It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tapi, gue masih heran sama si pacar raka yang di bandung itu, cewe apa cowo ya??
Sejak kami resmi berpacaran, entah kenapa aku merasa paranoid saat jalan berdua saja dengan Rakha. Seolah-olah orang di sekitar kami dapat melihat dengan jelas bahwa kami berdua adalah pasangan gay. Aneh. Padahal dulu aku tidak pernah merasa seperti ini. Aku berusaha bersikap biasa saja, tapi pikiran parno ini terus menghantuiku.
Di Jumat sore, aku dan Rakha berjalan berdua saja menuju kosan. Beberapa hari ini aku selalu berbohong pada pak Iman bahwa aku ada urusan tambahan di kampus sehingga akan pulang lebih lama, dan hal ini menjadi kebiasaan. Kemarin pak Iman malah makan mie ayam di tempat dia menungguku.
Sekali lagi aku merasa paranoid saat ada orang melihat kami berdua. Entahlah, aku risih begitu saja. Membuatku tidak nyaman.
“Kamu kenapa sih dari kemarin kalau jalan aku kayak orang aneh gitu?” tanya Rakha setelah menutup pintu kamar kosnya.
Aku mengangkat bahu. “Gak tahu juga. Aku ngerasa kayak orang-orang itu ngeliatin dua orang homo lagi jalan berdua,” balasku. Aku dan dia sudah biasa menggunakan bahasa aku-kamu meskipun awalnya sedikit susah karena sudah kebiasaan.
“Emang bener kan?” Rakha terkekeh sambil menekan tombol dispenser sementara tangan satunya memegangi gelas.
“Segitu keliatannya kah?” aku bertanya balik.
Rakha tersenyum padaku. Senyumannya yang manis itu. Lalu dia memberikanku gelas yang tadi di tangannya. Aku minum perlahan sementara Rakha duduk di sebelahku sambil terus memandangiku. Kemudian dia mengusap kepalaku dengan lembut.
“Kamu takut, Bel?”
Aku memandang Rakha, sedikit kaget dengan pertanyaannya. Ya. Mungkin aku takut orang-orang tahu kalau aku gay. Aku belum siap menerima konsekuensinya bila mereka tahu meskipun aku sudah merasakan konsekuensi dari mama.
“Sedikit,” jawabku seadanya. Rakha terus memandangku lekat-lekat.
“Aku juga,” dia tersenyum lagi. “Tapi kalau kita takut terus, kenapa kita jalanin hubungan ini?”
Mataku memicing menandakan aku belum paham betul maksud Rakha barusan. Dia berkata seolah dia tidak menginginkan hubungan ini? Atau hanya otakku saja yang berpikiran seperti itu? “Maksudnya?” aku pun bertanya.
Rakha tersenyum lagi. Entah kenapa senyuman itu seperti meracuniku. Dengan mudahnya dia meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja hanya dengan senyumannya itu. Kedua tangannya meraih tanganku dan membelainya perlahan.
“Maksud aku, kamu harus paham kenapa kita jalani ini semua. Hubungan seperti kita ini bukan seperti hubungan normal orang lain, Bel. Kita gak bisa memamerkan kemesraan atau yang lainnya di depan umum. Karena hal-hal itu bukan tujuan kita menjalani hubungan ini, Bel,” ujar Rakha panjang lebar. Tapi aku masih belum memahami maksudnya. “Kita menjalani hubungan ini untuk saling support, saling mendukung satu sama lain. Saat yang satu merasa takut, yang lainnya akan menenangkan. Kadang aku juga merasa takut seperti yang kamu rasakan, tapi aku gak mau ambil pusing, Bel. Aku lebih takut kehilangan kamu daripada orang-orang berpikiran macam-macam tentang kita. Ini semua tentang kita, Bel. Aku dan kamu,” terusnya.
Kata-kata Rakha merasuk dalam hatiku. Tidak pernah kubayangkan seorang Rakha akan mengatakan hal yang indah seperti itu, dan kata-katanya itu untukku. Aku tersenyum simpul. “Terima kasih ya, Kha,” bisikku pelan.
“Kamu jangan takut lagi ya,” katanya. Aku mengangguk. Meskipun aku tidak yakin apakah aku bisa, tapi setidaknya aku akan mencobanya. Biar saja orang berpikiran macam-macam, meskipun mereka benar, mereka tidak mungkin sekonyong-konyong berteriak bahwa ada sepasang homo sedang jalan berdua sementara mereka tidak punya bukti, karena aku dan Rakha tidak melakukan hal-hal aneh di depan mereka.
Sedikit banyak, aku mulai terbiasa berjalan berdua dengan Rakha tanpa berpikiran parno lagi keesokan harinya. Aku merasa biasa saja seperti saat aku jalan berdua dengan Rakha sebelum aku tahu bahwa dia juga gay. Meski kadang sesaat aku merasa ada orang di sekitar kami memandang kami sambil berbisik-bisik, aku berusaha untuk tidak terlalu peduli. Memangnya siapa aku sampai ada orang tidak dikenal yang membicarakanku?
Hari ini aku dan Rakha menonton film di bioskop di dekat rumahku. Dia rela naik motor jauh-jauh kesini untuk menemani hari sabtuku yang sepi di rumah, dan aku rela berbohong pada semua orang di rumah bahwa aku ada acara reuni SMA agar aku bisa pergi. Tadi kami langsung ketemuan di mal ini karena tidak mungkin Rakha menjemputku di rumah. Aku masih belum berani membawa cowok ke rumah di saat situasiku dengan mama masih belum membaik.
“Mau kemana habis ini?” tanya Rakha sesaat setelah kami keluar dari studio.
Aku melirik jam tangan di tangan kiriku. Masih ada waktu satu sampai dua jam lagi. Aku ingat sebelum pergi tadi mama memintaku pulang sebelum magrib karena aku harus ikut ke pesta resepsi pernikahan teman mama malam ini. Acara yang tidak bisa kutolak untuk kuhadiri karena mama begitu memaksa. Aku mencium ada rencana terselubung yang sedang disiapkan oleh mama untukku.
“Makan dulu yuk,” tawar Rakha. Aku mengangguk dan kami berdua langsung berjalan menuju foodcourt. Sempat bingung mau makan apa karena ada banyak macam makanan disini, akhirnya pilihan kami tertuju pada sebuah restoran yang menyajikan makanan jepang.
Kami memilih duduk di salah satu sudut restoran yang tidak terlalu ramai ini. Setidaknya bisa meminimalisir rasa parno yang akan muncul di benakku meskipun sedikit banyak aku sudah bisa menghadapinya. Setelah kami memilih menu yang akan kami pesan, Rakha menatapku seperti ada hal penting yang ingin dia bicarakan.
“Liburan nanti, aku mau ke Jogja,” katanya dengan sangat jelas. Aku terkesiap. Liburan yang dimaksud adalah liburan setelah ujian akhir semester yang akan berlangsung seminggu lagi. Itu artinya dia akan pulang ke Jogja minggu depan.
“Ooh,” aku bergumam, menyiratkan bahwa ada rasa kecewa yang muncul di hatiku saat dia mengatakan rencananya itu. Tentu saja, dia ke Jogja artinya aku akan sendirian lagi menghadapi liburan yang telah menjadi momok mengerikan untukku. Lingkaran setan yang terjadi selama liburan bisa terulang kembali. Bukan tidak mungkin aku akan bertemu Kelvin lainnya hanya untuk pelarian dari kesepian yang kurasakan.
“Dan aku mau ngajak kamu,” Rakha meneruskan. Kuangkat kepalaku dan mendelik padanya, memastikan bahwa dia serius mengatakan hal itu.
“Beneran?”
Rakha mengangguk mantap. Kekecewaan yang sesaat lalu kurasakan berubah menjadi rasa senang diiringi bayangan tentang bagaimana Jogja yang akan kukunjungi. “Aku sudah bilang sama abang. Katanya gak apa-apa ajak teman, tapi jangan banyak-banyak, hehe.”
“Jadi ngajak aku doank gitu?”
“Aku udah ngajak yang lain tapi pada gak bisa katanya,” jawab Rakha.
Aku memicingkan mata, “yakin Inu dan yang lain udah ditanyain?”
Rakha nyengir lebar. Huh, pembohong. “Gak pa-pa kita berdua aja, Bel. Biar lebih bebas,” candanya.
“Woo dasar,” ledekku. “Naik apa kesana? Naik mobil ku aja, nanti gantian bawanya tapi,” aku terkekeh sendiri.
“Mobilnya manual apa matic?”
“Matic. Masa gak pernah sadar sih? Kan udah sering naik juga,” cibirku.
“Yah, aku bisanya manual, Bel,” ujarnya.
“Ya sudah nanti pinjem Fortuner papa aja, manual tuh. Lebih gede juga,” kataku memberi ide lainnya.
“Gak perlu, Bel. Nanti bokap kamu naik apa ke kantornya?”
Aku memicingkan mata sekali lagi pada Rakha. “Bilang aja gak bisa bawa mobil,” aku meledek.
Rakha terkekeh sendiri dengan cengiran bodohnya. “Ajarin dong makanya,” lirihnya.
“Ah kamunya gak pernah minta diajarin sih,”balasku mencibir. “Jadi naik apa nih ke sananya? Naik pesawat?”
“Jangan. Gak asik kalau naik pesawat, terbang sebentar udah turun lagi. Kita naik kereta aja ya,” tuturnya.
Naik kereta? Pasti akan jadi pengalaman pertama untukku karena sebelumnya aku belum pernah naik kereta jarak jauh. Boleh juga, hitung-hitung pengalaman. “Boleh.”
“Oke,” seru Rakha. “Makasih ya, Bel,” katanya kemudian.
“Untuk?”
“Untuk kesediaan kamu nemenin aku pulang ke kampung,” katanya lembut.
“Kampung ya? Berarti kamu anak kampung,” ledekku dengan suara yang lumayan keras.
“Ibel!” Rakha bersungut, aku hanya tertawa melihat ekspresinya yang lucu itu.
Selanjutnya setelah pesanan kami tiba, Rakha bilang akan langsung memesan tiket kereta untuk ke Jogja sepulang dari sini. Kalau ditunda takut kehabisan tiket katanya. Sementara aku langsung terpikirkan bagaimana meminta izin pada mama mengingat statusku sekarang sebagai anak yang sangat diawasi. Entahlah, akan kupikirkan nanti. Aku punya waktu satu minggu untuk meminta izin pada mama. Sekarang aku menikmati saja waktu yang tersisa bersama Rakha hari ini sebelum pulang dan pergi ke pesta pernikahan teman mama.
**
@T_bex
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
@peteradamtenor
@zeva_21
@sonyarenz
@vELo
@Yohan_Pratama
Seperti layaknya acara-acara lainnya yang kuikuti bersama mama, pasti mama akan menghilang entah kemana meninggalkanku sendiri seolah aku menikmati pestanya. Untuk kali ini memang aku menikmatinya, sementara beberapa pesta sebelumnya, kecuali yang di Singapura, aku merasa bosan sendiri karena pestanya.
Apa yang membuatku menikmati pesta ini meskipun sendirian bukan karena makanan yang dihidangkan atau pertunjukan musik yang sedang dimainkan di panggung dekat pelaminan. Ada hal lain yang membuatku merasa nakal karena tidak seharusnya aku melakukan hal ini. Cuci mata.
Sepertinya aku dan mama tiba di jam dimana teman-teman kedua mempelai hadir, alhasil kebanyakan tamunya masih berusia dua puluhan, muda-muda meskipun lebih tua dariku. Tapi tetap saja, banyak cowok kece dengan setelan jas rapi yang membuat mataku terpikat. Ah Ibel! Inget donk kalau sudah punya pacar! Aku memperingatkan diriku sendiri.
Kuseruput jus jeruk di tanganku. Mataku masih terus memandangi tamu-tamu lainnya yang datang di pesta resepsi yang di selenggarakan di hotel dekat komplek perumahanku. Hanya butuh lima belas menit untuk tiba disini dari rumah. Tiba-tiba pandanganku berhenti pada seseorang yang sedang berdiri memunggungiku.
Dia tidak mengenakan jas, tapi kemeja dengan celana panjang warna hitam. Mataku fokus pada kemeja yang dikenakannya. Aku kenal betul kemeja itu. Kemeja warna ungu itu. Kemeja yang awalnya tidak ingin kukenakan karena aku tidak mau samaan, tapi akhirnya kupakai juga sebagai tanda terima kasih. Kemeja ungu dengan kerah hitam yang elegan. Mungkinkah?
Cowok itu berdiri beberapa langkah dari tempatku. Tingginya sama dengan dia. Postur tubuhnya mirip, gaya rambutnya dari belakangku juga sama. Hatiku berdesir hebat menimbulkan resah dan risau di saat bersamaan, tapi malah membuatku semakin terpacu untuk mendekatinya.
Kelvin? Mungkinkah itu dia? Kalau benar itu dia, apa yang akan aku katakan? Aku menghentikan langkahku, seolah terjegal oleh pikiran yang baru saja melintas di otakku. Ya, apa yang akan kukatakan? Apa aku harus mengatakan bahwa aku sekarang sudah pacaran dengan Rakha dan terima kasih atas segala nasihat yang diberikannya selama di Singapura. Tidak! Itu terlalu kejam. Tentu aku tidak lupa kalau dia juga suka padaku. Dia menciumku lebih dulu daripada Rakha. Dimana hati nuraniku bila aku bicara demikian. Lalu pikiranku melompat pada pertanyaan lainnya yang tidak bisa kujawab sama sekali. Apa aku masih menyimpan rasa untuknya? Kalau tidak, kenapa aku melangkah mendekatinya? Ah iya, aku ingin memastikan kalau cowok itu benar Kelvin atau bukan. Lalu kalau benar, apa yang akan kukatakan?
Duh. Rasanya ingin memukul kepalaku sendiri karena pikiran yang ternyata hanya berputar-putar pada rasa takut dan ingin tahu yang saling balapan untuk menjadi juara di hatiku sebagai penentu sikapku. Tapi aku tidak mungkin melakukannya karena disini ramai.
Aku menghela nafas panjang. Aku memilih untuk memastikan daripada aku penasaran sampai berhari-hari dan menyesal karena tidak memastikan siapa orang itu. Kulangkahkan kembali kakiku mendekatinya.
“Kelvin?” panggilku dari balik punggungnya. Dia berputar perlahan, membuat detak jantungku semakin kencang entah kenapa.
“Ya?” aku menatap padanya. Dia memakai kaca mata kocak melengkung di bawah yang menghiasi wajahnya. Tapi dia bukan dia, bukan Kelvin. Ada perasaan lega, tapi aku lebih merasa kecewa karena ternyata cowok ini bukan orang yang kuharapkan.
“Sorry. Gue kira temen gue,” kataku sambil nyengir dipaksakan. Aku berbalik dan langsung berjalan cepat menjauhinya menuju salah satu stand makanan.
Kalau aku mau menipu diriku sendiri, tentu aku sudah menyangkal bahwa aku memang merindukannya. Meskipun sudah kumantapkan hatiku hanya untuk Rakha seorang, aku masih belum bisa menolak kehadiran Kelvin meskipun hanya dalam sekelebat harapan. Aku hanya bisa berteori, tapi prakteknya nol besar. Bahkan aku gagal saat ujian tryout-nya.
Aku kembali menyeruput jus jerukku yang masih belum habis juga. Kupandangi sekeliling seperti yang sebelumnya kulakukan, tapi pandanganku selalu terhenti pada cowok dengan kemeja ungu tua tadi. Bukan orangnya yang menjadi titik perhatianku, tapi kemejanya. Sungguh itu kemeja yang sama persis. Dan kemeja itu berhasil mengingatkanku pada Kelvin dan semua yang telah dilakukannya selama menemaniku di Singapura.
Aku galau seketika. Aku butuh Rakha disini untuk menghilangkan perasaan ini.
“Sampai kapan lu mau ngeliatin cowok itu?” tanya seseorang yang tiba-tiba berada di sampingku. Aku menoleh dan mendapati seorang cewek berambut seleher dengan gaun putih sampai dengkul. Siapa dia?
“Hah? Gue gak ngeliatin cowok itu,” aku berkelit.
“Gak usah bohong. Gue tahu kok lu ngeliatin cowok itu dari tadi,” tuturnya, seperti sedang mencoba membuatku tersudut.
“Apaan sih? Apa urusan lu dengan apa yang sedang gue liatin?” kataku tidak nyaman.
“Weits. Urusan gue lah. Dia temen gue. Mau gue kenalin? Tapi sayangnya dia gak gay.”
What? Apa-apaan ini? Siapa sih cewek ini yang sekonyong-konyong berdiri di sampingku dan ngomong gay tanpa pakai sensor? Aku memandangnya dengan tatapan aneh, melimpahkan semua pertanyaanku hanya dalam satu tatapan kurang suka.
“Gue Rifka,” katanya sambil menyodorkan tangannya.
“Ibel,” entah kenapa aku menjabat tangannya padahal aku bisa bersikap acuh dan tidak peduli. Ini cewek sok-kenal-sok-deket abis.
“Gue tahu lu gay, keliatan kok dari cara lu ngeliatin orang-orang disini,” ujarnya dengan enteng. Hello! Please sensor kata gay dari mulut lu! Disini gak cuma ada kita berdua kali! Pekikku dalam hati.
“Lu siapa? Paranormal?”
“Hah? Gak perlu jadi paranormal kali buat tahu cowok itu gay apa ga,” balasnya. Duh rasanya ingin segera ambil selotip hitam besar buat nutup mulut nih cewek. Cablak banget.
“Sshh. Bisa gak sih lu bilangnya ‘cowok itu straight atau ga’ aja,” lirihku kesal.
“Lah apa bedanya? Sama aja kan?”
“Beda perspektif, jadi beda penalarannya,” tegasku.
Dia malah tertawa. Tuh kan bener ini cewek aneh pasti. Sudah SKSD sekarang malah tertawa sendiri padahal baru aku omeli.
“Kenapa malah ketawa?” tanyaku kesal.
“Omongan lu mirip sama mantan gue saat gue tanyain kenapa dia bisa suka sama cowok. Dan dia bilang, cinta itu masalah perspektif. Kalau kita cinta sesama gay itu sebuah kesalahan, maka pandangan kita jadi jelek. Tapi kalau kita memandangnya sebagai cinta sejati, maka cinta sesama gay itu bisa jadi kisah cinta paling romantis yang ada di dunia,” ujarnya panjang lebar tanpa aku tahu alasannya. Sakit nih cewek.
“Lah? Cowok lu gay?” tanyaku. Ups, lupa. Seharusnya aku bilangnya ‘cowok lu gak straight?’. Aku ingin menepuk keningku sendiri tapi gak jadi. Malu.
Dia terkekeh pelan dengan beberapa makna. “Menyebalkan banget tahu bagi cewek saat kalah saing sama orang yang lebih ganteng dari kami,” katanya datar, mendadak jadi mellow.
Aku tertawa karena menganggap kalimatnya barusan adalah sebuah candaan, tapi pukulan pelan Rifka di lengan kananku membuatku berhenti tertawa, “maaf,” lirihku sambil terus mencoba menahan tawaku.
“Duduk disitu yuk, temenin gue ngobrol,” ajaknya dan tanpa meminta persetujuanku langsung menarik tanganku. Terpaksa aku mengikutinya menuju deretan bangku kosong yang menempel ke tembok. Ah tingkahnya seperti ini mengingatkanku pada seseorang.
“Jadi, ada berapa cowok gak straight yang ada disini sepenglihatan lu?” tanyaku saat kami sudah duduk bersampingan.
“Hmm. Selusin lebih deh,” balasnya cepat.
“Sekalian aja sekodi, biar kayak mau beli sepatu,” ledekku karena merasa direndahkan sebagai kaum gay yang satuannya disebut layaknya satuan baju.
“Selusin berapa kodi?” tanyanya. Entah serius atau hanya pura-pura bodoh. Aku menepuk keningku sendiri dan Rifka tertawa lebar. Sialan. “Becanda gue, Ibel. Tapi paling gampang sih pas ngeliat lu tadi. Cuma sekali liat, gue langsung tahu kalau lu gay.”
“Kok bisa?”
“Cowok itu kan kalau gak brengsek, berarti dia gay. Nah lu itu gak ada potongan cowok brengsek sedikitpun, Bel,” katanya meledekku lagi. Baru kenal dan langsung main meledek orang seenaknya seperti ini benar-benar membuatku teringat pada Kelvin. Kelakuan keduanya mirip.
“Lah kalau teorinya begitu, berarti itu cowok-cowok alim yang rajin sembahyang dan menabung itu gay semua dong?” aku berdebat.
“Gak, Bel. Mereka itu brengsek, bagi cewek-cewek nakal yang udah godain mereka berkali-kali tapi selalu gagal. Brengsek itu tergantung perspektifnya kali, Bel,” katanya sambil terkekeh.
“Ah teori lu ngarang,” aku mencibir. Rifka tertawa lagi.
“Lu sendirian kesini, Bel?” tanya Rifka kemudian, berganti topik dengan mudahnya seperti muter balik tanpa kasih lampu sein.
“Gak. Gue sama sekali gak kenal sama pengantinnya. Gue ama nyokap dan dia lagi ngilang gak tau kemana,” jawabku.
“Sama dong.”
“Nyamain aja,” ledekku lalu Rifka memukul lengaku sekali lagi dengan tinjunya yang pelan.
“Emang begitu adanya,” lirihnya. “Kata nyokap gue, dia mau ngenalin gue sama anak temennya. Ya kayak mau dicoblangin gitu gue, karena nyokap gak mau gue salah pilih seperti mantan terakhir gue yang gay,” katanya mendadak curhat.
“Ooh,” sahutku seadanya.
Kemudian ku dan Rifka terdiam sebentar menyaksikan penampilan band SMA pengantin pria dimana pengantin prianya ikut main gitar. Lucu juga. Mereka membawakan lagu dewa yang aku tidak tahu judulnya, tapi pernah dengar lagunya.
“Eh kalian berdua sudah ketemu ternyata, baru mau dikenalin satu sama lain,” ujar seseorang, aku dan Rifka langsung menoleh pada ibu itu. Di sampingnya mama berdiri sambil tersenyum padaku dan Rifka.
“Mama?” lirih Rifka menatap pada ibu tadi.
“Ini lho Rifka yang mama mau kenalin ke kamu. Namanya Ibel. Kalian sudah saling kenalan?” tanya mamanya Rifka.
Sedetik kemudian aku dan Rifka saling pandang. Dia memandangku seolah tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi, sementara aku malah lebih ingin tertawa karena nasib kurang beruntung yang menimpa cewek ini. Dia ingin dicomblangin karena mantannya gay, tapi malah dicombaling sama gay lainnya. Hahaha.
**