It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tapi itu bukan aku ya, gak ngerti juga sih kenapa ID BF aku sama ID FB dia bisa samaan... hmmm :-?
Udah ya OOTnya TSnya udah ngeluarin tanduk n taringnya tu
Part 4 : Misi Bunuh Diri
Nial POV
"Yes i'm fine" aku yakin kalau Harris tengah menahan rasa sakit saat ini. Kepalanya berdarah dan dia masih bisa berkata seperti itu? Apa semua exhibionis seperti ini? Selalu tampak pemberani?
"No , kau bukannya tidak apa-apa. Kau berdarah"
"Ya dan aku tak apa apa"
Aku mengambil sapu tangan dari saku celanaku dan mengusapkannya pada bagian pelipis Harris. Semoga dengan ini darahnya berkurang sedikit. Ia telah menyelamatkanku tadi dari gerombolan Uda Ujang yang memang terkenal sebagai preman di desa ini. Baru kali ini aku bertemu dengan mereka setelah selama ini mendengar desas desus yang beredar di masyarakat. Pitaloka -temanku- bahkan katanya pernah melihat anak buah Uda Ujang memaki maki seorang petani karena tak membayar upeti -yang entah diwajibkan darimana-.
Harris terdiam saat aku menghentikan pendarahan yang terdapat di pelipisnya. Aku tau , pasti rasanya sakit. Ayahku yang mengatakannya. Dulu saat ia pergi berperang, ia dan teman temannya selalu bertemu ranjau panas meski mereka dapat melewati itu (dan beberapa dari teman ayahku juga cidera karena itu). Dan kata ayahku, rasa sakitnya tak bisa ditandingi dari rasa sakit apapun. Aku saja yang menginjak sebuah paku berukuran kecil saja sakitnya sudah bagai akan dimakan harimau. Apalagi terkena serpihan beling?
"Wait. I'm fine trust me. Sepertinya kita harus pergi dari sini sebelum orang orang brengsek ini bangun"
"Aku antar kau ke puskesmas terdekat"
"Puskesmas? What is that?"
"Semacam pusat kesehatan di setiap desa desa kecil. Lukamu harus diobati" aku menarik tanganku. Tetapi Harris menahan tanganku.
"Jangan ajak aku kerumah sakit! Aku tak akan sudi jika kau membawaku kesana"
Aku mencoba melepaskan tanganku darinya. Tetapi exhibionis ini semakin kuat mengenggamnya. "Could you please release my hand?" Dan dia tampak sedikit tersadar karena perkataanku lalu ia melonggarkan genggamannya. "Tak akan ada hal buruk yang menimpamu di puskesmas. Percayalah"
"No!". Dia masih saja menolak. Apa semua Bule seperti ini? Setauku banyak kok Bule yang berkunjung didesa ini bertanya dimana letak puskesmas padaku.
"Uhm.. tak bisakah kau.. merawat lukaku di rumahmu?"
Huh? Dirumahku? "Bisa sih, tapi apa kau bisa menahan rasa sakitnya nanti? Rumahku agak jauh dari pasar ini"
"Really?"
"Really"
Dia terlihat berpikir sejenak lalu melepaskan tanganku dari genggamannya. "Baiklah kalau begitu, ayo kita kerumahmu" dan ia menarik kedua tanganku lagi lalu langsung berjalan didepanku. Aku jadi terlihat seperti anak kecil yang tengah dibimbing oleh ayahnya jika terus seperti ini. Apalagi , orang orang dipasar seakan akan punya objek baru untuk dijadikan pusat perhatian saat aku berjalan bersama Harris -dan lagi ia menarik narik tanganku seperti ia tau saja dimana rumahku- . Ada beberapa teman kelasku yang kujumpai , mereka seperti , "Ciee cieee" kepadaku. Hei! Bahkan aku tak mempunyai pacar saat ini! Langsung saja aku menarik tanganku. Malu.
Setelah itu Harris seperti melotot padaku. Kenapa? Apa yang salah dari melepaskan tangan dari orang asing? "Aku akan menuntutmu ke pengadilan jika kau menolak untuk kugenggam tanganmu". See? Bahkan dia sudah seakan akan tau pengadilan itu apa.
"Pengadilan? Kau pikir aku akan takut karena ancamanmu?"
"Tentu! Orang orang Indonesia begitu menghormati pengadilan bukan?"
Aku terkekeh. Dia adalah exhibionis pertama yang bertingkah layaknya orang orang pribumi. Seriously? Ini konyol. "Aku takkan mau kau genggam seperti tadi. Silahkan saja kalau kau mau mengadukanku ke pengadilan" kataku sombong sambil berkacak pinggang. "Lagian aku juga bisa menuntutmu balik karena Pelecehan oleh seorang Exhibionis di kamarnya"
"Hei! Aku tak pernah melecehkanmu"
"Tapi kau menyuruhku membuka celanaku bukan? Apa itu bukan pelecehan?" Skak mat
"I just wannna helped you!"
Kami lalu kembali melewati jalan tadi. Dia terlihat menggerutu karena perdebatan kami tadi. Tapi aku bisa melihat ia tersenyum senyum sendiri saat saat dia melihatku. Apa yang lucu dariku? Benar benar exhibionis yang aneh.
"What is that?"
Dia menunjuk sebuah rumah makan Padang . "Maksudmu rumah makan?"
Dia mengangguk
"Menurut sendiri , berdasarkan namanya. Apa?"
Dia tampak memutarkan kedua bola matanya. Dia terlihat begitu lucu jika seperti itu. "Rumah makan is , rumah yang bisa dimakan?"
Hahahahahaha. Aku tertawa terbahak bahak karena jawabannya. "You're so funny!"
Dia kemudian terdiam sebentar. Sebelum kemudian tersenyum.
"Nak , siapa ini?" Tanya Ibu padaku saat aku dan Harris memasuki teras rumah. Ibu saat itu sepertinya ingin pergi ke Pasar Pagi untuk berjualan. "Ini pacarmu itu?"
"Bukan Bu. Ini Harris. Harris this is my mom" kataku sambil memperkenalkan mereka berdua. Harris sedikit menunduk -tetap saja tak terlihat menunduk karena badannya yang tinggi- dan tersenyum pada Ibu.
"Wah dia terluka yah Nak. Ibu ambil obat dulu yah"
"Ngga usah bu. Aku bawa dia ke kamar aja. Biar aku aja yang ngurusin dia. Ibu pergi aja dulu. Nanti aku nyusul ibu kesana untuk bantu bantu"
Harris terbengong-bengong mendengarkan percakapanku dan Ibu yang sama sekali tak dipahaminya. Gotcha
"Yasudah kalau begitu kamu masuk aja yah. Bubur kacang ijo tadi pagi masih ada. Kamu kasih ke temen kamu yah, tapi jangan lupa dipanasin dulu" Kata Ibu lalu melewati kami. Aku dan Harris lalu masuk kedalam Rumah dan menemukan ayah yang sedang duduk menghadap jendela sambil meminum kopinya dalam cangkir kecil. "Assalamu'alaikum pak" Ucapku seraya berjalan melewati Bapak.
"Waalaikum salam. Udah ketemu ama Haris -teman sekolahku- ? Eh ini siapa , mat?"
"Is this your father?" Bisik Harris di telingaku setengah menunduk. Yang langsung saja kujawab dengan anggukan. "Apa dia adalah mantan tentara?". Aku mengangguk lagi.
"Iya pak. Kenalin pak , ini Harris"
Bapak menyipitkan kedua matanya pada Harris yang masih menunduk. Sepertinya orangtua lelakiku itu tak bisa melihat wajah bule yang berada di belakangku ini.
Harris lalu mengangkat kepalanya dan tersenyum pada Bapak. Entah aku salah liat atau memang bapak yang seperti itu , aku melihat Bapak sedikit terkejut saat bisa melihat wajah Harris seutuhnya. Dan lalu tersenyum . "Sini nak duduk temenin bapak. Bapak ingin bercerita"
"Tapi pak , aku mau ngobatin luka Harris dulu"
"What did your father said?" Bisik Harris kembali kepadaku
"Dia meminta kita untuk menemaninya karena dia mau bercerita"
"Maksudmu , dongeng?" Harris terdengar cukup antusias kali ini.
"Well , kind of" jawabku. "Kau mau?". Dan dia langsung menyetujuinya. Kami lalu duduk di depan Bapak. Harris terlihat terkesiap saat melihat kondisi kaki Bapak yang tersisa 1.
"Nak , ambilkan obatnya. Kau bersihkan luka Harris saat Bapak bercerita yah"
"Baik pak" dan aku lalu meninggalkan Harris bersama bapak dan berjalan menuju kamarku dan mengambil sebuah antiseptik , tissue , dan juga air panas. Oh, sekalian saja aku buatkan Harris segelas Teh. Dia sepertinya belum minum apapun dari pagi tadi. Setelah aku selesai dengan urusan teh. Aku segera membawanya ke tempat Harris dan aku mendengar Bapak sedang berbincang bincang dengannya sebelum kemudian menyuruhku duduk.
"Have some tea"
Aku lalu duduk dan mengeluarkan sebuah tissue dan mencelupkannya kedalam air panas yang tadi juga kubawa. Ayah juga kelihatannya merenung sebentar.
"Pasti kau benar benar terpukul saat itu" kata Harris sambil sesekali meringis saat aku mengusap usap lukanya dengan tissue.
"Yah .. begitulah" Bapak menarik nafas dalam dalam dan membuangnya. Begitu beberapa jeda seperti ada sesuatu yang sedang di tanggung oleh Bapak. "Tapi tak ada gunanya juga kan menyesal? Bapak sudah mengikhlaskan kaki bapak itu. Lagian bapak juga bisa menyelamatkan rekan bapak itu juga sudah cukup"
Harris mangut mangut mendengar penuturan Bapak. Aku lalu meneteskan antiseptik dan lalu membersihkan lukanya. "Apa masih sakit?"
Harris menoleh padaku lalu tersenyum . "Tidak. Terimakasih"
Rasanya.. senyuman itu begitu menawan. Entah kenapa senyuman itu tiba tiba bisa membuatku berdebar debar. Aku lalu memalingkan wajahku dan menoleh pada Bapak.
"Kenapa kau bisa tersipu seperti itu?" Tanya bapak dalam bahasa Indonesia
"Ti.. tidak. Aku tidak tersipu" jawabku. "Bapak tadi katanya ingin bercerita , kali ini apa yang akan bapak ceritakan?"
Harris terlihat sedikit kebingungan saat aku berbicara dan kemudian antusias ketika aku memberitahu apa arti dari kata kata yang kulontar tadi kepada Bapak. Bapak menyuruput kopinya lagi lalu mendecak decakkan lidahnya. Ia kemudian menselonjorkan kakinya. Sepertinya bapak sedang mencari posisi yang nyaman untuk bercerita.
"Well , I will tell you a story. Tentang seorang tentara dan teman temannya melawan penjahat di negeri padang pasir"
Seperti biasa , bapak selalu bercerita dengan penuh penghayatan . Meski Bahasa Inggris bapak tidak terlalu sempurna , namun Harris tetap bisa mengerti apa yang ia ceritakan meski terkadang bertanya kepadaku.
Tak terasa matahari perlahan lahan sudah mulai memanjat langit dan menampakkan dirinya yang sedari tadi ditutupi oleh awan pegunungan. Harris kemudian pamit pada Bapak dan Bapak memeluk Harris sebentar sambil berbisik bisik. Entah apa yang mereka bisikkan , akupun juga tak mengetahuinya. Harris lalu berdirk dari kursinya dan berjalan keluar. Aku ikut mengantarnya sampai depan Rumah.
"I'm leaving now"
"Apa kau bisa pulang sendiri?"
Dia terkekeh . "Apa itu ajakan untukku agar tetap disini menemanimu?"
Huh? Menemaniku? Aku tak berkata seperti itu. Sial! "Lebih baik kau pulang saja"
"Jangan marah seperti itu dong.."
"Aku tidak marah"
"You are"
"I'm not!"
Harris lalu meraih tanganku dan mengenggamnya. Apa dia mencoba menggodaku? Dasar exhibionis mesum! "Awww! Kenapa kau menginjak kakiku!?" Ringisnya
"Tanyakan saja pada dirimu"
"Oh come on. Aku tak akan tega meninggalkanmu jika kau tetap seperti ini. Jangan marah. Ok? Aku hanya bercanda"
Aku mendengus sebal dan kemudian menyuruhnya pergi. Ia menuruti perkataanku dan lalu brrjalan keluar menuju jalan setapak.
Esok paginya saat aku akan berangkat sekolah , aku bertemu lagi dengan Harris . Begitu juga esoknya. Dan esoknya lagi. Dan begitu seterusnya. Kami hampir bertemu setiap hari. Bahkan Harris juga ingin kembali mendengarkan Bapak bercerita. Harris kecanduan. Padahal Bapak baru bercerita satu kali. Ku akui Bapak memang pandai bercerita.
"Assalamu'alaikum. Bapak , Ibu , aku pulang"
Aku dan Harris lalu masuk kedalam rumah dan tak lupa menyalami kedua orangtuaku itu. Ibu terlihat begitu sumringah dengan kedatangan Harris. Ibu bahkan sampai menawarkan beberapa lemang yang ia beli dari pasar kepada Harris. Sedangkan aku? Lagi lagi disuruh untuk membuatkannya Teh.
"I'm sorry , but , dimana Bapak?" Tanya Harris . Terdengar lucu saat ia mengucapkan kata "bapak" dengat logat asingnya
"Apa yang dia katakan?" Bisik Ibu padaku yang langsung ku beritahu padanya arti dari perkataan Harris itu. "Ohh bapak lagi didalam kamar. Mau ngapain? Bentar yah Ibu panggilin dulu" dan lalu Ibu beranjak masuk kedalam kamar dan kemudian keluar bersama Bapak yang duduk dikursi rodanya.
"Good Afternoon , Harris"
Harris berdiri dari duduknya dan memberikan penghormatan pada Bapak. Ibu lalu mendorong kursi bapak ke ruang tengah -tempat kami saat ini tengah duduk- ."Bikinin Bapak kopi ya buk. Nak Harris , what do you want to drink?"
Harris kemudian menoleh padaku , "Apa?" Tanyaku padanya.
"Aku akan meminum apa yang ingin kau minum" dan lalu dia terkekeh.
"Katakan saja apa yang ingin kau minum , Harris"
"Bagaimana kalau aku ingin minum Sake? Kau tau sake?"
"Sudah kubilang disini tak ada alkohol"
"Baiklah kalau begitu aku ingin minum teh"
Ibu terbengong bengong mendengar percakapanku dengan Harris. Ia hanya mengerti pada kata "Teh" and for the rest she had no clue.
"Jadi , kau ingin kembali mendengarkanku bercerita?" Tanya Bapak langsung diikuti oleh anggukan dari kami berdua.
Bapak tertawa sebentar. "Kalian kompak banget jawabnya. Ga sia sia deh Bapak mempercayakan Harris. Hahahahaha".
"Bapak!" Kataku sedikit mengisi suaraku dengan nada malu. Harris yang juga menoleh padaku hanya tersenyum dan kemudian mengacak acak rambutku.
"Baiklah , simak baik baik yah. Kali ini Bapak akan bercerita tentang Pertarungan di markas Bos Mafia"
Tepat jauh beberapa tahun sebelumnya. Juanda muda meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil didesanya yang makmur itu. Pria tangguh itu harus mengabdikan dirinya dalam peperangan dan meninggalkan keluarganya. Itulah kehidupan. Butuh pengorbanan untuk mendapatkan kebahagiaan yang kita inginkan.
Juandawan Tri Busra. Anak dari pasangan suami istri yang berasal dari negeri seberang adalah seorang angkatan yang menerima misi pertama tepat sehari setelah kelahiran anaknya lelakinya.
Ia ditugaskan untuk pergi menolong relawan Indonesia dalam peperangan di negara Polevia melawan Negara Dentaag di wilayah perairan Barar Laut , Indonesia.
Banyak tentara yang diberangkatkan dari seluruh wilayah di Indonesia. Jumlah personilnya hampir menembus angka 1000 orang.
Juanda pergi dengan rasa khawatir kepada Istrinya yang baru saja melahirkan dan kini akan segera pergi meninggalkannya. Tugas ini adalah tugas yang telah diimpi-impikan olehnya dan kini ia mendapatkannya. Hanya saja tidak diwaktu yang tepat.
Ia berniat untuk mundur dari misi ini. Tapi istrinya menolak , dan mengatakan bahwa ia percaya Juanda akan dapat kembali pulang dalam keadaan hidup. Percayalah , tak akan pernah ada suami yang rela meninggalkan istrinya dalam kondisi seperti itu. Dalam kegundahan hati , sang istri meyakinkan Juanda bahwa ia akan baik baik saja. Ia meyakinkannya hingga akhirnya Juanda krmbali mengorbarkan semangat dalam dirinya dan berangkat menuju medan pertempuran.
Juanda diberangkatkan dengan pesawat tempur yang berukuran cukup kecil bersama ke 30 orang personil lainnya. Mereka memakai baju bermotif loreng. Membuat mereka lebih terlihat sedikit garang dan benar benar tangguh. Topi yang menggantung di leher dan juga tas yang masing masing mereka bawa akan menjadi bukti perjuangan mereka nantinya di medan pertempuran.
Juanda duduk didekat jendela. Selama dalam perjalanan ia tak henti hentinya membayangkan wajah istri dan anaknya yang sedang menunggunya dengan penuh harap dirumah.
"Hei" seseorang menyapanya. "Kau terlihat begitu murung. Kau kenapa?"
"Aku tidak apa-apa"
Pria itu lalu menjulurkan tangannya. "Perkenalkan , namaku Abi. Aku meninggalkan kekasihku dan juga orangtuaku di sana. Kau?"
Juanda menatap orang itu yang kelihatannya tanpa beban. Abi. Juanda mengingat-ingat nama itu. "Juanda"
"Juanda? Nama yang keren. Jadi , apa yang kau tinggalkan dibawah sana?"
Juanda merasa tak yakin akan membagi masalahnya dengan orang yang baru dikenalnya ini.
"Ayolah. Anggaplah aku akan menjadi sekutumu mulai dari sekarang. Nah , ceritakanlah bebanmu. Kau takkan bisa bertempur jika dirimu dihinggapi beban yang sepertinya berat itu"
"Hei. Bebanku lebih berat darimu!" Juanda mulai tersinggung
"Kalau begitu ceritakanlah. Apa yang kau tinggalkan dibawah sana?"
"Aku meninggalkan istri yang baru saja melahirkan"
Abi terbelalak. Tentu saja. "Kau tau. Aku telah menghamili kekasihku sebelum waktunya. Kurasa beban kita sama beratnya"
Juanda mulai merasa tertarik dengan percakapan ini. "Oh ya?"
"Ya , dan kau tahu? Parahnya lagi kekasihku itu memutuskan untuk menggugurkan kandungannya karena aku ditugaskan dalam misi ini"
"Lalu?"
"Dia tak mau bertemu denganku lagi selama berbulan bulan. Bahkan hingga malam sebelum aku bersiap siap untuk berangkat ke HQ"
"Kau tak mengucapkan salam perpisahan padanya?"
Abi menggeleng , "Dia bahkan sama sekali tak mau melihat wajahku" . Wajahnya kemudian berubah menjadi murung. Benar benar murung. "Kau tahu , setiap orang yang berada diatas pesawat ini mempunyai bebannya masing masing"
Juanda mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan dan cerita Abi. "Kau lihat pria yang sedang duduk tepat didepan jendela itu? Namanya Harry . Dia pergi meninggalkan ibunya yang tengah sakit keras. Dan itu" ia menunjuk seseorang yang berada di belakang "Letnan. Dia bukan seorang letnan. Tapi namanya Letnan. Dia dipaksa ayahnya untuk mengikuti misi ini. Padahal cita citanya adalah menjadi seorang koki ternama"
Abi menunjuk beberapa orang diatas pesawat dan menjelaskan latar belakang mereka masing masing. Termasuk juga dirinya sendiri. Bagaimana ia bercita cita setelah pulang dari misi ini , dia ingin membangun sebuah kampung dimana semua penduduknya menjunjung tinggi dan menghormati perbedaan. Bagaimana ia memimpikan ingin menjadi seorang petani Bulu Babi. Bagaimana ia bercita cita ingin menaikkan kedua orang tuanya ke tanah suci.
Semenjak saat itu Juanda dan Abi menjadi dekat.
Mereka menjadi sahabat karib. Dalam 13 jam perjalanan menuju medan tempur , mereka menghabiskan waktu bersama. Kadang Abi menyodorkan sekantong besar Marshmallow yang diselipkan kakaknya kedalam tas. Ataupun Juanda yang iseng menempelkan upilnya ke pipi Abi. Mereka selalu membuat kehebohan diatas pesawat. Tak jarang Capt. Stephen membentak mereka.
Juanda mulai bisa berbaur dengan lingkungan barunya. Ia berkenalan dengan banyak orang. Harry, Dane, Tiko, Ron, Yosef , dan masih banyak lagi.
Semuanya terasa begitu indah. Tak ada gading yang tak retak. Rasa solidaritas mereka begitu kuat hingga akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Mereka langsung menuju markas untuk mendengarkan rincian tugas yang akan mereka laksanakan dan menyiapkan senjata serta peralatan yang akan digunakan esoknya dalam berperang.
Semuanya terasa indah.
Hingga semuanya musnah.
Dalam sebuah misi bunuh diri.
@new92 @Adi_suseno10 @Tsu_no_YanYan @lulu_75 @d_cetya @arifinselalusial @bianagustine @balaka @3ll0 @Tsunami @zakrie @DafaZartin siapa lagi yah....
itu dulu deh! Ntar diupdate lagi. Ok? *cipoksatusatu*
Hingga semuanya musnah.
Dalam sebuah misi bunuh diri.
Sereeemmmmm....
Lagih lagih...
@Tsu_no_YanYan mengerikan itu , waktu liat sidia jalan ama cowok lain. Udah gitu pegangan tangan lagi.