It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
*apa perlu dibuat voting ya enaknya Ibel sama Rakha atau Kelvin? )
Bagaimana hal yang sama terjadi padaku pada cerita yang berbeda? Ah menyebalkan, aku tidak suka situasi seperti ini. Aku merasa seperti nyamuk yang tidak diperhatikan dan selalu mencari perhatian. Tapi saat perhatian diperoleh, malah berupa sebuah tamparan. Duh.
Aku sekarang sedang duduk di rumput pendek di Padang. Bukan, bukan ibukota Sumatera barat. Tapi lapangan hijau yang luas di depan gedung parlemen Singapura ini memang namanya Padang.
“Padang apa? Padang rumput? Sabana? Stepa?” kuajukan pertanyaan bertubi-tubi saat Kelvin dengan bangga mengatakan nama tempat dimana kami akan menyaksikan pertunjukan kembang api yang berpusat di Marina Bay.
“No no. Just padang!” tegasnya.
“Gak kreatif banget,” celaku.
“What?”
“No problem. Forget it!” kataku rada kesal karena dari tadi Kelvin terus bicara dalam bahasa inggris. Bukan karena aku malas meladeninya dalam bahasa inggris, tapi karena rasa ini. Jealous. Cemburu. Pada siapa?
Saat tiba di Padang, Kelvin memperkenalkanku pada teman kampusnya. Yang kemarin disebutnya sebagai cowok paling tampan di kampus. Memang benar sih, Kelvin kalah tampan dari dia, tapi ada hal lain yang membuat Kelvin jadi lebih menarik. Entahlah, mungkin auranya dan kelakuannya. Karena teman Kelvin ini terkesan terlalu dingin. Namanya Lee.
Selama menunggu pertunjukan dimulai, sekitar setengah jam ini aku hanya diam saja sambil melihat orang-orang di sekitar yang kebanyakan pasangan muda-mudi. Cewek-cowok. Mungkin itu alasan Kelvin mengajak Lee biar tidak risih sepasang cowok-cowok berduaan saja di kerumunan cewek-cowok.
Tapi makin lama aku makin merasa bahwa bukan Lee yang jadi orang ketiga, melainkan aku. Kelvin dari tadi asyik sekali berbincang dengan Lee dengan bahasa inggris logat orang-orang singapura yang cepat dan ada tambahan-tambahan yang tidak ada di inggris baku. Seperti orang cina sedang bicara bahasa inggris. Begitulah.
Mereka seru sekali membicarakan tentang perkuliahan, membicarakan orang di sekitar, rencana setelah lulus kuliah, dan banyak lagi yang sebenarnya tidak penting untuk kudengar. Sesekali Kelvin meminta pendapatku lalu dia kembali asyik dengan Lee. Ahh rasanya ingin pulang saja dan langsung tidur daripada harus begini.
Padahal tadi saat aku bersiap-siap berangkat, aku sudah membayangkan berdua saja dengan Kelvin menikmati suasana malam kota Singapura dan gemerlap dan puncaknya melihat kembang api pergantian tahun dengan suasana yang romantis. Tapi kenyataannya sungguh berbanding terbalik, mendekati pun tidak.
Aku ingin protes pada Kelvin. Menuntut perhatiannya karena dia adalah garansi dari mama. Dia sudah dibooking selama seminggu ini untuk menemaniku. Tapi rasanya terlalu naif dan kolot. Memangnya siapa aku ini? Aku kan hanya turis yang menginap di rumahnya selama beberapa hari, dan dia dengan sukarela menemaniku jalan-jalan keliling Singapura. Atau jangan-jangan ada imbalan yang didapatkannya tapi aku tidak tahu sedikitpun tentang hal itu.
Entahlah. Aku tidak ingin berprasangka buruk pada Kelvin.
Lima belas menit lagi hitung mundur dan pesta kembang api akan dimulai. Kelvin masih asyik berbincang dengan Lee, sementara aku terus memandangi beberapa panitia penyelenggara di Padang ini yang dari tadi sibuk mondar-mandir.
Tiba-tiba aku teringat kejadian tahun lalu. Saat itu mama dan papa sedang keluar negeri, jadi aku tidak perlu pulang ke rumah selama libur akhir tahun seperti sekarang ini. Rakha mengajakku untuk pergi ke acara tahun baru yang digelar di jalan protokol ibukota yang sengaja ditutup untuk pesta. Lebih tepatnya dia memaksaku. Aku malas sekali. Bahkan untuk sekedar keluar dari kamar kos. Karena yang kutahu kalau tahun baruan di Jakarta pasti macet dimana-mana. Mending lihat kembang api dari atap kos deh.
“Ayo lah, Bel. Gue pengen foto kembang api nih pake ini nih,” katanya sambil menunjukkan kamera DSLR barunya. Kamera yang diberikan abangnya sebagai kado ulang tahun.
“Ogah ah! Cewek lu kan banyak, kenapa ngajak gue sih?” kataku masih asyik main game di ponselku.
“Jehh. Lu kan tahu sendiri gue baru putus sama Mila minggu lalu,” katanya sambil duduk di tepian ranjangku.
“Lah stok cewek lu kan banyak. Udah abis?”
“Anjirr. Lu kata cewek itu air galon apa? Pake di-stok segala,” balasnya.
“Ya kan biasanya cewek lu gak abis-abis, Kha. Kayak pilus,” aku tertawa.
“Iye udah abis, Bel. Makanya gue ngajak cowok sekarang,” katanya memaksa. Duh. Seperti sebuah kode lainnya. Tapi sepertinya dia tidak serius, hanya menimpali candaanku saja.
“Yang di Bandung?”
“Masa gue mau ke Bandung baru berangkat sekarang. Mana keburu Ibel.” Rakha mulai dongkol.
“Ya daripada ngajakin cowok. Kayak homo aja,” aku masih berkelit.
“Iya dah, Bel. Kalau gue homo gue maunya ngajak lu, Bel.”
Jleb. Hatiku langsung berdesir keras saat dia bilang begitu. Kode yang diberikannya sudah mencapai level yang lebih tinggi dari biasanya. Aku membuang muka dari Rakha, takut kalau seandainya mukaku jadi merah padam dan dia menyadarinya.
“Emang yang lain pada kemana? Inu? Dias? Romi?”
“Mereka kan masih ada cewek, Bel. Udah yuk ah. Siap-siap, Bel!”
“Lah gue kan belum bilang mau ikut,” aku menolak.
“Yah, Bel. Please. Gue penasaran banget nih sama kamera ini,” katanya, mukanya sudah semelas-melasnya.
“Ongkosin?”
“Sip!”
“Traktirin makan!”
“No problem!”
“Kerjain tugas paper 20 halaman gue yang dikumpul minggu depan!”
“Ah lu mah licik, Bel. Pemerasan ini namanya!” gerutunya.
“Haha. Becanda kok becanda. Yaudah sana keluar gih, gue mau siap-siap ganti baju dulu!”
“Gak pa-pa, Bel. Lu ganti baju di depan gue aja. Kan kita lagi pura-pura homoan,” katanya sambil nyengir lebar seperti orang bodoh.
“Goblok!” Dengan cepat kuraih gulingku dan melemparnya ke muka Rakha yang pura-pura nafsuan. Dia langsung lari keluar dari kamar kosku dan membiarkan pintu kamar terbuka begitu saja. Aku berjalan sedikit dan menutup pintu kamar, lalu memunggungi pintu dan bersandar padanya. Kutatap langit-langit kamarku dengan senyuman merekah di bibirku.
“Kha, seandainya lu bisa tahu, pura-pura aja bikin gue seneng bukan main, apalagi betulan?” lirihku pelan.
Kemudian kuraih gulingku dan tergeletak di lantai dan memeluknya erat. Seerat yang kubisa. Gemas! Karena aku merasa sangat senang sekarang. Buru-buru aku bersiap dengan pakaianku yang terbaik. Parfum terbaik. Sepatu terbaik. Semuanya yang terbaik yang kupunya dan ada di kamar kos ini. Aku seperti cowok straight yang ingin berkencan dengan cowoknya. Bisakah malam ini dianggap kencan? Terlalu muluk ah!
Setelah bersusah payah mengarungi ganasnya jalanan Jakarta di malam penggantian tahun, akhirnya Rakha menemukan tempat parkir yang menurutnya sudah tidak ada lagi yang lain. Alhasil kami berdua harus berjalan hampir satu kilometer untuk sampai di Bundaran HI. Gempor!
Awalnya terasa indah bagiku, sama seperti kesempatan lainnya saat aku hanya jalan berdua dengan Rakha. Di luar memang aku menunjukkan padanya dan semua orang bahwa kami adalah sahabat, tapi di hati aku selalu membayangkan bahwa kami berdua sedang kencan. Menghabiskan waktu bersama untuk menumbuhkan benih-benih cinta di hati.
Tapi sebelum aku sempat menyebar benih-benih cinta malam ini, seekor hama muncul dengan tiba-tiba di hadapan kami berdua. Perumpaan yang berlebihan memang, tapi hama inilah yang bertanggung jawab karena membuat malamku jadi membosankan.
Riska. Mantan Rakha sekitar 2 bulan yang lalu, eh mungkin sudah tiga bulan. Ah tidak penting. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana bisa dia tiba-tiba tidak sengaja bertabrakan dengan Rakha?
Katanya dia datang bersama teman-temannya, tapi mereka hilang, dan ponsel Riska sudah mati karena baterainya habis. Semua penjelasan Riska dan kekhawatiran yang diperlihatkan Rakha membuat keduanya seperti saling memberikan sinyal bahwa mereka berdua masih sama-sama tertarik. Duh.
Dan akhirnya aku benar-benar menyesal karena telah meninggalkan kamar kosku yang nyaman, kalau bosan tinggal main gitar saja. Sekarang? Dalam keadaan begini aku hanya bisa bengong melihat sekeliling yang luar biasa ramai sementara Rakha asyik ngobrol dengan Riska. Mungkin kalau aku pulang tanpa bilang, bisa saja Rakha baru sadar saat sudah berpisah dengan Riska. Tapi sayang kunci motor dipegang oleh Rakha.
Riska tidak hanya jadi teman ngobrol Rakha, dia juga menjadi model dadakan Rakha untuk difoto dengan kamera barunya. Aku? Hanya melihatnya saja. Aku tidak bisa protes. Padahal hati ini sudah mencak-mencak untuk melarikan diri daripada cemburu tidak karuan.
Kenapa aku mau berada di situasi seperti tidak nyaman seperti ini? Kenapa aku bertahan? Apa mungkin melihat senyumannya, mendengar tawa dari mulutnya, dan lesung pipitnya itu, yang menunjukkan bahwa dia sedang berbahagia lebih meracuniku daripada rasa cemburu ini? Aku bahagia karena melihat dia bahagia?
Dan semuanya terulang kembali saat ini. Pertanyaan yang sama pun muncul. Apa aku sudah merasa bahagia hanya karena melihat betapa senangnya Kelvin dengan Lee malam ini? Aku tidak dapat membantahnya, tapi sebuah pertanyaan baru, hasil proses dari pola pikir baru yang diajarkan Kelvin padaku muncul.
Bagaimana kalau sebaliknya? Apa Kelvin akan bahagia kalau melihatku bahagia? Tapi aku sedang tidak berbahagia sekarang. Aku galau, sementara dia bahagia. Bagaimana hubungan ini bisa terjalin? Lalu aku sadar, mungkin Kelvin hanya menganggapku biasa saja, sementara dia sudah bertransformasi dari orang asing menjadi orang yang kusuka dalam beberapa hari saja. Aku makin galau jadinya.
Lima menit sebelum hitung mundur sekarang. Aku akhirnya jengah, karena melihat Kelvin dengan Lee, karena semua pikiranku tentang rasa di hati ini padanya, karena aku mendadak rindu pada Rakha. Sedang apa dia?
Kukeluarkan ponselku dan membuka aplikasi BBM. Kupilih namanya dan muncul beberapa chat terakhirku dengannya. Aku tersenyum sebentar, menimbang-nimbang apakah aku harus mengirim chat padanya atau tidak. Aku tidak tahu, mungkin saja dia sedang jalan dengan ceweknya yang lain yang asalnya bisa dari mana saja malam ini. Dia benar-benar tipe cowok setia, setiap tikungan ada ceweknya. Haha.
Kuputuskan untuk mengirim sekedar sapaan padanya. ‘Rakha..’ tulisku. Jika dia tidak membalas tidak ada masalah. Dan kalau dia membalas, pasti aku senang bukan main.
‘Ibeel. Udah tahun baru ya disana?’ ternyata dia membalas. Aku langung tersenyum girang.
‘Belum. 5 menitan lagi.’ Aku membalas dengan cepat. Mendadak aku bisa melupakan rasa bete-ku karena kelakukan Kelvin yang terkesan cuek. Kini Rakha yang menemaniku, meskipun hanya chatingan semata.
‘Disini sejaman lagi, Bel.’
‘Lama amat satu jaman.’
‘Jeh masih aja lawakan basi. 1 jam lagi Bel maksud gue.’ Aku tertawa kecil. Candaan ringan seperti ini yang membuatku bahagia bila ada Rakha di kehidupanku. Saat dia bercanda aku selalu tertawa, begitu pula sebaliknya. Padahal candaan kami sama-sama jayus dan tidak jelas. Tapi bedanya, ada rasa yang tersirat dalam setiap senyuman atau tawaku ketika dia bercanda. Rasa yang mungkin tidak ada padanya.
‘Makanya dispasi donk. ’
‘Spasinyaerror!’
‘Zzzz.’
‘Lu dimana Bel?’
‘Singapura. Rabu baru balik ke Jakarta.’ Kataku pura-pura bodoh, padahal aku tahu maksudnya dimananya Singapura sekarang aku berada.
‘Bukan itu dodol. Lu tahun baruan di mana? Di laut?’
‘Di Padang.’ Jawaban ini pasti akan menimbulkan kerancuan lainnya. Tapi gak pa-pa, biar obrolanku dengan Rakha makin panjang. Kadang memang aku tidak ingin obrolan kami berakhir terlalu cepat. Aku benar-benar sudah ketergantungan akut padanya. Cinta itu entah kenapa seperti narkoba. Buat orang kecanduan.
‘Katanya di Singapur?’
‘Iya ini di Padang, nama tempat di Singapur.’
‘Oooh. Gak pernah denger soalnya gue. Haha.’
‘Makanya jangan cewek mulu! Eh itu spasi udah bener?’
‘Biarin . udah, abis diketok magic. Haha.’
‘Perlu gue bantuin ketok hapenya gak?’
‘Gih sini. Kalau tahun udah berganti, udah gak boleh tapi. ’
‘Yee sama aja bohong. Lu tahun baruan dimana? Masih mau poto kembang api?’
‘Di kosan.’
‘Sama siapa?’
‘Cewek.’
‘Ooh.’
‘Kok cuma ooh?’
‘Maunya?’
‘Biasanya nanyain siapa itu ceweknya.’ Rakha memang benar, aku sering bertanya siapa cewek yang sedang didekatinya. Tapi tidak jarang juga dia sendiri yang menceritakannya langsung padaku tanpa harus aku bertanya. Sebenarnya sekarang aku sedang tidak tertarik membicarakan cewek yang bersama Rakha, tapi tak apalah, tanyakan saja.
‘Siapa emang?’
‘Ibu kos. wkkkk’ Aku yakin seyakin-yakinnya dia sedang tertawa keras di seberang sana sekarang. Gak lucu ah.
‘Cumiiii!’
‘Ibel-atung. ’
‘Rakha-dal!’ balasku gemas. Tapi ada sebongkah senyuman melengkung di wajahku. Aku suka saat kami ngobrol seperti ini. Meskipun tidak secara langsung.
‘Kadal bel, bukan Khadal. Gak pake kho! ’
‘Kadal arab! Jadi pake kho.’ Balasku sambil terkikik pelan.
“Hei, kenapa awak ketawa masam-masam macam itu lihat handphone?” suara Kelvin membuatku mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
“I’m chatting with someone,” kataku, sengaja pakai bahasa inggris untuk membalas Kelvin.
“Siape?”
“Not your business,” balasku singkat.
“Kenapa awak pakai english? Pakai bahasa je lah, kan awak dah tahu,” gerutu Kelvin.
“Lah dari tadi kan kamu yang pakai bahasa inggris,” aku membela diri.
“Ooh. Saya tahu. Awak pasti cemburu karna saya dari tadi ajak ngobrol Lee? Dia bukan siapa-siapa saya kok, Bel. Dah jadi my-ex sekarang,” katanya meledek. Tatapan matanya seolah membuatku harus mengakui bahwa apa yang dikatakannya adalah benar.
Memang benar! Tapi aku tidak ingin mengakuinya. Kelvin tidak perlu tahu, bahkan jangan sampai tahu.
“Cemburu? Apa sebab?” tanyaku sok acuh, kembali menatap ke layar ponsel dan membaca chat terbaru dari Rakha, ‘kadal burik. Wkkk’ balasnya.
“Entahlah. Hanya menebak. Awak cemburu pun tak masalah,” katanya. Duh masih aja ingin aku mengakui kecemburuanku tadi.
“Kamu gak pantes dicemburuin kali, Vin,” aku meledek. Sementara jemariku bergerak di keyboard ponsel mengetik balasan pada Rakha.
“Pantasnya dicumbuin ya?” Kelvin tertawa keras setelah berkata demikian.
“Ih apaan sih, Vin?” tanyaku merasa tidak nyaman. Kenapa jadi frontal begini sih?
“Canda Bel,” katanya sambil nyengir kuda. “Eh dah nak mulai nih. Dah pada berdiri,” kata Kelvin.
Aku melihat sekitar dan memang beberapa orang sudah berdiri untuk mulai prosesi hitung mundur tahun baru. Saat kulihat samping kiri Kelvin, aku baru sadar Lee sudah tidak ada. Sejak kapan dia menghilang?
“Lee kemana?”
“Temu temannya yang lain,” jawab Kelvin singkat.
“Lho bukannya mau tahun baruan sama kita?”
“Tak lah. Hanya menumpang saja dia. Tapi nanti balik rumah sendiri.”
“Ooh.” Aku tidak ingin memperpanjang lagi, tidak peduli juga kemana dia pergi. Sedetik kemudian aku sadar bahwa bayanganku tentang malam ini hanya berdua saja dengan Kelvin dan menikmati malah tahun baru yang romantis bisa-bisa akan kejadian. Awalnya tidak menyenangkan memang, tapi perlahan aku mulai menikmati suasana berdua dengan Kelvin lagi.
Ponselku bergetar tanda chat masuk, dari Rakha. ‘Kok dicumbuin bel?’ tulisnya. Mataku dengan cepat melihat ke chat yang kukirim sebelumnya. ‘Lu itu dicumbuin!’ Duh! Salah tulis. Mau bilang typo-pun gak masuk akal, karena jauh banget dari maksudku yang sebenarnya yaitu ‘Lu itu kadal burik!’ Pasti karena tadi Kelvin bicara dicumbuin nih.
‘Gak itu salah tulis gue. Maksudnya kadal burik,’ terangku.
‘Lah dewa banget lu, kadal burik bisa jadi dicumbuin.’ Rakha meledek. Ah bodo ah. Susah pasti untuk menjelaskannya.
‘Emang dewa. Udah dulu ah, mau countdown nih.’
‘Jangan biang happy new year dulu ke gue Bel. Masih sejam lagi.’
‘Iyee.’ Balasku lalu langsung memasukkan ponsel ke saku.
Salah satu gedung ditembak oleh sinar laser sehingga menghasilkan berapa detik lagi untuk tahun baru. Tiga-puluh detik.
“Simak baik-baik, Bel. You’ll be amazed by Singapore’s fireworks,” kata Kelvin dengan bangga.
Aku mengangguk. Iyain aja deh. Aku juga sedang menikmati suasananya. Sekarang lebih gelap karena sekitar dua atau tiga menit yang lalu lampu-lampu gedung di sekitar Marina Bay sudah diredupkan supaya kembang api menyala dengan lebih jelas. Dan lampu tembak yang dari tadi menyorot ke awan pun sudah dimatikan. Semua mata terpaku pada angka di salah satu gedung tadi.
Sepuluh detik lagi. Semuanya berteriak.
“Ten!”
“Nine!”
“Eight!”
“Seven!”
“Six!”
“Five!” tiba-tiba ada yang menggenggam tangan kiriku. Aku melihat ke bawah dan tampak tangan kanan Kelvin menggenggamnya erat.
“Four!” Aku melihat wajah Kelvin yang masih serius melihat ke angka detik tadi, seolah tidak ada yang terjadi. Sementara hatiku bergejolak cepat karena pegangan tangannya yang lembut itu.
“Three!” Aku masih belum bisa melepas pandanganku padanya. Masih menatapnya heran kenapa dia menggenggam tanganku sementara di sisi lain aku menikmatinya. Membuat aku lupa pada hitungan mundurnya.
“Two!” Kelvin menoleh padaku dan tersenyum.
“One! Happy New Year!!!” semua orang berteriak riuh. Kembang api langsung membubung tinggi, hampir setinggi gedung Marina Bay Sands dan meledak di udara. Menghadirkan cahaya merah-kuning, berpendar terang lalu turun dan redup. Hilang, digantikan kembang api lainnya yang sudah melesat dari tengah-tengah kolam Marina Bay.
Beberapa orang merekam kembang api-kembang api itu dengan beraneka kamera. Mata Kelvin terus menatap cahaya-cahaya di langit itu dengan seksama. Sementara aku masih bergulat dalam pikiranku tentang genggaman tangan ini. Kalau aku tidak suka pasti sudah kulepaskan dari tadi. Tapi ini lain. Aku merasa sesuatu yang meneduhkan di hatiku.
“Keren kan, Bel?” seru Kelvin.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum kecil. Entah bagaimana bentuk senyumanku. Semuanya seperti tak searah sekarang. Hati, mulut, dan pikiranku berputar tidak karuan. Hanya cinta yang bisa melakukan hal ini. Pertanyaannya adalah, apa aku benar-benar jatuh cinta padanya?
Tiba-tiba Kelvin melepas genggaman tanganku. Aku tidak menahannya dan sedetik kemudian aku sungguh menyesal karena tidak menahan tangannya. Aku kecewa, mendadak sedih hanya karena genggaman tangan. Apa artinya ini?
Sesuatu mendarat di pundak kananku. Ternyata Kelvin melingkarkan tangannya melewati belakang kepalaku. Merangkulku yang masih kebingungan dengan segala gejolak yang tidak pasti ini. Atau aku yang tidak berani untuk memastikannya.
Kuputuskan untuk menikmatinya saja. Kurasakan setiap tarikan nafas yang kuhirup dengan lengan Kelvin melingari pundakku. Aku merasa nyaman. Sungguh nyaman. Sejak awal bertemu dengan Kelvin aku sudah tertarik padanya, tapi tidak ada pikiran sedikitpun akan merasa nyaman. Hanya tertarik seperti melihat cowok ganteng saat sedang jalan-jalan di mal. Sekedar mengagumi dan terpesona ada orang asing.
Nyaman dan tertarik bersatu dan bermetamorfosa menjadi rasa yang syahdu di dalam hatiku. Seperti menusuk tapi setiap sayatannya malah membuat aku merasakan bahagia. Senang.
Malam ini dengan Kelvin benar-benar seperti yang sudah kubayangkan. Berdua menikmati pemandangan kembang api yang meledak, bercahaya, dan bertaburan menghiasi udara. Kuangkat tangan kiriku dan melingkarkannya di belakang pinggang Kelvin. Rasanya nyaman jadi berlipat ganda. Tidak peduli bila ada yang melihatnya, aku menikmatinya.
Aku sangat bahagia sekarang. Sungguh-sungguh bahagia.
**
Berpegangan tangan dan saling merangkul, apakah Kelvin juga suka padaku?
Setelah acara kembang api usai, seolah tidak ada yang terjadi antara aku dan Kelvin saat hitung mundur. Kelvin seperti ahli dalam hal ini, menganggap sesuatu tidak pernah terjadi, tidak mengungkitnya sedikitpun. Aku, meskipun sulit, berusaha untuk tidak membahasnya.
Sesampainya di rumah Kelvin aku memutuskan untuk langsung tidur. Sendiri saja karena Kelvin memilih nonton TV dulu. Dan sekarang aku melihatnya sedang tidur di sofa depan TV. Kenapa tidak tidur di dalam bersamaku? Apa dia menghindariku?
Beberapa pikiran buruk menyerang otakku yang masih kurang istirahat ini. Sekarang masih jam 7 pagi, padahal tadi sampai rumah hampir jam 3 pagi. Hal ini membuat kejadian semalam seperti sebuah mimpi yang tidak pernah kejadian.
Muncul niatan untuk membalas Kelvin dengan menyalakan volume televisi keras-keras supaya dia bangun. Tapi begitu melihat dia tertidur dengan tenangnya, aku tidak tega untuk melakukannya. Wajahnya saat tidur sungguh menenangkan. Aku tidak berkedip selama beberapa detik hanya menatap wajahnya saja.
Kudengar grasak-grusuk dari arah dapur. Aku berjalan ke dapur dan mendapati tante Rita sedang sibuk memasak, entah apa yang dimasak. Lalu dari kamar mandi mama muncul dengan masih mengenakan piyamanya.
“Lho kok kamu sudah bangun, Ben?” tanya mama.
“Kebangun, Ma,” jawabku singkat.
“Gimana jalan-jalan sama Kelvinnya? Seru kan pasti main di Singapura?” tanya tante Rita sekarang, tangannya masih sibuk mengaduk adonan di mangkuk, sementara mama menyiapkan adonan lain berwarna putih.
“Seru kok Tante. Kelvin asyik orangnya,” kataku sambil nyengir kecil.
“Sudah kamu istirahat lagi sana, Bel. Tidurnya pasti kurang kan? Kelvin aja masih molor gitu,” titah mama. Mereka berdua tampak benar-benar sibuk.
“Masak apa sih?” tanyaku penasaran.
“Kue. Hari ini kan ulang tahun Kelvin,” kata tante Rita.
Apa? Ulang tahun Kelvin? Bagaimana aku bisa tidak tahu? Eh, sebenarnya bagaimana mungkin aku bisa tahu, karena obrolanku dengan Kelvin selama ini tidak pernah ada sangkut pautnya dengan hari ulang tahun.
“Serius?” aku bertanya untuk memastikan.
“Ya masa tante kamu bohong sih, Bel?” sahut mama. Oke, berarti sudah pasti.
“Kelvin gak pernah bilang sih. Tahu gini kemarin beli kado deh,” kataku dengan sedikit nada penyesalan.
“Gak perlu kasih kado, Bel. Kelvin kurang suka dikasih kado,” ujar tante Rita.
Oh ya? Hal itu malah membuatku semakin ingin untuk membelikan kado buat Kelvin. Tapi mau cari dimana ya? “Di dekat sini toko yang jual hadiah ada gak, Tante?”
“Ibel, kan tante Rita sudah bilang Kelvin gak suka kado,” mama menyela.
“Ya itu serunya, Ma,” kataku sambil tersenyum jahil. Mama mendelik dan langsung mengerti maksudku.
“Ada di dekat jalan besar. Semacam ruko begitu. Naik sepedanya Kelvin saja, Bel. Gak terlalu jauh kok,” kata tante Rita.
“Sepeda putih di depan itu?”
“Iya,” jawab tante Rita sambil mengangguk.
“Oke!” seruku, lalu langsung melesat ke kamar Kelvin untuk bersiap-siap. Ganti baju dan cuci muka.
Saat tiba di depan rumah, kuambil sepeda putih Kelvin dan mengenakan helmnya, takut-takut kalau di Singapura ada aturan yang mengharuskan mengenakan helm saat bersepeda. Hehe. Aku langsung menyusuri jalanan di perumahan petak ini menuju jalan besar. Aku sebenarnya tidak terlalu bisa menghapal jalan, tapi karena sudah beberapa kali ke jalan besar dengan Kelvin, aku cukup dapat mengingat arahnya.
Kukayuh sepeda secepat yang kubisa karena aku harus sudah kembali mumpung Kelvin belum bangun. Aku benar-benar termotivasi, sangat menggairahkan rasanya melakukan sesuatu untuk orang yang kita suka. Dan aku penasaran bagaimana tanggapan Kelvin nanti saat aku memberikan kado. Kuharap aku jadi pengecualian dan dia menyukai kado yang akan kuberikan.
Setelah terperangkap beberapa saat dalam pikiran tentang Kelvin, otakku kembali berpikir kemana arah yang harus kutuju. Petunjuk dari tante Rita tokonya ada di dekan jalan besar, sementara dari tadi aku tidak juga menemukan jalan besar. Aku masih melaju di jalan yang lebarnya sama dengan jalan di depan rumah Kelvin. Apa jangan-jangan aku kesasar?
Kuperlahan laju sepeda dan memandang berkeliling mencari orang yang bisa ditanyai. Perumahan disini ternyata sama sepinya dengan di Jakarta. Orang-orangnya pasti ada di dalam rumah semua, beristirahat setelah pesta tahun baru semalam suntuk mereka. Kuputuskan untuk putar balik, kembali menyusuri jalan yang telah kulewati.
Akhirnya aku sadar aku benar-benar tersesat saat aku tidak ingat sedikitpun rumah-rumah yang ada di sisi kiri dan kananku. Tidak jauh di depan ada seorang bapak-bapak sedang lari pagi di trotoar. Langsung kudekati saja dia untuk meminta petunjuk.
“Hello, Sir. Can you help me? I think I’m lost,” kataku dengan laju sepeda yang kuselaraskan dengan larinya.
Dia berhenti, aku ikut mengerem. “Where you want to go?” tanya bapak itu.
“A store, at big road.”
“Which big road? Singapore has a lot big road!” balasnya.
Dor! Kenapa tadi aku tidak menanyakan detilnya pada tante Rita. Awalnya sih aku paham maksud tante Rita mungkin jalan besar yang biasa aku dan Kelvin lewati ketika ingin pergi jalan-jalan. Tapi jalan apa namanya aku sama sekali tidak tahu. Mati aku!
“Which there are some store there where I can buy some presents,” aku tidak tahu kenapa aku memberikan petunjuk yang tidak jelas seperti itu. Mau bagaimana lagi, aku benar-benar clueless.
“Just go a head and turn left lah. Maybe you will find big road that you want,” katanya, dari nada bicaranya terdengar jengah karena pertanyaanku.
“Okay. Thank you,” balasku. Dia mendengus dan langsung berlari meninggalkan aku. Pasti aku mengganggu paginya yang tenang dengan menanyakan arah tanpa petunjuk lengkap.
Karena tidak punya pilihan lain, aku ikuti saja petunjuk dari bapak tadi. Lurus ke depan lalu belok kiri. Lalu lurus terus mengikuti jalan, dan benar saja aku menemukan jalan besar dengan lima lajur setiap arahnya. Aku berhenti sebelum pertigaan mencoba mencari dimana letak toko yang dimaksud tante Rita.
Nihil. Sekellilin sini hanya ada flat-flat bertingkat tempat kebanyakan orang Singapura tinggal. Wrong big road! Aku kembali panik. Kupegang saku celana pendekku, dan ternyata aku tidak membawa ponsel. Hanya bawa dompet dengan beberapa puluh dollar Singapura di dalamnya. Di sekitar sini memang lebih ramai, tapi kalau aku bertanya tanpa petunjuk yang jelas, bisa-bisa aku makin kesasar.
Aku berdiri mematung di atas sepeda yang berhenti di tepian jalan ini. Ada pikiran untuk terus maju, entah belok kiri atau kanan, asalkan tidak kembali yang nantinya bisa bertemu dengan bapak tadi. Pasti dia akan tertawa melihatku dengan wajah bingung kembali lagi melewatinya. Duh.
Sudah diputuskan. Kukayuh sepedaku melintasi pertigaan, aku memilih belok kanan. Tidak jauh setelah berbelok aku melihat plang petunjuk arah jalan. Orchard Rd dengan tanda panah ke atas yang melambangkan lurus. Baiklah aku ke sana saja. Kurasa aku masih ingat dimana lokasi toko mama dan minta dijemput dari sana saja oleh siapa pun.
Beginilah aku. Pagi-pagi, masih kurang tidur, belum makan, sudah mengayuh sepeda melintasi jalanan Singapura yang tidak terlalu ramai. Tapi suasana di jalan sangat menyenangkan. Pohon-pohon besar di sisi-sisi jalan memberikan keteduhan dan kesejukan yang membuatku sangat berhasrat untuk terus menarik nafas dalam. Kota ini benar-benar menarik.
Tiba-tiba sebuah mobil sedan menyalipku dengan cepat kemudian berhenti beberapa puluh meter kemudian. Aku kenal mobil itu. Oh Tuhan, terima kasih. Aku selamat.
Kulihat Kelvin keluar dari pintu kanan depan mobil sedan silver itu. Kulemparkan senyum bahagia padanya. Dia penyelamatku pagi ini. Tapi senyumanku hanya dibalas tatapannya yang dingin dengan sorot mata yang tajam. Ada sesuatu yang salah disini.
Aku menghentikan laju sepeda tepat di belakang mobil berhenti.
“Mau kemana awak?” tanya Kelvin, suaranya lebih terdengar seperti membentak daripada bertanya.
“Tadi niatnya mau cari kado buat kamu Vin, eh malah kesasar,” jawabku sambil nyengir kuda seperti orang bodoh, berharap bisa sedikit mencairkan suasana.
“Kado? Ooh. Apa mama saya tak bilang kah kalau saya tak suka diberi kado?” tanya dia lagi, nada bicaranya masih sama. Aku tidak suka dengan gaya bicara Kelvin yang seperti ini. Kenapa dia marah-marah?
“Bilang kok.”
“Lantas mengapa awak tetap cari kado?” tanya dia lagi. Sorot matanya itu benar-benar menjengkelkan. Dan kalimatnya barusan benar-benar merusak mood-ku pagi ini yang sebelumnya sangat luar biasa.
Kelvin membuka pintu bagasi, aku tahu tujuannya pasti untuk meletakkan sepeda disana.. “Take me home now!” kataku kesal. Aku turun dari sepeda dan mengangkatnya untuk dimasukkan ke dalam bagasi. Kelvin membantuku tanpa berkomentar. Tidak berapa lama kemudian kami berdua sudah masuk ke dalam mobil yang bagasinya terbuka karena sepedanya tidak muat bila pintunya ditutup.
“Kalau saya tak temukan awak, nak kemana awak tadi hah?” tanya Kelvin saat mobil sudah melaju perlahan.
“Orchard,” jawabku singkat, masih be-te dengan nada bicara Kelvin yang terkesan memarahiku.
“Haha. Awak nak ke Orchard pakai sepeda? Saya tak yakin awak kuat lah. Orchard tu jauh lah, Bel,” katanya.
Ketawanya membuat mood-ku makin hancur. Bodo! Gak peduli! Cuma Orchard yang terpikirkan olehku daripada tersesat dan tidak kemana-mana. Aku diam saja, tidak menjawab.
Beberapa lama kami berdua benar-benar membisu. Aku benar-benar kesal sekarang. Bodoh sekali Kelvin dengan semua pertanyaannya itu. Apa tidak sedikitpun dia melihat aku sedang berusaha untuk membuatnya senang tadi? Hanya dengan sebuah kado. Kenapa dia malah seperti menghakimi aku sebagai orang bodoh yang berkeliaran tanpa tahu jalan di Singapura, dan punya rencana gila untuk bersepeda dari Serangoon ke Orchard. Memangnya sejauh apa sih? Tidak sampai sejauh Jakarta-Bandung kan? Singapura kan kecil begini!
Ahh aku benar-benar kesal jadinya. Sepanjang perjalanan aku hanya melihat sisi kiri jalan. Tapi tidak peduli dengan apa pun yang mataku ini lihat.
Tanpa sadar mobil sudah berhenti di depan garasi rumah Kelvin. Ternyata aku tidak kesasar terlalu jauh. Dan sepertinya Kelvin memakai jalan masuk lain dari jalan besar untuk tiba di rumahnya.
“Kenapa awak diam saja?” tanya Kelvin lagi. Nada bicara itu sungguh buatku geram. Ingin meneriakinya saat ini juga rasanya. Ugh!
“Kenapa kamu tidak suka dikasih kado di hari ulang tahun?” tanyaku sambil menatap lurus pada Kelvin.
Dia tertegun sebentar lalu menjawab, “karena menurut saya itu hal bodoh. Memberikan orang lain sesuatu yang belum tentu disukai orang tu, makanya disembunyikan dalam bungkusan-bungkusan macam-macam. Dan merepotkan pula untuk membuka bungkusan-bungkusan tu. Menyusahkan lah.”
“Menyusahkan? Itu yang kamu pikirkan setelah usaha orang-orang itu pergi ke toko, memutar otak untuk memutuskan hadiah yang tepat, membungkusnya dengan bungkusan terbaik dan spesial? Kamu pikir usaha mereka itu menyusahkan, Vin?” aku mendesak.
Kelvin mengangkat bahunya sedikit. “Kenapa memangnya?”
“Kado itu bukan tentang isinya, Vin. Tapi dari usaha dan waktu yang sudah dikorbankan untuk buat kamu senang dengan kado-kado itu. Kalau kamu tidak menghargai usaha mereka atas kado yang mereka berikah, artinya kamu yang menyusahkan, Vin!” tukasku.
“Ya makanya dah saya cakap dari awal tak perlu beri saya kado,” Kelvin berkelit.
Aku menatap matanya dengan geram. Lalu aku membuang muka darinya. Sambil mendengus kesal aku membuka pintu dan turun dari mobil. Aku kesal karena merasa benar-benar tidak dihargai atas usahaku mencari kado untuknya. Meski gagal, setidaknya aku sudah berusaha. Kalau tahu pemikiran Kelvin yang sepicik itu dari awal, aku tidak akan pernah menyentuh sepedanya.
“Bel!” panggil Kelvin. Aku tidak peduli. Aku tetap melangkah menuju pintu depan rumah.
Kulangkahkan kakiku menuju kamar Kelvin. Aku ingin mandi, menyegarkan pikiranku yang semrawut karena kejadian barusan. Didorong juga oleh faktor aku masih kurang jam tidur malam ini.
Saat di kamar mandi Kelvin, aku menatap lurus pada bayanganku di cermin wastafel. Apa artinya aku tidak ada bedanya dengan yang lain di mata Kelvin? Aku bukan orang yang spesial sehingga kalau pun aku berikan kado, akan tetap diberi label ‘menyusahkan’ olehnya?
Ah bodohnya aku. Siapa memangnya diriku ini? Aku baru kenal dia beberapa hari, tapi merasa bahwa aku tahu segalanya tentang Kelvin. Aku bukan siapa-siapa. Setidaknya kejadian tadi mengingatkanku pada posisiku yang hanya tamu di rumah ini. Kenapa aku berharap bisa menjadi seseorang yang spesial di mata Kelvin sementara kami tidak mengenali saatu sama lain?
Pikiranku kacau balau, saling beradu atas dua kemungkinan tentang Kelvin. Dia menyukaiku atau tidak? Kalau tidak, apa arti pegangan tangannya yang lembut tadi malam? Kenapa batas antara keduanya seperti pudar sehingga aku tidak bisa menentukannya sama sekali? Kenapa terlalu membingungkan bagiku untuk menentukan perasaanku pada orang asing yang baru ku kenal beberapa hari lalu?
Kubasuh mukaku dengan cepat dan emosional. Aku ingin segera pulang. Ah, kabar baiknya siang ini aku dan mama akan pindah ke Marina Bay Sands untuk menginap disana selama dua malam. Baguslah. Kejadian ini bisa menjadi awal yang tepat karena dua hari ke depan aku dan Kelvin akan memiliki jarak, dan saat aku pulang ke Jakarta kami akan benar-benar jauh.
Jakarta. Dia. Aku kembali merindukannya. Aku ingin segera kembali ke kosan dan bermain gitar bersamanya. Menjitak kepalanya saat dia salah memposisikan jemarinya di kunci Aminor. Tidak peduli sampai kapan aku memendam perasaanku padanya. Setidaknya dia tidak pernah memberikan isyarat padaku untuk berhenti dan melarangku mencintainya.
**