“Lu jangan pindah ya. Tetep disini aja,” kataku.
Dia tersenyum dan mengangguk pelan. “Tapi tergantung siapa yang nanti pindah ke kamar lu sih, Bel,” imbuhnya sambil tersenyum jahil.
Aku langsung menjitak kepalanya. Nakal! Rakha mengaduh sambil mengelus-elus kepalanya. “Sakit? Itu namanya jitakan cinta,” candaku lalu tertawa.
“Pret!” gerutunya. Rakha menghela nafas panjang. “Lega banget ya saat kita sudah membeberkan semua yang selama ini kependam di hati,” katanya sambil tersenyum, lesung pipitnya kembali hadir dan membuatnya semakin manis.
“Gak ada yang lebih baik di dunia ini dibandingkan kejujuran,” kataku.
“Oke, gue mau jujur. Lu bermasalah gak dengan cewek yang selama ini gue pacarin?”
“Gak tuh. Karena gue tahu mereka cuma numpang lewat,” kataku sok tidak peduli. “Tapi kalau yang di Bandung, gak tahu deh. Lu kenal dia lebih dulu sebelum ketemu gue kan?”
“Begitulah. Lu gak masalah kan?”
Aku berpikir sebentar. Jadi aku harus membagi hati Rakha dengan ceweknya yang di Bandung itu? Tidak masalah sih, karena Rakha sudah pacaran dengan cewek itu sejak SMA. Akan sangat tidak adil jika tiba-tiba saja Rakha meninggalkannya untuk berpacaran denganku. Kurasa aku harus berpikiran terbuka bahwa cinta itu bukan hanya tentang saling memiliki. Tapi juga tentang saling menerima.
“Gak masalah kok,” jawabku sambil tersenyum.
“Terima kasih ya, Bel,” katanya lalu mencium bibirku untuk ke sekian kalinya.
“Doyan ih,” ledekku dan Rakha hanya terkekeh.
Tiba-tiba saja ponselku berdering. Panggilan masuk dari pak Imam. Dia pasti sudah di gerbang kampus menungguku. Dan aku harus segera kesana sebelum dia menelpon mama dan mama mengintrogasiku lewat telepon.
“Mas Ibel dimana? Saya sudah di depan nih,” katanya.
“Iya tunggu sebentar ya, Pak. Ibel lagi bantu dosen ngerapiin lembar jawaban UAS nih. Bapak tunggu agak depanan lagi aja, parkir di deket mie ayam biar gak ganggu orang lewat,” kataku dengan cepat. Sengaja kuperintahkan dia pindah supaya dia tidak melihat kedatanganku yang tidak dari arah dalam kampus nantinya. Cerdas.
“Oke!” serunya.
“Supir pribadi?” tanya Rakha.
Aku mengangguk. “Gue harus pergi sekarang.” Aku langsung bangkit dari tepian ranjang dan berjalan menuju pintu kamar Rakha.
“Aku antar ya,” katanya.
Aku menoleh dan memandang Rakha aneh. Aku? Terdengar aneh di telinga ini. Tapi juga menggetarkan hati karena dia terdengar lebih lembut.
“Aduh kaku juga nih mulut ngomong kayak tadi. Lama-lama juga biasa, Bel,” katanya sambil memegangi rahangnya. Aku hanya tersenyum.
Rakha yang dulu telah kembali sekarang. Jadi akulah alasan kenapa dia murung beberapa hari ini. Dan semuanya sudah terungkap sekarang, termasuk bahwa kami ternyata saling mencintai. Dia Rakhaku. Rakha yang senyumannya dihiasi lesung pipit indah. Rakha yang candaannya lebih sering garingnya daripada lucunya. Rakha yang tidak pernah bisa membedakan mana kunci gitar C dan Aminor. Dia Rakha ku, Rakha yang selama ini kucintai dan akan terus kucintai.
Bagaimana bisa aku mencintai orang lain yang sebenarnya tidak aku kenal? Seseorang yang berjanji tidak akan meninggalkanku tapi kini dia hilang tanpa jejak. Seseorang yang sebenarnya mengajarkanku banyak hal tentang cinta dan kehidupan tapi memberikan harapan palsu kepadaku. Posisinya dengan Rakha terbalik sekarang. Begitu mudahnya hati ini terbolak-balik.
Kutetapkan diriku bahwa di hati ini hanya akan ada Rakha seorang, dan tidak akan ada yang lainnya. Kututup pintu hatiku untuk cinta yang lain, termasuk harapan yang tidak kunjung datang. Aku tidak akan menunggu teleponnya lagi. Aku tidak berharap untuk bisa terbang ribuan kilometer dan menemuinya sekali lagi. Tidak ada apa-apa lagi antara aku dengannya. Kelvin. Kuanggap dia hanya pemandu wisataku selama di Singapura. Tidak lebih dan tidak boleh lebih. Karena nyatanya kami berdua jauh. Sangat jauh, dan hubungan jauh seperti itu tidak bisa kuperjuangkan.
Untuk apa mengharapkan yang jauh tapi menyakitkan bila ada seseorang yang dekat dan membahagiakan?
“Aku telepon nanti malam,” bisik Rakha padaku. Mobilku sudah di hadapan kami berdua. Tinggal beberapa langkah lagi.
“Daah,” kataku sambil tersenyum. Aku berusaha untuk tidak tampil mencolok dengan Rakha. Tapi aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya karena dia begitu mudah dirindukan.
Rakha melambaikan tangannya padaku, lalu aku langsung masuk ke dalam mobil. Aku duduk dengan perasaan yang luar biasa lega dan bahagia. Aku menengok dan melihat Rakha masih berdiri di tempatnya menatap mobilku yang sudah melaju perlahan.
‘Sudah balik ke kosan sana.’ Tulisku di BBM pada Rakha.
Aku menengok lagi dan melihat dia sedang menunduk dan mengetik di ponselnya. Sosoknya hilang begitu mobil berbelok dan masuk ke jalan besar.
‘Duh disini banyak mahasiswa baru yang cakep, Bel. ’
‘HEH!!!?’ balasku.
**
nda tau nih mas @inutile... lom perna cobain..
andai aja 'cerita'ku seperti itu u.u
padahal badainya di depan gede banget.. #huhu
happyending yaa.
#melaaaas