It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Awal tahun – Asa dalam rasa
Dari jauh, kumemperhatikannya. Kebiasaan yang telah kumulai sejak malam tahun baru. Aku, entah karena apa, kini merasakan hal yang tidak biasa terhadapnya. Seperti rasaku pada Martin. Bahkan kini aku menanti –nanti ia menggangguku. Karena hanya melalui itulah, kami berkomunikasi.
Tapi sejak malam itu juga, ia seolah menjadi pribadi yang lain. Ia berhenti mengusikku dan tak lagi menghiraukanku. Terakhir kali kami bercakap adalah ketika dia menyerahkan laptop baru padaku. Itu bahkan hanya sekedar, “Hai, ini sebagai pengganti laptopmu sebelumnya” lalu dia kemudian pergi, tanpa pernah lagi bertegur sapa padaku.
Ia sebenarnya bukan berubah menjadi pendiam dan kalem, bahkan ia masih asyik – asyik saja dengan Martin dkk. Hanya kepadaku dia bersikap dingin. Seolah – olah ada jurang pemisah diantara kami yang tak bisa kusebrangi.
Kini akupun merindu. Rindu akan keusilannya. Rindu akan gelak tawanya. Rindu akan kekesalannya. Rindu akan dirinya.
Pantai, sekarang kami berada di pantai. Lokasi yang berada cukup jauh dari kota. Di villa milik keluarga Tomi kami tinggal untuk menghabiskan libur semester pertama kami. Semuanya berawal dari Martin yang mengajak kami piknik. Setelah membicarakannya cukup lama akhirnya diputuskan agar kami tidak sekedar piknik saja, kami juga akan berlibur di villa keluarga Tomi yang berada di luar kota. Dan sekarang disinilah aku, dengan kakiku yang menyentuh bibir pantai dan ombak kecil yang sesekali mencumbu jemariku. Berada disini membuatku merasa terasing lagi meskipun aku dikelilingi oleh enam orang yang tidak lagi asing. Seperti kau mengenal sekitarmu namun kau pula merasa tersesat, itulah yang kini kurasakan.
Namun memang begitulah aku, lelaki melankolis yang menjadikan segala sesuatu layaknya drama. Drama dimana aku tinggal dan menjalani hidupku. Seperti yang dikatakan Martin dulu.
“Da!”
Aku berbalik, candra memanggilku rupanya.
“Makan malam!” serunya.
Aku melambai lalu menghampirinya.
“Senang banget ya menyendiri kayak gitu. Kesurupan entar, baru tau rasa”
Aku tertawa, “Ga lah. Aku cuma lihat sunset aja”
“Ya, liat sunset kok berjam – jam. Ga capek berdiri kayak patung daritadi?”
“Aku tidak akan capek jika melakukan hal yang kusuka”
Ia menatapku sinis,”Ya, ya, terserah lo aja deh. Ayo masuk, chef Aji sudah menghidangkan makan malam”
Ia membawaku masuk ke dalam villa.
Dan benar saja di atas meja makan, sudah tertata rapi makan malam hasil keringat Aji. Aji memang ahlinya masak diantara kami. Selain otaknya yang encer, keahliannya di dapur pun tak bisa diragukan.
“Hey, si bocah pemimpi sudah kembali dari dunianya ternyata. Ayo duduk sini.” Ucap Aji sembari menepuk kursi di sebelahnya. Aku pun segera saja duduk.
“Tak kusangka ada bocah kayak kamu Da. Berjam – jam berdiri dipantai kayak orang baru kehilangan kekasih hati.” Ucap Tomi lalu tertawa.
Aku tersenyum saja.
“Hobi katanya” Timpal Candra.
Yang lain tertawa, hanya lelaki itu saja yang tak peduli.
Malam itu kami membakar api unggun di pantai, mengelilinginya lalu bernyanyi bersama. Badu yang memainkan gitar, Candra sebagai lead vocal, aku dan yang lainnya mengiringi nyanyian Candra dengan tepuk tangan dan sesekali ikut bernyanyi. Segalanya terasa menyenangkan dan baik – baik saja.
Hingga sebuah lagu tentang pantai dan cinta, mengalun dengan indah di bawah langit malam.
Dipantai ini kunikmati nyanyian dedaunan, mengalun manis dimainkan angin
Mengajakku ‘tuk kembali mengenang setahun yang lalu
Kala itu mimpiku dan mimpimu masih menyatu
Kala hari turun senja kau bersandar di bahuku, kita nikmati surya tenggelam
Dan kau tulis nama kita diatas pasir putih
Sambil kau berucap semoga cinta kita kan abadi
Lagu itu mengalun dengan indahnya bersama aku yang terkenang akan masa lalu. Lagu itu mengingatkanku akan sosok seorang pria, yang dulu pernah kudamba. Indahnya cinta saat itu, indahnya asa kala itu. Aku dan dia, bersama dengan pantai yang mengalunkan lagu melalui semilir angin. Namun itu masa lalu, kisah lama yang memberi tawa namun menorehkan luka.
Tidak. Aku tak boleh mengingatnya. Aku seharusnya sudah lupa. Tidak. Aku tidak boleh mengingat semua ini.
“Berhenti” tanpa sadar kuberteriak.
Semuanya seketika berhenti, tak ada lagi alunan gitar atau suara merdu atau tepuk tangan riuh. Hening karena aku.
Aku menatap mereka gagu hingga mataku bertemu dengan mata Badu. Dia menatapku dalam namun tidak tajam, seolah bertanya ada apa. Aku hanya berdiri.
“Maafkan aku. Aku harus pergi”
Aku mengambil langkah seribu meninggalkan mereka dengan sejuta tanya dari mereka.
Seharusnya tidak seperti ini.
Bukankah aku telah jatuh hati kepada dua insan kini? Seharusnya itu cukup.
Lalu mengapa hatiku masih mengkhianatiku dan menguarkan rasa yang ada di masa lalu? Sepatutnya aku sudah membuang segala asa ini. Asa terhadapnya dan asa akan masa lalu indah itu. Seharusnya dia sudah kutinggalkan jauh – jauh di belakangku. Lalu mengapa asa itu timbul lagi?
Apakah hanya karena sebuah lagu?
Atau karena hatiku tau dia berada tidak jauh dariku?
Tidak. Pasti karena lagu itu.
Hatiku hanya ingat sesaat. Ya, aku mempercayaimu hati. Pasti ini hanya sesaat.
Tolong jangan khianati aku lagi.
Aku tak tau sekarang jam berapa, aku hanya ingin tidur dan kembali ke villa. Setelah tadi berlari dari mereka dan mencapai pantai yang entah sejauh mana dari villa, skarang aku berjalan pulang. Aku lelah, ragaku lelah, hatiku lelah.
Setelah melangkah beberapa menit akhirnya aku tiba. Aku hendak masuk ketika suara berdeham terdengar dari kiriku. Aku menoleh.
“badu?”
“Ya, ini aku.”
“Kau sedang apa disini?”
“Menunggu seseorang yang entah kenapa tiba tiba saja kabur tadi”
Keningku berkerut, “Kau menungguku?”
Mendengar pertanyaanku barusan membuatnya tersentak, “Aku tidak sedang menunggumu. Aku menunggu orang lain”
“Orang lain siapa?”
Dia berpikir sejenak, “ Yang penting orang. Kau tak perlu tau siapa. Masuk saja sana, aku masih mau menunggunya.”
Aku merasa ada yang aneh padanya. Memangnya siapa lagi orang yang tadi kabur selain aku?
“kalau begitu aku temani deh” putusku akhirnya sembari duduk di sebelasnya, hal yang dulu tabu bagi kami berdua.
“Tak perlu. Kau pasti capek. Tidur sajalah”
Aku menggeleng, “Aku akan menemanimu. Setidaknya kau takkan kesepian disini”
Dia melirikku sejenak, “Terserah kamu sajalah”
Hatiku berbunga melihat tingkahnya kini. Pikiran akan lelaki di masa lalu itu tiba – tiba saja buyar dan menghilang.
“Tau caranya nyanyi,kan?” tanyanya tiba – tiba sembari mencoba coba memetik gitarnya.
“Mau ngajak aku nyanyi? Biasanya ngajak Candra”
“Trus kamu mau ngapain sekarang? Ngobrol? Ngobrolin apa? Lagian aku belum pernah nyanyi berdua bareng kamu”
Deg. Ucapannya barusan membuat pipiku memerah.
“Mau nyanyi gak?”
Aku segera saja mengangguk kegirangan. Dia lalu tersenyum dan mulai memetik gitarnya.
Malam itu kami nyanyi berdua bersama malam itu, dan hingga fajar menjelang orang lain yang ia tunggu tak jua datang.
#TBC#
masa lalu emangnya ada apa si? Bikin penasaran.
baca nanti yee tees. save dulu
@3ll0 Iyaa, nanti ada part tersendiri
@Unprince
Part 4
Aku terjaga, ketika aku mendengar cekikikan dari berbagai arah. Aku mengucek mataku lalu memperjelas penglihatanku. Dan yang kulihat adalah Lima manusia dengan cengiran – cengiran penuh curiga.
“Cie cie, yang dulunya sering berantem skarang udah asik berduaan aja” Candra terkikik.
Aku belum sepenuhnya mengerti maksudnya hingga kemudian aku tersadar bahwa kini aku sedang bersandar pada Badu yang masih terlelap. Sontak aku kaget dan langsung berdiri.
“Udah benar-benar baikan ternyata” Ucap Martin dengan wajah sumringah. Ia terlihat senang melihat aku dan Badu begini, tapi entah mengapa aku menginginkan yang sebaliknya. Aku ingin dia cemburu, agar aku bisa memastikan perasaannya. Tapi lihatlah dia, senyumnya yang lebar tersungging bahagia.
“Sudah berani romantis romantisan skarang ternyata. Padahal dulu saling menyalak, eh tau tau skarang udah kayak suami istri saja” Ucap Tomi yang disusul dengan gelakan tawa.
“Terserah kalian sajalah” lama lama aku merasa kesal juga melihat mereka menertawai aku dan Badu.
Tiba – tiba Badu terbangun dan tersadar juga bahwa kini bukan hanya ada kami berdua lagi. “Kalian mengapa tertawa begitu?” tanyanya polos kemudian.
Sebelum mereka menjawabnya dengan ejekan lagi, aku sudah masuk ke dalam villa dan bergegas mandi.
Matahari sudah membumbung tinggi saat aku keluar dari kamar. Di ruang tamu, Badu dan Candra bernyanyi bareng lagi seperti biasanya. Terkadang jika aku memperhatikan, rasanya ada sesuatu yang aneh antara Badu dan Candra. Bukannya berburuk sangka, hanya saja sejak semester 1 mereka sering kali menghabiskan waktu berdua dibanding yang lain. Kebanyakan mereka bernyanyi, namun tak jarang pula saling bercanda. Ya tapi kalo dipikir pikir wajar juga jika mereka dekat seperti skarang ini, diantara kami bertujuh hanya mereka berdua yang paling meminati dunia musik dan selera musiknya sama. Cocoklah, Badu sang gitaris dan Candra sang Vokalis. Sedangkan aku, suara pas-pasan dan minatnya ke sastra, mana klop sama mereka.
Tapi aku tidak cemburu. Sampai saat ini, aku menganggap batasan antara mereka masih bisa dimaklumi. Lagipula, aku memangnya siapa sampai sampai mencemburui Badu? Kata ‘teman’ saja bahkan mungkin tak pantas.
Aku berjalan saja melewati mereka, menuju dapur dimana chef Aji sedang meracik masakannya.
“Selamat pagi chef” sapaku sambil menepuk punggungnya.
“Hey pemimpi kecil, selamat pagi juga.”
“Sedang masak sarapan buat kita – kita ya?”
Dia mengangguk, “Mau bantu?”
Aku mengangguk saja, lagipula aku tak sedang punya agenda.
“Selamat makan” ucap kami berbarengan yang kemudian mulai menyantap makanan kami.
Rasanya? Jangan ragukan Aji, apalagi jika sudah dibantu oleh aku. Tambah sempurnalah masakan ini.
“Hari ini kita keluar yuk” tiba – tiba Jimmy berceletuk.
“Kemana?” Martin bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya.
“Pedesaan dekat sini. Bukannya Tomi pernah bilang kalo ada desa bersawah di sekitar sini?”
“Oh boleh boleh, gue belum pernah main ke sawah. Tau sendirikan kalo gue besarnya di kota” timpal Candra.
“Jauh gak?” tanya Aji.
“Ga jauh – jauh amat sih. Jalan kaki setengah jam udah nyampe.”
“Yaudah. Kita coba kesana deh, sekalian menimati aroma pedesaan” Jawab Aji.
Yang lain pun menyetujuinya, dan lima belas menit kemudian kami sudah berjalan kaki di jalan setapak menjauhi pantai. Di sepanjang jalan, pohon –pohon masih ramai tumbuh dimana – mana. Belum ada gedung, belum ada polusi. Segalanya masih asri dan alami. Jimmy, yang hobi dengan dunia fotografi, mulai memotret – motret alam sekitar kami dengan kamera yang tadi ia sempatkan untuk dibawa.
Seperti kata Tomi sebelumnya, dalam setengah jam lebih sedikit akhirnya kami tiba di sebuah pedesaan. Rumahnya berjajar dengan rapi, jalanan yang belum teraspal ramai oleh anak – anak yang bermain, dan keramahan penduduknya masih kental terhadap pengunjung. Kami melalui pedesaan ini dengan tenteram, tak ada kata tak aman dan segalanya terasa nyaman.
Sawah yang menjadi tempat tujuan kampiun terbentang di hadapan kami selepas pedesaan. Terlihat warga yang membajak sawah dan menanami padi.
“Selamat siang pak” tegur Martin ke salah satu warga. “Boleh kami ikut membantu?”
Pertanyaannya membuat kami semua tertegun. Membantu? Hal yang tak terlintas di pikiran kami.
“ Boleh, boleh. Silahkan saja kalau adek – adek sekalian mau ikut membantu.”
“Tidak mengganggukan pak?”
“Oh tentu tidak. Kami malah senang ternyata masih ada pemuda kota yang bersedia membantu kami bersawah”
“Oh baiklah pak”
“Lo serius mau bersawah, Tin?” colek Tomi yang tak menyangka Martin akan menawarkan diri seperti itu.
“Seriuslah. Terus kalian kesini mau ngapain? Foto foto? Gak kasian liat bapak ibu yang bekerja keras kayak mereka?”
“Iya sih, tapi lo seharusnya rundingkan dulu dong kalo anak – anak yang lain mau” Ucap Tomi.
Aku segera mengangkat tanganku,”Aku mau” ya, aku mau. Melihat bagaimana perhatiannya Martin terhadap warga disini membuatku takjub dan ingin ikut membantu.
Martin tersenyum kearahku,”Noh, si Prada aja mau. Kalian gimana?”
“Aku mau dong. Pengen ngerasain bersawah itu gimana?” jawab Candra semangat.
“Aku sih oke oke aja” timpal Badu.
Dan akhirnya yang lainpun tak dapat mengelak dan setuju.
“Aku tak pernah tau kalo bersawah bisa seasik ini” ucapku sambil menanam padi dengan berjalan ke belakang.
“Aku senang kamu menganggap ini menyenangkan” balas Martin yang juga sedang menanami padi.
“Tapi aku ga nyangka kamu bakal nawarin diri kayak tadi. Serius deh. Aku kagum banget sama kamu.”
“Ya sih. Awalnya ga terpikir, tapi tiba – tiba saja keinginan itu muncul saat aku melihat mereka bekerja bercucuran keringat. Rela kepanasan begini tanpa pernah merasa lelah.”
“Wah ternyata simpati kamu bagus juga Kamu keren pokoknya hari ini” Ucapku dengan mengangkat kedua jempolku padanya.
Ia menatapku nakal,”Cuma hari ini doang kerennya?”
“Hah?” aku gagu seketika, terkejut mendengar pertanyaannya barusan. Lalu segera menjawabnya, “Keren setiap hari kok. Hanya saja, hari ini kerennya bertambah”
Dia tertawa mendengar jawabanku,”Kamu bisa aja” dia mencolek daguku dengan tangannya yang berlumpur.
“Hey” tegurku tapi dia malah tertawa.
Segera saja aku membalas mencolek wajahnya dengan lumpur. Aku tertawa puas namun dia malah melumpuri bajuku lalu berlari. Aku yang tak terima pun segera mengejarnya, melemparinya dengan lumpur.
Entah muncul dari mana tiba-tiba Candra datang dan mengotori wajahku, spontan aku juga membalasnya. Yang lain pun ikut ikutan, hingga pecahlah perang lumpur di persawahan itu bersama derai tawa kami yang menggema.
Sore sudah tiba ketika akhirnya kami berhenti menanami sawah, pastinya setelah kami juga menghentikan perang lumpur kami, dan segera beristirahat di pondok dengan tubuh kotor penuh lumpur.
Para warga itu berterimakasih meski sempat kesal dengan kekonyolan kami dan menyuruh kami untuk membersihkan diri di kolam kecil dekat sawah. Sebelum pergi membersihkan diri, kami mengabadikan momen ini melalui kamera Jimmy. Berkali kali foto hingga lutut kami melemas.
Candra membanting tubuhnya di sofa setelah berlama lama mandi. Hanya ada aku, Badu, dan Aji yang sibuk melihat hasil kamera di ruangan itu. Yang lain sudah terlelap kelelahan.
“Capeknya” keluhnya. “Ternyata bersawah tidak semudah yang kubayangkan”
“Ya tapi menyenangkan sekali” ucap Badu sembari melirikku.
Aku melirik ke arah lain,”Ya menyenangkan”
“Du, nyanyiin satu lagu dong buat gue.” Ucap Candra sambil bangkit berdiri lalu mengambil gitar milik Badu.
“Capek nih Dra” tolak Badu.
“Ayo dong. Satu aja deh” pintanya lalu menyodorkan gitarnya Badu. “Ya, ya. Gue perlu dihibur nih biar capek gue hilang”
“Iya deh. Lagu apa?”
“Lagu Bryan Adams yang lo nyanyiin pas malam tahun baru kemarin. Enak banget pas lo bersendung di lagu itu”
Badu melirikku lagi entah untuk apa, namun aku pura pura tidak sadar. Bukan karena tidak mau, hanya saja aku malu jika ia terus terusan melirikku seperti itu.
“Oke” jawab Badu akhirnya.
Ia kemudian mulai bernyanyi, menyanyikan lagu yang sama ketika dia meminta maaf padaku di malam tahun baru, membuatku merasa santai seketika. Nyaman, aku sangan nyaman mendengarnya. Sedangkan Candra hanya senyum senyum, memperhatikan Badu yang bermain dengan begitu merdunya.
Ketika dia selesai dia menepukku,”Mau request lagu juga?”
Aku menggeleng dengan hati terlena,“Ga usah, kamu kan sedang capek. Sebaiknya kamu istirahat aja”
“Okelah” dia meletakkan gitarnya lalu beranjak pergi.
“Kalo gitu, gue tidur duluan juga ya” Candra ikutan pergi meninggalkan aku dan Aji.
Aji melirikku, “Foto lo yang pas di pantai ini keren Da”
Ia menunjukkan sebuah foto di layar padaku. Ada aku yang membelakangi kamera, berdiri di atas permukaan pasir dan memandang jauh ke laut. Matahari yang tenggelam saat itu membuat langit memerah, begitu juga lautnya. Ya, pemandangan pada foto ini memang luar biasa indah.
“Keren juga kalo Jimmy ngambil foto” ucapku setuju.
Dia melihatku heran,”Ini bukan Jimmy yang ngambil. Saat itukan dia sedang bantu gue masak di dapur. Kapan bisa ngambil nih foto.”
“Trus siapa dong?”
Dia mengangkat kedua bahunya,”Gatau gue. Nih kalo lo masih mau liat – liat” dia menyodorkan kamera itu padaku.
“Mau tidur juga?” tanyaku sambil mengambil kameranya.
“He-eh, udah ngantuk. Gue duluan yah”
Aku mengangguk lalu mulai melihat foto foto kami ketika sedang kotor kotornya di sawah. Benar benar meneduhkan hati. Aku yakin akan merindukan momen momen seperti ini jika nanti kami sudah berpisah. Momen bersama mereka ini, takkan bisa kulupa.
Melihat berbagai ekspresi kami membuatku tertawa sendiri. Melihat wajah Badu yang konyol di setiap foto juga membuatku tertawa. Melihat ekspresi Martin yang begitu meneduhkan juga membuatku tertawa. Ya, aku tertawa. Melihat mereka berdua, aku tertawa.
#TBC#