It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
lanjuutin donk kk'!!
lanjuutin donk kk'!!
@PeterWilll siip
@PeterWilll siip
Rasa takut itu seakan menghampiri ku, sejauh yang ku tahu aku tak pernah memintanya untuk kembali. Dulu aku hanya meminta ia tetap menjadi sahabat ku walau ia tak mencintaiku. Bahkan dengan sangat jelas aku melihat dia pergi begitu saja tanpa menoleh lagi kepadaku yang hanya bisa terpaku menatap kepergiannya.
Salahkah sekarang jika aku membenci perasaan ku yang dulu, prasaan ku yang entah sudah ada dimana sekarang yang malah menjadi penghancur akan hubungan ku yang sekarang.
Aku benci telah mencintainya, aku benci pernah mengakuinya.
Dirga melajukan mobil bagai orang kesetanan. Tahukah dia, aku terlalu takut akan tingkahnya. Aku takut atas apa yang akan terjadi pada hidup ku besoknya. aku takut takdir mulai mempermainkan ku. Aku takut orang yang ku cintai akan terluka.
Pegangan ku pada mobil itu semakin kuat bahkan sekarang bisa dikatakan, aku sudah mulai mencengkramnya. Bukan kematian yang ada di depan mataku yang ku takuti tapi tangisan dari orang-orang yang kucintai.
“Kau tidak perlu membahayakan kita seperti ini. jika ingin membunuhku, tancapkan saja pisau di jantung ku atau kau bisa saja mendorong ku direl kereta api. bukankah itu lebih baik?” Suara ku terdengar bergetar. Aku berucap tanpa menoleh kearahnya.
Aku tahu ia mendengar ku, kurasakan laju kendaraan agak melambat tapi tak bisa disebut pelan. Dia menatap ku lewat ekor matanya. Mata hazelnya, aku selalu suka tatapan sayunya tapi itu dulu.
“Jika ingin membunuhmu, maka aku juga harus ikut serta dengan mu. Tapi sayangnya aku tak berniat mengakhiri nyawa pemuda yang ku cintai selama beberapa tahun ini.” Aku jelas sangat tidak salah dengar, tapi kenapa harus sekarang kata-kata itu keluar. Aku menginginkan ia mengucap kan kata itu, lima tahun yang lalu bukan sekarang saat hatiku telah dimiliki oleh orang lain yang bahkan baru kusadari saat kehadirannya.
Aku mencoba tak mendengarkan karena menurut ku itulah cara terbaik. Berpura-pura jauh lebih mudah bagiku.
“kamu membawaku terlalu jauh dari rumah. Mama tidak suka aku pergi tanpa pamit.” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Kamu hanya mencoba tak menggubris ucapan ku. Aku tahu kamu mulai mencintai pemuda itu. tapi izinkan aku memperjuangkan sisa-sisa hatimu untukku.”
“Itu tak akan merubah apapun Ga, Aku sudah tak menginginkanmu lagi sekarang. Mengertilah aku mencintai dia. Aku tak ingin ia terluka, sungguh menjauhlah dariku.” Suaraku penuh dengan penekanan.
Dirga menghentiikan mobil tepat saat lampu merah. Aku melihat dia membuka sabuk pengamannya dan dengan lancangnya dia menyambar bibir ku. Aku berusaha mendorongnya tapi lagi-lagi ia berhasil meraih bibir ku. Kedua tangannya membingkai wajah ku. Aku sungguh tak menikmati ciuman ini.
“Bangsat kau sudah tidak waras!” Aku membentaknya saat aku sudah berhasil mendorongnya sekeras mungkin. Dia sadar, dan mulai duduk seperti semula. Aku membuka sabuk pengaman dan dengan kesal membuka pintu mobil tapi Dirga menahan tanganku dan menarikku untuk masuk kembali lalu dengan cepat pintu mobil kembali tertutup.
Dirga menatap ku begitu lekat, membuat sesuatu yang coba kutahan runtuh seketika. Tuhan dosakah aku menghianti kekasihku.
Aku merasakan bibir hangat Dirga mengulum bibir ku membuat aku tak bisa untuk tidak membalasnya. Runtuh sudah segalanya hatiku mendukung untuk ku membalasnya. Aku memegang rambut belakang Dirga. mendorong kepalanya untuk memperdalam ciuman kami.
“Aku tahu perasaan itu masih kuat.” ucapan Dirga hanya bisa ku jawab dengan anggukan karena ia kembali mengulum bibirku.
Mencium orang yang bukan kekasih kita apakah membuat kita menjadi jalang? jika iya. maka aku sungguh pantas disebut jalang.
***
Kenapa seolah takdir mempermainkan ku. Sehebat itukah takdir mengatur hidup ini. Tiada yang lebih kejam dari takdir. Aku mulai benci dengan yang namanya takdir, aku hancur karena permainan takdir yang tak punya perasaan.
Setelah aku mencoba cinta yang baru kenapa harus di uji dengan yang lama. Takdir, aku sengsara disini bantu aku keluar dari lubang ketidakpastian ini.
Tak bisakah aku sendiri yang mengatur hidup ku tanpa ikut campur tangan tuhan, aku tak suka orang lain ikut campur akan hidupku tapi tuhan bukanlah orang lain.
Mataku seolah mengatakan kalau apa yang kulihat bukanlah kenyataan nya. ini hanyalah permainan hati, aku tinggal pergi saja. Tak ada yang merantai kakiku ataupun mengikat tubuhku. Bahkan Dirga hanya menatap dari jarak yang bisa di bilang agak jauh.
Tapi aku bukanlah orang yang mudah mengabaikan kenyataan yang sudah ada didepan ku. Aku tidak mungkin mengabaikan kalau ternyata persepsi ku selama ini salah. Aku salah karena mengira Dirga meninggalkan ku selama lima tahun ini. Nyatanya ia tetap bersama ku selama ini.
“Aku paling suka foto yang ada di dekat mu itu. Saat itu kamu sedang di taman bersama teman mu yang ku ketahui bernama Alin. Aku melihat kamu bahagia di sana. Aku suka saat lihat kamu bermain dengan anak-anak itu.” Ceritanya hanya membuat miris hatiku.
Seluruh ruangan itu berisi semua foto ku. mulai dari kampus, rumah, sampai tempat yang sering aku datangi bersama Alin ataupun mama. dia mengikutiku selama ini, bisakah aku mempercayai semua itu. Dia hanya menatap ku dari jauh saat aku setiap harinya hanya menghakiminya karena meninggalkanku.
“kenapa kamu lakuin ini Ga?” Pertanyaanku syarat dengan keputusasaan. Kutatap ia yang masih setia menyandarkan punggungnya di dinding.
“Karena aku cinta.”
“kalau cinta kenapa pergi!” suaraku lantang kali ini. Aku sungguh sudah muak dengan permainan takdir ini.
“Aku tidak pernah meninggalkanmu.”
“kamu pikir mudah apa pergi dan datang sesuka hatimu. kamu pikir hatiku mainan mu. Kamu tidak tahu gimana hancurnya aku saat itu? Tahukah kamu kalau aku berharap kamu mati saat itu agar hatiku tidak perlu lagi menangisimu.” Airmata ku mengalir tanpa kusadari. dadaku terasa perih sekarang.
“maaf. Aku hanya tak bisa mengiyakan ucapan mu waktu itu. Aku terlalu takut kamu terluka. Aku sangat mencintaimu hingga aku tak bisa membuat mu tersakiti.” Kulihat ia menunduk.
“apa dengan mengatakan iya kamu melukaiku? begitukah?”
“kamu hanya tak mengerti.” Dia menatap ku membuat ku bisa melihat mata hazelnya syarat dengan penyesalan.
“Aku tidak mun gkin mengerti jika kamu tidak mengatakannya.” suara ku putus asa.
Dirga menggeleng. Aku hanya bisa mendesah. Cukup sudah.
***
Haruskah kukatakan kalau tuhan tak adil padaku. Haruskah ku yakini kalau tuhan itu tak pernah ada. Kalau tuhan itu ada kenapa dia buat aku hancur tak bersisa.
Tuhan dimanakah kau saat aku membutuhkanmu. Tidak sayangkah kamu padaku tuhan. Aku juga hambamu kan.
Aku membuka pintu mobil dengan tangan gemetar. Aku tidak tahu kemarahan macam apa yang akan aku terima darinya. Atau inilah akhir kisah ku dengannya. Semudah inikah hubungan yang baru kujalani akan hancur.
Tatapan syarat dengan amarah, aku yakin ia tak butuh penjelasan. Tapi aku tetap ingin menjelaskannya. aku tetap ingin mengatakan kalau hanya dia yang aku cintai. Pria yang ada di sampingku ini hanyalah kisah masalalu.
“Aku kecewa.” Hanya itu ucapannya dan dengan mudahnya ia meninggalkan ku tanpa mau menunggu ku membuka suaraku. Aku ingin mengutuk takdir sekarang.
Aku belum terlambat, Aku mencoba mengejarnya. berlari keluar komplek rumah ku dan menaiki taksi. Aku harap aku tak terlambat.
Rasa takut itu seakan menghampiri ku, sejauh yang ku tahu aku tak pernah memintanya untuk kembali. Dulu aku hanya meminta ia tetap menjadi sahabat ku walau ia tak mencintaiku. Bahkan dengan sangat jelas aku melihat dia pergi begitu saja tanpa menoleh lagi kepadaku yang hanya bisa terpaku menatap kepergiannya.
Salahkah sekarang jika aku membenci perasaan ku yang dulu, prasaan ku yang entah sudah ada dimana sekarang yang malah menjadi penghancur akan hubungan ku yang sekarang.
Aku benci telah mencintainya, aku benci pernah mengakuinya.
Dirga melajukan mobil bagai orang kesetanan. Tahukah dia, aku terlalu takut akan tingkahnya. Aku takut atas apa yang akan terjadi pada hidup ku besoknya. aku takut takdir mulai mempermainkan ku. Aku takut orang yang ku cintai akan terluka.
Pegangan ku pada mobil itu semakin kuat bahkan sekarang bisa dikatakan, aku sudah mulai mencengkramnya. Bukan kematian yang ada di depan mataku yang ku takuti tapi tangisan dari orang-orang yang kucintai.
“Kau tidak perlu membahayakan kita seperti ini. jika ingin membunuhku, tancapkan saja pisau di jantung ku atau kau bisa saja mendorong ku direl kereta api. bukankah itu lebih baik?” Suara ku terdengar bergetar. Aku berucap tanpa menoleh kearahnya.
Aku tahu ia mendengar ku, kurasakan laju kendaraan agak melambat tapi tak bisa disebut pelan. Dia menatap ku lewat ekor matanya. Mata hazelnya, aku selalu suka tatapan sayunya tapi itu dulu.
“Jika ingin membunuhmu, maka aku juga harus ikut serta dengan mu. Tapi sayangnya aku tak berniat mengakhiri nyawa pemuda yang ku cintai selama beberapa tahun ini.” Aku jelas sangat tidak salah dengar, tapi kenapa harus sekarang kata-kata itu keluar. Aku menginginkan ia mengucap kan kata itu, lima tahun yang lalu bukan sekarang saat hatiku telah dimiliki oleh orang lain yang bahkan baru kusadari saat kehadirannya.
Aku mencoba tak mendengarkan karena menurut ku itulah cara terbaik. Berpura-pura jauh lebih mudah bagiku.
“kamu membawaku terlalu jauh dari rumah. Mama tidak suka aku pergi tanpa pamit.” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Kamu hanya mencoba tak menggubris ucapan ku. Aku tahu kamu mulai mencintai pemuda itu. tapi izinkan aku memperjuangkan sisa-sisa hatimu untukku.”
“Itu tak akan merubah apapun Ga, Aku sudah tak menginginkanmu lagi sekarang. Mengertilah aku mencintai dia. Aku tak ingin ia terluka, sungguh menjauhlah dariku.” Suaraku penuh dengan penekanan.
Dirga menghentiikan mobil tepat saat lampu merah. Aku melihat dia membuka sabuk pengamannya dan dengan lancangnya dia menyambar bibir ku. Aku berusaha mendorongnya tapi lagi-lagi ia berhasil meraih bibir ku. Kedua tangannya membingkai wajah ku. Aku sungguh tak menikmati ciuman ini.
“Bangsat kau sudah tidak waras!” Aku membentaknya saat aku sudah berhasil mendorongnya sekeras mungkin. Dia sadar, dan mulai duduk seperti semula. Aku membuka sabuk pengaman dan dengan kesal membuka pintu mobil tapi Dirga menahan tanganku dan menarikku untuk masuk kembali lalu dengan cepat pintu mobil kembali tertutup.
Dirga menatap ku begitu lekat, membuat sesuatu yang coba kutahan runtuh seketika. Tuhan dosakah aku menghianti kekasihku.
Aku merasakan bibir hangat Dirga mengulum bibir ku membuat aku tak bisa untuk tidak membalasnya. Runtuh sudah segalanya hatiku mendukung untuk ku membalasnya. Aku memegang rambut belakang Dirga. mendorong kepalanya untuk memperdalam ciuman kami.
“Aku tahu perasaan itu masih kuat.” ucapan Dirga hanya bisa ku jawab dengan anggukan karena ia kembali mengulum bibirku.
Mencium orang yang bukan kekasih kita apakah membuat kita menjadi jalang? jika iya. maka aku sungguh pantas disebut jalang.
***
Kenapa seolah takdir mempermainkan ku. Sehebat itukah takdir mengatur hidup ini. Tiada yang lebih kejam dari takdir. Aku mulai benci dengan yang namanya takdir, aku hancur karena permainan takdir yang tak punya perasaan.
Setelah aku mencoba cinta yang baru kenapa harus di uji dengan yang lama. Takdir, aku sengsara disini bantu aku keluar dari lubang ketidakpastian ini.
Tak bisakah aku sendiri yang mengatur hidup ku tanpa ikut campur tangan tuhan, aku tak suka orang lain ikut campur akan hidupku tapi tuhan bukanlah orang lain.
Mataku seolah mengatakan kalau apa yang kulihat bukanlah kenyataan nya. ini hanyalah permainan hati, aku tinggal pergi saja. Tak ada yang merantai kakiku ataupun mengikat tubuhku. Bahkan Dirga hanya menatap dari jarak yang bisa di bilang agak jauh.
Tapi aku bukanlah orang yang mudah mengabaikan kenyataan yang sudah ada didepan ku. Aku tidak mungkin mengabaikan kalau ternyata persepsi ku selama ini salah. Aku salah karena mengira Dirga meninggalkan ku selama lima tahun ini. Nyatanya ia tetap bersama ku selama ini.
“Aku paling suka foto yang ada di dekat mu itu. Saat itu kamu sedang di taman bersama teman mu yang ku ketahui bernama Alin. Aku melihat kamu bahagia di sana. Aku suka saat lihat kamu bermain dengan anak-anak itu.” Ceritanya hanya membuat miris hatiku.
Seluruh ruangan itu berisi semua foto ku. mulai dari kampus, rumah, sampai tempat yang sering aku datangi bersama Alin ataupun mama. dia mengikutiku selama ini, bisakah aku mempercayai semua itu. Dia hanya menatap ku dari jauh saat aku setiap harinya hanya menghakiminya karena meninggalkanku.
“kenapa kamu lakuin ini Ga?” Pertanyaanku syarat dengan keputusasaan. Kutatap ia yang masih setia menyandarkan punggungnya di dinding.
“Karena aku cinta.”
“kalau cinta kenapa pergi!” suaraku lantang kali ini. Aku sungguh sudah muak dengan permainan takdir ini.
“Aku tidak pernah meninggalkanmu.”
“kamu pikir mudah apa pergi dan datang sesuka hatimu. kamu pikir hatiku mainan mu. Kamu tidak tahu gimana hancurnya aku saat itu? Tahukah kamu kalau aku berharap kamu mati saat itu agar hatiku tidak perlu lagi menangisimu.” Airmata ku mengalir tanpa kusadari. dadaku terasa perih sekarang.
“maaf. Aku hanya tak bisa mengiyakan ucapan mu waktu itu. Aku terlalu takut kamu terluka. Aku sangat mencintaimu hingga aku tak bisa membuat mu tersakiti.” Kulihat ia menunduk.
“apa dengan mengatakan iya kamu melukaiku? begitukah?”
“kamu hanya tak mengerti.” Dia menatap ku membuat ku bisa melihat mata hazelnya syarat dengan penyesalan.
“Aku tidak mun gkin mengerti jika kamu tidak mengatakannya.” suara ku putus asa.
Dirga menggeleng. Aku hanya bisa mendesah. Cukup sudah.
***
Haruskah kukatakan kalau tuhan tak adil padaku. Haruskah ku yakini kalau tuhan itu tak pernah ada. Kalau tuhan itu ada kenapa dia buat aku hancur tak bersisa.
Tuhan dimanakah kau saat aku membutuhkanmu. Tidak sayangkah kamu padaku tuhan. Aku juga hambamu kan.
Aku membuka pintu mobil dengan tangan gemetar. Aku tidak tahu kemarahan macam apa yang akan aku terima darinya. Atau inilah akhir kisah ku dengannya. Semudah inikah hubungan yang baru kujalani akan hancur.
Tatapan syarat dengan amarah, aku yakin ia tak butuh penjelasan. Tapi aku tetap ingin menjelaskannya. aku tetap ingin mengatakan kalau hanya dia yang aku cintai. Pria yang ada di sampingku ini hanyalah kisah masalalu.
“Aku kecewa.” Hanya itu ucapannya dan dengan mudahnya ia meninggalkan ku tanpa mau menunggu ku membuka suaraku. Aku ingin mengutuk takdir sekarang.
Aku belum terlambat, Aku mencoba mengejarnya. berlari keluar komplek rumah ku dan menaiki taksi. Aku harap aku tak terlambat.
Rasa takut itu seakan menghampiri ku, sejauh yang ku tahu aku tak pernah memintanya untuk kembali. Dulu aku hanya meminta ia tetap menjadi sahabat ku walau ia tak mencintaiku. Bahkan dengan sangat jelas aku melihat dia pergi begitu saja tanpa menoleh lagi kepadaku yang hanya bisa terpaku menatap kepergiannya.
Salahkah sekarang jika aku membenci perasaan ku yang dulu, prasaan ku yang entah sudah ada dimana sekarang yang malah menjadi penghancur akan hubungan ku yang sekarang.
Aku benci telah mencintainya, aku benci pernah mengakuinya.
Dirga melajukan mobil bagai orang kesetanan. Tahukah dia, aku terlalu takut akan tingkahnya. Aku takut atas apa yang akan terjadi pada hidup ku besoknya. aku takut takdir mulai mempermainkan ku. Aku takut orang yang ku cintai akan terluka.
Pegangan ku pada mobil itu semakin kuat bahkan sekarang bisa dikatakan, aku sudah mulai mencengkramnya. Bukan kematian yang ada di depan mataku yang ku takuti tapi tangisan dari orang-orang yang kucintai.
“Kau tidak perlu membahayakan kita seperti ini. jika ingin membunuhku, tancapkan saja pisau di jantung ku atau kau bisa saja mendorong ku direl kereta api. bukankah itu lebih baik?” Suara ku terdengar bergetar. Aku berucap tanpa menoleh kearahnya.
Aku tahu ia mendengar ku, kurasakan laju kendaraan agak melambat tapi tak bisa disebut pelan. Dia menatap ku lewat ekor matanya. Mata hazelnya, aku selalu suka tatapan sayunya tapi itu dulu.
“Jika ingin membunuhmu, maka aku juga harus ikut serta dengan mu. Tapi sayangnya aku tak berniat mengakhiri nyawa pemuda yang ku cintai selama beberapa tahun ini.” Aku jelas sangat tidak salah dengar, tapi kenapa harus sekarang kata-kata itu keluar. Aku menginginkan ia mengucap kan kata itu, lima tahun yang lalu bukan sekarang saat hatiku telah dimiliki oleh orang lain yang bahkan baru kusadari saat kehadirannya.
Aku mencoba tak mendengarkan karena menurut ku itulah cara terbaik. Berpura-pura jauh lebih mudah bagiku.
“kamu membawaku terlalu jauh dari rumah. Mama tidak suka aku pergi tanpa pamit.” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Kamu hanya mencoba tak menggubris ucapan ku. Aku tahu kamu mulai mencintai pemuda itu. tapi izinkan aku memperjuangkan sisa-sisa hatimu untukku.”
“Itu tak akan merubah apapun Ga, Aku sudah tak menginginkanmu lagi sekarang. Mengertilah aku mencintai dia. Aku tak ingin ia terluka, sungguh menjauhlah dariku.” Suaraku penuh dengan penekanan.
Dirga menghentiikan mobil tepat saat lampu merah. Aku melihat dia membuka sabuk pengamannya dan dengan lancangnya dia menyambar bibir ku. Aku berusaha mendorongnya tapi lagi-lagi ia berhasil meraih bibir ku. Kedua tangannya membingkai wajah ku. Aku sungguh tak menikmati ciuman ini.
“Bangsat kau sudah tidak waras!” Aku membentaknya saat aku sudah berhasil mendorongnya sekeras mungkin. Dia sadar, dan mulai duduk seperti semula. Aku membuka sabuk pengaman dan dengan kesal membuka pintu mobil tapi Dirga menahan tanganku dan menarikku untuk masuk kembali lalu dengan cepat pintu mobil kembali tertutup.
Dirga menatap ku begitu lekat, membuat sesuatu yang coba kutahan runtuh seketika. Tuhan dosakah aku menghianti kekasihku.
Aku merasakan bibir hangat Dirga mengulum bibir ku membuat aku tak bisa untuk tidak membalasnya. Runtuh sudah segalanya hatiku mendukung untuk ku membalasnya. Aku memegang rambut belakang Dirga. mendorong kepalanya untuk memperdalam ciuman kami.
“Aku tahu perasaan itu masih kuat.” ucapan Dirga hanya bisa ku jawab dengan anggukan karena ia kembali mengulum bibirku.
Mencium orang yang bukan kekasih kita apakah membuat kita menjadi jalang? jika iya. maka aku sungguh pantas disebut jalang.
***
Kenapa seolah takdir mempermainkan ku. Sehebat itukah takdir mengatur hidup ini. Tiada yang lebih kejam dari takdir. Aku mulai benci dengan yang namanya takdir, aku hancur karena permainan takdir yang tak punya perasaan.
Setelah aku mencoba cinta yang baru kenapa harus di uji dengan yang lama. Takdir, aku sengsara disini bantu aku keluar dari lubang ketidakpastian ini.
Tak bisakah aku sendiri yang mengatur hidup ku tanpa ikut campur tangan tuhan, aku tak suka orang lain ikut campur akan hidupku tapi tuhan bukanlah orang lain.
Mataku seolah mengatakan kalau apa yang kulihat bukanlah kenyataan nya. ini hanyalah permainan hati, aku tinggal pergi saja. Tak ada yang merantai kakiku ataupun mengikat tubuhku. Bahkan Dirga hanya menatap dari jarak yang bisa di bilang agak jauh.
Tapi aku bukanlah orang yang mudah mengabaikan kenyataan yang sudah ada didepan ku. Aku tidak mungkin mengabaikan kalau ternyata persepsi ku selama ini salah. Aku salah karena mengira Dirga meninggalkan ku selama lima tahun ini. Nyatanya ia tetap bersama ku selama ini.
“Aku paling suka foto yang ada di dekat mu itu. Saat itu kamu sedang di taman bersama teman mu yang ku ketahui bernama Alin. Aku melihat kamu bahagia di sana. Aku suka saat lihat kamu bermain dengan anak-anak itu.” Ceritanya hanya membuat miris hatiku.
Seluruh ruangan itu berisi semua foto ku. mulai dari kampus, rumah, sampai tempat yang sering aku datangi bersama Alin ataupun mama. dia mengikutiku selama ini, bisakah aku mempercayai semua itu. Dia hanya menatap ku dari jauh saat aku setiap harinya hanya menghakiminya karena meninggalkanku.
“kenapa kamu lakuin ini Ga?” Pertanyaanku syarat dengan keputusasaan. Kutatap ia yang masih setia menyandarkan punggungnya di dinding.
“Karena aku cinta.”
“kalau cinta kenapa pergi!” suaraku lantang kali ini. Aku sungguh sudah muak dengan permainan takdir ini.
“Aku tidak pernah meninggalkanmu.”
“kamu pikir mudah apa pergi dan datang sesuka hatimu. kamu pikir hatiku mainan mu. Kamu tidak tahu gimana hancurnya aku saat itu? Tahukah kamu kalau aku berharap kamu mati saat itu agar hatiku tidak perlu lagi menangisimu.” Airmata ku mengalir tanpa kusadari. dadaku terasa perih sekarang.
“maaf. Aku hanya tak bisa mengiyakan ucapan mu waktu itu. Aku terlalu takut kamu terluka. Aku sangat mencintaimu hingga aku tak bisa membuat mu tersakiti.” Kulihat ia menunduk.
“apa dengan mengatakan iya kamu melukaiku? begitukah?”
“kamu hanya tak mengerti.” Dia menatap ku membuat ku bisa melihat mata hazelnya syarat dengan penyesalan.
“Aku tidak mun gkin mengerti jika kamu tidak mengatakannya.” suara ku putus asa.
Dirga menggeleng. Aku hanya bisa mendesah. Cukup sudah.
***
Haruskah kukatakan kalau tuhan tak adil padaku. Haruskah ku yakini kalau tuhan itu tak pernah ada. Kalau tuhan itu ada kenapa dia buat aku hancur tak bersisa.
Tuhan dimanakah kau saat aku membutuhkanmu. Tidak sayangkah kamu padaku tuhan. Aku juga hambamu kan.
Aku membuka pintu mobil dengan tangan gemetar. Aku tidak tahu kemarahan macam apa yang akan aku terima darinya. Atau inilah akhir kisah ku dengannya. Semudah inikah hubungan yang baru kujalani akan hancur.
Tatapan syarat dengan amarah, aku yakin ia tak butuh penjelasan. Tapi aku tetap ingin menjelaskannya. aku tetap ingin mengatakan kalau hanya dia yang aku cintai. Pria yang ada di sampingku ini hanyalah kisah masalalu.
“Aku kecewa.” Hanya itu ucapannya dan dengan mudahnya ia meninggalkan ku tanpa mau menunggu ku membuka suaraku. Aku ingin mengutuk takdir sekarang.
Aku belum terlambat, Aku mencoba mengejarnya. berlari keluar komplek rumah ku dan menaiki taksi. Aku harap aku tak terlambat.
@andi_andee
@Adi_Suseno10
@Adiie
@octavfelix
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@lulu_75
@harya_kei
@Bun
@irvan_17
@kaka_el
@Sho_Lee
@Sicilienne
@Ndraa
@arifinselalusial
@chioazura
@PeterWilll
@dikajhie
@andi_andee
@Adi_Suseno10
@Adiie
@octavfelix
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@lulu_75
@harya_kei
@Bun
@irvan_17
@kaka_el
@Sho_Lee
@Sicilienne
@Ndraa
@arifinselalusial
@chioazura
@PeterWilll
@dikajhie