It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
mention aku ya??
Part 6
Mentari sudah membumbung tinggi ketika aku dan yang lainnya, termasuk Joni dkk, berjalan kaki menuju lautan di ujung pantai. Rencana yang langsung dicetuskan oleh Joni dan langsung pula disetujui yang lain. Aku ikut-ikut saja.
Made, lelaki di masa lalu itu, bertingkah seolah tak pernah mengenaliku. Ia melewatiku saja semalam tanpa menegur sapa sekalipun. Ia bagai teman lama yang memandang asing ke arahku, layaknya tak pernah bercakap. Aku juga tak menegurnya dan diam, berusaha tidak memandangnya.
‘Anggap saja angin lalu! Anggap saja angin lalu!’ berkali-kali kuingatkan diriku.
Karena jika dia menganggapku sebagai orang asing, maka tak pelak akupun begitu.
Mungkin apa yang pernah dia katakan dulu memang benar. Dia secepat angin. Secepat ia datangnya, secepat itu pula perginya. Menerpa hanya sejenak namun memberi sejuk buatku rindu. Dan berhembus ke tempat lain lagi, setelah kuterbuai olehnya.
Dia memang angin, dan aku pohonnya. Diam ditempat kala termakan rayuan dan menikmatinya bagai orang tidak tahu diri. Kendati daun-daunku berguguran karenanya, aku tak menuntut. Karena aku tak dapat menyangkal bahwa aku menyukai gugur itu. Selama ia menghembusiku, aku merasa aku akan terus baik-baik saja. Menyentuh setiap permukaanku, tak biarkan setitikpun terlewat. Namun setelah puas, ia melangkah pergi. Meninggalkanku yang diam dan tak mampu berbuat apa-apa.
Ia pergi namun kini kembali lagi. Menerpaku, mengusikku kembali.
Mereka segera saja memasuki air setelah kami tiba. Merendam diri dalam sejuknya laut yang membiru. Aku hanya duduk di tepi pantai, menonton mereka bermain.
Badu tiba-tiba menghampiriku,”Ga berenang Da?”
Aku menggeleng. Lagi-lagi dada telanjangnya ia perlihatkan. Membuat hatiku gemas ingin merengkuhnya.
Ia lalu duduk disisiku.
“Ga berenang lagi Du?”
Ia menggeleng juga, “Kalo aku berenang, yang nemenin kamu siapa hah? Mau bego sendiri disini?”
Aku hanya tersenyum.
Kemudian hening hingga dia membuka suara.
“Kamu kenal Made ya?”
Aku tersentak,”Kenapa?”
“Ga. Cuma heran aja sama reaksi kamu semalam pas buka pintu.”
“Ga kenal kok Du.” Lanjutku.
“Oh, okelah.”
Lalu hening lagi, kami berkutat dengan pikiran kami masing-masing. Aku menonton mereka lagi. Mereka yang asyik bermain air, mereka yang seru-seruan. Namun ada yang janggal, sadarku kemudian. Martin dan gadis teman Made, Rani, sedari tadi bersama terus. Janggal, karena Martin bukanlah tipe cowok yang mudah begitu saja akrab dengan cewek. Tapi yang kulihat kini, dia kelihatan asyik sekali dengan Rani.
Kejanggalan lainnya adalah hatiku tidak cemburu melihat keduanya. Seharusnya kan begitu jika kau menyukai seseorang. Aku malah merasa senang melihat mereka, bersyukur Martin menemukan seseorang yang bisa membuatnya merasa santai. Kelihatannya aku sekarang sadar betul rasaku ke Martin itu seperti apa. Setelah tanya sekian kali, kini kudapat jawabnya. Aku nyaman dan senang bersamanya karena aku menyukai kedewasaannya, menyukainya dalam arti tidak sebagai sepasang kekasih. Namun lebih ke hubungan antara adik kakak. Aku tak ragu lagi kali ini.
“Badu, Prada! Sini dong, jangan asik berduaan aja disitu.” Seru Candra tiba-tiba.
Aku dan Badu hanya menggeleng, menolak masuk air.
Langit memerah kala kami kembali. Mereka berjalan di depanku, sedangkan aku mengikut sendirian dari belakang.
Martin masih asik saja dengan Rani, tak terpisah bagai sudah terhubung kuat. Badu ngobrol dengan candra yang bermanja-manja, hal yang wajar bagi mereka sebenarnya tapi membuatku ragu akhir-akhir ini. Meskipun sebelumnya aku tak pernah curiga, namun kali ini hatiku seolah berkata lain. Melihat bagaimana Candra mencolek-colek Badu dan Badu mengacak-acak rambut Candra, hatiku tiba-tiba merasa sesak. Entah kenapa, namun aku merasa sesak melihat keduanya bercengkerama.
Aku segera mengalihkan pandangku ke langit, tak ingin keanehan ini berlanjut. Tapi tanyaku belum jua berhenti, kepalaku terus memproduksi pertanyaan tentang keduanya.
Bagaimana jika Candra menyukai Badu?
Bagaimana jika Badu menyukai Candra?
Bagaimana jika ada sesuatu diantara mereka?
Bagaimana jika.......
Tidak! Aku tak boleh berpikir hal seperti ini. Pasti tak ada apa-apa.
Pasti tak ada apa-apa.
Namun hatiku tetap berkata lain.
“Da, bantuin gue masak” Seru Aji dari dapur.
Aku tanpa babibu langsung menghampiri kepala chef.
“Mau gue bantuin apa?”
“Nih. Potong kecil-kecil.” Aji menyodorkanku sayuran yang langsung saja kukerjakan.
“Du. Petikkan gitar dong.” Terdengar Candra menyahut dari ruang tengah.
Hatiku seketika menjadi aneh lagi. Aku jadi tidak tenang dan ingin segera menyelesaikan pekerjaan ini.
“Lagu apa?” Tanya Badu, yang terdengar ke dapur.
“Stay with me.”
Lalu alunan gitar terdengar, disusul suara merdu Candra. Kolaborasi antara mereka menghasilkan perpaduan yang kontras dan indah, yang biasanya kupuji-puji namun kini malah membuat sesuatu didalamku terasa sakit. Menusuk didada dan entah kenapa membuatku ingin menangis.
Tanganku berhenti memotong sayuran, aku benar-benar tak bisa melanjutkannya dengan kondisi begini.
“Ji?” Panggilku.
“Hm?”
“Gue keluar bentar ya.”
Kakiku yang kini tiba tiba melemas segera melangkah, melewati Badu dan Candra yang sedang nyanyi berdua. Melihatnya langsung membuat sakit itu melebar. Aku berjalan kepantai yag gelap ditelan malam.
Sakit itu belum reda. Masih terasa meski sejuknya angin sudah menerpaku.
Aku benci keanehan ini. Aku benci merasa sakit begini. Dan aku merasa bodoh akan kebencian ini. Aku seketika terduduk diatas partikel pasir yang membasah oleh lautan. Aku merasa sakit itu kini sudah menghangat dan malah menguar melalui pelupuk mata.
Seharusnya aku sadar betul dari dulu bahwa ada konsekuensi dari rasaku ini. Bukan hanya harus bertahan karena rasa ini sulit terucapkan, namun aku juga harus tahan melihatnya berpadu dengan orang lain. Seperti apa yang barusan saja terjadi, aku seharusnya mampu menerimanya. Bukan malah menangis cengeng begini.
Tapi jujur aku iri dengan Candra yang punya suara indah seperti itu. Talenta yang serasi sekali dengan keahlian bermain musiknya Badu. Bukannya kayak aku yang hanya tau menulis atau merangkai kata.
Dan mungkin ini yang namanya ‘cemburu’.
Aku kembali memasuki villa, namun Aji ternyata sudah selesai dengan makan malamnya. Di meja makan sudah terhidang makanan-makanan khas Aji, enak dipandang mata dan enak dikunyah mulut. Disitu juga sudah ada Joni dkk yang ikut makan bareng. Rasanya berbeda sekali kini ketika tak hanya kami berlima yang ada di meja ini.
Aku duduk disebelah Martin yang di sebelahnya duduk Rani. Mereka masih asik saja mengobrol bahkan tak sadar kalau aku sudah duduk di sebelahnya mereka. Di sebelahku yang lain duduk Badu yang di sebelahnya ada Candra. Candra masih saja mengajak-ajak Badu menyanyikan sepotong lirik lagu, yang membuatku kesal. Didepanku ada Made yang memandang kearahku saja tidak. Ia malah memandang serong entah melihat apa. Cocok sudah tempat duduk kami malam ini. Sangat tidak menguntungkanku. Dan aku lagi-lagi hanya diam, bingung mau bagaimana.
“Dra, buat band aja.” Celetuk Irina, salah satu teman Joni, “Pasti keren. Ada loe yang jago nyanyi trus ada Made sama Badu yang jago main gitar. Pas tuh.”
Wajah Candra tiba-tiba sumringah,”Iya juga yaa. Gue setuju. Gimana du? Kamu mau ga?”
Kamu? Kok tiba-tiba bukan loe lagi? Tumben si Candra ngomongnya begitu.
“Aku terserah aja.” Jawab Badu sekenanya.
“Kamu mau ga De?” tanya Irina ke Made.
Made menggeleng,”Aku ga bisa.”
“Loh kenapa? Bukannya kamu mahir main gitar De?”
“Iya tapi aku ga mau menyelami dunia musik terlalu dalam. Apalagi kalo ngeband. Aku ga bisa.”
“Kok gitu sih? Sayang loh kalo talenta kamu ga diasah.”
Made menggeleng lagi,”Ga bisa Rin. Aku udah berhenti berharap lebih ke dunia musik. Semuanya udah berakhir.”
Jawaban terakhir Made membuatku bergidik. Aku mencoba meliriknya, melihat ekspresinya. Ia ternyata juga sedang menatapku, tidak dengan tajam namun sendu. Aku ingat tatapan itu.
“Seseorang sudah memupuskan harapanku.” Lanjutnya.
Dan aku merasa bersalah mendengarnya. Aku masih ingat masa itu, dimana ia putus asa dan memintaku mendukungnya. Segalanya berakhir memang saat itu.
Segalanya berakhir.
#TBC#