It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
# pakai banget
soalnya nglamin jgaaa
klu pergaulan mah smakin tinggi tikatan smakin hrus jga driii ajj
tiap orang punya ukuran kebahagiaan yang berbeda-beda. Misalnya, Bli bahagianya kalau sama perempuan. Tapi saudara Bli bahagianya sama laki-laki. Masa mau kita paksa? Kalau gantian Bli yang dipaksa metunangan sama laki-laki, Bli pasti juga tidak mau. Jadi ya tidak boleh dipaksa-paksa, Bli.
untuk mendapatkan kebahagiaan itu pasti ada batas benar-salahnya, kan?
http://ceritasolitude.wordpress.com/cra-3-rumah-pohon/karung-17/
DIA ANGEL ATAU DEVIL?
Sejak kapan saya mencantumkan nomor kontak saya di jejaring sosial? Tidak pernah tuh.
Cerita ini dimulai dari sms nomor tidak dikenal. Pengirim mengaku bernama Roy dan mengajak berkenalan. Hanya itu. Orang yang memberi nomor saya ini tidak bermaksud baik, termasuk Roy, vonis pun telah saya putuskan.
Saya abaikan kedua sms dari Roy. Saya cancel ketiga call dari Roy di waktu berbeda. Saya sungkan bertemu gay yang belum saya kenal, setidaknya saat ini. Apalagi Roy yang tidak jelas asal usulnya.
Roy tidak berhenti di situ,
"Ini sms terakhir. Setelah ini nomor lu gw hapus. Gw uda baca cerita lu di blog gay. Gw jg punya cerita, kisah nyata hidup gw. Mau tahu?"
Ah, tidak perduli. Siapa dia. Tapi semakin saya ingin melupakannya semakin besar niat untuk mengetahui kisah hidupnya. Saya kirim sms kepada Roy.
WIN: Cerita hidupnya gimana?
ROY: ketemuan aja minggu ini di CL.
WIN: Ga bisa. Uda janjian ultah tmen skul di TA.
ROY: Ok di TA. Setelah ultah selesai. Jam berapa dan dimana?
WIN: Yg pasti abis pulang gereja. Ketemuan gimana? Saya nebeng mobil temen, ga sempet.
Mall Taman Anggrek (TA), Mal Ciputra (Citra Land, CL) dan Central Park (CP) berdekatan, di Jakarta Barat.
Hari minggu telah tiba.
Sebenarnya agak ragu memenuhi undangan ulang tahun teman, karena masih ada kerjaan semacam komite kepemudaan di gereja. Tapi karena dia teman sekolah dan gereja, maka saya ikut.
Sekitar jam sebelas sms Roy masuk. "Gw uda di ta,"
Aduh, niat banget ini mahluk. Ponsel saya matikan. Smsnya saya abaikan.
Kurang dari jam dua belas kami sudah di TA yang ramai pengujung. Kami merayakan ulang tahun teman sekolah di salah satu restaurant siap saji di lantai empat.
Teman-teman ada yang langsung pulang setelah acara selesai, ada yang nonton. Saya berencana pulang bareng dengan Joan, Hendi dan Suki, seperti berangkat tadi.
Joan, Hendi pamit ke toilet. Saya dan Suki menunggu. Saya tadinya mau ikut menemani ke toilet, tapi dicegah Suki untuk menemaninya. Kami ke seberang restaurant dan bersandar di pagar pembatas ke lantai tiga, melihat ice skating rink di bawah. Lantai empat di tengahnya bolong, sehingga bisa melihat ice skating di lantai 3.
Beberapa menit kemudian, ponsel Suki berbunyi. Ponsel saya juga harus dihidupkan kembali, agar mereka bisa menghubungi saya.
1 sms 'tertunda' masuk ke ponsel saya dari nomor Roy yang belum saya save.
"Woi bales sms gw, nyet! Kalo lo ngga mau ketemuan ngga apa, tp lu liat gw dulu di lantai empat. Gw pake motif zebra"
Di lantai empat? Berarti satu lantai dengan saya. Saya celingukan ke sana sini seperti radar.
"Win, lu tunggu di sini ....," Suki pergi begitu saja, mungkin urusan rahasia, urusan yang tidak boleh saya dengar. Atau mungkin suara ponselnya kalah dengan suara musik ruang publik di sini. Saya mengangguk pelan. Saya masih sibuk celingukan mencari sosok misterius dengan motif zebra.
Baiklah, saya coba intip. Saya berjalan mengelilingi pagar yang melingkar, celingukan dan mondar-mandor seperti mandor montir. Tidak ada satu pun orang yang memakai pakaian aneh, mirip kulit binatang. Saya mulai kesal. Gengsilah kalau saya menghubungi dia. Memang saya cowok kegatelan?
Sudahlah, mungkin dia sudah pulang. Saya kembali bersandar di pagar di sisi yang agak sepi, kembali melihat permainan ice skating di bawah, dan mengabaikan orang-orang yang silih berganti bersandar di pagar dekat saya. Teman-teman saya pada ke mana?
Telepon Roy masuk, tapi sudah mati sebelum dicancel. Drret, drret, drret. Tak lama kemudian, ponsel saya bergetar tanda sms masuk.
"Kemeja kuning ngejreng motif ulir-ulir merah. Daleman merah. Celana jeans item. Norak Abis!" sms Roy masuk.
Hah?! Dia sudah melihat saya.
"Ewin ...." terdengar suara di kanan saya, sangat jelas, karena sangat dekat.
Saya dengan sigap menengok. Ada seseorang yang sedang menelepon, memakai jaket tipis berbulu halus abu-abu tua, model hoodie dengan tudung menutupi kepalanya. Bawahnya jeans skinny berwarna hitam. Penampilan yang serasi. Matanya mengarah ke ice skating rink.
"Sudah selesai acara ulang tahunnya, Ewin?
.... " dia masih sibuk menelepon. Dia beberapa kali memberi jeda, mendengar tanggapan orang di seberang ponselnya. Saya mengamati orang itu sambil senyum-senyum menahan tawa.
"Oh .... ya, ya .... tega ya membiarkan orang nunggu sampai menggigil begini? .... Tapi ngga apa-apa, belum jadi es. Oh ya, sudah ketemu kuda zebranya?" Dia melanjutkan.
Spontan saya tertawa. Benar-benar meledak, tak tertahankan. Hancur deh pertahanan jaim saya. Untung di area publik ini suara musik terdengar keras.
Tanpa saya sadari orang yang ingin saya intip sudah ada di samping saya mengintip saya sejak tadi. Ia pun berbalik ke kiri menghadap saya, membuka tudung jaketnya.
Dan ...
Wow! Cowok cantik. Saya belum pernah melihat cowok secantik ini, eh seganteng ini secara "live show". Usianya sepantaran anak SMA.
Oh, my angel .... dibalik jaket yang tengahnya terbuka saya melihat t-shirt V necklace motif bold line horisontal bergelombang abu-abu tipis dengan dasar putih, hanya mirip corak zebra. Oh, Roy rupanya kau zebra yang cute.
Jantung saya berdetak lebih kencang. Saya merasa terhipnotis melihat kecantikan wajahnya sehingga berat mengalihkan perhatian dari Roy. Penampilannya punya magnet, bro.
"Lu Ewin? Boleh kenalan?" tanya Roy sambil tersenyum manis yang tersungging dari bibir merahnya, saya pun tersadar. Suaranya seperti suara cowok? Oh ya, dia memang cowok. Badan kami saling berhadapan sekarang. Kami pun berkenalan. Bahasa lisannya lebih sopan dari bahasa smsnya.
Ini pertemuan pertama saya dengan seorang gay. Eh, tidak juga sih, sebelumnya saya pernah bertemu Fredy, teman SMP yang mengaku gay. Teman gay dunia mayanya banyak. Gay lainnya .... sudahlah, lupakan saja orang itu .... (baca topik kunet page 1)
"Karena lu udah makan, kita ke cafe aja. Ngga enak ngobrol berdiri," ajaknya. Dia berhasil menghipnotis saya untuk menyetujui sarannya tanpa syarat. Joan, Hendi dan Suki yang pergi belakangan bisa menghubungi saya melalui ponsel jika urusan mereka selesai.
Setelah kami memesan minuman dan membayarnya dengan uang masing-masing, kami memilih tempat yang paling pojok, agak sepi, saling berhadapan. Saya ngotot untuk bayar sendiri. Ini prinsip saya tentang harga diri! Tidak bergantung kepada orang lain selama masih mampu. Kami memilih minuman dengan kemasan yang bisa diminum ketika berjalan, sehingga saya bisa langsung ngibrit jika teman-teman saya memanggil.
"Kamu gay?" Roy membuka obrolan ketika kami sudah duduk.
Yaelah, tidak ada basa basinya nih mahluk. Tidak usah dijawab, dia tidak sopan! Saya pandang tajam dia, menunjukan sikap tidak suka.
Caffe bombon ini pasti beracun, karena persendian saya menjadi lemas, koplak. Kafeinnya juga terlalu keras membuat jantung berdebar. Tapi .... perasaan ini sudah ada sebelum saya meminum kopi ini. Ah .... Roy, senyummu beracun, memabukan.
"Kelas berapa?" Tanya Roy, lalu menghirup caffè Latte espressonya melalui straw.
"Sepuluh. Lu?"
"Baru lulus kuliah," jawab Roy sama singkatnya dengan saya.
Sudah lulus kuliah nih cewek? Saya merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Saya pun tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Ingat Win, dia itu cowok, co-wok, bukan cewek.
"Siapa yang kasih nomor gue, Roy, eh Kak Roy," tanyaku.
"Dia teman chatting gue. Akunnya bernama Wasurete. Kami belum ketemuan. Dia ngaku teman lu," Kak Roy menyerudut minumannya lagi. "Kami chat lagi empat hari lalu. Kami udah jarang kontak sekitar setengah tahun ini," katanya lagi.
Saya rada inget akun Wasurete. Itu akun buram, tidak jelas, abal-abal.
"Siapa namanya? Dan kenapa lu nungguin gue sampe jam segini?"
"Namanya Wellie. Gue nungguin lu karena penasaran ama lu,' kata Kak Roy seperti ingin menunjukan keperduliannya.
Saya tidak punya teman yang namanya Wellie. Wellie mungkin nama samaran. Apa sebabnya tiba-tiba Kak Roy perduli kepada saya. Kami baru saling kenal.
"Cerita dan komentar-komentar lu di jejaring sosial mirip anak kesepian. Gue pikir lu juga punya daya tarik. Daya tarik ini bisa bantu lu, bisa juga nyusahin lu, atau bisa keduanya," Kak Roy mengungkapkan penilaiannya tentang diri saya kayak sudah kenal lama saja, sok tahu. Tutur kata Kak Roy yang saya kenal di sms dengan yang di depan saya beda.
Orang yang memberi nomor kontak saya kepada Kak Roy berarti member di salah satu komunitas gay dunia maya yang sama dengan saya, karena bisa menunjukan alamat akun saya, tapi jejaring sosial yang mana?
Siapa orangnya? Saya penasaran.
"Gue ga perna kasih tahu ciri-ciri gue, tapi lu bisa tahu kalo itu gue?" Tanya saya, penasaran
Dia lagi-lagi tersenyum manis, lebih manis dari kopi ini. Jadi saya lebih menikmati dia dari pada kopi ini.
"Pertama, gue uda liat foto lu. Kedua, gue liat lu muter-muter seperti mencari seseorang. Trus gue deketin lu, lu ngga nyadar. Ketiga, hape lu bunyi waktu gue misscall. Keempat, lu baca sms dari gue di samping gue. Kelima, lu tengok-tengok lagi nyariin gue, padahal gue disamping lu. Keenam, lu ngerespon waktu gue telepon-teleponan. Ketujuh, lu ngaku Ewin waktu kenalan. Cukup, sudah!" Beberapa kali Kak Roy berhenti, memberi jeda, mungkin sedang mengingat.
Kak Roy banyak bertanya tentang kehidupan saya. Saya menjawab apa adanya. Inilah si Ewin, selalu menjawab apa adanya yang kadang disesalkan kemudian. Saya mengakui Kak Roy baik dalam berkomunikasi, membuat saya open dan nyaman bersamanya. Sulit bagi saya untuk menutup mulut darinya. Dia membuat seyum saya merekah berulang kali.
"Kak, bukannya lu yang mau cerita hidup lu, kenapa gue yang nyerocos?" Kami pun tertawa.
Saya terkejut, ketika tangan kiri saya yang diletakan di atas meja diremasnya, agak kuat. Perlu tenaga yang cukup untuk menariknya.
Saya lebih terkejut ketika melihat bayangan yang saya kenal baik memantul di kaca. Saya memalingkan wajah melihat obyek pantulan. Ya. ampuuun, Joan dan teman-teman saya sedang memandangi kami dengan kamera ponsel terarah pada kami.
Saya tarik tangan saya. Saya menjadi kikuk. Tenang, Win, tenang .... Saya menarik nafas panjang, lalu melambai pada teman-teman saya sambil tersenyum dipaksa -- yang penting mirip orang tersenyum beneran.
Oh ya nama-nama tokoh ini disamarkan.
Teman apa kak? Kak Roy cuma kenalan di jln aja.
Aduh, mengapa saya terlibat dalam situasi kayak gini?
Ya, sudahlah .... hadapi saja, mau bagaimana lagi.
Saya pamit kepada Kak Roy. Kak Roy pun memaklumi kondisinya. Dia berjanji untuk menghubungi saya nanti. Entahlah, apa saya masih mau kontak dengan devil cantik ini atau tidak? Pertemuan ini serasa tidak nyaman.
Sebisanya saya berdiri dan berjalan dengan bersikap wajar, padahal gemetar dan lunglai, lemah, lemas, letih, lesu.
Saya bergabung dengan teman-teman lagi. Mereka hanya senyum-senyum tidak memberondong pertanyaan, ini yang lebih berbahaya. Masalah ini bisa jadi bahan gosip teranyar teman sekolah dan teman gereja. Joan dan Hendi satu gereja dengan saya.
Apa ini direncanakan? Apa ini jebakan? Mau apa mereka?
Cie...Cie Kunet Jatuh cinta pada pandangan pertama