It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Part 5
Mentari pagi terbit secara perlahan. Membumbung sedikit demi sedikit, menyinari lautan dan pantai dimana aku kini berada. Aku duduk di atas permukaan pasir, membiarkan butirannya menyentuh kulit telanjangku. Kakiku tersapu sapu ombak hingga menyentuh betisku, menyalurkan rasa dingin melalui setiap partikelnya.
Hari ini aku tak melewatkan Sunrise, seperti yang telah kurencanakan sebelumnya. Aku bahkan sudah memijaki pantai ketika masih subuh. Belum ada siapa siapa, masih sepi namun memberiku ketenangan. Saat saat seperti inilah yang terkadang kurindukan dari kampung halamanku, melihat gelung gelung ombak di pagi hari, menghasilkan suara deburan khas pantai. Burung burung camar yang beterbangan lalu menukik ke lautan, menangkapi ikan ikan yang berenang terlalu tinggi. Semilir angin sepoi sepoi yang menerpa diri, segalanya benar benar membuatku rindu.
Tapi ke tempat ini, rinduku tidak lagi semenggebu gebu di hari kemarin. Perlahan terobati oleh apa yang kini sedang kunikmati. Tidak hanya itu, kehadiran sahabat – sahabatku juga ikut berperan dalam rindu ini.
Kuakui Tomi tepat sekali memilih tempat ini. Sepi namun indah. Hanya ada kami disini tapi segalanya berkesan. Meskipun sekarang bukan hanya kami lagi. Villa di seberang sana, tidak jauh dari villa Tomi yang sebelumnya kosong, sepertinya sekarang sudah terisi. Semalam ada sebuah mobil yang memasuki pekarangannya dan lampunya yang biasanya redup kini menerangi villa itu. Bukan masalah asalkan mereka tak membawa masalah.
“Another lonely time of Prada” celetuk seseorang dari belakangku.
Aku berbalik, dia Badu.
“Yeah, tapi sekarang tidak lagi. Kau sudah disini.” Aku tersenyum.
Ia duduk di sebelahku, dekat namun tidak benar benar dekat.
“Langit dan laut sepertinya menjadi tempat peraduanmu setiap hari” Ucapnya.
“Ya, sudah menjadi kebiasaanku”
“Kebiasaan yang cocok sekali dengan kepribadianmu”
Aku meliriknya, “Memangnya kepribadianku seperti apa hah?”
Dia menghembuskan nafasnya,”Ya kau taulah, such a boring personality”
Aku meninju lengannya tapi ia malah tertawa.
“Tapi meskipun begitu, kau orang yang menarik” lanjutnya.
Aku menunduk malu, lagi lagi tersipu karenanya. Bodoh, bodoh.
“Kau tidak mau melakukan hal lain? Hanya mau duduk duduk sampai bokongmu kesemutan?”
“Emang aku mau ngapain lagi?”
Dia berdiri,”Berdiri dulu, baru aku beritau hal lain apa yang bisa dilakukan disini”
Aku berdiri dengan heran,”Apa?”
Dia mendekatiku lalu tiba tiba saja dia mengangkatku. Kau tau, dia mengangkatku seperti pengantin pria mengangkati pengantin wanitanya. Kini wajahku mengenai dadanya yang bidang dan jantungku berdetak dengan cepat. Deg deg deg. Mau apa dia?
Dia kemudian berlari ke arah laut dengan senyum terkembang di bibirnya. Berlari hingga kakinya tenggelam selutut, lalu dengan sekuat tenaga dia melemparku. Aku terbang, melayang dari kedua tangannya. Dan dalam sekejap juga aku jatuh dan terbanting menembus air. Rasa dingin segera saja menyentuh kulitku.
Dia tertawa terbahak bahak, “Seperti itulah yang kumaksud”
Aku menatapnya kesal, meskipun detak jantungku masih belum stabil.
“Rese” teriakku.
Tawanya malah semakin kencang. Dia menertawai kekesalanku.
Aku bangkit lalu melangkah hendak keluar dari air. Namun dia menahanku, “Sudah mau selesai saja, padahal aku belum gabung”
Aku tertegun. Dia lalu membuka kaos oblongnya lalu melemparnya ke permukaan pasir. Tubuhnya, untuk pertama kalinya aku melihat dada telanjangnya. Detak itu kini semakin cepat, dua kali lebih cepat dari yang tadi.
Dia menatapku nakal, lalu menarikku ke tengah, ke kedalaman yang melebihi ketinggian kami. Kami sekarang berenang berdua, dengan dia yang masih tertawa dan aku yang terdiam. Diam bukan karena kesal, namun karena hatiku tak mampu lagi kukendalikan. Bahkan air yang tadinya dingin, sekarang terasa tak dingin lagi. Hangat yang menguar dari hatiku, sepertinya telah ikut membunuh rasa dingin itu. Tapi sepertinya hangat yang mendatangiku terasa berbeda. Aku meliriknya.
Ia malah cengengesan, “Hangat ya?” tanyanya polos.
“Emang kenapa?”
“Aku barusan buang air kecil” dan ia tertawa lagi.
Sepertinya bukan hanya hangat dariku yang membunuh dingin ini, ternyata dia juga menguarkan hangatnya.
Dia mengeringkan rambut basahku dengan baju keringnya berkali kali, hingga tak ada lagi air yang mengalir ke pelipisku. Kami sekarang sedang berjalan kembali ke villa. Dia berjalan di belakangku sambil mengeringkan rambutku. Katanya biar aku gak kedinginan lagi. Aku sih tak peduli alasannya, aku sekarang semakin senang dengan perlakuannya.
Tiba tiba ia berhenti.
“Ada apa?” tanyaku seraya berbalik menghadapnya.
Tanpa berkata dia melempar baju setengah basahnya itu ke arahku lalu menunjuk rambutnya. Aku hanya mendengus saat mengerti lalu mendekatinya, berdiri hadap hadapan dengannya. Tinggiku hanya sedagunya sehingga aku harus mengangkat tanganku ke atas untuk mengeringkan rambutnya.
“Sudah” ucapku beberapa detik kemudian.
Ia menatapku lalu entah sengaja atau tidak, bibirnya mengenai keningku. Wajahku kontan memerah. Ia mengecup keningku.
“Sorry, ga sengaja” ucapnya dengan sengiran nakalnya. Lalu ia berlari pergi menuju villa, meninggalkanku yang terdiam.
Dia baru saja menciumku. Ciuman pertamanya ke aku. Entah sengaja atau tidak, aku tak memikirkannya lagi. Kini hatiku berbunga bunga. Oh my God, dia baru saja menciumku!!!
Martin menghampiriku yang kini sedang asik melamun di teras. Mereka reka ulang kembali momenku bersama Badu yang begitu mendebarkan. Ia melangkah dengan lesu, entah ada apa dengannya. Ia duduk di sisiku.
“Hey, kok lesu begitu?” tanyaku.
Ia hanya tersenyum,”Ya gitu. Sejak semalam kepalaku pening terus.”
“Kamu sakit?” tanyaku kini khawatir. Aku hendak menempelkan punggung tanganku ke keningnya namun ia menghalaunya.
“Aku ga sakit”
Aku menatapnya heran, tidak biasanya ia seperti ini. Kami terdiam beberapa saat, lalu aku memecah keheningan yang mulai tercipta diantara kami.
“Ada apa Tin? Ada sesuatu yang mengganggumu?” tanyaku hati hati.
Ia melirikku lalu menggeleng, “Aku baik kok”
“Benarkah?”
Ia mengangguk saja.
“Em, tau gak? Aku punya saudara juga, yang kalo galau itu wajahnya mirip banget sama kamu yang sekarang” ucapku mengikuti gayanya di awal semester 1.
Ia melirikku lagi.
“Lesu, lunglai, lelah, keliatan lapar” ucapku.
Mendengarnya, ia tersenyum,”Ga sekalian aja 5L kayak yang di iklan”
Aku ikut tersenyum,”Kamu sih, wajahnya gitu. Buat aku khawatir saja.”
“Aku ga apa apa kok. Harusnya yang dikhawatirin itu kamu. Pagi pagi udah berenang, ga dingin? Nanti kalo kamu sakit gara gara kedinginan gimana?”
“Ga apa apa kali Tin. Aku ga mudah sakit kok.”
“Terserah” ucapnya kesal. Dia bangkit berdiri, namun kemudian dia jatuh. Wajahnya kini pucat.
Aku terkejut lalu mencoba mengangkatnya, namun dia lebih berat dari perkiraanku. Aku segera memanggil yang lain untuk membawanya ke kamar.
Dia ternyata sakit. Dia demam dan aku tak menyadarinya. Dan aku kini benar benar khawatir.
Ia kini sedang tertidur. Ada aku dan Candra yang menjaganya. Tomi dan Badu sedang membelikannya obat, Aji dan Jimmy sedang membuatkannya bubur di dapur.
“Da” Panggil Candra yang duduk bersebrangan denganku.
“Ya, Ndra?”
“Em, tadi ga ngajak ngajak ya kalo mau berenang. Asik berdua aja”
Aku meliriknya, heran dengan pernyataannya barusan.
“Tadi berenangnya ga direncanai Dra. Ga sengaja kecebur tadi, ya daripada basahnya setengah setengah, mending sekalian berenang aja” jawabku seadanya.
“Ya, tapi setidaknya manggil kek. Kan kalo rame lebih seru”
“Maaf deh kalo gitu, abis si Badu main tarik aja tadi. Jadi ga kepikiran”
Ia mengangguk saja.
“Tapii ngomong ngomong, sekarang lo sama Badu udah dekat banget ya. Ga kayak dulu.”
“Tapi lebih baik gitu kan?”
“Ia sih tapi ga nyangka aja. Kirain dulu bakal perang mulu sampai wisuda” ia tertawa.
“Iya. Dulu gue juga mikirnya gitu”, itu kata ‘gue’ yang pertama kali diucapkan sepanjang hidup gue. Yang barusan yang kedua.
“Tapi kok bisa dekat gitu ya?” tanyanya lagi.
Aku sebenarnya tidak mengerti mengapa dia menanyakan hal tidak penting seperti ini. Tapi aku juga ga mungkin ga ngejawab pertanyaan dia.
“Gatau juga” jawabku akhirnya.
Dia diam lagi, seperti orang berpikir,”Em, menurut lo cinta itu kayak gimana sih?”
“Lo lagi jatuh cinta ya?” aku meliriknya usil.
Dia menunduk,”Ga. Cuma nanya aja”
Bohong. Keliatan banget bohongnya. Dia pasti lagi jatuh cinta. Tapi sama siapa?
“Jawab dong Da”
“Eh iya. Menurut gue, cinta itu semacam perasaan lo ke seseorang”
“Itu juga gue tau kali Da, maksud gue cinta yang sebenarnya loh” ucapnya jengkel.
Aku berpikir, Cinta itu apa ya? Pikirku melayang ke periode periode yang tak lagi terjamah, mengintip ke ruang yang tak lagi berada. Akhirnya, aku menjawabnya.
“Menurut gue, cinta itu satu rasa yang entah darimana datangnya, tiba tiba aja tumbuh di hati lo. Mekar tiap kali lo dekat sama orang yang lu suka, terasa hangat tiap kali lo merasa nyaman dan deg degan. Lo ga butuh alasan, yang lo tau Cuma lo punya cinta. Lo rasain itu dalam kubangan tanda tanya. Kalo di misalkan sih, cinta itu kayak angin. Lo ga bisa liat, ga bisa cium, ga bisa raba. Namun lo tau dia ada. Lo merasakannya meski mata lo buta karenanya”
Dia tertegun.
“Kok lo bisa tau gitu?”
Aku tersenyum,”Ada masa lalu yang memberitahu”
Dan dia tak bertanya lagi, hanya diam dalam alam pikirnya.
Mereka datang tak lama setelah Candra keluar dari kamar. Badu menyerahkan obatnya kepadaku, Aji juga tadi sudah mengantar buburnya kesini.
“Eh, lo tau gak Da? Barusan gue ketemu sama penghuni villa sebelah.” Celetuk Tomi.
“Oh ya? Lo kenal gak?”
“Ga sih tapi mereka satu universitas sama kita. Cuma beda fakultas. Mereka dari fakultas teknik. Mereka ada berlima. Tiga cowok, dua cewek. Mereka seangkatan juga sama kita.”
“Baguslah.”
“Trus mereka juga bakal kesini nanti malam. Biar tambah akrab gitu.”
“Baguslah” jawabku sekenanya, pertanda aku sedang malas mengobrol dengannya.
Dan akhirnya dia keluar, mungkin dia sadar. Badu hanya menatapku tanpa kata lalu kemudian keluar.
“Tin? Bangun. Makan.” Aku menggoyang goyangkan tubuhnya.
Ia terbangun,”Suapin tapi”
“Iya”
Aku menyuapinya bagai anak kecil disuapi orangtuanya.
“Maaf ya udah buat kamu kerepotan” ucapnya sesaat setelah ia mengonsumsi obatnya.
“Ga apa apa. Aku ga merasa direpotin kok. Aku malah senang, karena aku yang menjagamu”
Ia tersenyum,”Aku juga senang kamu berada disini”
Ia menggenggam tanganku lembut,”Thanks” ucapnya.
Aku tersenyum lalu balas menggenggam jemarinya, dalam rasa nyaman. Ia lalu tertidur dengan terus bergenggaman denganku.
Sudah malam ketika aku dan Martin keluar dari kamarnya. Ia sudah baikan meski harus beristirahat lebih lagi. Namun dia bersikukuh keluar untuk menyapa tetangga kami yang akan berkunjung.
“Mereka blum datang?” tanya martin.
Tomi menggeleng, “Sebentar lagi mungkin”
Tiba tiba bel pintu berbunyi. “Itu mereka” ucap Tomi antusias lalu membukakan pintu.
Mereka sudah berdiri disana, tapi mereka hanya berempat. Mereka segera bergabung duduk bersama kami lalu saling memperkenalkan diri.
“Oh ya? Bukannya tadi kalian berlima?” Tanya Tomi kemudian.
“Iya. Yang satunya bakal nyusul kok” jawab si cowok yang bernama Joni.
Mereka memulai pembicaraan dengan kami dan kami menanggapinya dengan baik. Setengah jam setelah kami mulai berbincang, bel pintu kembali berbunyi.
“Da, bukain dong. Lagi asik cerita nih” ucap Tomi.
Aku hanya mengangguk lalu segera melangkah menuju pintu. Bel yang kedua berbunyi dan aku membukakan pintu.
Waktu berhenti. Segalanya menjadi statis. Aku diam, memandang lelaki yang kini berdiri dihadapanku. Lidahku kelu dan lututku melemas. Tak ada kata, hanya bertatap mata.
Hingga kemudian salah seorang dari mereka berseru, “Itu yang namanya Made”
Hatiku berdetak, lagi lagi berdetak.
#TBC#
Masa lalu Prada ya? Sampe jadi patung begitu xD
Made seseorang dari masa lalu Prada Kah?