It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tenang, namanya bakal muncul di chapter selanjutnya. Chapter 4: His Name. Semoga bisa di-update minggu ini.
what his name (•̃┌┐•̃'l) hahh? #curious
“Kelvin,” ulangnya untuk yang kedua kalinya.
“Kevin?” tanyaku memastikan, lalu aku melepas jabatan tangan kami berdua.
“No! Kelvin. There is leeter L after E,” tegasnya.
“Oh, alright. With C or K?”
“K-E-L-V-I-N,” dia mengeja namanya dengan ejaan bahasa inggris.
“Ok. Kelvin, with K. Don’t be mad lah,” guyonku dengan mengikuti gaya bicara orang-orang Singapura. Kelvin tertawa oleh candaanku barusan.
Aku sudah dari dulu memang sedikit susah untuk mendengar nama orang dengan baik. Apalagi nama yang menurutku langka. Kelvin? Baru kali ini aku bertemu dengan orang yang namanya sama dengan satuan suhu. Mungkin orang tuanya mengidolakan satuan suhu kelvin, bahkan bisa saja di rumahnya, pengatur suhu tidak menggunakan derajat celcius, tapi Kelvin. Aku tersenyum sendiri karena lamunanku.
Ternyata Kelvin inilah garansi yang diberikan mama kepadaku supaya aku tidak sendirian selama di Singapura, karena mama akan sibuk dengan butik barunya. Wajahnya lumayan ganteng, campuran indonesia dari mamanya dan cina-melayu dari ayahnya. Matanya tidak sipit seperti orang cina, dan setelah tadi aku melihat temannya mama, aku tahu kalau Kelvin ini wajahnya turunan dari mamanya. Dan dia adalah mahasiswa semester akhir di NUS, National University of Singapore, yang tahun depan akan wisuda. Karena tahun baru sebentar lagi, artinya tahun depan itu sudah di depan mata.
Beberapa detik kemudian aku baru menyadari bahwa aku melakukan hal itu lagi. Dan lagi-lagi tanpa sengaja. Berkenalan dengan seorang cowok yang berwajah dan penampilan menarik, tapi jabatan tangannya sampai lama karena aku susah menangkap dengan jelas siapa nama mereka sebenarnya. Termasuk dengan dirinya.
Saat semester satu, aku melewatkan satu minggu pertama di perkuliahan karena ada acara pernikahan adik mama di Bali. Sementara itu aku juga melewatkan OSPEK di kampus karena harus rawat inap akibat tipes. Aku kecewa berat karena tidak bisa mengikuti kegiatan itu meskipun sebenarnya aku hanya akan dikerjain oleh senior. Tapi, pasti akan jadi pengalaman yang tidak terlupakan kalau aku ikut serta.
Akibat keabsenanku itu, saat aku masuk kuliah di minggu kedua perkuliahan, aku benar-benar buta siapa saja teman-teman sekelasku. Tidak ada yang ku kenal, bahkan tidak ada satu pun teman SMA yang kukenal masuk fakultas yang sama. Hari pertama, aku hanya duduk mojok di belakang ruang kelas, sementara di barisan depan ada beberapa mahasiswa yang sedang bersenda gurau.
Saat itulah aku pertama kali melihatnya. Wajahnya memancarkan sesuatu yang berbeda, seolah auranya yang unik memancar seantero ruang kelas. Aku mencuri-curi pandang pada rombongan di depan kelas itu, dengan fokus pada dirinya seorang. Ah, kenapa aku hanya duduk sendirian disini sementara di depan mereka saling tertawa. Tapi sungguh berat bagiku untuk memulainya. Aku bukan tipe orang yang bisa memulai pembicaraan, memulai perkenalan atau hal lainnya, aku bukan orang yang terbuka pada orang yang baru kenal.
Akhirnya, setelah hampir lima belas menit aku bergulat dengan pikiranku sendiri, aku beranjak dari tempat dudukku. Perlahan tapi pasti aku melangkahkan kaki ke depan kelas, menghampiri rombongan itu. Saat aku sudah ada di dekat mereka, semuanya mengarahkan pandangan ke arahku, mungkin mereka tahu aku akan mengatakan sesuatu.
“Hai,” kataku dengan nada berat. Entah kenapa terasa begitu sulit untuk memulainya. Tapi aku bulatkan tekadku lagi. Aku tidak ingin menjadi penyendiri disini. “Gue Ibel,” imbuhku. Lalu kusodorkan tanganku ke salah satu anak.
“Inu,” balas anak itu lalu menjabat tanganku.
Kemudian aku berpindah ke sebelahnya. Ada Dias dan Romi. Dan terakhir, dia. Aku agak kikuk ketika hendak menyodorkan tangan untuk berkenalan dengannya. Padahal pada yang lain tidak begini. Biasa saja. Bukan berarti yang lain penampilannya tidak menarik. Bahkan menurutku Dias lah yang penampilannya paling modis, paling cool. Yang lain juga cukup ganteng, bahkan mungkin menurut cewek-cewek, Inu lah yang paling ganteng. Karena dia memiliki semua syarat untuk jadi ganteng. Wajah kotak, hidup mancung, bibir tipis merah, dan gaya rambut mohawk pendek.
Intinya, dia bukanlah the best.
Mata mungkin bisa bohong, penampilan bisa dikadali, tapi hati tidak bisa dibohongi. Aku merasakan sesuatu yang lain yang membuatku merasa aku selalu ingin melihatnya. Terus melihatnya sampai aku puas. Namun hal itu tidak mungkin, aku akan memberikan kesan buruk pada mereka padahal mereka belum kenal siapa aku.
“Rakha,” katanya, tangan kanannya sudah menempel dengan tanganku, bersalaman. Aku menatap wajahnya, matanya, hidungnya, lesung pipitnya. Ahh lesung pipit itu membuatku seperti meleleh. Aku tidak melihat lesung itu saat melihat dia dari kejauhan tadi. Dia seperti bunga, dari jauh sudah indah, dan bila dilihat dari dekat, semakin terpancar keindahannya.
“Ra ... ra apa?” tanyaku, meminta dia mengulang siapa namanya. Aku tidak konsen mendengarkan namanya tadi karena pikiranku menjalar pada hal lain tentang dia selain namanya.
“Rakha,” ulangnya.
“Ra... Raka?”
“Rakha. Pake kho’,” tegasnya.
Oh. Rakha. Ok. Lalu jabatan kami lepas ketika aku sudah tahu siapa namanya. Rakha, pake kho’. Bukan hanya sekali dia bilang begitu padaku. Ketika aku hanya memanggilnya Raka, tanpa kho’, pasti dia langsung protes.
“Rakha, Bel! Pake kho’. Harus berapa kali sih gue bilang ke lu?” omelnya pada suatu ketika aku baru tiba di sampingnya setelah memaksakan diri lari sejauh lima puluh meter agar bisa jalan ke gedung fakultas bersama dia.
“Ya elah. Gue kan manggil lu dari jauh. Masih aja harus pake kho’,” aku protes balik.
“Tetep, Bel. Itu nama dari bokap gue, gak boleh diganti-ganti,” dia keukeuh pada pendiriannya.
“Sakit Ka tenggorokan gue kalo pake kho’ terus. Apalagi kalau manggil dari jauh kayak tadi,” keluhku sambil pura-pura memegang tenggorokan.
“Gini deh, kalau lu gue panggilnya Ibet pake tho bukannya Ibel gimana? Lu pasti gak suka kan?”
“Dih maksa banget sih lu, Kha!”
“Bodo. Lain kali gue gak bakal nungguin lu, kalau lu manggil gue dari jauh gak pake kho’,” ancamnya.
“Iya deh Rakha pake kho’,” kataku mengalah.
“Gak usah disebut juga pake kho’-nya kali, Bel,” gumamnya dengan nada tidak suka. Aku hanya tertawa menanggapinya.
Sampai sekarang aku masih tidak tahu apa maksudnya dia memaksa teman-temannya harus pake kho’ kalau memanggil namanya. Kata Inu, menurut Rakha kalau pake kho’ namanya jadi lebih keren. Hanya itu? Ya, kata Inu begitu. Tapi aku tidak pernah menanyakan hal itu pada Rakha. Tidak penting juga. Malah aku jadi ada bahan ledekan padanya kalau sedang bosan. Dan dia paling suka jitak kepalaku ketika aku meledeknya dengan memanggilnya tanpa kho’.
“Itu mereka, ayo kita masuk kereta segera,” kata Kelvin sambil menunjuk ke satu arah. Kulihat kesana mama dan temannya sedang berjalan ke arah kami berdua. Dari toilet.
“Kereta? Kita naik kereta ke rumah lu?” tanyaku bingung, dan lebih bingung karena sebenarnya barang bawaan aku dan mama sudah dimasukkan ke mobil sedan yang ada di depanku saat ini.
“I mean this,” katanya sambil menunjuk ke mobil sedan di depanku. “Kereta in malay means car,” tambahnya.
“Oohh,” tanggapku. Mana aku tahu maksudnya itu. Kukira beneran akan naik kereta ke rumah Kelvin yang katanya ada di kawasan rumah tapak Serangoon. Naik MRT yang di Jakarta sendiri belum dibangun-bangun juga. Kemudian terpikir olehku bahwa sepertinya rumah tapak di negara kecil ini pasti sangat mahal harganya. Dan mungkin sistem poldernya bukan mandiri karena pemerintahnya sudah membuat polder seantero negeri untuk mencegah banjir, di manapun di pulau Singapura. Jadi bukan hanya satu komplek saja.
Aku medadak iri dengan Kelvin dan penduduk Singapura lainnya.
Kelvin sudah masuk ke dalam mobil duluan, dia duduk di balik kemudi. Lalu dia memanggilku untuk duduk di kursi depan. “Biarlah mama mama kita duduk di belakang saje. Pasti banyak cakap mereka tuh,” katanya dengan logat melayu yang terbata-bata.
Karena setahuku lingua franca di Singapura adalah bahasa inggris yang diadaptasikan menjadi Singlish, rasanya aneh kok anak muda seperti Kelvin bicara dengan bahasa melayu. Dan yang lebih aneh lagi bicaranya sedikit terbata-bata seolah dipaksakan.
“Vin, kalau lu lebih enak pakai bahasa inggris, gak pa-pa, pakai bahasa inggris aja komunikasi kita,” kataku saat sudah duduk disampingnya. Sementara dua ibu-ibu yang kami tunggui masih berjalan menuju mobil. Lama banget jalannya. Huh.
“Maksud awak.”
Aku diam menunggu kelanjutkan kalimatnya, tapi Kelvin hanya diam seolah menunggu aku menanggapi kalimatnya. Sepertinya ada yang salah disini. Kami berdua saling bertatapan mata, sama-sama bingung.
“Lanjut,” kataku.
“Lanjut ape?”
“Itu tadi lu bilang ‘maksud awak’, ya maksud lu apa?” tanyaku, tatapan mata Kelvin makin bingung. Wah bener ada yang salah nih. Tapi aku masih belum menemukan apa yang salah dalam komukasi verbal antar-bangsa ini.
“Saye tanye maksud awak apa? What do you mean?” tuturnya dengan lugas.
Aku bengong. Dulu aku pernah mendengarkan orang padang saling ngobrol di bus. Mereka bicara kata ‘awak’ beberapa kali dan aku mengartikan bahwa awak itu artinya saya. Lah ini kok terbalik ya?
“Awak itu artinya bukan saya?” tanyaku bingung.
“Doh apa pasal nih, jadi tak jelas macem ni,” kata Kelvin frustasi. Bukan hanya dia sih, aku sendiri bingung sebenarnya apa yang sedang kami berdua permasalahkan.
“Oohh. Hahaha,” aku akhirnya paham. Aku tertawa sebentar sementara Kelvin hanya memandangku seperti orang aneh. Ya memang aneh sih. Akhirnya kuputuskan untuk mengulangi saranku tadi dengan bahasa inggris saja. “I said to you before, if it’s hard for you to talk in malay, you can use english to talk with me,” kataku.
Lalu giliran Kelvin yang ketawa. Ah telat ah, aku sudah selesai nih ketawanya. “Tak ape lah. Sudah biase saye cakap english disini. Selagi ada teman dari Indonesia, bisalah saye cakap malay. Hitung-hitung practice lah,” katanya sambil terkekeh kecil.
Waduh. Aku jadi alat buat praktek. “Why do you want to speak malay?” tanyaku heran.
“Pakai bahasa indonesia saje lah, Bel. Awak nak practice nih,” protesnya.
“Ok. Pakai bahasa indonesia baku aja deh ya, biar ngerti,” kataku, Kelvin mengangguk. Entah mengerti atau hanya pura-pura mengerti. “Kenapa kamu ingin sekali bicara bahasa melayu?” aku mengulang pertanyaanku. Rasanya aneh, terkesan terlalu formal padahal sebaya.
“Mau tahu aja apa mau tahu banget?”
Anjrit! Tahu dari mana nih anak ledekan anak-anak alay terkini. Kemudian Kelvin tertawa terbahak-bahak begitu melihat ekspresi kagetku yang tidak percaya dia bisa bicara begitu.
“Auk ah!” tidak tahu kenapa mendadak aku bete. Padahal udah bela-belain pakai bahasa indonesia baku buat nanya dengan sopan, malah digituin. Ngeselin.
Kemudian mama dan mamanya Kelvin masuk mobil saat Kelvin masih tertawa, dan aku masih cemberut habis dikerjai Kelvin.
“Lho kok yang satu ketawa yang satu lagi cemberut?” tanya mama.
“Abis guyon kat Ibel ni, Tante. Lucu mukenye dia,” balas Kelvin masih tertawa.
“Sudah, Vin. Jalan lah, habis mase kite ni,” kata mamanya Kelvin. Lalu Kelvin langsung tancap gas.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam mendengarkan mama dan mamanya Kelvin ngobrol di kursi belakang. Aku disuruh memanggilnya tante Rina. Yang mereka obrolin di setengah jalan pertama menuju Serangoon adalah aku dan Kelvin. Tentang pengalaman mereka mengurusi masing-masing dari kami. Karena tante Rina masih lancar bahasa indonesianya, mama dan tante Rina bicara dalam bahasa Indonesia. Sesekali Kelvin minta mamanya untuk menjelaskan bagian cerita yang menyebut-nyebut namanya tapi dia tidak mengerti yang sedang dibicarakan.
“Apa pasal awak gelak sendiri saje?” gerutunya padaku setelah dia bertanya untuk ke sekian kali, tapi akhirnya malah diomeli oleh tante Rina, disuruh untuk fokus nyetir saja.
“Tak ape, tak ape,” kataku dengan logat melayu yang dibuat-buat.
“Jangan macam-macam awak. Nanti saye tak nak antar awak pusing-pusing Singapura ni,” ujarnya dengan nada mengancam.
Pusing-pusing? Siapa yang mau pusing? Lalu tanpa diminta tante Rina memberitahu padaku maksudnya pusing-pusing itu keliling-keliling kota. Aku hanya bilang ooh panjang saat paham artinya. Tapi jadi beneran pusing karena keterbatasanku pada kosakata bahasa melayu.
Sebuah ide terlintas di benakku untuk mengatasi krisis komunikasi semacam ini. Langsung saja kukatakan kepada Kelvin, “Kelvin, kalau kita sudah sama-sama bingung dengan apa yang diucapkan oleh salah satu dari kita, jalan keluarnya adalah kita bicara pakai bahasa inggris. Oke?” tanyaku.
“Oke,” katanya sambil menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman, sementara tangan kirinya memegang kemudi. Kami berdua bersalaman tanda setuju.
“Duilee sampai bikin perjanjian segala,” ledek mama. Ya tentu. Salah Kelvin tuh, keukeuh mau pakai malay buat bicara denganku. Padahal bahasa melayu dengan bahasa indonesia pun punya beberapa perbedaan yang kadang akan bikin bingung meskipun kosakatanya sebagian besar sama.
Setengah jalan kedua, aku baru ingat tadi di bandara aku membeli kartu perdana untuk dipakai di Singapura. Langsung saja aku membukanya dan memasukkannya ke dalam ponselku. Dengan sedikit pengaturan, akhirnya ponselku terkoneksi internet dan bisa BBM-an. Senyumku langsung merekah ketika melihat ada chat BBM dari dia. Rakha. Rakha pake kho’.
‘Bel, udah sampe singapur? Jangan lupa oleh-oleh ya!’ katanya di chat BBM.
‘Iya rakha pake kho’. ’ balasku meledek, karena kebetulan aku ingat lagi dengan ledekan itu.
‘Beeelll. -__-‘ aku langsung tertawa kecil membaca balasannya. Hahaha.
**
Note: mohon maaf kalau ada kesalahan dalam bahasa melayu dan english-nya. Kalau ada koreksi dengan senang hati akan saya edit.
Tidak. haha. Ini cerita alirannya soft core, jadi jangan harap ada adegan erotis yah. )
Namanya Rakha, pake kho'. )
update mention yaaa...thx
update mention yaaa...thx
update mention yaaa...thx
update mention yaaa...thx