It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku merebahkan tubuhku begitu saja di kasur. Setumpuk barang belanjaan oleh-oleh untuk teman-teman di Jakarta kuletakkan di kasur satu lagi, kasur mama. Mataku menatap lelah ke langit-langit kamar hotel di Marina Bay Sands ini. Aku dan mama menginap di kamar dengan dua kasur terpisah. Dengan beragam fasilitas ala hotel bintang 5 tentu aku nyaman sekali tidur disini semalam. Bahkan tadi pagi rasanya tidak ingin bangun.
Kemudian aku duduk dengan kedua tanganku menopang ke belakang. Aku menengok ke kanan ke arah tirai kamar yang sengaja dibiarkan terbuka sehingga cahaya alami matahari dengan bebas dapat menerangi kamar ini. Dan diseberang teluk marina berjejer gedung-gedung pencakar langit Singapura yang seolah sedang balapan untuk menjadi yang paling tinggi. Pemandangan paling spektakuler yang pernah kulihat. Aku puas dapat kamar dengan view kota seperti ini.
Tidak terasa hari ini adalah hari terakhir aku bisa jalan-jalan di negara kota ini. Aku baru saja belanja oleh-oleh di Bugis Street dan Mustafa Center ditemani Kelvin yang sekarang memilih pulang dulu.
“Mau ngapain pulang sekarang?” tanyaku seolah tidak rela Kelvin meninggalkan aku sendirian. Memang sebenarnya aku ingin menghabiskan setiap detik yang tersisa di hari terakhir ini dengan Kelvin. Makanya rasanya gak rela.
“Ada keperluan sebentar lah. Nanti saya balik lagi jam 3 ya, saya pengen coba berenang di atas sana tuh,” katanya sambil menunjuk bagian atas hotel yang menyerupai sebuah perahu, menghubungkan tiga menara hotel di puncak.
“Disana ada kolam renang?” tanyaku heran.
“Iye lah. Awak pikir dimana orang-orang hotel ni akan berenang kalau tidak ada kolam di atas sana?”
“Disitu,” balasku sambil menunjuk teluk Marina, ah entah apa sebutannya.
Kelvin tertawa. “Gurau saja awak ni. Sudah ya, saya pulang dulu sebentar. Awak berias lah yang cakap untuk sambut saya ntar sore,” katanya menyuruh.
“Berias? Emangnya kamu siapa aku?” balasku sambil menjulurkan lidahku meledek.
Dia nyengir bodoh. “Dah ya,” katanya sambil melambaikan tangan kanannya, lalu meninggalkan aku sendirian di depan lobby hotel dengan beberapa kantong belanjaan. Duh ninggalin sih gak pa-pa, tapi seenggaknya bantuin dulu donk bawain belanjaan ini ke kamar. Aku menjerit dalam hati.
Kelvin bertingkah aneh hari ini. Aku akui itu. Entah kenapa aku merasa dia hari ini lebih protektif dan perhatian kepadaku. Bukan, bukan sekedar perasaanku, tapi memang itulah yang terjadi. Bahkan beberapa kali dia membuka pintu sebuah toko dan mempersilakan aku masuk lebih dulu. Aku sih senang-senang saja dengan tingkahnya itu. Tapi aku penasaran apa alasan dia melakukan hal itu.
Aku suka Kelvin, bahkan rasanya lebih mudah untuk menyukainya daripada menyukai Rakha. Karena aku tahu dia punya orientasi yang sama denganku. Tidak ada DLH alias Double Level Hope untuk Kelvin karena tentu dia sudah melewati level pertama. Sementara aku masih menimbang-nimbang posisi Kelvin di level kedua. Apakah dia menyukaiku atau tidak.
Kadang aku merasa dia punya rasa terhadapku, segala kelakuan dan perhatiannya membuat aku berprasangka seperti itu. Mana ada teman yang memegang tangan dan merangkul temannya saat pesta kembang api? Hubungan ini tentu lebih dari teman di mata Kelvin. Tapi kadang juga aku merasa bahwa hati ini terlalu percaya diri sehingga meracuni otak ini untuk berpikir bahwa memang Kelvin suka padaku. Walau pada kenyataannya belum tentu.
Lagi-lagi perasaan melawan logika.
Logika yang berkata bahwa apa mungkin rasa ini muncul padahal kami sama-sama baru kenal beberapa hari yang lalu. Kalau iya, apakah bisa dilanjutkan mengingat hari ini adalah hari terakhirku? Aku akan pulang besok pagi dan apa rasa ini akan terus kubawa? Apa rasa ini tetap dapat kupertahankan pada situasi aku tidak bisa melihat Kelvin setiap hari lagi. Saat kami terpisah jarak yang tidak sedikit.
Aku bingung. Berat rasanya bila harus pulang besok. Aku masih belum siap untuk berpisah dengan Kelvin. Bagaimana dengan dia? Apa dia sudah siap berpisah denganku? Tiba-tiba aku berharap Kelvin akan melakukan hal yang sama seperti Rakha saat aku sedang berkemas untuk pulang ke rumah pada liburan ini. Menahanku.
“Lu harus pulang ya, Bel? Ini kan bukan libur akhir semester,” katanya saat itu, dia sedang duduk di tepi ranjangku sambil memainkan gitar, entah lagu apa yang dimainkannya, tidak jelas dari tadi.
Aku mengalihkan pandangan dari koperku dan menatap Rakha. Dia memandangku murung. “Lu kenapa gak pulang juga? Lumayan dua minggu main di Jogja,” kataku.
“Ya tapi gak ada bedanya Bel disini sama disana. Gue pasti sendirian. Abang gue kan kerja, dan di rumah gak ada siapa-siapa lagi,” jawabnya sambil menghela nafas panjang.
“Yahh kasihan banget sih temen gue ini. Yang sabar ya,” kataku meledek.
“Iya, Bel. Udah sabar banget ini,” katanya menimpali candaanku. Aku tertawa kecil.
“Lu main ke rumah gue aja kalo gak. Di rumah juga gue sendirian biasanya, cuma sama pembantu,” kataku memberikan usul.
Dia berhenti memainkan gitarnya sebentar lalu menjawab, “gak ah, ntar gue diapa-apain ama lu.”
Tuing. Sebuah kaos hitam yang hendak kumasukkan ke koper kulemparkan begitu saja ke arah mukanya Rakha. Songong! Dia hanya ketawa setelah berhasil menghindar dari kaosku itu.
“Jangan suuzon, Kha. Paling juga lu gue suruh nyapu sama ngepel rumah doank,” ujarku. Aku meneruskan memindahkan beberapa bajuku ke dalam koper untuk dibawa pulang. Digangguin Rakha begini jadi tidak selesai-selesai dari tadi. Huft.
“Emang itu yang gue pikirin kali, Bel,” katanya sambil tertawa lepas. Iye dah. Emang aku saja yang pikirannya kotor karena berpikiran yang tidak-tidak.
“Ya sudah kalau gak mau. Selamat sendirian disini selama dua minggu ya,” aku menutup koper dan menggeser resletingnya. Setelah selesai aku berdiri sambil berkacak pinggang menghadap Rakha. Aku siap untuk pergi.
“Ah lu mah gitu, Bel. Disini aja lah sekali-sekali,” pintanya. Sungguh, aku kesulitan mencari kata-kata yang pas untuk menolaknya secara halus. Kalau saja mama tidak memaksaku untuk pulang dengan ancaman pasti aku akan tetap di kosan selama dua minggu. Apalagi Rakha yang meminta.
“Perintah nyonya besar, Rakha. Kalau gak dituruti ntar investasi nyokap ke gue dicabut. Lah gue makan apa ntar?”
“Hehe. Cari makan sendiri lah, Bel,” katanya sambil cengengesan. Bocah sarap.
“Lu gila? Gue lulus kuliah aja belum,” cecarku dan dia malah ketawa.
Kami berdua terdiam sebentar, Rakha mulai memainkan kunci-kunci nada asal dengan kocokan gitar yang semrawut seperti biasa. Aku sudah kebal mendengar suara hancur-hancuran seperti itu.
“Atau lu aja yang ke Jogja. Temenin gue biar gue gak sendirian disana,” kata Rakha tiba-tiba saat aku sedang mengenakan jaket. Setelah ini aku siap untuk meninggalkan kamarku, dan mungkin kunci akan kutitipkan pada Rakha saja.
“Ogah ah. Ntar gue diapa-apain sama lu,” aku membalas kata-kata Rakha tadi.
“Gak kreatif lu, Bel,” cibirnya. “Serius nih gue. Mau gak? Itung-itung wisata ke Jogja,” tuturnya.
“Berdua doank?” tanyaku memancing. Berharap dia jawab iya.
“Ajak yang lain kalau bisa.”
Ugh. Kecewa. “Ya sudah deh. Diatur aja, Pak. Sekarang gue harus memenuhi panggilan negara dulu. Haha,” kataku sambil meraih koperku.
“Woo gaya banget lu,” ledeknya.
“Titip kamar gue ya,” pintaku sambil nyengir.
Rakha mengangguk lalu meletakkan gitar di atas kasur. Dia berjalan mengiringiku sampai pagar depan rumah kos. Aku berjalan lagi beberapa puluh meter ke lapangan luas dimana mobilku terparkir.
Saat sudah duduk di belakang kemudi, dan koper sudah kumasukkan ke bagasi mobil sebelumnya, aku merenung sebentar memikirkan ide Rakha. Ke Jogja, ke rumah Rakha disana sepertinya boleh juga. Jujur aku penasaran dengan siapa orang-orang di balik Rakha, keluarganya maupun kerabatnya. Dia sosok paling misterius dibandingkan teman-teman kampusku yang lainnya. Dia terbuka, tapi tertutup pada hal-hal tertentu yang membuatku sering penasaran tentangnya.
Kini, aku kembali merebahkan tubuhku di kasur. Lelah sekali rasanya berkeliling sepagian tadi. Mungkin aku bisa tidur dulu sambil menunggu Kelvin datang kesini. Saat aku baru akan memejamkan mata ini, tiba-tiba ponselku berdering tanda ada panggilan masuk. Mama menelpon.
“Halo,” sapaku dengan malas.
“Kamu sudah di hotel, Bel?”
“Sudah, Ma. Kenapa?”
“Mama sepertinya akan pulang malam. Nanti kamu makan malam sama Kelvin saja ya. Oh iya, kalau bisa kamu langsung packing aja, besok kan kita pesawat pagi,” cerocos mama.
“Iya,” balasku seadanya.
“Okay. Have a nice holiday in the last day ya honey,” kata mama sok manis lalu menutup teleponnya.
Kuletakkan ponselku begitu saja. Aku memandang ke langit-langit kamar yang berwarna krem kecoklatan. Holiday? Awalnya kupikir kali ini akan jadi perjalanan wisata yang menyenangkan dengan mama, tapi boro-boro, makan malam dengan mama pun tidak pernah. Semalam pun hampir, karena aku dan mama tidak semeja.
Aku jadi merasa bahwa aku liburan sendiri, lalu tiba-tiba bertemu dengan Kelvin yang bersedia menjadi pemandu wisataku yang nyatanya lebih banyak mengatur. Huft. Hadapi sajalah, memang niatan mama kesini untuk bisnis, sedangkan aku diajak supaya aku tidak bosan seminggu lebih di rumah saja.
Kecewa sih, tapi ada sisi lebihnya yang aku syukuri. Aku bertemu Kelvin.
Selanjutnya aku memilih untuk langsung memejamkan mataku. Tanpa berganti pakaian, bahkan masih mengenakan celana jeans yang kupakai saat belanja tadi, aku pun terlelap. Kasur ini benar-benar nyaman. Aku curiga kasur ini diberikan parfum khusus yang bisa membuat orang terlelap dalam sekejap.
Entah sudah berapa lama aku terlelap, suara deringan telepon yang ada di meja di antara kasurku dan kasur mama berhasil membangunkanku. Aku meringkuk dengan malas untuk menggapai gagang telepon.
“Halo.”
“Halo Mr. Ibel. I’m receptionist, here there is someone maybe you know. He said want to meet you,” suara wanita terdengar dari speaker telepon dengan nada bicara yang sopan. He? Siapa?
Aku melirik sebentar ke ponselku dan terlihat sudah jam tiga lewat. Mungkin Kelvin. “Is his name is Kelvin?” tanyaku.
Terdengar suara bisik-bisik sebentar, lalu resepsionis tadi menjawab, “Yes, he is.”
“Tell him to go straight to my room please,” kataku.
“Okay, Sir,” balasnya mantap lalu langsung menutup teleponnya.
Aku mengembalikan gagang telepon pada tempatnya kemudian duduk di tepian ranjang. Kupandangi penampilanku saat ini yang tidak ada bedanya seperti saat tiba di kamar tadi. Hanya sekarang lebih lusuh dan kucel. Entah bagaimana tanggapan Kelvin nantinya begitu melihat aku belum bersiap-siap. Lagipula memangnya apa yang mau kami lakukan? Paling hanya berenang di atas.
Akhirnya aku mengganti baju dan celana seadanya sambil menunggu Kelvin. Saat aku sedang memakai kaos putih polosku, pintu kamar diketuk seseorang. Pasti Kelvin. Aku langsung menuju pintu dan membukanya. Terlihat Kelvin yang tampak niat sekali untuk berenang di atas. Dia mengenakan singlet putih dengan sablonan tidak jelas dan celana krem pendek. Kakinya terselip di sandal model selop santai seperti sandal hotel.
“Awak belum siap?” tanyanya, tersirat ketidaksukaan pada nada bicaranya.
Aku nyengir pada Kelvin. “Kan cuma mau berenang doank. Gak perlu mandi lah,” kataku berkilah.
Selanjutnya Kelvin menyeretku untuk bergegas ke lift. Saat lift bergerak naik aku memandangi lagi penampilan Kelvin. Kok sepertinya kelewat santai ya? Biarlah, aku tidak ingin membicarakan hal sepele seperti itu.
Ting! Suara lift berbunyi nyaring tanda kami telah tiba. Kelvin berkata bahwa ini kali pertama dia mengunjungi tempat ini. Namanya Skypark. Aku yang berasal dari negeri seberang pun menganga seperti orang norak begitu keluar dari lift. Bagaimana bisa di atap gedung terdapat taman yang cukup luas ditambah kolam renang dan puluhan tempat tidur untuk berjemur berbaris rapi?
Kelvin menarik tanganku untuk cepat-cepat mencari tempat tidur yang kosong. Setelah berjalan agak jauh, kami menemukan sepasang dan tanpa basa-basi Kelvin membuka baju singletnya dan meletakkannya di tempat tidur itu sebagai tanda tempat itu sudah ada yang punya.
Aku terkesiap sebentar, bukan karena kelakukan Kelvin, tapi karena sekali lagi aku melihat tubuh Kelvin terekspos di depan mataku. Badannya yang ideal dan terbentuk itu membuatku berhenti bernafas sebentar.
“Apa awak lihat-lihat saya macam tu? Nafsu ya?” tanya Kelvin sambil melipat kedua tangan menutupi dadanya. Sialan.
“Ge eR!” balasku lalu aku mengikuti apa yang dilakukan Kelvin tadi, membuka baju dan meletakkannya di tempat tidurku yang dibatasi sebuah meja kecil dengan tempat Kelvin. “Jangan lihat-lihat,” kataku membalas ledekan Kelvin tadi. Dia hanya terkekeh sambil terus melihat-lihat badanku yang menurutku biasa saja ini. Ideal sih, tapi tidak sekekar Kelvin. Dia sempurna deh.
“Sebelum berenang, foto saya disana dulu, Bel,” kata Kelvin sambil mengeluarkan ponsel dari celana pendeknya. Dia menunjuk bagian ujung dekat pagar yang menghadap ke arah CBD Singapura.
Aku meraih ponselnya Kelvin lalu dia membuka celana pendeknya, sehingga kini terlihat celana renangnya. Tuh kan bener, ini anak udah niat banget buat berenang di Skypark ini. Lalu aku dan Kelvin berjalan beriringan ke tempat yang dimaksud Kelvin.
Aku mengambil dua atau tiga foto Kelvin di ponselnya. Dan bodohnya ponselku tertinggal di kamar. Kalau saja aku bawa, pasti langsung kukirim secara diam-diam ke ponselku. Haha.
“Bel, masukkan nomor handphone awak sekalian ya,” kata Kelvin setelah dia puas dengan hasil jepretanku yang keempat. Aku penuhi saja permintaannya. Kuketikkan nomor ponselku dan mengganti angka nol dengan +62 sebagai kode negara tanah air. Kira-kira berapa ya tarif internasional dari Singapura ke Jakarta? Hmm.
Setelah selesai aku mengembalikan ponsel Kelvin dan kami mulai nyebur. Airnya terasa hangat. Ditemani udara sore Singapura di ketinggian 200 meter lebih yang sejuk, rasanya aku tidak ingin keluar dari kolam renang ini. Konsepnya infinity pool dimana tepi kolam renang seolah-olah menyatu dengan cakrawala, tapi berhubung gedung-gedung di CBD cukup tinggi, cakrawalanya terhalang oleh gedung-gedung itu.
Aku sekarang tiduran santai di kasur apung sementara Kelvin berenang di sampingku. Kami berhenti di tepian kolam dan menikmati pemandangan Singapura yang luar biasa dari atas sini. Pengalaman dan sensasi yang sepertinya tidak ada tandingannya.
“Besok awak dah balik ke Jakarta. Cepat sangat waktu berputar ya, Bel? Tak terasa dah hampir seminggu awak disini,” kata Kelvin, tangannya bersimpuh di lantai tepi kolam dan matanya tidak putus melihat gedung-gedung di seberang teluk marina.
“Iya. Kayaknya masih banyak yang belum aku kunjungi,” kataku sambil menghela nafas pelan. Seperti ada nada ketidakrelaan karena harus meninggalkan negara kota ini.
“Benar kan apa saya cakap, Singapura boleh kecil, tapi banyak tempat yang bisa dikunjungi,” Kelvin menatapku dengan mata yang berbinar-binar, bangga.
“Iya deh,” balasku seadanya.
“Tentang dia, apa yang akan awak lakukan?” tanya Kelvin tiba-tiba, dengan cepat aku menoleh padanya.
“Rakha?” tanyaku, dia mengangguk cepat. “Entahlah. Mungkin akan biasa saja. Tidak ada yang berubah,” balasku sambil mengangkat bahu.
“Awak tak nak cakap perasaan awak kat dia kah?”
“Aku tidak yakin, Vin. Aku masih takut kalau terlalu banyak yang dikorbankan,” jawabku.
“Tapi itu pengorbanan yang pantas kan?”
“Maybe,” aku menghela nafas panjang. Sebenarnya aku tidak terlalu suka topik pembicaraan ini.
“Bel, pernahkah awak berpikir bila suatu saat dia akan bilang suka ke awak, dan...”
“Itu gak mungkin kali, Vin,” potongku.
“Dengar dulu, saya belum selesai,” katanya. Aku diam, menunggu Kelvin kembali bersuara. “Ini seandainya, Bel. Kalau awak pernah berandai-andai dia juga gay, apa salahnya berandai-andai yang lebih dari itu. Membayangkan kalau dia bilang cinta ke awak,” dia memperjelas.
“Ya deh. Lanjutkan, Vin.”
“Kalau suatu saat dia bilang cinta ke awak, dan awak tahu dia sudah punya pacar di Bandung seperti awak ceritakan semalam, apa awak akan terima dia?” jadi ini arah dari perkataan Kelvin.
Aku terhenyak sebentar dalam pertanyaan itu. Kupikir hal itu bisa diterima. Bukannya banyak gay di dunia ini yang punya pacar perempuan hanya sebagai kedok. Kalau Rakha tulus suka padaku, apa salahnya aku menerima? Bila aku menolak pun, nantinya aku malah menyakiti hatiku sendiri.
“Ya,” jawabku mantap sambil tersenyum pada Kelvin.
Tapi dia tidak membalas senyumanku, dia tampak sedang memikirkan hal yang lainnya. “Kalau ternyata pacarnya di Bandung itu laki-laki bagaimana?”
Aku terperanjat oleh pertanyaan yang di luar dugaan ini. Tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari kasur apungku. Dua detik kemudian kepalaku kembali muncul ke permukaan dan kulihat Kelvin memandangiku khawatir.
Aku bisu. Apa yang ditanyakan Kelvin tadi benar-benar tidak pernah terpikirkan olehku. Bagaimana kalau pacar Rakha di Bandung itu laki-laki? Otakku berputar cepat mencari-cari jawaban yang pas. Hatiku meronta-ronta berusaha menampik bahwa kemungkinan itu ada. Aku kalut. Aku melihat Kelvin dengan tatapan takut. Aku takut kalau apa yang dikatakannya benar.
Tapi, bagaimana bisa Kelvin berpikir demikian? Dia tidak kenal Rakha, dia hanya tahu tentang Rakha dari apa yang kuceritakan. Bisa-bisanya dia mempunyai prasangka gila yang tidak bisa diterima oleh otakku, juga hatiku. Ini aneh.
“Itu tidak mungkin, Vin,” kataku. Tapi begitu mendengar suaraku saat mengatakannya, aku merasa ada keraguan dalam nada bicaraku.
“Bisa saja. Awak tak pernah pikirkan hal macam tu sebelumnya?” tanya Kelvin lagi.
Aku berbalik memunggungi Kelvin. Semakin kesini, pertanyaannya semakin tidak masuk di logikaku. Aku merasa tidak nyaman dengan percakapan ini. Aku berenang ke tepi kolam tanpa berucap satu kata pun pada Kelvin.
Saat sudah di atas kolam, kulihat Kelvin juga sedang berenang menepi. Kulihat ada baju handuk dari hotel terlipat rapi di tempat tidur berjemur yang kutempati. Dengan cepat aku mengelap tubuhku yang basah dan memakai baju handuk tersebut. Lagi-lagi, tanpa bicara apa-apa aku meninggalkan Kelvin.
Kenapa aku jadi begini? Hanya karena sebuah pemikiran gila aku tiba-tiba galau dan kalut. Padahal apa yang dikatakan Kelvin belum tentu benar, hanya sebuah kemungkinan yang tidak pernah terpikirkan olehku. Tapi juga sebuah kemungkinan yang tidak ingin kupikirkan, karena aku tidak ingin hal itu terjadi.
Kenapa aku? Apakah aku takut bila gagal, sehingga selama ini aku menggantung pikiranku pada Rakha di antara level satu dalam DLH? Ternyata rasanya jauh lebih sakit bila gagal di level dua. Jatuh dari tempat lebih tinggi dimana-mana memang lebih sakit. Tapi aku belum jatuh, hal ini masih belum pasti.
Aku berjalan menuju lift dengan perasaan takut lainnya. Takut kalau kenyataannya selama ini Rakha memang gay dan telah memiliki kekasih di luar sana. Dan dia baik padaku hanya untuk pelariannya semata karena kekasihnya tidak dekat dengannya.
Arghh. Aku benar-benar kacau! Tiba-tiba tangan kiriku ditahan oleh seseorang dari belakang. Aku menoleh dan melihat Kelvin menatapku penuh khawatir. Tatapan yang sama seperti ketika dia menjemputku saat aku tersesat.
“Bel, awak mau kemana?” tanya Kelvin dengan lembut.
Melihat mata Kelvin, membuatku ingin memeluknya kembali seperti malam itu. Aku butuh pelukannya dan menangis lagi. Karena apa? Entahlah, mungkin karena aku telah menggagalkan diriku sendiri pada perjuangan cintaku ke Rakha.
“Ke kamar. Menenangkan diri,” kataku, lalu kuputar tanganku untuk melepas pegangan Kelvin. Dia terus mengikutiku sampai lift. Kutekan tombol turun beberapa kali karena lift-nya lama tidak datang juga. Atau hanya perasaanku saja kalau waktu bergerak lebih pelan?
“Saya tak ada maksud cakap macam tadi, Bel. Maafkan saya,” kata Kelvin penuh penyesalan.
Kutatap matanya dengan sorot mata tajam. “Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu, Vin?” kataku dengan suara sedikit parau. Aku benar-benar ingin menangis. Bodoh sekali.
“Saya hanya ingin membuka pikiran awak, Bel. Memberitahu awak bahwa ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa terjadi di dunia ini,” terangnya.
“Tapi kenapa harus tentang Rakha? Lagipula aku tidak butuh kamu bukakan pikiran atau apa lah, aku sudah besar, Vin,” kataku menghardik Kelvin. Kelvin terus menatapku lekat, memberikan pancaran lembut yang dengan mudah terpatahkan oleh kegusaran di hatiku.
Rakha punya pacar cowok. Pikiran inilah yang berputar-putar di otakku dan sangat mengganggu. Aku tidak akan pernah punya pikiran seperti itu kalau Kelvin tidak menyulutnya dengan pertanyaannya tadi.
Kelvin terkekeh menanggapi kalimatku barusan. “Besar macam mana, kalau saya katakan kemungkinan seperti itu saja dianggap kenyataan,” katanya terdengar meledek. Aku semakin kesal.
Ting! Lift akhirnya datang. Pintu terbuka dan tidak ada orang di dalam lift sama sekali. Dan di lobby lift, dari tadi hanya ada aku dan Kelvin. Aku melangkahkan kaki memasuki lift dan Kelvin turut masuk bersamaku.
“Aku bisa menerima ucapakan kamu tadi, tapi butuh waktu,” kataku ketika pintu lift mulai menutup . aku dan Kelvin berdiri bersisian menghadap pintu.
“Ayolah, Bel. Saya tahu awak akan sulit terima kemungkinan itu. Lebih baik saya katakan sekarang kan, jadi awak bisa mempersiapkan diri kalau kemungkinan itu jadi kenyataan,”katanya mengeluh, dia berputar dan berdiri menghadapku sekarang.
“Please, Vin. Jangan usik masalah aku dengan Rakha lagi. Ini tidak ada hubungannya sama sekali sama kamu,” kataku mencoba membuat Kelvin diam.
“Jelas ada hubungannya kat semua ini, Bel. Saya tak ingin orang yang saya sayangi sakit hati hanya karena harapan yang tidak pasti,” kata Kelvin.
Aku tersentak dan menoleh pada Kelvin, memandangnya penuh pertanyaan apakah dia benar-benar mengatakan kalimat barusan atau tidak. Kuputar badanku menghadapnya, dia tersenyum menandakan bahwa dia sungguh-sungguh.
“Buka mata awak tu, Bel. Di dunia ini bukan hanya Rakha seorang yang bisa awak cinta, ada banyak laki-laki lain yang pantas dapatkan awak daripada dia yang tidak pasti tu,” lanjut Kelvin.
Hatiku berdesir hebat mendengar kata-kata dari Kelvin barusan. Mataku mulai berair dengan alasan yang lain, bukan Rakha tapi Kelvin. Dia benar-benar mengatakannya. Dia mencintaiku. Butuh beberapa saat sampai aku menghayati betul kata-katanya tadi. aku tersanjung.
“Awalnya saya ragu oleh perasaan saya ini, Bel. Saya belum siap untuk hubungan jarak jauh karena awak tak selamanya ada di Singapura. Tapi saat awak cerita tentang dia semalam, saya tahu saya bisa berbuat lebih baik daripada dia. Tak ada ketidakpastian seperti yang dia beri. Dan kita bisa perjuangkan hubungan jarak jauh ini bersama-sama asal kita saling percaya satu sama lain, Bel,” ujar Kelvin dengan kata-kata saktinya yang membuat hatiku semakin luluh.
Aku diam seribu bahasa. Ada keraguan yang ingin kukemukakan, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. “Tapi...,” aku diam lagi.
Tiba-tiba Kelvin mengangkat kedua tangannya dan memegang leherku lembut. Dia memajukan kepalanya mendekatiku yang masih tidak bergeming sama sekali. Aku tahu apa yang akan dilakukannya. Kedua bibir kami saling berdekatan. Kelvin menciumku dengan lembut.
Ciuman ini, rasanya begitu menenangkan. Aku dapat melupakan semua tentang Rakha dalam sekejap. Ciuman ajaib yang membuat aku merasa bahwa aku adalah orang paling beruntung di dunia ini. Rasanya jauh berbeda dengan ciumanku dengan laki-laki yang kukenal di forum beberapa bulan lalu. Saat itu hanya ada nafsu, tapi sekarang jauh berbeda. Ada cinta dalam setiap gerakan bibir Kelvin yang lembut. Ada sayang dalam setiap suara kecupan yang kami ciptakan.
Ting! Suara lift berbunyi nyaring, tapi Kelvin masih meneruskan ciuman ini. Aku juga tidak ingin berhenti sebenarnya, tapi hasratku mengatakan untuk menyudahinya dan mungkin melanjutkannya di tempat yang lebih privat. Saat aku mulai menarik wajahku dari Kelvin, terdengar suara yang membuat dunia serasa terbalik hanya dalam sepersekian detik.
“Ibel?!!” pekik seseorang dari luar lift. Aku menoleh dengan cepat, dan secepat itu juga tubuh mama ambruk ke lantai. Pingsan. Sementara tante Rita yang berdiri di samping mama memandangiku dan Kelvin bergantian dengan tatapan tidak percaya.
Aku dalam masalah.
**
Kelvin dan ibel aku merestui kalian
tetap semangat TS nya buat lanjutin cerita ya )
Dah ketiban masalah lagi.
Jadi makin penasaran sama lnjutanya...
Ayooo cpet di update lagi
Bagiku, penyesalan adalah sesuatu yang sia-sia. Hanya dengan merenung dan menangisi kesalahan yang telah terjadi, tidak akan mengubah keadaan yang telah berantakan. Dan aku tidak pernah menyesali sedikitpun kenyataan bahwa Kelvin telah mencium bibirku ini. Aku hanya kurang beruntung karena menerima ciumannya di waktu dan tempat yang salah.
Kutengok lagi keluar jendela dan sebuah pesawat kembali melintas perlahan menuju landasan pacu. Sudah hampir setengah jam aku berada di salah satu lounge di bandara Changi, menunggu jadwal keberangkatan pesawat. Aku dan mama tiba di bandara terlalu pagi sehingga kami harus menunggu hampir sejam lagi untuk berangkat ke Jakarta.
Lounge ini masih sepi, dipenuhi dengan sofa-sofa berbentuk kotak dan aku duduk di salah satu sofa yang agak menempel ke jendela kaca sehingga dapat melihat lalu lalang pesawat di salah satu bandara tersibuk di Asia Tenggara ini. Setidaknya melihat pesawat-pesawat itu membuatku sedikit lebih tenang karena larut dalam gerakannya yang lembut.
Mama sedang pergi ke spa di lounge ini sementara aku memilih tidak ikut. Malas, itu alasanku. Padahal saat spa aku hanya harus tiduran dan menikmati relaksasi yang diberikan. Ah, bukan badan ini yang butuh relaksasi, tapi hatiku. Ya, hati yang bahagia dan menjadi sedih dalam waktu sekejap saja. Mungkin apa yang terjadi kemarin sudah tertulis dalam suratan takdirku. Mama memang lambat laun pasti akan tahu keadaanku yang sesungguhnya.
Kuperhatikan layar ponselku lagi. Tidak ada notifikasi atau apa pun. Hanya ada pesan broadcast tidak penting yang langsung kuhapus. Tidak ada telepon dari dia, yang entah kenapa sangat kutunggu-tunggu meskipun dia tidak mengatakan akan meneleponku. Hanya saja, dia punya nomorku yang kumasukkan sendiri ke ponselnya. Sudah seharusnya dia merasa harus membicarakan ini denganku, tidak malah langsung menghilang begitu saja bagai ditelan bumi.
Setelah bersama-sama membopong mama ke kasur denganku, Kelvin langsung ditarik keluar kamar oleh tante Rita. Dari balik pintu kamar aku menguping pembicaraan mereka yang terdengar samar-samar. Kelvin mengatakan bahwa dia sungguh-sungguh jatuh cinta padaku, tapi langsung dibantah oleh tante Rita yang mengatakan hal itu tidak boleh terjadi. Sebuah pelanggaran karena tante Rita dan mamaku teman dekat. Lalu saat suara mereka hilang, aku langsung buru-buru ke kasur dan duduk di samping mama.
Mama siuman, mungkin karena goncangan kasur akibat aku terburu-buru duduk di tepian ranjang. Dia menatapku dengan tatapan yang sungguh tidak bisa kumengerti. Sedih, marah, kecewa, entahlah semuanya seperti menjadi satu dan jadi tatapan yang membuatku gusar.
Pintu kamar dibuka, kulihat tante Rita masuk sendirian. Dimana Kelvin? Pikirku saat itu. Mama yang menyadari kehadiran tante Rita di kamar langsung berkata padaku, “Bel, bisa tinggalkan mama dan tante Rita berdua dulu?”
Aku menatap mama tidak yakin, tapi akhirnya aku mengangguk dan beranjak dari tempat aku duduk. Aku meraih ponselku yang sejak sebelum aku ke kolam renang di Skypark masih ada di kasurku. Dengan langkah lemas aku berjalan keluar kamar dan menutup pintu.
Kutengok ke kiri dan kanan. Kupandangi sepanjang koridor hotel, mencari Kelvin. Nihil. Tidak ada siapa-siapa. Buru-buru aku langsung berlari menuju lift. Kutekan tombol lift berkali-kali meskipun tidak ada pengaruhnya apa lift akan tiba lebih cepat atau tidak.
Ting! Aku langsung masuk ke dalam lift yang isinya sepasang kakek-nenek yang memandangku bingung. Perjalanan turun ke lantai dasar dengan lift terasa sangat lambat. Bahkan kalau misalnya aku bisa tetap hidup saat terjun langsung ke lantai dasar, aku memilih untuk lompat saja.
Ting! Lift tiba di lantai dasar. Tanpa peduli orang sekelilingku, aku langsung berlari secepat yang kubisa. Tidak peduli dengan ramainya orang disini, penghuni hotel, pemain judi, petugas keamaan, aku sungguh tidak peduli. Aku hanya ingin menemuinya sekarang. Menemui orang yang telah meluluhkan hatiku setengah jam yang lalu.
Saat tiba di luar lobby hotel, aku berputar-putar melihat ke segala penjuru. Hati ini berharap dia masih ada di sekitar sini. Berharap aku masih bisa melihatnya sekali lagi, biarpun akan jadi kali terakhir tidak apa-apa, aku hanya ingin melihatnya. Menatap matanya, hidungnya, bibirnya, dan memeluk tubuhnya. Hal yang ingin kulakukan tadi saat dia membicarakan pacar Rakha di Bandung, tapi aku malah melarikan diri dan mengelak.
“KELVIINNNNN!!!” teriakku saat aku frustasi karena aku tidak menemukan tanda-tanda keberadaannya. Semua orang langsung menatapku bingung. Memandangku seperti orang aneh karena ternyata aku masih mengenakan baju handuk yang kubawa dari Skypark tadi.
Dia tidak ada disini, aku tahu itu, tapi hatiku tidak mau menerimanya. Secepat itukan dia pergi? Meninggalkan aku sendirian tanpa kepastian dan kejelasan. Aku butuh dia sekarang karena aku tahu aku tidak akan bisa menghadapi masalah ini sendirian.
“Are you okay, Sir?” tanya seorang wanita berpakaian seragam Marina Bay Sands kepadaku. Resepsionis yang melayaniku saat aku dan mama check in ke hotel ini.
Aku memandangnya dengan wajah kalut dan galau. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum. “I’m okay. Thanks,” kataku. Lalu aku berjalan perlahan masuk kembali ke dalam hotel. Wanita itu berjalan di sampingku seolah sedang mengawalku.
“If you don’t mind, I will accompany you to your room, Sir,” katanya dengan ramah.
“No, thank you. I’m good,” kataku menolak. Nyatanya dia menemaniku sampai aku masuk lift. Good? Pikirku. Aku sedang berantakan begini, bisa-bisanya aku membohongi diriku sendiri.
Saat pintu lift terbuka di lantai kamar hotelku, kulihat tante Rita baru saja keluar kamar dan mencari-cari seseorang. Itu aku. Pasti aku yang dia cari. Aku berjalan mendekatinya.
Tante Rita melihat kehadiranku dari arah lift. Dia tersenyum hangat. Ketika aku sudah dekat, tanpa ragu dia langsung memelukku. Ya, aku memang butuh sebuah pelukan sekarang. Sangat.
“Jaga mama kamu baik-baik ya,” bisik tante Rita lalu melepaskan pelukannya. Aku hanya mengangguk dan dia mempersilakan aku untuk masuk ke dalam kamar. “Tante harus pergi, Bel. Kamu temani mama kamu ya.” Aku mengangguk lagi.
Kubuka pintu kamar dan melihat mama masih berbaring di kasurnya. Suasana kamar sangat sepi. Hening. Tidak ada suara yang tercipta sama sekali. Aku duduk di tepi kasurnya, menghadap mama yang menatap kosong ke langit-langit kamar.
Aku tidak ingin memulai pembicaraan tentang masalah ini dengan mama, tapi bila mama mulai membicarakannya aku sudah siap. Siap akan apapun konsekuensi dan hukuman yang akan ditimpakan mama padaku. Siap dengan apa pun resiko yang akan aku hadapi. Kukumpulkan keberanian di hatiku supaya aku menjadi lebih siap.
Nyatanya sampai malam aku dan mama lebih banyak saling membisu. Tanpa diminta mama menceritakan kepadaku bagaimana dia bisa berada di hotel sementara seharusnya dia baru kembali pada malam hari.
Sebelumnya mama menelponku berkali-kali tapi tidak ada jawaban dariku. Aku langsung melihat ponselku dan ada beberapa panggilan tidak terjawab setelah jam tiga sore. Saat aku berada di Skypark. Tentu saja aku tidak bisa menjawabnya. Mama ingin memintaku mengantarkan pakaian contoh yang lupa dia bawa ke butik, tapi karena tidak ada jawaban dariku, dia memutuskan untuk mengambilnya sendiri. Dan setelah mengambil barang yang tertinggal itu, dia menemukanku sedang berciuman degan Kelvin di lift.
Takdir? Apa benar Tuhan sudah menggariskan semuanya berjalan seperti ini? Mendadak aku sangat menyesali kenapa aku bisa meniggalkan ponselku di kamar. Kalau aku membawanya ke Skypark, tentu akhir dari semua ini akan berbeda. Hanya karena sebuah ponsel yang tertinggal, aku merasa ke depan hidupku akan berubah total.
Mama sudah selesai dengan spa-nya. Dia sedang berjalan ke mejaku sambil tersenyum lega. Menyenangkan sekali sepertinya spa tadi, tapi tetap saja aku tidak tertarik untuk melakukannya.
“Mama benar-benar butuh spa tadi, bikin pikiran jadi lebih ringan,” celoteh mama saat baru duduk di hadapanku. Aku memandangnya dan hanya tersenyum menanggapinya.
“Kamu tahu kenapa mama selalu minta kamu pulang setiap ada libur panjang, Bel?” tanya mama kemudian. Sepertinya ini akan jadi pembicaraan yang serius. Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan mama tadi. “Karena mama takut akhirnya kamu menjadi tidak baik, Bel. Contohnya seperti ini,” kata mama. Ini? Apa maksudnya dengan penekanan di kata ini?
“Maksud mama, jadi gay?” tanyaku.
“Gak hanya jadi seperti yang kamu bilang barusan...,” balas mama, entah kenapa sepertinya dia jijik untuk sekedar mengatakan gay atau homoseksual. “...selain itu juga seperti narkoba, rokok, atau hal-hal lainnya yang efeknya buruk.”
Aku hanya diam, tidak menanggapi. Hitung-hitung saat ini aku sedang diomeli. Satu-satunya cara supaya omelan cepat selesai adalah tidak mengangkat argumen yang membuat omelan menjadi sebuah debat kusir yang tidak berarah.
Tapi kalimat mama selanjutnya sungguh tidak bisa kuterima sehingga mau tidak mau aku harus membela diri.
“Mama ingin kamu pindah kuliah. Di Tarumanegara atau Esa Unggul, yang dekat rumah saja biar kamu tidak perlu kos seperti sekarang ini,” kata mama menembak saja.
“Tapi, Ma. Kuliah Ibel sudah hampir setengah jalan di kampus yang sekarang. Kalau pindah, harus adaptasi lagi, atur mata kuliah lagi. Mama tahu sendiri kalau Ibel pengen lulus tiga setengah tahun kan?” cerocosku.
“Intinya mama tidak mau kamu kos lagi,” tegasnya.
“Ya sudah, Ibel akan pulang pergi setiap hari,” kataku bersikeras.
Mama menghela nafas dan menatapku dengan tatapan yang sama seperti kemarin sore. Tatapan yang membuatku gusar seketika.
“Mama hanya ingin kamu bahagia, Bel. Apa kamu bahagia dengan keadaan begini?” tanya mama berganti ke topik yang lain, seolah kami sudah sepakat dengan permasalahan aku nge-kos atau tidak.
“Mungkin belum, karena Ibel belum menemukan sosok yang tepat,” jawabku datar.
“Apa kamu yakin sosok yang tepat itu ada?”
Aku diam, menunduk ke arah gelas minumanku yang setengah kosong. Hatiku menjawab ada, hanya saja aku belum dapat meraihnya. Tapi logikaku membalas bahwa tidak mungkin ada, karena manusia ditakdirkan berpasangan dengan lawan jenisnya.
“Mama gak akan cerita masalah ini ke papa kamu. Tapi kalau kamu ketahuan sama mama ada berhubungan dengan laki-laki, mama tidak segan-segan bilang ke papa,” suara mama terdengar mengancam, dan kepalaku masih tertunduk, tidak berani menatap mama sama sekali. Bahkan untuk sekedar berkata ‘tapi’. “Dan kita tidak akan membahas masalah ini lagi, mama akan anggap kejadian kemarin tidak pernah terjadi.”
“Ya, Ma,” kataku menurut, tidak ingin memperpanjang masalah lagi karena mama sudah menaikkan nada bicaranya. Artinya tidak ada peluang untukku mendapatkan keringanan. Mama masih mengizinkanku kuliah di kampus yang sekarang sudah syukur. Apa lagi yang aku harapkan?
Aku tidak dapat membayangkan bila harus pindah kuliah. Artinya aku akan jauh dengan Rakha. Artinya aku akan kehilangan satu orang lagi yang telah mengisi hatiku. Sungguh aku tidak ingin hal itu terjadi. Biarpun tidak bisa menghabiskan waktu bersama lagi di kosan, mungkin aku bisa menjadikan waktu yang kami miliki berdua di kampus lebih bermakna sehingga tidak ada yang berubah. Walaupun aku tidak yakin aku bisa.
Tiba-tiba ponselku berdering. Bukan tanda telepon masuk yang masih terus kuharapkan, tapi chat BBM. Rakha, apa dia masih sama pentingnya seperti sebelum aku bertemu dengan Rakha? Aku tiba-tiba mempertanyakan hal itu karena untuk pertama kalinya aku merasa biasa saja saat dia menghubungiku. Apa rasa ini telah hilang?
‘Bel, jadi balik ke jakarta hari ini? Oleh-oleh udah dibeli kan? ’
Begitu tulisan Rakha dalam chatnya. Seperti yang Kelvin bilang kemarin, seperti tidak ada kepastian kemana arah hubunganku dengan Rakha. Selama ini aku masih berada di petak yang sama, tidak berubah sama sekali. Aku tersenyum kecut menyadari betapa bodohnya diriku. Nyatanya aku tidak akan mendapatkan apa-apa dari Rakha seperti yang selama ini kubayangkan.
**