It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
makasih... oke! sudah aku masukin ke list mention ya
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz
@jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE
@prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset
@Bun @sujofin
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh
@Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90 @ando_ibram @handikautama
×××°•••°°•••°×××
Wahid. Entah kenapa hanya nama itu saja yang terbersit dibenakku saat aku mulai tersadar dari lamunan panjang. Aku lari hujan-hujanan di malam hari, tanpa alas kaki. Hanya memakai celana dari setelan piyamaku. Dibalik jaket milik Taka ini pun, aku hanya mengenakan kaus singlet.
Disaat yang sama, aku baru ingat, kalau aku tidak membawa dompet juga ponselku.
Ah! Lengkap sudah!
Seperti ini juga kah keadaan Bang Toya saat kabur dari rumah dulu? Sendiri. Tidak punya apa-apa.
LENGKAP SUDAH!!!
Sepertinya aku beneran kualat sudah menyebut nama Bang Toya dalam caci makiku pada Taka.
Ya Allah... Maafkan aku... Aku tidak bermaksud menjelek-jelekkan almarhum Kakakku sendiri. Aku cuma emosi terhadap sikap konyol tak tau diri saudara kembarku yang sialan itu.
Hujan sudah reda sejak beberapa menit lalu. Aku juga bingung, sekarang ini aku sedang berada dimana. Biasanya kalau aku keluar, aku selalu mengandalkan aplikasi Maps dari ponselku.
"Kak Tiki?"
Aku mendongakkan kepalaku. Menatap kearah sumber suara itu. Dan dalam keadaan duduk menggigil di trotoar aku terperangah melihat sosok di hadapanku ini.
Hanya Tuhan yang tau, kenapa mendadak saja ada Wahid, sedang berdiri dihadapanku. Memakai kaus singlet berwarna kuning, dan celana pendek sepak bola berwarna hijau Memakai payung merah pula.
Atau mungkin aku sedang berhalusinasi? Mengira lampu pengatur lalu lintas sebagai Wahid. Mungkin saja aku separuh bermimpi. Berharap ada yang menolongku.
Tapi aku coba berdiri. Memfokuskan pandangan mataku yang terlihat buram, karena aku sedang tidak memakai kacamata. Tapi tubuhku limbung. Dan pandangan mataku pun semakin kabur. Semakin gelap seiring tubuhku yang terasa semakin berat.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Kubuka mataku perlahan. Dan mendapati diriku sudah berada diatas kasur. Lengkap dengan balutan selimut tebal. Tubuhku masih menggigil kedinginan. Tapi nafasku terasa berat dan panas.
Bahkan untuk duduk pun aku tak mampu. Tubuhku terasa amat berat. Seluruh persendianku pun terasa ngilu. Kepalaku pening. Teramat pening sampai rasanya aku mau muntah.
Kucoba pejamkan mataku. Untuk menghalau rasa sakit di kepalaku ini. Dan saat kubuka lagi mataku, ada sosok yang berjalan mendekat dengan cepat.
"Wa...hid...?"
Bahkan untuk bertanya singkat pun suaraku terdengar parau dan lemah.
"Iya Kak... Kakak tidur aja. Biar aku ganti dulu kompresannya"
Aku tersenyum lemah. Dan baru menyadari kalau ada sebuah handuk atau kain atau apalah itu, yang kuharap bukan celana dalam miliknya yang dijadikan kompresan dikeningku saat ini.
Rasanya malu sekali mendapati situasi dan kondisiku saat ini. Padahal sejak peristiwa foto-foto itu, tidak pernah sekalipun aku bersikap baik pada Wahid. Tapi sekarang ini, dialah yang menolongku. Tapi kalau dia ingin bertindak konyol seperti Taka, ditengah kondisiku seperti ini, mungkin aku tidak akan bisa melawan.
Saat ini aku terlalu lemah untuk melayangkan pukulan kearahnya.
Jangankan memukul. Menggerakkan kan tanganku untuk meraih tangan Wahid pun, rasanya aku tak sanggup.
"Ma... kasih... Hid..." ucapku lemah. "Maaf...in... a...ku... ya...?"
Wahid hanya tersenyum. Diraihnya tanganku. Meskipun agak gemetaran, mungkin saja tanganku sendiri yang gemetar akibat menggigil, diusapnya lembut punggung tanganku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Malam itu aku tidur dengan berbagai macam mimpi. Mulai dari mimpi saat aku kecil dulu. Saat asik bermain bersama Taka dan Tika. Juga ada Bang Toya yang sering kerepotan dengan kenakalan kami. Juga mimpi saat aku beranjak remaja. Dimana saat itu aku berubah menjadi remaja yang lebih pendiam. Yang membuatku menjadi sosok kakak idaman bagi Tika, juga menjadi panutan untuk Taka yang mulai badung-badungnya. Menjadi anak kesayangan Mama-ku, yang selalu mempercayakan banyak hal padaku. Tidak pernah meragukan keputusanku.
Dan mimpi itu bergulir saat kami bisa bertemu lagi dengan Bang Toya. Betapa rindunya aku dengan sosok kakak kesayangan yang selama beberapa tahun menghilang dari kehidupan kami semua. Walaupun kebahagiaan itu terasa sangat singkat. Teramat singkat. Karena pertemuan kami hanya bisa dihitung dengan jari.
Sikap Taka yang berubah sejak dekat dengan Zulfikar. Kebahagiaannya saat bisa berjumpa lagi dengan Bang Toya. Dan kesedihannya akibat terpukul dengan kepergian Bang Toya yang mendadak.
Dan betapa terkejutnya aku, saat mengetahui penyimpangan seksual dari adik dan kakakku.
Bumi tempatku berpijak serasa dijungkir balikan saat mengetahui hubungan Bang Toya dengan Bang Zaki. Pengakuan Taka tentang hubungannya dengan Zulfikar. Ditambah tamparan keras mengenai hubungan Bang Bayu dengan Bang Akbar, yang ternyata lebih dari sekedar sahabat. Lebih dari sekedar teman tidur.
Aku harus menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri. Dan bodohnya aku malah semakin penasaran dengan semua penyimpangan itu.
Aku, yang tidak pernah memikirkan bagaimana rasanya jatuh cinta, malah tunduk dengan pesona dan aura kelelakian Bang Zaki. Aku yang tidak pernah merasakan indah dan sakitnya memendam perasaan yang melebihi batas kewajaran, benar-benar takluk dengan segala perhatian Bang Zaki.
Aku sadar bahwa semua ini salah. Tapi aku tidak bisa lari. Aku tidak mau pergi dan membuang cinta pertamaku ini. Tak lain karena aku iri dengan betapa kuatnya Bang Toya menjaga semua keharmonisan dengan segala hal di sekitarnya.
Aku yang sangat menyayangi Taka sebenarnya selalu cemburu dengan perhatian yang ia berikan pada Zulfikar. Aku tidak menemukan satu pun yang kucari. Yang kubutuhkan di diri pemuda konyol itu. Tapi aku mendapatkan semua yang kumau di diri Bang Zaki. Lelaki yang dicintai Bang Toya sampai hembusan nafas terakhirnya.
Saat akhirnya aku membuka mata. Terbangun dari mimpi panjangku. Hanya satu orang yang ingin kulihat. Kutemui. Ingin kudengar suaranya. Ingin kurasakan lembut dan hangat perhatiannya.
Bang Zaki.
Tapi saat kutolehkan kepalaku. Melihat pemilik tangan yang kugenggam dalam tidurku, ternyata adalah Wahid. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa di dalam hatiku.
Kuulurkan tangan kiriku. Meraih rambut yang menutupi kening Wahid yang terlihat lelah dalam tidurnya.
"Sshhh... Awhh..." aku terkejut merasakan nyeri dibibir kiriku.
Perlahan aku berusaha bangun. Wahid tidak terbangun saat kupindahkan tangannya kekasur. Dia tertidur dalam posisi duduk dan hanya menyandarkan kepalanya ditepian kasur.
Demamku sudah turun. Badanku sudah jauh lebih baik sekarang. Paling tidak itu yang kurasakan sekarang. Karena aku sudah merasa lebih segar.
Aku berjalan perlahan menuju cermin besar yang berada disamping lemari. Aku tau benar ini cermin yang kupilihkan untuk Bang Zaki. Tadinya akan dipakai di kamar Bang Akbar. Tapi karena tidak cocok dengan interior minimalis modern dikamarnya, akhirnya aku mengusulkan untuk diberikan saja pada Wahid. Mungkin karena cermin ini memiliki bentuk persegi panjang dan ditiap tepiannya dilapisi kayu yang dilapisi cat berwarna putih. Memang tidak putih total. Karena masih menunjukan warna cokelat dari rangka kayunya.
"Nah. Elu harus banyak ngaca mulai sekarang. Biar gak salah lagi kedepannya". Aku masih ingat benar dengan celetukan Taka waktu itu, saat aku memberikan cermin ini pada Wahid.
Aku langsung mencubit bibir Taka usai mengatakan itu. Tapi entah karena Wahid memang terlalu baik atau masih terlalu polos, yang kulihat hanya binar bahagia didalam matanya saat aku memberikan cermin besar ini padanya.
Yang kuperhatikan pertama kali, bukan bayangan diriku di dalam cermin besar ini. Melainkan memperhatikan betapa bersih dan mengkilapnya cermin juga rangkanya. Kamar Wahid memang selalu bersih dan rapih. Tapi cermin ini nampak berkilau. Membuatku tanpa sadar menyunggingkan sudut bibirku untuk tersenyum. Dan barulah aku merasa nyeri lagi.
Shit! Kenapa bisa lebam begini?! Sudut bibirku juga sedikit robek. Sepertinya Bang Zaki benar-benar marah dengan ucapanku.
Tadinya aku berpikir untuk segera pulang saja setelah merasa baikan. Tapi mengingat ucapanku yang kekanak-kanakan, yang akhirnya malah menyakiti perasaan Bang Zaki, aku jadi merasa tidak punya muka untuk kembali kesana.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku masih duduk di kursi yang berada di seberang ranjang, memperhatikan Wahid.
Wahid sudah kupindahkan perlahan agar berbaring disana. Kasihan rasanya melihat dia tidur dalam posisi menelungkup separuh badan begitu. Mungkin saking lelahnya, Wahid sama sekali tidak terbangun meskipun aku sempat membelai pipinya.
Mungkin karena sudah beberapa bulan menjalin hubungan dengan seorang pria, aku jadi lebih bisa memperhatikan Wahid. Jauh sebelumnya aku hanya melihat dia sekilas lalu.
Wahid memang tampan. Dan di ketampanannya ini sering kulihat semburat merah dari sikap malu-malunya. Atau seringkali terlihat memucat, saat aku meninggikan suaraku tiap kali melihatnya melakukan segala macam kesalahan yang ia perbuat di warung. Tempat kami kerja bersama.
Sampai saat ini, aku masih tidak tau apa alasan Wahid bertahan bekerja disana. Bukan berarti segala yang dia lakukan selalu salah. Tapi lama-lama aku kasihan juga kalau harus disindir terus menerus oleh Taka. Aku tau Taka hanya bercanda, tapi aku juga tau kalau ucapannya semakin keterlaluan pada Wahid. Dan aku yang mengetahui semua hal itu, hanya bisa memperhatikan tanpa melakukan apapun.
Sekali waktu aku pernah melihatnya mencuci piring di dapur dengan berlinangan air mata. Wahid menangis tanpa suara. Dengan ekspresi wajah datar.
Mungkin hatinya sudah terlalu sakit untuk menanggapi segala bulian Taka. Tapi disisi lain, dia tidak ingin terlihat lemah. Sekeras-kerasnya batu karang, toh suatu saat akan hancur juga akibat sering dihempas ombak dan badai.
"Pagi..." sapaku saat melihat Wahid membuka matanya, dan ia langsung terlonjak bangun.
Aku buru-buru menghampirinya yang hampir terjatuh dari ranjang.
"Loh? Sejak kapan aku tidur dikasur Kak?" Wahid terlihat panik dan bingung.
"Udah dari Subuh tadi kayaknya" jawabku asal saja.
"Haahh~... masa Kak?"
Aku terkekeh melihatnya melongo menatapku.
"Tenang aja. Demamku udah turun kok. Makasih banget ya. Kalo gak ada elu, mungkin gue udah ko'it semalem" kupeluk erat tubuh Wahid. Badannya terasa sudah jauh lebih berisi dibandingkan pertama kali kami kenal dulu. Sudah enak dipeluk. Eh?
"Kakak mau sarapan?" Tanya Wahid dengan wajah semerah tomat usai kupeluk tadi. Sedikit gelagapan Wahid berdiri memunggungiku.
"Gak deh. Makasih. Gak laper" aku menyahut. "Lagian bibirku masih sakit. Elu apain nih bibir gue sampe luka gini?" Candaku.
Tawaku meledak saat melihat wajahnya lebih merah lagi. Bahkan daun telinganya ikut sampai merah. Aku semakin tidak tahan untuk tidak menggodanya.
"Ngaku! Semalem gue diapain aja?" Tanyaku berlagak serius dan menghimpit tubuhnya. Aku tersenyum saat melihat Wahid menundukkan wajahnya. Menghindari tatapan mataku.
Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Kuraih dagunya agar ia bisa menengadah dan bisa kulihat wajahnya yang super merah dengan mata terpejam.
Kedua mata Wahid langsung terbuka lebar saat bibirku selesai mengecup keningnya. Sekedar kecupan ringan. Tidak lebih dari sekedar rasa terima kasih dan ingin terus menggodanya terus menerus.
"Duh~~ Kak~~...." dengan tangan gemetar hebat, Wahid meremas lenganku. Mencoba berpegangan agar tidak jatuh. Dengan sigap, aku langsung meraih tubuhnya yang terkulai lemas, dan membuatnya duduk di tepian ranjang.
Pada akhirnya aku kembali duduk di kursi yang berada disudut kamar, yang letaknya berseberangan dengan ranjang. Kuseruput teh hangat yang tadi kubuat sendiri saat Wahid masih tidur pulas. Dan memperhatikan Wahid yang sibuk mengatur nafas dan duduk dengan salah tingkah. Membuatku semakin yakin kalau selama aku tidur, dia melakukan sesuatu padaku.
Sayangnya aku sedang tidak mood untuk marah-marah atau melakukan hal bodoh lainnya. Wahid sudah terlalu sabar menghadapiku. Juga sudah terlalu baik sampai dia mau menolongku yang sedang dalam situasi sulit seperti ini.
"Hid... elu kerja kan hari ini?" Tanyaku.
"Hm... iya Kak"
"Tolong jangan kasih tau siapapun kalo gue disini"
"Ke... kenapa Kak?"
Aku tersenyum. "Biasa... lagi ada masalah dirumah. Oh ya. Ibu tau gue ada disini?"
Wahid menggeleng pelan. "Ibu sudah dua hari pergi ke Solo. Sedang ada urusan dengan saudara disana"
Kami lalu terdiam selama beberapa menit. Wahid hanya duduk memperhatikanku yang sedang berfikir sambil memainkan ujung daguku sendiri.
"Bisa pinjem hape lu bentar?" Wahid beringsut kearah jendela kamar. Tangannya menggapai kebawah ranjang. Lalu menyodorkan ponselnya padaku. "Ada koneksi internetnya kan?"
"Ada Kak" jawabnya singkat.
Kemudian Wahid mencoba menyibukkan dirinya dengan membenahi ranjang. Melipat selimut. Merapikan seprei, bantal dan guling. Membuang air di dalam baskom, lalu keluar dari kamar sebentar. Rupanya dia mengambil handuk. Mungkin dia jemur dilantai paling atas yang memang berfungsi sebagai tempat jemuran massal bagi penghuni kosan yang ingin mencuci sendiri pakaian mereka.
Selama Wahid melakukan semua aktifitasnya, aku sibuk membuat dan mengirim e-mail. Setelah sebelumnya aku mencoba membuka beberapa akun sosial media milikku. Tentunya aku hanya membukanya melalui browser. Tidak melalui aplikasi yang ternyata Wahid sudah menginstalnya.
Memang dasar diam-diam menghanyutkan bocah satu itu. Tapi memang sudah hal yang lazim untuk anak seusianya. Tidak perlu heran.
Selesai mengirim e-mail, aku tidak menyangka kalau balasan yang kuterima bisa secepat ini. Kupikir aku akan butuh waktu lama. Minimal sehari atau seminggu bahkan sebulan. Sedangkan ini tidak sampai satu jam.
Aku sempat membuka daftar kontak milik Wahid untuk mencari nomornya, tapi ternyata aku tidak menemukannya. Dan tepat saat aku hendak beranjak menuju pintu kamar mandi, Wahid keluar hanya dengan berbalutkan handuk.
Aku sempat menelan ludah sebentar saat melihat lekuk tubuh Wahid.
Sial!! Mungkin aku sudah benar-benar menjadi gay tulen!, aku merutuk dalam hati. Karena selama ini aku memang tidak pernah peduli dengan bentuk tubuh lelaki manapun. Aku hanya selalu fokus pada satu orang, yaitu Bang Zaki.
Lagi pula kalau boleh ku bandingkan, sebenarnya bentuk dan lekuk tubuh Wahid tidak seperti Bang Akbar atau tidak se-hot lekuk tubuh Taka yang sebelas dua belas denganku. Tapi entah, mungkin karena --ternyata-- Wahid memiliki tubuh yang kelihatan mulus, aku jadi mendadak haus saat melihatnya seperti itu.
Padahal dulu kami pernah mandi bareng. Itu sudah lama. Dan dulu pun aku tidak memperhatikannya seperti sekarang.
"Main nungging sembarangan aja! Gue tunggangin, tau rasa lu!" Aku berseru sambil menepuk bokong Wahid.
Sebenarnya Wahid bukan sedang menungging dan menggodaku dengan bentuk bokongnya yang aduhai itu. Kebetulan saja, saat aku sudah berdiri dekat dengannya, dia sedang mengambil sesuatu di bagian bawah lemarinya.
"Sebutin nomer lu Hid. Cepetan" kataku lagi. Berlagak tidak memperhatikan rona merah di wajah Wahid.
"Thanks..." kataku lagi. Kali ini tanganku iseng meremas bokongnya. Ternyata empuk juga. Hehehe.
"Udah... pake baju disini aja. Toh dulu kita pernah mandi bareng. Gue udah tau bentuknya kok" aku melanjutkan menggodanya lagi. Kali ini diiringi kedipan mataku.
Sekitar lima menit kemudian, sambil memperhatikan tubuh polos Wahid, ponsel Wahid berdering. "Buat gue..." kataku santai. "Pake baju. Cepet! Entar kalo gue nafsu, bisa berabe" aku melanjutkan.
Aku lalu membelakangi Wahid. Agar bisa lebih konsentrasi saat menerima panggilan telepon ini. Karena memang situasiku saat ini belum mendukung untuk menggoda Wahid lebih jauh.
"Iya Bang?"
^Elu dimana sekarang?^
"Gue di kosan Bang Akbar yang dulu itu..."
^Emangnya Akbar masih kos disana?^
"Kagak... kebetulan gue kenal ama anak Ibu Kos-nya. Trus gimana Bang? Elu bisa nolongin gue?"
Aku bisa mendengar ia menghela nafas beberapa kali selama beberapa detik.
^Tentu bisa Ki.... Gue kira elu gak bakalan butuh gue lagi. Kan elu udah bisa mandiri disana^
"Sorry Bang. Gue gak ada niat..."
^Iya... Gue tau... Lagian gue yang salah^ potongnya cepat dengan nada suara yang terdengar sedih. ^Trus? Gimana?^
"Gue boleh nebeng elu dulu Bang? Detailnya kalo gue udah disana aja Bang... Please..." pintaku memelas. "Oh iya... By the way, gue gak bawa hape ama dompet gue... Trus gimana ya Bang?"
^Gampang. Semua bisa diatur^ jawabnya dengan gaya sok-nya yang memang sudah menjadi ciri khasnya. Untung saja aku sudah lama mengenalnya. Kalau enggak, ya bakalan muntah beling deh.
^Berarti elu juga gak ada baju dong Ki?^
"Hehehe... tau aja lu, Bang" jawabku sambil nyengir kuda.
^Oke deh... Tunggu aja disono. Jangan kemana-mana!!^
"Oke Boss..."
^Pinter...^ sahutnya lagi. Serasa dia sedang bicara dengan anak umur lima tahun.
"Xuueeekkk..." aku menyahut, lalu kami tertawa sejenak sebelum akhirnya panggilan telepon ini kami akhiri.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Wahid pulang lebih awal dari perkiraanku. Katanya hari ini warung tutup. Dia tidak mendapat penjelasan apa-apa dari Suwek yang menjawab teleponnya saat sudah hampir satu jam belum ada siapapun yang datang membuka Warung. Tapi kuat dugaanku, kalau akulah penyebab tidak buka-nya Warung hari ini.
Pada akhirnya aku hanya kembali duduk dalam diam dilantai, sambil menyandarkan punggungku pada kayu tepian ranjang. Sementara Wahid, entah apa yang ia lakukan. Karena aku terlalu sibuk melamun.
Setelah sekian bulan mengenalku, ia jadi sedikit tau watakku. Walaupun aku tau, meskipun dia itu polos, terkadang Wahid masih bisa membaca situasi orang-orang disekitarnya.
Aku dan Wahid terkejut saat kami sedang duduk dalam diam, mendengar ketukan dari pintu kamar. Aku sampai terlonjak dan berdiri dimuka pintu kamar mandi.
"Siapa?" Wahid berseru.
"Gue nih. Buka aja pintunya"
Suara diluar sana membuatku terkejut. Sementara Wahid hanya menatapku dengan raut wajah penuh rasa ingin tau.
"Siapa?" Wahid bertanya dengan suara berbisik. Sementara aku berjalan melewatinya dan membukakan pintu.
"Abang gue" jawabku.
Dan benar saja dugaanku. Saat pintu terbuka, Bang Bayu sudah ngeloyor masuk tanpa permisi.
"Elu udah mandi kan?" Bang Bayu bertanya dan mengulurkan sebuah paper bag besar padaku. "Ganti baju, trus ikut gue" tanpa menunggu jawaban dariku, dia sudah memberikan titahnya yang tidak akan bisa dibantah.
Tidak sampai lima belas menit kemudian, aku sudah duduk di dalam taxi bersama dengan Bang Bayu. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih singkat pada Wahid, saat mengenakan pakaian yang dibawa Bang Bayu di dalam paper bag yang ia sodorkan padaku.
"Nanti gue kabarin lewat inbox Facebook aja ya" aku berujar pada Wahid sebelum supir taxi tancap gas.
"Udah sarapan?" Bang Bayu bertanya tanpa mengalihkan pandangan matanya dari layar ponselnya.
"Udah" jawabku singkat.
Karena sudah sekarang sudah mendekati jam makan siang, arus lalu lintas di Sunset Road lumayan padat. Meskipun tidak macet parah.
"Gak usah buru-buru Pak. Santai aja" pinta Bang Bayu pada supir taxi. Mata dan kedua jempolnya tetap konsentrasi pada ponsel layar sentuhnya.
"Ini gue taro sini Bang?" Tanyaku berusaha memecah kesunyian diantara kami.
"Itu buat lu. Pake aja" jawabnya santai. Tangannya merogoh kedalam saku jaketnya lalu mengulurkan sebuah power bank padaku. "Nomernya udah gue registrasiin tadi. Udah gue isi pulsa juga. Tinggal elu pake aja"
"Buat gue... atau elu pinjemin doang nih?" Aku bertanya sambil menggaruk daguku yang mendadak terasa gatal.
"Terserah. Pastinya itu masih baru"
"Hmmmm... statusnya gue pinjem aja deh. Nanti kalo udah..."
"Emangnya elu bakalan balik dalam waktu dekat? Kalo iya, kita cari hotel aja. Dan enggak usah ke Jakarta"
Aku langsung melotot menatap Bang Bayu. "Ke Jakarta? Kapan?"
"Sekaranglah. Kita ini lagi menuju bandara Ki"
"T-tapi Bang..."
Aku tidak berani meneruskan kalimatku, dan hanya bisa menunduk. Aku tidak berani membalas tatapan tajam dari kedua mata Bang Bayu.
Rasanya, sekarang ini aku sudah berhasil lolos dari dalam kandang macan, tapi malah terjebak dalam mulut buaya.
"Gak usah ngerasa kalo elu itu lagi lolos dari kandang macan, trus kejebak di kandang buaya, Ki"
Aku tersentak mendengar ucapan Bang Bayu.
"Sejak kapan elu bisa telepati Bang?"
Bang Bayu malah menarik ujung bibirnya. Nyengir.
"Seumur hidup gue kenal elu, baru sekarang kan kita bisa sinkron?" Jawabanya, berusaha membuat candaan. "Dibanding Taka, cuma elu doang yang gue gak bisa baca isi pikirannya. Tapi mungkin karena elu kembar, pelan-pelan gue bisa paham"
"Trus dalam waktu singkat, elu udah nyiapin tiket buat gue ke Jakarta, gitu?" Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Bang Bayu tertawa keras. Hingga membuat supir taxi melirik kami melalui pantulan cermin yang tergantung dihadapannya.
"Tiki.... Tiki.... Elu udah lupa siapa gue?"
"Hmmm... Bayu, bekas preman Tanjuk Priok?"
Bang Bayu malah ngakak makin keras dan meninju lenganku.
"Sialan!" Serunya sambil terus terbahak-bahak sendiri. Sementara aku cuma bisa tersenyum kikuk.
Iya. Aku lupa. Kalau Bang Bayu adalah seorang Magician. Magician ya. Bukan Magicom.
Tanpa uang yang ia miliki, Bang Bayu memang bukan seorang Magician seperti saat ini.
Aku juga pernah mendengar cerita dari Bang Zaki, kalau Bang Bayu itu selalu saja bisa berada di Jakarta menuju Bali hanya dalam hitungan menit, selepas dirinya menyelesaikan meeting penting di Jakarta. Itu sering dia lakukan semasa Bang Bayu masih menjalin kasih dengan Bang Akbar.
Tidak ada yang tidak mungkin dalam kamus hidup Bang Bayu. Karena dia seorang Magician. Itu karena ia memiliki terlalu banyak nol di dalam dompetnya.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"So... Kapan elu mau mulai cerita?" Bang Bayu mulai memancingku berbicara saat aku sedang membuatkan makan malam untuk kami berdua.
Sudah dua hari aku tinggal di salah satu apartemen miliknya yang terletak di kawasan Jakarta Utara ini. Alasannya, karena Bang Bayu menduga akan ada yang datang mencariku dirumahnya. Memang, selama aku tinggal disini, hanya sekretaris kepercayaannya saja yang mengetahui kalau aku tinggal disini. Dan atas idenya pula, aku 'disembunyikan' disini. Bahkan anak dan istrinya pun tidak tau kalau aku sedang berada di Jakarta.
"G-gue takut elu marah... ehmm... kecewa, kalo elu tau alasan gue minggat, Bang"
Aku sengaja menghindari tatapan mata Bang Bayu. Sedari tadi dia memang menatapku penuh selidik.
"Kali ini siapa yang salah? Seumur-umur gue gak pernah denger elu bikin kesalahan Ki"
Aku mendesah pendek. Dan berhenti sesaat dari aktifitasku yang sedang memotong buah segar sebagai hidangan pencuci mulut.
"Manusiawi gak, kalo gue bikin kesalahan Bang?"
Bang Bayu manggut-manggut sambil sesekali mencomot buah kiwi yang kupotong dadu dan kuletakan di dalam mangkuk didekatnya. Dan selama itu pula matanya tak lepas memandangiku.
"Tapi kali ini gue sadar kalo gue yang salah Bang. Gue malu ama bang Zaki. Padahal..." aku sempat ragu, dan mencoba mencari kata yang sesuai. "Padahal... padahal selama ini dia udah terlalu baik ke gue..."
"Trus?"
"Terus... itu buat pencuci mulut. Jangan diabisin dulu dong"
"Ups. Sorry" Bang Bayu lantas pindah ke meja makan berukuran mini, yang diatasnya sudah tersaji makanan yang kumasak untuk kami berdua.
"Ya udah deh. Kita makan dulu" ajaknya kemudian.
"Bentar. Ini buahnya tinggal dikit lagi. Sorry agak lama. Soalnya gue gak pake kacamata"
"Hmmm... pantesan aja. Dari kemaren gue mikir, kayak ada yang kurang dari penampilan lu. Ternyata karena elu lagi gak pake kacamata"
Aku hanya tersenyum lalu duduk di kursi yang letaknya berseberangan.
"Kita kayak lagi candle light dinner aja nih Ki" komentar Bang Bayu.
"Perlu gue matiin lampunya, trus gue nyalain lilin-lilin kecil?" Gurauku.
"Gak seru. Terlalu gelap. Entar kalo salah masuk, berabe lah Ki"
"Ya udah. Gue nyalain obor dan petromax aja, gimana?"
"Sotoy!"
"Sotoy Ayam... Sotoy Babat... Sotoy Betawi...."
"Stop! Omongan lu makin bikin gue kelaperan. Kita makan aja dulu"
Akhirnya kita mulai menikmati hidangan yang tersaji dihadapan kami. Dan selama itu pula, hanya suara sendok garpu yang sesekali beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara selama kami menikmati makan malam ini.
"Gue baru inget. Kalo yang biasa rame selama makan itu, si Taka kan?"
Aku hanya tersenyum tipis sambil tetap mengunyah makanan di dalam mulutku. Dan aku pun langsung teringat dengan Bang Zaki.
Apakah dia sudah makan? Apakah dia memikirkanku? Apakah dia masih marah padaku?
Dan segudang pertanyaan lain yang terus menerus terlintas di dalam kepalaku. Membuat nafsu makanku menjadi surut.
"Bang.... sebenernya gue.... gue udah lumayan lama jadian ama... Bang Zaki..."
Bang Bayu sempat terpaku selama beberapa detik. Kemudian melanjutkan aktifitas makannya. Kali ini matanya terus fokus pada piring dihadapannya.
"Jadi kemaren itu..."
Lalu aku pun mulai bercerita perihal candaan Taka yang buatku sama sekali tidak lucu. Dan tepat saat aku sedang berargumentasi dengan Taka, ternyata Bang Zaki yang tidak kusangka sudah pulang tanpa memberi tahukan padaku, menjadi emosi saat mendengar kalimatku tentang Bang Toya.
Selama dua hari di Jakarta, aku menduga Bang Zaki sebenarnya sudah memberi tahukan perihal kedatangannya pada Taka. Dan berniat memberikan kejutan padaku. Tapi karena ucapanku, akhirnya dia malah marah padaku.
Usai menceritakan semuanya dengan rinci, dari sudut pandangku dan tanpa membuat kalimat pembelaan satu pun. Aku hanya bisa menunduk, dan menatap ke arah tanganku yang sedang memainkan jari jemariku.
"Selama gue mengenal Zaki..." akhirnya Bang Bayu mulai membuka suara, setelah dengan tenang ia menghabiskan makanan di piringnya. "Gue apal bener, kalo dia itu manusia paling sabar. Paling tenang. Gak gampang meledak-ledak kayak Toya, dan itu sebabnya mereka --Toya dan Zaki-- bisa awet banget selama sekian tahun..."
Kali ini Bang Bayu berdiri. Memindahkan kursi yang ia pakai ke sebelahku. Dan ia pun duduk disitu.
Aku masih menunggu kalimatnya yang menurutku masih menggantung. Kalimat yang mendadak membuatku iri, membayangkan betapa mesranya hubungan mereka dulu. Aku pernah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana mesranya mereka. Mulai dari tindak tanduk mereka. Sampai bahasa tubuh mereka. Bahkan tanpa bicara pun, mereka bisa saling berkomunikasi melalui mata mereka. Seolah mereka bisa berbicara melalui telepati.
Dan semua kenyataan itu, mendadak membuatku terasa sesak. Membuatku merasa kecil hati. Membuatku semakin minder, menghadapi kenyataan kalau posisi Bang Toya memang tak layak kugantikan.
"Bang... seumur-umur gue gak pernah ngerasain jatuh cinta. Tapi kenapa sekalinya gue jatuh cinta, gue malah jatuh cinta ke cowok? Dan cowok itu... Bang Zaki..."
Bang Bayu melingkarkan tangannya dipundakku. Menarik tubuhku, hingga membuatku terhuyung, dan terjatuh dalam dekapannya. Kepalaku bersandar di pundaknya. Dapat kuhirup aroma tubuhnya yang tercium sangat maskulin melalui hidungku.
"Tadinya gue pengen marah Ki. Rasanya gue udah pengen nonjok muka lu. Gue udah pengen getok kepala lu ini make... apapun lah..."
"Sadis amat Bang" aku menyeletuk, membuatnya tertawa ringan. Dan membuatku tersenyum.
"Tapi gue tau... Gue pernah ngalamin..." tangannya kali ini mengusap pundak kiriku. Lalu meremasnya. "Terserahlah elu mau jatuh cinta ama siapa. Toh gue gak bakalan bisa ngelarang. Gue takut, gue bakal ngalamin lagi kejadian ama Toya... Dan gue gak mau itu keulang lagi. Tapi..."
Bang Bayu berhenti untuk mengambil nafas panjang, dan menghelanya dengan keras. Dan aku masih menunggu kelanjutan kalimatnya.
"Tapi kenapa harus Zaki? Elu tuh bego? Sejak kapan elu jadi bego Ki? Elu kan tau gimana kuatnya perasaan Zaki ke Toya"
"Apa mungkin karena mereka masih saudara sedarah Bang?"
Aku melepaskan diri dari dekapan Bang Bayu. Kali ini kami duduk berhadapan.
"Apa mungkin perasaan mereka itu karena mereka saudara satu Ayah, Bang? Meskipun pada akhirnya kita semua terlambat tau. Dan momentumnya pas banget disaat Bang Toya sedang sekarat? Yang mgebikin Bang Toya membawa semua perasaan malunya hingga ke dalam liang lahat?!"
Kali ini Bang Bayu terdiam dan menatapku semakin dalam. Dan untuk pertama kalinya aku berani membalas tatapan matanya.
"Terus terang... gue gak pernah mikir sampai sejauh itu Ki. Dari kalimat lu, gue nemuin jawaban yang selama ini gak bisa gue jawab"
"Maksudnya?"
"Ya itu tadi Ki... tentang sinkronisasi antara Toya dan Zaki itu tadi. Mungkin karena waktu itu mereka gak tau kalo mereka punya ikatan darah, makanya mereka punya ikatan batin yang kuat --kayak elu dan Taka. Makanya, mereka bisa saling mengisi kekurangan satu sama lain, yang ngebikin gue jadi mikir kalo hubungan gue dan Akbar dulu jadi kerasa hambar..."
"Tapi Bang Akbar itu masih cinta sama elu"
"Oya?"
"Tapi setelah dia jadian ama dokter kece itu, kayaknya dia udah buang jauh-jauh perasaan dia ke elu Bang"
Rona bahagia yang terpancar di dalam pandangan mata Bang Bayu, sekejap saja menjadi redup.
"Gue gak tau detailnya. Tapi gue bisa lihat, kalo Bang Akbar sempat bimbang sebelum dia resmi jadian ama cowoknya yang sekarang"
Kedua mata Bang Bayu terbelalak menatapku.
"Dan gue minta elu jangan usik hubungan mereka Bang. Inget! Elu udah punya anak dan istri!"
"Tapi... sebenernya... gue masih cinta ke Akbar, Ki"
"Telat! Dia udah jadi milik orang lain. Dan elu juga udah punya dua orang yang mencintai elu di rumah lu sono!"
"Tokai! Pinter amat lu nyeramahin gue!"
"Sorry...."
"Bercanda... Thanks, Ki, udah bikin gue sadar"
Aku hanya mencibir sebagai respon dari kalimatnya itu. Siapa juga yang bakalan percaya ama kalimat Bang Bayu itu?
"Tapi emang gue harus sekali lagi memperbaiki hubungan gue ama Akbar, Ki"
"Nah kan... baru juga gue batin, belum juga semenit..."
"No! Bukan masalah gue pengen balikan lagi ama dia! Minimal gue gak harus perang dingin ama dia tiap kali ketemu"
"Emangnya kalian udah ketemu lagi? Kapan?"
"Belon lah... gue aja gak tau sekarang ini dia ada dimana"
"Gue mungkin emang masih naif Bang. Tapi kalo emang ucapan lu itu gue anggep serius, kalo kita di Bali nanti, gue bisa usahaian buat nemuin elu ama mereka"
"Mereka? Siapa aja?"
"Emangnya bini lu gak bakal cemburu kalo elu janjian ama mantan lu?"
"Wah... bakal dilempar granat sebelum gue masuk pager rumah lah Ki!!!"
"Nah, itu tau"
Sejenak kami tertawa bersama. Saat akhirnya tawa kami reda, aku menghabiskan separuh air putih yang berada di dalam gelas yang kuletakan disisi piring. Sementara Bang Bayu menyalakan sebatang rokok yang ia ambil dari saku celananya, dan beranjak dari duduknya. Menjauh dariku.
Tanpa menghabiskan sisa makanan yang sebenarnya sayang terbuang, aku berjalan mengikuti Bang Bayu, yang ternyata sedang merokok di balkon.
"Minggatnya gue ini kayak anak kecil ya Bang?" Aku mencoba memulai pembicaraan setelah aku ikut duduk berselonjor di lantai di dekat Bang Bayu.
"Iya" sahutnya singkat. "Mana hape lu?"
"Ada di Bali. Kan gak gue bawa" aku menyahut sekenaku.
"Hape yang gue kasih, sotoy!"
"Dikamar" jawabku sambil cengengesan setelah Bang Bayu menyikutku.
"Gak lu pake buat hubungin Zaki? Gue yakin dia dan semua yang ada disana, bingung nyariin elu"
Kalimat Bang Bayu kali ini terasa menamparku dengan keras.
"Gak usah panik gitu dong... Udah kangen kan pastinya?" Bang Bayu menggodaku.
Aku hanya tersenyum. Penuh arti. Dan mungkin tersipu karena pertanyaannya.
"Jadi elu gak masalah gue ama Bang Zaki...?"
"Gue mah gak masalah! Yang jadi masalah, kalo Nyokap lu tau. Gue yakin dia bakal nyap-nyap"
"Nyap-nyap doang gak jadi soal Bang. Kalo Mamah mendadak kena serangan jantung gimana?"
Bang Bayu tertawa keras sekali. Dan tak berhenti meskipun aku sudah mencubit pinggangnya.
"Oh ya. Trus udah sejauh apa hubungan lu ama Zaki?"
Aku menatapnya, tanda tak mengerti arah pertanyaannya.
"SEX!!!" Serunya dengan gemas.
Sekarang aku yakin kalau wajahku merah padam mendengar kata itu.
"Udah sampe hardcore?" Bang Bayu bertanya sambil menggerakkan pinggulnya maju mundur.
Sekarang gantian aku yang ngakak. "Gak kok... Bang Zaki gak pernah mau diajak lebih dari sekedar ciuman dan enam sembilan" jawabku jujur.
"Widih... diem-diem elu jago enam sembilan dong Ki?"
Aku tertawa keras. Bukan karena malu. Tapi tawa hambar.
"Masih jauhlah Bang. Gue kalah telak terus ama dia. Jam terbang gue gak sebanyak Bang Zaki atau elu!"
"Hmmmm... mau gue ajarin?"
"Ogah!"
Bang Bayu kembali tertawa mendengar penolakanku yang langsung terlontar tanpa harus berpikir terlebih dulu.
Lalu kami kembali terdiam. Sementara Bang Bayu sibuk menikmati beberapa batang rokok, aku hanya diam. Menatap langit mendung diatas kami. Karena tidak menemukan satu bintang diatas sana, seperti yang biasa kulakukan saat menatap langit malam di beranda kamar atas di Bali, atau dari gazebo seperti malam-malam dulu yang kulalui saat Bang Zaki tidak ada di sisiku.
Lagi pula, walaupun langit Jakarta sedang cerah pun, aku tidak akan bisa melihat bintang. Karena aku tidak sedang menggunakan kacamata.
Sebagai gantinya, pandangan mataku beralih kearah kelap kelip lampu Ibukota Jakarta yang sudah lumayan lama tidak kulihat.
"Kapan elu mau balik, Ki?"
"Sekarang bisa gak?" Aku balik bertanya. Mencoba menantang Bang Bayu.
"Habisin makan lu dulu. Mandi. Ganti baju. Biar kece. Nanti gue anterin"
Buset deh! Manusia ini memang benar-benar deh! Dikiranya jarak Jakarta ke Denpasar itu seperti Jakarta menuju Bekasi saja!
Tapi ya sudahlah. Kuturuti satu persatu permintaan Bang Bayu. Lebih tepat kalau kusebut perintah, mungkin.
Kuhabiskan semua hidangan di meja makan. Tak peduli meskipun sudah dingin. Setelah menyimpan beberapa sisa masakan yang tidak bisa kuhabiskan ke dalam lemari pendingin, aku putuskan untuk mencuci semua piring kotor. Membersihkan meja makan.
Dan saat semuanya sudah selesai, aku berjalan menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar tidurku.
Tapi pandangan mataku jatuh pada Bang Bayu yang sudah tertidur pulas diatas sofa.
Pada akhirnya aku masuk ke dalam kamar, mengambil selimut di dalam lemari. Setelah menyelimuti Bang Bayu, aku kembali ke dalam kamar. Merebahkan diriku diatas kasur. Dan kupejamkan mataku.
Penat yang kurasakan selama dua hari disini, sudah jauh berkurang. Ada rasa lega di dalam hatiku. Meskipun aku tidak menyangka kalau Bang Bayu mau mendengar semua ceritaku. Bahkan... Ah! Sudahlah.
Intinya, seiring berjalannya waktu, ternyata Bang Bayu benar-benar bisa menjadi sosok Kakak yang bisa diajak bertukar pikiran.
Tapi memang selama ini, cuma Bang Bayu yang bisa mengerti semua mauku. Kami bisa nyambung. Klik.
Sebenarnya sudah sejak lama kami memang bisa sinkron. Bahkan Bang Bayu yang selalu bisa membantu dan mendukungku sejak aku masih duduk di bangku sekolah. Makanya, aku tidak perlu berpikir dua kali saat menghubunginya saat aku merasa tersudut waktu aku menginap di kamar Wahid.
Ah iya. Wahid.
Aku langsung beranjak mengambil ponsel pemberian Bang Bayu yang tergeletak di meja di seberang kasur. Dan segera saja aku menghubunginya tanpa membaca semua pesan masuk yang ia kirimkan. Dan ada puluhan panggilan tak terjawab darinya.
Di dering ke empat, Wahid menerima panggilan teleponku.
^Kak... sudah baca SMS yang aku kirim?^
"Belum. Kenapa Hid?"
^Bang Zaki nge-drop Kak. Kapan Kakak pulang? Semuanya bingung nyari Kakak?^
Aku segera saja berlari keluar kamar dan membangunkan Bang Bayu. Dengan panik aku menjelaskan secara singkat perihal penjelasan Wahid. Padahal panggilan telepon kami belum terputus.
Dengan tergesa-gesa dan wajah mengantuk, Bang Bayu menghubungi seseorang --entah siapa. Dari apartemen milik Bang Bayu, kami dijemput heli menuju bandara. Bahkan ditengah rasa panik, aku masih takjub saja mendapati semua fasilitas bantuan dari Bang Bayu.
Dan selang tiga jam kemudian aku sudah menapakan langkahku di pulau Bali.
Dari Jakarta kami terbang menggunakan jet pribadi milik Bang Bayu. Sama seperti saat Bang Bayu menjemputku dari Bali dua hari lalu.
Tergopoh-gopoh aku membuka pagar rumah. Dan sebelum aku mengetuk, pintu dihadapanku sudah terbuka.
Bang Zaki yang membukakan pintu untukku. Segera saja aku menghambur memeluknya. Aku sampai lupa pada Bang Bayu yang berjalan mengikutiku.
Tanpa basa-basi, Bang Bayu lantas ngeloyor masuk. Berjalan melewatiku dan Bang Zaki. Sekilas bisa kulihat Bang Bayu yang langsung merebahkan tubuhnya disofa di depan TV. Melanjutkan tidurnya yang ku ganggu.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"Jadi kemarin kamu nginep di rumah Wahid, lalu pergi ke Jakarta?" Tanya Bang Zaki.
Kami sedang duduk berhadapan di atas ranjang di dalam kamar. Hanya kami berdua.
Bang Zaki mengulurkan tangannya meraih kepalaku agar mendekat. Matanya memperhatikan wajahku. Lalu jarinya mengusap sudut bibirku yang masih terasa sakit.
"Maafin Abang, Ki..."
"Tiki yang harus minta maaf Bang...." aku menyahut cepat. "Maaf udah nyakitin perasaan Abang..."
"Enggak... Abang yang salah. Sudah emosi... dan bikin kamu luka gini..." tangannya kini meraih kedua pundakku. Membuatku terjatuh dalam dekapannya. Pelukannya sangat erat. Kulingkarkan kedua tanganku melalui pinggangnya. Agar aku bisa membalas pelukannya.
"Jangan pergi seperti itu lagi Ki... Abang gak tau harus bagaimana tanpa kamu... Jangan tinggalin Abang. Abang butuh kamu...."
Aku serasa terbang mendengar kalimat yang terucap dari bibirnya itu. Rasanya seribu kali lebih nyaman dibandingkan terbang menggunakan jet pribadi milik Bang Bayu. Dalam dekapannya, entah kemana perginya semua resah yang membebaniku selama total tiga hari ini.
Tiga hari, dan seolah waktu berjalan sangat lambat. Membuat tidurku tak nyenyak karena terus menerus memikirkannya.
Belum satu jam bertemu kembali dengannya, kini hatiku terasa tentram.
"Wahid bilang, kamu demam setelah kehujanan ya?" Bang Zaki meraih wajahku. Matanya menatapku cemas. "Kamu gak diapa-apain Wahid lagi kan?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Bang Zaki. Belum pernah aku melihatnya kekanak-kanakan seperti sekarang.
"Abang cemburu?"
"Tentu! Kamu itu milik Abang!"
Aaahhh.... aku langsung memeluknya erat-erat. Kupejamkan mataku sambil mendengarkan dentuman keras didalam dada Bang Zaki.
Lalu mendadak saja aku teringat ucapan Wahid. Dan melepaskan pelukanku. Kini ganti aku yang menatap dan mengamati Bang Zaki dengan cemas.
"Wahid bilang, kalo Abang nge-drop"
Bang Zaki malah tertawa pelan. "Gak kok. Itu kerjaannya Taka. Dia yang bilang gitu ke Wahid waktu mereka lagi ngomong di telepon tadi siang"
Aku langsung merasa lega mendengar penjelasan Bang Zaki.
"Kalo gak gitu, kamu gak bakalan pulang, kan?"
"Gak kok. Tadi itu..."
Aku langsung menjelaskan situasi yang terjadi beberapa jam lalu di apartemen Bang Bayu.
Bang Zaki langsung tertawa saat kuceritakan Bang Bayu menghubungi semua orang kepercayaannya sambil mengantuk. Terlebih saat kuceritakan kalau Bang Bayu sempat menabrak seorang security bandara, dan sempat dikira sedang mabuk.
Kami sampai di interogasi selama satu jam karena laporan security bandara itu.
"Sebenarnya tadi itu udah mau kemari. Tapi Bang Bayu ketiduran. Ya udah, akhirnya Tiki masuk kamar. Trus nelpon Wahid. Eh Wahid bilang kalo Abang nge-drop. Tiki jadi panik... Dan terjadilah peristiwa di bandara itu tadi"
Rasanya bahagia sekali bisa melihat Bang Zaki tertawa seperti sekarang ini.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Hari kian begulir
Makin dekat dirimu di hatiku
Meskipun tak terucapkan
Ku merasakan dalamnya cintamu
Jangan berhenti mencintaiku
Meski mentari berhenti bersinar
Jangan berubah sedikitpun
Di dalam cintamu ku temukan bahagia
Jalan mungkin berliku
Takkan lelah bila di sampingmu
Semakin ku mengenalmu
Jelas terlihat pintu masa depan
Semoga tiada berhenti
Bersemi selamanya
[ Jangan Berhenti Mencintaiku - Titi DJ ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"Oh iya... Lalu kenapa Abang sampai sebulan disana?" Aku tidak membuang waktu untuk menuntaskan rasa pemasaranku. "Tiki kangen banget tau gak?"
"Kenapa? Takut tidur sendiri disini?" Abang menggodaku sambil tersenyum jahil.
"Bukan takut Bang. Tapi rasanya gak tenang tidur sendirian" jawabku jujur.
"Bukannya dulu biasa tidur sendirian di sofa?"
"Oh gitu. Jadi Abang mau aku tidur di sofa nih?"
"Hmmm... Ngambek?"
"Iyalah...!"
"Trus kok kemaren tega ninggalin Abang sendirian?"
"Soalnya kemaren ada yang tega nonjok sampe luka gini"
"Ciyeee.... Merajuk nih ceritanya? Mana sini yang luka? Biar Abang obatin"
"Nih!" Aku langsung menyodorkan bibirku.
Sebagai balasannya, Abang mengecup di bagian bibirku yang luka.
"Pain pain... Fly away!!"
"Hahahaha..." Aku tertawa mendengar mantra konyol Bang Zaki.
"Tuh. Langsung sembuh kan?"
"Pantesnya ngomong gitu ama anak kecil Bang" aku berujar dan mengusap punggung tangannya.
"Ngomong-ngomong... Kamu telaten gak kalo ngadepin anak kecil?"
"Yaelah Bang. Itu diluar sana ada dua bocah ingusan yang selalu Tiki rawat dengan sedemikian rupa" kataku seraya mengendikan kepalaku kearah pintu.
"Taka dan Fikar?"
"Siapa lagi?"
Abang ngakak mendapati pertanyaannya yang kubalas dengan pertanyaan yang sebenarnya adalah sebuah pernyataan. Memang sebuah fakta kalau aku bisa sabar menghadapi tingkah Taka dan Suwek yang sering kali lebih kekanak-kanakan dibandingkan dengan anak-anak.
"Nah. Trus gimana ceritanya sampai Abang sebulan di kampung halaman sana?"
Bang Zaki berdeham sejenak. "Jadi begini Ki..."
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
#GakAdaParagrafYangHilang
Memang sengaja di cut disini.
Mau putar otak dulu. Udah kepanjangan nih
Wahid? atau Tiki??
oke... makasih support nya
Thanks uda semangat n mau berbagi tulisannya
hahahaha... sebenarnya udah kelar dari kemaren. tapi karena ada yang perlu di edit alurnya, aku pisah jadi 3. dan yang 2 udah di posting
bacanya jangan sambil coli lho ya
hmmm jangan lama ya lanjutannya...