It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tapi, cerita ini gak pernah gue tinggalin. Hihi, suka sama ceritanya, keren. #
kalo soal popularitas kurang mungkin karna penulisnya jarang promo atau posting untuk sekedar sundul threadnya. atau mungkin juga karna karma, soalnya penulisnya juga suka jadi silent reader di forum ini. lihat aja jumlah post dan tahun gabungnya di profile. ) ) )
Untuk ceritanya sendiri, insyaAllah bisa kelar dalam bberapa bulan lagi ) , soalnya emang ceritanya masih panjang kok. *ups spoiler*
Pokoknya ditunggu aja. penulisnya masih usaha nyempetin nulis di tengah kesibukan kerja dan kuliah kok. Sesungguhnya komen2 kalian yg bikin saya makin semangat untuk terus nerusin.
Thanks ya guys. Jangan bosen ama ceritanya. Rakha-nya juga kan belum keluar yg aslinya, baru dari kenangan Ibel dan chat BBM aja. So, yg sabar ya nungguinnya.. )
Sisi positifnya... Ga banyak komen2 yg nyampah krn ribut2 ga jelas... Enakan kaya gini... Baca ceritanya jd lancar jaya...
TS nya tetap semangat yah nulisnya...
Sisi positifnya... Ga banyak komen2 yg nyampah krn ribut2 ga jelas... Enakan kaya gini... Baca ceritanya jd lancar jaya...
TS nya tetap semangat yah nulisnya...
Memanggil:
@T_bex
@alexislexis
@ryanjombang
@Zhar12
@ridhosaputra
@earthymooned
@jacksmile
@jokosuseno
@boy_filippo
@bayumukti
@jokerz
@callme_DIAZ
@Pepen95
@waisamru
@kimo_chie
@haha5
@earthymooned
@san1204
@Cruiser79
@jony94
“Bel, gue mau minta tolong,” kata Rakha begitu saja saat dia baru masuk ke dalam kamar kosku. Sedikit menggangguku yang sedang belajar untuk ujian tengah semester besok, tapi apa sih yang gak buat dia?
“Apaan?” tanyaku sok acuh, tidak menoleh sama sekali padanya.
“Ajarin gue main gitar,” jawabnya polos.
Aku menoleh pada Rakha dengan tatapan bingung. Bibirku rapat menahan tawa, entah kenapa ingin ketawa karena rasanya permintaannya konyol. Sepenting itukah belajar gitar sampai-sampai memaksakan diri ke kamarku malam-malam begini. Sudah hampir jam sebelas malam.
“Kesambet apaan lu?” ledekku lalu terkekeh kecil.
“Kesambet cinta, Bel!” balasnya sambil menatap kosong pada bingkai foto yang tergantung di salah satu dinding kamarku.
“Dih. Besok aja ah, kalo gak sehabis UTS aja. Jangan sekarang,” tukasku malas dan kembali berusaha fokus pada buku yang sedang kubaca, dan tentu saja tidak bisa karena dia masih ada di sebelahku.
“Lebih cepat lebih baik, Bel,” elunya memaksa.
“Gak ada gitarnya juga,” keluhku.
“Ada!” Rakha berseru mantap. “Tunggu yak,” lalu dia langsung berlari keluar dari kamarku.
Ada niatan untuk menutup pintu kamarku dan menguncinya. Tapi tidak tega juga kalau nanti dia ketuk-ketuk pintu kamar kosku semalam ini. Bisa-bisa diomelin penghuni sebelah atau seberang kamarku. Lagipula ini Rakha, bukan yang lain. Apa alasanku untuk menolak kesempatan untuk berdua saja dengannya.
Aku langsung tidak fokus belajar karena membayangkan apa yang akan aku dan dia lakukan malam ini. Belajar gitar, berarti aku bisa duduk di belakangnya dan mengajarinya petikan dan kunci-kunci gitar sambil memeluknya dari belakang.
Duh! Kutepuk keningku sendiri supaya otak ini sadar. Sudah malam begini pikiranku jadi semakin ngaco dengan membayangkan yang tidak-tidak.
“Ini dia gitarnya!” tiba-tiba Rakha sudah di ambang pintu memamerkan gitar yang dipegang oleh tangan kanannya. Dia memandangku seolah menunggu komentarku atas gitarnya, tapi aku hanya mengernyitkan dahi saja.
“Ini gitar punya abang gue, Bel. Sengaja gue bawa kesini buat belajar sama sang master Ibel,” katanya sambil melangkah mendekatiku yang dari tadi masih belajar sambil tiduran di ranjang.
Aku melihat ke gitar itu. Aneh, sepertinya ada yang kurang. Semakin dekat, semakin jelas bahwa gitar itu kurang sesuatu. Karena sudah malam dan mataku sudah mengantuk, saat Rakha masih di ambang pintu tadi masih belum terlihat jelas. Tapi sekarang jelas sekali.
Gitar itu tidak ada senarnya!
“Mana senarnya???” tanyaku gemas.
“Lu gak ada?” dia bertanya balik. Ingin jitak kepalanya rasanya. Bodoh banget sih.
“Mana ada!” gerutuku. Benar-benar mengganggu nih malam-malam.
“Lah katanya lu punya gitar di rumah,” ujarnya.
Aku beringsut dari rebahanku dan duduk di samping Rakha di tepi ranjang. Kuangkat tangan kananku dan menyentuh jidatnya dengan punggung tangan seperti sedang mengecek demam. Rakha tidak berkomentar, malah memandangiku penuh tanya.
“Lu gak sakit kan, Kha? Kok jadi bloon gini. Gitarnya di rumah gue, kenapa juga gue harus bawa-bawa senarnya kesini?” aku meledek.
“Ya kali aja, Bel. Lu kan master gitar, jadi bawa senar kemana-mana,” balasnya.
“Emangnya gue tukang senar!” kataku kesal. Rakha tertawa.
“Yaudah beli yuk. Sekarang,” tutur Rakha dengan tatapan penuh harap padaku.
Aku melotot. “Apaan? Ogah! Udah malem!” elakku dan langsung rebahan lagi di ranjang.
“Ayolah, Bel.”
“Besok UTS!”
“Bel. Tolongin donk,” pintanya.
“Kalau lu keluar, jangan lupa tutup pintu kamarnya yak,” balasku tidak memperdulikan permintaannya.
“Yah. Ya sudahlah. Gitarnya gue taruh sini aja ya, berat kalau gue bawa balik ke kamar gue,” katanya.
“Dih! Kamar lu kan cuma di ujung koridor, bukan di ujung dunia,” ledekku.
“Malu gue Bel bawa-bawa gitar ga ada senarnya, tadi aja diliatin ama anak-anak tengah yang masih kumpul-kumpul,” katanya sambil garuk-garuk kepala seperti orang bodoh.
Aku menepuk keningku sekali lagi. Kelakuan anak ini, ampuh deh. Sementara Rakha tertawa dan meninggalkan kamarku. Dan dia tidak menutup pintu kamar seperti sebelum-sebelumnya. Arghh, paling malas kalau sudah tiduran di ranjang, harus berdiri lagi hanya untuk menutup pintu.
Setelah pintu kututup dan aku menghadap ke ranjangku, kulihat gitar Rakha tadi, bersandar ke dinding di sebelah kasurku. Hanya gitar akustik biasa, tapi yang luar biasanya adalah sama sekali tidak ada senar di gitar itu. Rakha emang sakit nih!
Aku duduk di tepian ranjang dan kuraih gitar itu. Kuposisikan sebagaimana biasanya aku bermain gitar. Jemari tangan kiriku bergerak ke posisi kunci nada, sementara telunjuk dan jempol tangan kanan seolah sedang memegang petikan gitar.
Kugerakkan tangan kananku pura-pura memetik gitar. Di otakku sebuah suara gitar muncul begitu saja, “Jreengg!”. Lalu kuganti kuncinya dan suara dalam otakku berganti nada. Mulutku mulai bergerak untuk menyanyikan sebuah lagu.
Menatap indahnya senyuman di wajahmu
Membuatku terdiam dan terpaku
Mengerti akan hadirnya cinta terindah
Saat kau peluk mesra tubuhku
Aku berhenti. Rasanya aku lebih bodoh daripada Rakha sekarang. Memainkan gitar tanpa senar. Tapi nada di otakku mengiringi lagu yang kunyanyikan dengan sempurna. Mungkin karena aku pernah mendengar nada-nada itu saat aku memainkannya dengan gitar di rumah. Aku tersenyum kecil, menyadari betapa konyolnya hal ini. Cinta itu aneh ya, buat pecintanya jadi orang aneh juga karena yang dicinta. Entahlah.
“Nah itu tante Rita,” seru mama menyadarkanku dari lamunan. Aku turut melihat kearah mama memandang, tante Rita dengan gaun sederhananya sedang berjalan mendekati kami. Sendirian. Kemana Kelvin?
Aku tidak tahu Kelvin masih marah atau tidak karena kebohohanku tadi pagi, sampai malam ini aku dan dia belum menghabiskan waktu berdua saja sama sekali. Setelah mandi tadi pagi, aku ikut pesta kecil-kecilan untuk ulang tahun Kelvin dengan mama dan tante Rita di ruang makan. Menyedihkan sekali sepertinya ulang tahun di tanggal 1 Januari karena sedikit yang mengingatnya. Pendapatku saja sih.
Setelah itu, aku bersiap-siap untuk kesini, Marina Bay Sands. Diantar oleh Kelvin dan tante Rita, aku dan mama masuk hotel setelah makan siang. Sementara mama pergi ke butik, aku hanya sendirian saja di kamar hotel sampai malam karena Kelvin bilang tidak bisa menemaniku hari ini. Aku tidak berkomentar saat dia bilang begitu. Mungkin dia masih marah, tapi haruskah dia semarah itu?
“Mr. Chow sudah ada di lobby, yuk kita jemput dulu,” kata tante Rita pada mama.
Malam-malam begini mereka masih mengurusi bisnis saja. Rencananya mereka akan makan malam dengan salah satu perancang busana Singapura yang akan memasok baju ke butik mama. Aku sudah bilang ke mama bahwa aku tidak ingin bergabung dengan mereka, akhirnya nanti aku dan mama akan duduk di meja terpisah karena mama tidak memperbolehkanku tidur-tiduran saja di kamar. Tentu saja Kelvin akan menemaniku, tapi dimana dia sekarang?
“Kelvin mana, Tante?” tanyaku sebelum keduanya pergi.
“Sedang ke toilet dulu. Tapi gak tahu juga nih kok lama banget. Kamu tunggu disini aja, Bel,” jawab tante Rita.
“Ya sudah deh,” kataku malas.
“Mama tinggal dulu ya. Jangan coba-coba naik ke ke kamar lho,” kecam mama.
“Iya, Ma, iya,” aku langsung duduk bersandar di kursiku sementara keduanya pergi dari restoran.
Aku memandang berkeliling restoran yang berukuran sedang ini. Kebanyakan pasangan yang sedang makan malam bersama. Ada satu meja kosong bertuliskan reserved tidak jauh dari mejaku, disanalah mama dan kliennya akan duduk makan malam bersama.
Aku menghela nafas. Bosan. Di salah satu sudut restoran sebenarnya ada panggung kecil dengan alat-alat musik untuk hiburan, ada beberapa orang juga yang sedang bersiap-siap disana. Tapi dari tadi sepertinya hanya bersiap-siap saja, tidak kunjung mulai.
Rasa bosanku semakin menjadi saat kulihat ponsel dan tidak menemukan notifikasi baru. Ingin menghubungi Rakha, tapi aku tidak tahu mau ngomongin apa. Lagipula kenapa selalu dia, seolah aku tidak punya teman lain yang bisa dihubungin hanya untuk menemaniku sampai Kelvin datang.
Suara musik mulai terdengar dari panggung tadi. Akhirnya mereka akan segera mulai juga. Lumayan deh ada hiburan sedikit.
Menatap indahnya senyuman di wajahmu
Dalam sekejap aku langsung mengalihkan pandanganku dari ponsel ke panggung tadi. Suara itu, suara merdu itu, aku mengenalinya. Dia bernyanyi lagi. Kelvin, entah bagaimana caranya, dia kini sedang duduk di hadapan microphone dan bernyanyi.
Membuatku terdiam dan terpaku
Hanya diiringi petikan gitar akustik, lagu yang dibawakannya terdengar semakin syahdu. Aku tidak tahu kalau orang Singapura bisa membawakan lagu Indonesia. Indah sekali nadanya.
Mengerti akan hadirnya cinta terindah
Saat kau peluk mesra tubuhku
Mataku tertuju ada sosok Kelvin yang menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Lalu matanya membalas tatapanku dan tidak dilepaskannya. Dia terus menatapku seolah-olah lagu yang dinyanyikannya ditujukan untukku. Atau memang begitu?
Banyak kata yang tak mampu kuungkapkan
Kepada dirimu
Entah lagu ini ungkapan hati Kelvin atau dia hanya menyanyikannya saja, yang pasti aku larut dalam setiap nada dan kata dalam lirik lagu itu. Kelvin tersenyum simpul padaku, kedua tangannya diletakkan di atas mic yang terpasang di tempatnya.
Aku ingin engkau selalu
Hadir dan temani aku
Di setiap langkah yang meyakiniku
Kau tercipta untukku
Hatiku tiba-tiba menggelora, seolah ada percikan yang membuatnya bergejolak dan aku menikmati setiap rasa yang ada padanya. Kasmaran. Suara Kelvin meluluhkan hatiku, seharusnya dia ikut ajang pencarian bakat saja. Tatapan Kelvin masih tidak lepas dariku saat menyanyikan bait reffrain selanjutnya.
Meski waktu akan mampu
Memanggil seluruh ragaku
Kuingin kau tahu ku slalu milikmu
Yang mencintaimu
Sepanjang hidupku~
Hati ini rasanya membara, oleh api cinta yang tiba-tiba meletup dalam kesunyian. Benar-benar sebuah kejutan yang tidak pernah kubayangkan. Kelvin memang tidak bisa ditebak, ah Rakha juga, sulit sekali memikirkan apa yang mungkin akan mereka lakukan karena sepertinya mereka melakukan sesuatu begitu saja. Spontan.
Lagu terus berlanjut sampai akhir. Aku menikmati suara Kelvin, juga penampilannya malam ini yang sangat berkelas. Memakai sweater woll panjang yang membalut kemeja di dalamnya. Dia juga mengenakan kaca mata berbingkai kotak melengkung di bawah yang membuatnya semakin manis.
Kelvin turun dari panggung setelah bersalaman dengan pemain gitar di belakangnya. Pastinya dia langsung berjalan ke mejaku. Aku berusaha tidak memperhatikannya selama dia berjalan ke mejaku. Pura-pura memandangi orang yang lalu lalang di restoran.
“Is this seat already taken?” suara Kelvin membuatku mengembalikan pandanganku padanya.
“Yes. My girlfriend is on toilet now,” balasku pura-pura cuek.
“Haha. You don’t like girl. I know it,” katanya sambil tertawa. Kurang ajar!
“Psst! Jangan keras-keras, Vin!” erangku. Dia tertawa lagi lalu duduk di kursi di hadapanku.
Hening sebentar. Sebisa mungkin aku tidak memperhatikan Kelvin yang sedang membaca buku menu. Saat aku curi-curi pandang, aku heran entah bagaimana dia terlihat lebih menawan malam ini. Tapi sedetik kemudian aku kembali melempar pandanganku kemana saja asal bukan ke orang di depanku. Mendadak canggung.
“Masih marah?” tanya dia setelah memberi tahu pesanannya pada waiter yang melayani mejaku, sementara aku sudah memesan lebih dulu saat bersama mama tadi.
“Lah. Bukannya kamu yang marah?” aku bertanya balik.
“Memangnya begitu kah?”
“Lah dia lupa,” kataku sambil menepuk jidatku sendiri meskipun tidak ada nyamuk yang bertengger. Duh.
“Haha. Ya sudah kalau begitu sekarang pertanyaannya jadi, apa awak masih marah karna saya dah marah-marah sama awak?”
“Gak kok,” jawabku singkat, jelas, dan padat.
“Bel.”
“Ya?” tanyaku pura-pura tidak bersemangat.
“Serius ni saya.”
Aku diam.
“Maaf saya dah marah kat awak tadi pagi. Tadi saya benar-benar panik saat bangun dan diberitahu mama kalau awak pergi seorang diri dan sudah setengah jam lebih belum balik rumah juga. Saya khawatir kat awak, Bel,” katanya dengan lembut. Matanya menatapku sayu dengan penuh harap supaya dimaafkan. Memangnya apa alasanku untuk tidak memaafkannya?
“Tak usah diperbesar, Vin. Emang aku yang salah kok. Niatnya mau kasih kejutan ke kamu, malah jadi ngerepotin,” kataku.
“Tidak lah. Mana ada awak repotin saya. Tidak ada, Bel. Saya hanya khawatir saja tadi pagi, sampai lepas emosi. Please, forgive me,” balas Kelvin. Dia mengangkat kedua tangannya dan pura-pura menjewer kedua belah kupingnya.
Mataku langsung tidak bisa berkedip. Tingkahnya yang seperti itu, cute banget. Asli.
“Iya. Aku udah maafin kamu kok. Malah harusnya kamu tidak perlu minta maaf, Vin. Karena kamu emang tidak salah sama sekali.”
“Ah, seandainya saja saya tak lahir tanggal ini,” keluhnya.
“Kenapa? Baru kali ini lho aku ketemu orang yang lahirnya tanggal 1 Januari,” kataku setengah meledek.
“Payah lah, Bel. Jam 12 malam tak ada orang yang beri ucapan happy birthday, semuanya riuh ucapkan happy new year,” ujarnya muram.
“Kalau kamu kasih tahu sama aku dari awal kalau kamu hari ini ulang tahun, mungkin aku bisa jadi orang yang pertama, Vin,” aku simpati padanya. Begitulah nasib berulang tahun bersamaan dengan hari besar seluruh dunia.
“Hehe, tidak perlu lah. Sudah biasa pula saya macam ni, Bel,” Kelvin terkekeh. “Dulu waktu saya masih ada hubungan dengan Lee, dia bersekongkol dengan mama untuk mengerjai saya di malam tahun baru. Ah tapi sudah lewat lah itu,” kenang Kelvin.
“Mama kamu tahu kalau kamu gay?” tanyaku setengah tidak percaya.
Kelvin mengangguk mantap dan nyengir. “Iye lah. Mama terima apa pun keadaan saya. Apalagi sejak ayah dah tak ada, kami hanya berdua saja,” jawabnya.
“Ooh,” kataku seadanya. Aku tidak ingin membahasnya lebih jauh. Beruntung Kelvin punya mama yang bisa menerima keadaannya sebagai homoseksual. Entah bagaimana dengan mamaku. Membicarakan masalah gay saja dengan mama aku tidak berani. Aku iri.
“Jadi saya dah dimaafkan kan ye? Tak percuma lah usaha saya berarti,” kata Kelvin menghentikan lamunanku.
“Usaha apa?” tanyaku penasaran.
“Saya tidak bisa temani awak tadi karena saya musti latihan dengan teman awak yang main gitar tadi. Susah ternyata nyanyi lagu Indonesia, tidak biasa lidah saya ni,” dia memegangi mulutnya yang seperti sudah bekerja keras menyanyikan lagu tadi.
“Jadi lagu itu untuk aku?”
“Siapa lagi lah, Bel? Tak ada yang saya kenal disini selain awak dan teman saya tadi tu,” jawab Kelvin.
Hatiku semakin berbunga-bunga. Apakah ada maksud tertentu juga dia memilih lagu itu? Aku sungguh ingin menanyakan hal itu, tapi kalimat yang sudah terangkai di otakku seperti tertahan di tenggorokan dan tidak bisa disuarakan. Aku ragu, atau tepatnya aku takut.
“Bagus kan penampilan saya tadi?” tanya Kelvin.
Aku tersenyum, atau lebih tepatnya cengengesan karena tidak fokus. Hati dan otakku masih bergulat untuk memutuskan jadi menanyakan hal tadi atau tidak. “Bagus kok,” jawabku.
Dan rasanya kalimat terakhirku tadi menjadi kesempatan terakhirku malam ini untuk menanyakannya karena pesananku sudah datang dan diiringi pesanan Kelvin. Kami mulai makan dan membicarakan hal lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan penampilan tadi. Malah pembicaraan kami melenceng ke Rakha.
Kelvin menanyakan banyak hal tentang Rakha yang belum kuceritakan padanya. Dan dia benar-benar penasaran saat kubilang bahwa Rakha punya ‘pacar tetap’, begitulah aku menyebutnya, yang berada di Bandung. Long-distance-relationship. Kelvin sempat tertawa karena dia teringat pada mantannya di Australia yang baru putus dengannya beberapa hari yang lalu.
Sampai pada titik aku bosan membicarakan Rakha, aku meminta Kelvin untuk menemaniku membeli oleh-oleh buat teman-teman kampusku besok. Lagipula kenapa harus membicarakan cowok lain sementara aku sedang berdua saja dengan Kelvin layaknya orang sedang kencan. Atau jangan-jangan Kelvin penasaran dengan sosok Rakha yang telah membuatku galau berat saat baru kenal dengannya. Bagaimana kepribadian orang yang membuat Ibel jatuh ke lubang cinta yang dalam. Dan kemudian dia akan membanding-bandingkannya dengan dirinya. Haha mungkin saja, tapi aku tidak mau terlalu berharap.
Aku bosan berharap. Aku ingin menikmati yang jelas ada di hadapanku saja sekarang. Tidak ingin jadi orang yang muluk. Aku tersenyum pada Kelvin dia tersenyum balik.
**
Beware! Galau ahead! )