It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dowi dan Fredy adalah sahabat SMP saya. Mereka asli Malang. Nama saya Erwin. Sekarang kami sudah memasuki bangku sekolah kelas X di sekolah yang berbeda. Kami pisah provinsi. Saya kembali ke Jakarta. Fredy pindah ke Magelang, sekolah kerohanian sesuai panggilan nuraninya. Dowi ke pinggiran Jakarta, Ciputat, Tangerang, sekolah penerbangan.
Kami Katolik dan hanya Dowi yang Muslim. Juga hanya Dowi yang sudah mempunya pacar. Pacarnya bernama Vera, teman SMP, cewek tercantik di keluarganya. Demi kelangsungan pacaran mereka, mereka memilih sekolah yang sama. Lagi pula Vera bisa tinggal dengan saudaranya di Tangerang. Dowi ngekos. Mereka jauh dari orang tua. Jadi apa maksud mereka yang dimabuk cinta jauh dari orang tua? Tentunya sekolah.
Di antara kami bertiga hanya saya yang Chinese. Kami anti rasialisme dan diskriminasi. Kami bisa bersahabat.
Ini percakapan SMS Erwin dan Dowi dengan style barunya yang rada betawi yang telah diedit agar enak dibaca, karena aslinya ancur -- iyalah, orang jawa medok gitu lho.
ERWIN. : Wi, ngapain aja lu? Gw galau nih.
DOWI : galau nape?
ERWIN : gw masuk komunitas gay.
DOWI : gileee? Bukannye loe bilang jijay bajay ame hombreng?
ERWIN : gw kesepian, Wi.
DOWI : trus loe udeh ngapaian aje?
ERWIN : maksud lu? Nebar pesona, bagi2 nomor. Jual diri, ml sana-sini, cari om-om?
DOWI : gue sih ngga ngomong ntuh, loe nyang ngomong, walau kepikiran juga sih. Bener loe kayak gitu?
ERWIN : ga. Cuma cari cerita tentang gay. Dikit2 ngobrol. Buka wawasanlah. Gw kemarin jg pasang foto terakhir gw di lab.
DOWI : Buat apa? Katanya ngga nebar pesona.
ERWIN : Ada yg minta. Nebar pesona? Ga lah ilfill malah liat foto gw.
DOWI : pastilah. Nape diturutin?
ERWIN : ga enak ati.
DOWI : paraaaah.!!!
DOWI : jk ada yg minta kontak loe?
DOWI : alooo
ERWIN : ga kasih aja ya? Tp ada niat sih mau ketemuan sebentaran doang jk ada yg ngajak.
DOWI : paraaaah!!! Loe jadi hombreng ya?
ERWIN : ga tau nih. Gw merasa kesepian.
DOWI : loe inget ngga waktu kita coli bareng. Si Kampret (Red: Fredy) maksa loe buka celana. Loe ngga mau, malah marah.
ERWIN : iya, gw keingetan waktu sd.
DOWI : tapi kan akhirnya loe mau.
ERWIN : ga enak ati, Wi.
DOWI : emang sipat loe.
DOWI : Win, cari apa di tempat gituan?
ERWIN : awalnya googling "cerita gay" trus ada cerita2 gay yg dimulai dr forum gituan, gw searching dan masuk.
DOWI : ngapain aje loe cari gituan?
ERWIN : panggilan naluri, )
ERWIN : hi, dower, lu masih hidup?
ERWIN : yuhuuuu, my darling, where r u?
DOWI : gue shock!
ERWIN : sukurlah masih hidup.
DOWI : loe beneran hombreng.
ERWIN : ga jelas.
DOWI : gue juga rada aneh. Kalo loe hombreng, waktu si kampret muncrat loe malah mau muntah.
(Red: lihat COLI BARENG)
ERWIN : gw inget dipaksa waktu sd.
(Red: lihat COLI PERTAMAKU).
DOWI : loe mau karena ngga enak ati?
DOWI : gw ngga yakin loe hombreng. Gw lebih percaya si kampret yg hombreng.
ERWIN : Dipaksa! Fredy ngaku gay kan?
DOWI : iya.
Saya kelas VI. Anak tunggal. Saya tinggal di perumahan Jakarta sekarang. Papa dan mama sibuk dengan pekerjaan mereka. Rumah adik papa, tante Gherda bersebelahan dengan rumah kami. Dia datang hampir setiap hari jika orang tua saya pergi. Saya tidak dekat dengan tante Gherda, judes.
Saya sering merasa kesepian. Salah satu cara saya membunuh kesepian dengan menonton bioskop jika ada film bagus. Saya merasa kesepian sekarang. Ini bukan pertama kali saya pergi menonton bioskop sendiri.
Saya datang ke mall sekitar sejam lebih awal sebelum waktu tayang film di bioskop mall tersebut. Saya memilih untuk nongkrong di mall dulu. Saya tidak perduli orang-orang yang menganggap saya anak hilang.
Setelah film selesai pun saya tidak segera pulang. Lagian masih siang. Saya bersandar di pagar lantai dua sambil melihat ke lantai satu. Di lantai satu sedang ada bazar furniture, sepi pengunjung padahal hari Minggu. Mall hari ini memang agak sepi. Apa sebabnya? Tanya saja kepada mereka yang tidak datang ke mall hari ini.
"Dek, sedang menunggu siapa?" Terdengar suara pria dewasa ngebass menyapa ramah saya. Saya terkejut, lalu menoleh, mendongak sambil berdiri tegap, bersiap-siap pergi. Pria dewasa itu tiba-tiba sudah berada di samping saya. Saya melihat si om berbadan kekar dan tinggi sambil tersenyum manis dengan kumis tipis. Usianya sekitar 25 tahun ke atas, tidak lebih dari 30 tahun, mungkin. Dari penampilannya dia seorang yang melatih otot. Jika diingat-ingat saat ini, lumayan juga penampilannya. Kulitnya seperti pucat bule. Wajahnya lumayan ganteng dengan kulit dan alis seperti itu, matanya asia, hidungnya bule, bibirnya afrika, eh salah bibirnya biasa saja, agak ungu. Tidak tampak gendut. Secara keseluruhan lebih cenderung kebule-bulean. Pakaiannya kaos putih berlengan pendek, celana jeans putih. Penampilannya tampak 'clean'.
Kali ini saya lengah, pikir saya menyesal. Saya biasanya selalu menghindar dari orang-orang yang tidak saya kenal dengan menjaga jarak sekitar 2 meteran. Takut copet.
"Ngga nunggu sapa-sapa," jawab saya datar. Saya bersiap melangkah, menghindar.
"Tunggu!" Om itu memegang tangan saya. Saya terperanjat, terkesiap, darah serasa menguap. Saya mulai gemetar, lemas, lunglai. Saya akan berteriak jika dia orang jahat. Saya melihat orang-orang sibuk dan berlalu-lalang di mall ini.
"Mau ke mana?" Tanyanya lagi. Lagi-lagi dia tersenyum, masih terdengar ramah.
"Pulang," jawab saya singkat dengan suara agak parau. Saya takut. Saya yakin dia juga tahu itu.
"Saya pinjam hp kamu. Saya mau SMS satu kali. Saya ganti. Hp saya mati. Ini kamu pegang hp saya." Kata si om. Oh, syukurlah. Dia hanya meminjam ponsel.
Kami bertukar ponsel sementara. Saya tidak berprasangka yang buruk. Ponsel si om jauh lebih mahal. Dia mengajak saya keluar mall, alasannya tidak ada sinyal. Tapi dia mengajak saya ke area parkir, tempat sepi.
"Pulang ke daerah mana?" Tanyanya setelah kami berhenti di samping mobil Land Cruiser. Saya hanya melihat seorang petugas parkir.
Saya menjawab apa adanya. Ini kebodohan saya atau memang anak SD kalau bicara apa adanya?
"Itu searah. Saya juga akan pulang ke arah sana. Ayo saya antar. Saya bawa mobil." Om mirip bule membuka pintu mobil Land Cruiser setelah alarmnya dimatikan. Saya ragu. Om itu berusaha meyakinkan saya dengan menggambarkan dengan baik kondisi perumahan tempat tinggal saya. Dia mampu membuat saya yakin bahwa dia tahu jalan dan kami searah. Mungkin dia tinggal di perumahan itu juga.
Saya tetap ragu untuk mengikutinya, saya menolak. Dia mengulangi lagi. Suaranya dan sikapnya seperti memaksa. Setidaknya itu perasaan saya yang muncul.
"Nggak! 'Ma kasih," saya menggeleng kepala, sambil memandangi ponsel saya ditangannya.
"Cepet om, saya mau pulang, mama nungguin." Padahal kedua orang tua saya sedang tidak di rumah. Saya semakin was-was. Suara saya terdengar seperti mau menangis. Saya sudah tidak sabar, sudah lupa kesopanan. Sebisanya saya menolak ajakannya, lalu cepat pulang naik kendaraan umum.
"Sudahlah, mana hp saya!" Si om tiba-tiba dengan cekatan merebut ponselnya.
"Saya akan mengembalikan hpmu jika sudah sampai di depan rumahmu! Saya tidak berniat jahat!" Suara si om ketus, memaksa. Keramahannya pun mulai surut, pergi ke laut.
Saya gemetar, lemas, keringat dingin. Saya tidak tahu harus berbuat apa? Saya ikuti saja kemauan si om -- yang penting hp saya kembali. Lagian cuma mau mengatar saya pulang.
Salah besar!
Dia tidak mengantar saya pulang. Dia mengajak saya jauh dari tujuan semula. Saya pasrah ketika di dalam mobil si om menunjukan silet cutter yang ada bercak pelumas. Saya melihat sekilas dari ujung kanan mata saya, dia tersenyum menang sambil memandang saya sesaat, lalu fokus menyetir mobil kembali.
Dia orang jahat! Saya baru sadar sekarang. Mengapa saya selalu ragu untuk berteriak minta tolong? Ini hukuman Tuhan! Saya terus berdoa dan menyalahkan diri sendiri karena selama ini kurang ajar pada orang tua, berbohong, makan kadang tidak dihabiskan, lupa gosok gigi, tidak pamit orang tua kalau berpergian setidaknya lewat telepon.
Kami sampai di suatu tempat penginapan. Sebuah motel, di depannya ada jalan tol. Om membayar beberapa ratus ribu.
"Buka bajumu!" Perintahnya ketika kami sudah di kamar, berdua. Suaranya sudah terdengar ramah, tapi dengan hembusan nafas lebih kencang dan berat dari sebelumnya.
Saya hanya terdiam duduk menunduk di pinggiran ranjang. Diulangi lagi beberapa kali, hingga menjadi bentakan. Saya mulai menangis lebih serius, lebih lepas, tadi masih ditahan-tahan. Berkali-kali saya merengek minta pulang.
"Kamu buka sendiri atau saya sobek-sobek dengan pisau!" bentaknya sambil mengacungkan silet cutter.
Bagaimana saya bisa pulang dengan baju sobek-sobek, pikir saya si lugu dungu berwajah ungu unyu mirip penyu, ketakutan. Saya menuruti dengan perasaan takut dan malu. Saya buka kaos polo hitam saya, sandal, celana jeans tiga perempat hitam saya, lalu celana dalam. Hawa dingin AC meniup tubuh bugil saya. Dingiiin.
Dia meletakkan silet cutternya di meja nakas, meja kecil di samping tempat tidur. Kami berdiri saling berhadapan di pinggir ranjang. Dia menarik tubuh mungil saya, memeluknya dan menciumi, termasuk bagian yang sensitif di daerah tubuh saya. Dia mengulum dan memainkan penis tidak sunat saya.
Di antara setiap jeda aksinya, si om menyempatkan memuji-muji fisik saya dengan memandanginya, seperti orang lapar yang menemukan makanan lezat. Kayaknya dia memang lapar.
Saya tidak menceritakan pujian apa saja yang dia utarakannya di sini, risih, seperti mempromosikan diri di kala sedih. Sedih karena mengingat-ingat masa lalu untuk menulis. Berkesan saya bangga dan ingin mengulang kisah sedih ini. Maaf saja deh. Tidak!
Saya disuruh terlentang di kasur double size dan si om duduk di samping saya. Aksi berlanjut. Dia mencoba memainkan penis saya antara geli nikmat, takut, malu. Lama ngacengnya, tapi ngaceng juga, seperti disunat. Saya sudah mulai tidak menangis, walaupun masih sesenggukan.
Dia mengatur posisi saya untuk menungging. Lalu memasukan jarinya. Saya kesakitan. Sangat sakit, perih, panas. Si om menghela nafas, dan berdiam sejenak. Lalu meninggalkan saya untuk memidahkan silet cutter dan barang-barang lainnya yang dirogoh dari saku-saku pakaiannya ke atas lemari. Seperti di antaranya ada kunci, karena terdengar seperti itu. Lalu dia ikut bugil. Anjrit! Ini pertama kali saya melihat otot penis sebesar itu bergantung di tubuh bugil orang dewasa. Saya yakin dia biasa ngegym.
Si om menaiki ranjang dan memproses tubuh saya lebih lanjut. Saya mandi air liurnya ketika dia menyosor tubuh saya dengan lidah. Saya meminum air liurnya ketika kami berciuman. Bau rokok! Lalu saya diminta melakukan hal yang sama seperti dia melakukan aksi tersebut kepada saya. Dia sudah mandi, tapi tetap tercium bau, apalagi di bagian penis ada cairan lendir, agak asin dengan aroma sabun campur sedikit amis, dan pesing, juga bau kotoran di bagian lubang anus. Saya mengikuti semua intruksinya dengan sebaiknya-baiknya untuk membuatnya senang. Jika dia senang semoga dia tidak menyakiti saya dan mengembalikan ponsel saya.
Aduh! Dia sempat-sempatnya mengambil foto dan video bugil saya melalui kamera ponselnya. Dia melakukannya demi cinta, katanya. Oh, deritanya tiada akhir.
Saya disuruh menjepit penis bongsor si om di antara kedua selangkangan saya, saya terlentang. Pantatnya naik turun dengan penis terjepit. Lalu dia meminta saya menjilat dan memainkan penisnya. Dan spermanya muncrat. Ini pertama kali saya melihat sperma yang muncrat dipaksa secara 'live'. Permaian tidak berhenti di situ, terus berlanjut. Dia orgasme dua kali dengan bahagia. Saya orgasme satu kali dengan paksaan. Si om tampak telaten membuat orgasme pertama saya yang disengaja. Om itu menjilat dan meminum sperma saya seperti syrup. Dia tidak hanya lapar, tapi juga haus.
Saya diantar pulang menjelang gelap, tapi tidak tepat di depan rumah, saya memilih untuk berjalan kaki lagi sekitar lima menit ke rumah saya. Dia mengembalikan ponsel saya ditambah dengan berlembar-lembar uang pecahan seratus ribu dan lima puluh ribu. Tumpukan uangnya lumayan tebal. Saya tidak mungkin menghitungnya. Saya lebih merasa diperkosa dari pada sedang menjual diri. Saya hanya mengambil ponsel saya, lalu bersiap membuka pintu mobil.
"AMBIL!!!" dia membentaku. Saya terkejut. Saya segera berbalik dan mengambilnya. Tngan saya bergemetaran, lemas dan tergesa-gesa akibatnya tangan saya menyenggol dashboard mobil, maka uangnya jatuh berhamburan di karpet dan sofa mobil. Saya meraih lima puluh ribu yang paling dekat dengan saya. Lalu keluar mobil, menutup pintu mobil, meninggalkan mobil setengah berlari. Saya tidak langsung ke rumah, tapi mampir ke warung sampai mobil itu pergi.
"Tante, saya nemu duit lima puluh ribu. Ambil aja," kata saya. Tante Mira menerimanya. Saya malas mendongak untuk melihat reaksi ibu warung. Saya ngacir tanpa memperdulikan komentarnya menuju rumah, jaraknya tidak jauh.
Saya tidak tahu siapa si om kekar itu hingga saat ini. Saya ingat dia pernah berkata ketika mengantar saya pulang bahwa dia beberapa kali melihat saya di mall sendirian. Dia tertarik dengan saya, jatuh cinta. Baru kali ini dia berani mendekati saya, karena dia akan pergi jauh malam ini.
Saya diberitahu pembantu bahwa mama minta dihubungi.
Deg! Para pembantu pasti sudah berkomplot menelepon mama. Saya kesal.
Saya terpaksa menelepon mama, jika tidak, urusan makin runyam. Saya mengaku ke rumah teman. Saya kena marah mama dan rasanya lamaaaaa banget.
Saya sudah mandi di motel, tepatnya dimandikan si om dengan telaten. Lalu saya mandi lagi di rumah, dan berulang kali dengan perasaan hancur berkeping-keping, lebay nggak ya? Kayaknya badan ini tidak bersih-bersih. Saya merasa kotor.
Saya berduka, tapi saya harus tegar, saya harus belajar, karena kami, kelas 6 SD mau ujian kelulusan beberapa minggu lagi. Saya harus belajar dari pengalaman untuk menjadi dewasa. Dewasa bukan hanya secara fisik, tapi juga mental.
Saya pernah mendapat SMS tidak dikenal, berkode negara US beberapa hari setelah kejadian itu, sekitar jam 12:00 WIB.
"Saya tahu alamatmu. Kita pasti jumpa lagi. Saya tidak berniat jahat. Saya cinta kamu. Saya belikan bola footsal nanti. Saya janji." Begitulah isinya. Ini pasti SMS si om, pikir saya. Saya terkejut. Saya langsung mengganti nomor ponsel. Mengapa orang ini hobinya mengancam dan memaksa? Apa tidak ada hobi yang lain? Saya tertekan ketika teringat peristiwa di motel itu.
Sejak kapan dia mengetahui saya bermain footsal? Apa dia pernah melihat saya bermain footsal di kompleks perumahaan? Memang rada aneh, saya hanya mengatakan perumahan yang saya tinggali, bukan alamat saya. Tapi anehnya dia mengarahkan mobilnya ke blok alamat rumah saya. Saya minta diturunkan beberapa blok sebelum sampai di rumah saya dengan harapan dia tidak mengetahui alamat saya. Baru nyadar nih.
Saya harus pindah ke luar daerah, tekad saya. Ketika SMP saya pindah ke Malang, tinggal bersama nenek. Ini kemauan saya. Ketika SMA saya kembali ke rumah asal, Jakarta atas desakan mama. Saya baru dua bulanan di Jakarta.
Tentang si om, bakal ketemu lagi dong? Bodo amatlah. Tidak perlu diambil pusing. Maafkan saja. Kalau dipikirin cape ati! Saya masih harus sekolah.
Saya bercerita kesedihan saya yang dipendam lama tersebut kepada dua sahabat saya ketika di SMP, Dowi dan Fredy. Awalnya mereka memasang mimik terkejut, sedih, tapi tidak lama, karena pembicaraan mereka lebih sigap ke arah yang hot dari pada berlama-lama pasang muka prihatin. Sudahlah ikuti mereka saja.
Dowi mengambil flashdisk dan memutar bokep di laptop saya, mereka sedang di rumah saya, Malang. Mereka mengatakan menonton bokep stright dapat membantu terapi saya. Anjrit! Mereka cuma cari alasan saja. Buktinya, mereka, terutama Dowi lebih serius menontonnya dari pada saya.
Kami sempat coli bareng. Saya dipaksa mereka. Saya tidak enak hati juga. Hanya Fredy yang orgasme, karena Dowi terlanjur shock ketika saya mual-mual melihat sperma Fredy yang muncrat. Saya mual karena teringat kisah ketika di SD. Kami tidak pernah mengulanginya lagi, maksudnya melakukan bersama-sama lagi.
Saya tidak suka badan kekar dan kebule-bulean saat ini untuk suatu hubungan serius, mungkin karena kejadian tersebut. Saya suka paras Asia. Namun saya tidak rasial dalam berteman.
Saya sungkan mengungkit cerita yang vulgar, tapi saya tetap menulisnya sedikit untuk menggambarkan kejijikan saya saat itu.
Saya seorang gay? Biar waktu yang membuktikannya.
Ini merupakan cerita pertama saya, kisah nyata, sehingga perlu beberapa kali direvisi seiring munculnya kembali kepingan-kepingan ingatan yang hampir empat tahun lalu ini, lalu disatukan kembali pada kisah ini. Menulis dan merevisi kisah ini telah menyita pikiran dan waktu tidur, belajar dan aktivitas saya lainnya. Maka maaf saya tidak dapat mengungkap seluruhnya.
° terima kasih yang telah membantu mengedit, melike dan berkomentar.
iya. Saya belajar dr pengalaman. terima kasih kak.
kejadian ini sekitar 4taun yg lalu ya?
@Black_G kamu jg. Masa depan yg baik lbh penting drpd kenikmatan sesaat.
jng mdah percya sm ornk, mnim klu jln it bwa ornk yaaa,,,,
salam knal buat u