It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tumben bro @tamagokill gak di-selipin lagu?
Thanks buat update-nya, and tetap setia menunggu lanjutannya.
iya neh so dona ma yg laen tongolin lahi dong
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara
×××°•••°°•••°×××
Tidak terasa, Zain sudah memasuki masa enam bulan tinggal bersama kami. Dia resmi menjadi anggota keluarga kami yang baru. Setelah melewati beberapa minggu masa perploncoan yang sangat berat bagi bocah malang. Dan ketua panitia yang melakukan masa orientasi keluarga baru, tak lain dan tak bukan adalah Duo Racun --julukan yang diberikan Zain-- Mbak Rina dan Mbak Donna.
Tidak cuma di warung saja Zain terus menerus mendapatkan godaan dari dua tante barunya itu. Dirumah pun, ia sampai kelimpungan kalau mendapat peloncoan dari Duo Racun.
Duo Racun ini selalu menggoda Zain lantaran masalah diskriminasi tinggi dan juga berat badan. Sedikit saja aku lengah, Duo Racun itu pasti sudah menculik Zain. Menculik dan membawa kabur bocah itu gara-gara Duo Racun mendengar pertanyaan lugu Zain.
Zain ingin tau, bagaimana caranya agar bisa lebih tinggi juga agar badannya lebih berisi. Memang, untuk bocah yang beranjak remaja itu, Zain sangat kerempeng dan pendek.
Awalnya Zain dibelikan supplement oleh Mbak Rina. Sementara Mbak Donna menyuruh Zain untuk melakukan olah raga. Misalnya saja renang, dilakukan di villa yang dipakai Bang Akbar di Jimbaran. Lalu lari, untuk ini biasa dilakukan di mesin tredmill yang ada di teras belakang rumah. Belum termasuk di daftarkannya Zain di sebuah club basket untuk anak seusianya, juga ke beberapa club olahraga lainnya. Termasuk beberapa club bela diri.
Semua aktifitas barunya selama tinggal bersama kami, Zain lakukan setelah ia selesai home schooling yang dulu pernah di tawarkan Bang Bayu. Kata Bang Zaki, Zain akan melakukan home schooling selama satu tahun saja. Di tahun ajaran berikutnya, Bang Zaki akan memasukan Zain ke salah satu sekolah. Mungkin swasta, atau sekolah negeri kalau memungkinkan.
Satu minggu pertama Zain melakukan beberapa aktifitas barunya, ia sempat mengeluh karena merasakan pegal linu di sekujur tubuhnya. Dan karena support dari Bang Zaki, bocah itu tidak pernah mengeluh lagi setelah melakukan semua itu selama tiga minggu berikutnya.
Zain juga memintaku untuk mengajarinya memasak. Karena kalau ia sedang di rumah, ia tidak perlu repot-repot menghubungiku untuk mengantarkan makan siang atau makan malam. Dia ingin lebih mandiri. Semua itu berkat Duo Racun juga.
Walaupun awalnya aku agak risih karena selalu dijadikan patokan panutan Zain, toh akhirnya aku bisa menjalani dan menerimanya juga. Aku tidak pernah bangga menjadi panutan Zain. Karena aku sendiri masih sering merasa kurang. Tidak sesempurna seperti yang dilihat bocah itu.
Tapi setelah melihat banyaknya perubahan Zain, baik secara fisik maupun mental selama enam bulan ini, akhirnya aku bisa merasa sedikit bangga pada diriku sendiri.
Dan meskipun aku merasa agak malu untuk mengakuinya, aku juga semakin sayang pada Zain. Sayang sebagai adik dan anak didik tentunya. Aku juga secara tak langsung kadang kala memberikan seks edukasi pada Zain. Karena ia hidup di tengah kaum minoritas seperti kami semua.
Atas saran dari Duo Racun, Zain mulai di kenalkan pada dunia gay. Dikenalkan bukan berarti ia akan ikut-ikutan menjadi gay juga ke depannya. Tapi ia diminta untuk bisa membuka wawasannya mulai dari sekarang.
Yahh... Meskipun pada awalnya reaksi Zain sama terkejutnya seperti Duo Racun saat mengetahui status hubunganku dengan Bang Zaki. Layaknya seorang tersangka sebuah kasus kriminal, aku dan Bang Zaki mendapatkan interogasi selama beberapa jam. Mungkin hampir seharian. Beruntung saat itu warung sedang libur. Jadi aku bisa minta tolong pada Suwek untuk mengajak Zain jalan-jalan keluar rumah. Dan kebetulan juga, Taka sedang tidak berada di Bali.
Sudah dua bulan ini Taka sibuk melakukan pekerjaannya diluar negeri. Mau bagaimana lagi. Taka bersikeras tidak mau menjadi orang terkenal di Indonesia.
"Masyarakat kita itu kalo ngeliat ada orang terkenal sedikit, pasti sudah mengelu-elukannya bagai seorang Dewa yang sempurna. Dan saat melihat sedikit saja kekurangannya, maka akan di hujat habis-habisan" ungkap Taka saat aku menanyakan alasannya. "Gue itu bukan artis. Gue ngelakuin profesi sebagai model buat nyari nafkah, Ki. Gue masih nabung terus nih. Kan kagak selamanya gue nebeng di rumah Bang Zaki. Suatu hari gue harus keluar. Karena gue pengen jalanin hidup berdua dengan Izul --My Zuzu-- seperti yang selalu gue impi-impikan"
"Abang enggak pernah merasa kamu repotin loh, Taka" Bang Zaki menyahut. Karena memang saat itu kami sedang bicara bertiga di gazebo. "Tapi kalau kamu mau hidup mandiri, Abang enggak bisa melarang. Abang dukung. Tapi kamu jangan ragu untuk minta tolong ke Abang kalau kamu ngerasa kesulitan. Oke?"
"Makasih Bang... I love you soooooo.... Much!!!"
"Iya... Abang juga. Apalagi Tiki. Ya kan, Ki?"
"Gue bakal kesepian dong kalo elu gak disini..." keluhku pada Taka saat mendengar pertanyaan Bang Zaki.
"Elu tinggal hubungi gue!" balas Taka lalu memelukku erat. Dan setelah itu, ia pergi ke bandara. Suwek ikut mengantar.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Selang satu tahun kemudian, Zain sudah resmi menjadi siswa di sebuah sekolah menengah pertama yang direkomendasikan oleh Mbak Rina.
Tiga minggu sebelumnya kami sempat mengadakan pesta perpisahan dengan Tobias. Guru privat Zain yang diboyong Bang Bayu dari sebuah home schooling di wilayah Tangerang. Tepatnya dimana, aku pun tidak tau. Bang Zaki yang lebih tau mengenai hal itu.
Zain sudah empat bulan ini menempati kamar atas seorang diri. Atas permintaanku, Bang Zaki mengijinkanku untuk merubah interior di kamar itu. Semua interior lama di kamar atas sudah dipindahkan ke rumah Taka yang ia beli dari hasil tabungannya selama ini. Lokasinya sangat dekat. Teramat sangat dekat. Karena rumah yang di beli Taka tepat berada di sebelah kanan rumah Bang Zaki ini.
Awalnya Pak Pangestu, pemilik rumah disebelah, hanya ingin mengontrakkan rumahnya saja. Tapi atas bantuan Mbak Donna, akhirnya beliau mau juga melepas rumah itu kepada Taka. Sebagai hadiah, Bang Zaki juga Bang Bayu merenovasi ulang rumah itu dengan design minimalis dan memberikan beberapa kamar tambahan di lantai dua.
Sebenarnya bukan hanya merenovasi. Tapi merombak secara utuh rumah itu. Suwek juga ikut andil membelikan beberapa perabotan. Dia tidak mau kalau Taka hanya memakai uangnya sendiri. Itu pun setelah mereka debat panjang berduaan.
Dan atas permintaan Taka, tembok pemisah di halaman belakang pun di jebol untuk menghubungkan dua rumah ini. Jadi, walaupun Taka pindah rumah, tetap saja setiap harinya dia lebih betah ke rumah Bang Zaki ini. Padahal dia punya ruang TV yang lebih nyaman, tapi lebih sering santai menonton televisi di ruang TV rumah ini. Paling-paling, Taka sering mengajak Zain untuk main game dirumah barunya itu. Rumah Taka itu, kata Zain, adalah surga para gamer. Berbagai jenis mesin game ada disana. Mulai dari Playstasion, X-Box, Nintendo Wii dan lain-lain yang aku sendiri cuma bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Aku lebih suka menyibukkan diri di dapur bersama Suwek. Dan sesekali ada Bli Syaka.
Zain punya tiga orang teman baru yang ia ajak kemari usai melewati masa orientasi siswa. Tapi karena Zain berstatus siswa pindahan, tentunya dia tidak perlu mengikuti sesi acara itu.
Ada Kahfi yang ternyata tinggal hanya lima blok dari sini. Ibunya yang asli Makassar itu, dulu lumayan akrab dengan mendiang Bang Toya. Sementara Ayahnya asli Mesir. Kahfi bilang beliau bekerja di sebuah perusahaan kilang minyak di timur tengah. Dan baru ada di rumah setiap tiga sampai enam bulan sekali. Pantas saja wajah bocah ini terlihat ke-Arab-arab-an. Dengan hidung mancung lurus dan mata agak sayu dengan kulit putih bersih. Kalau dilihat lebih teliti wajahnya sekilas mirip Zayn Malik. Terlihat paling tampan diantara tiga teman Zain. Paling tidak itu pendapat pribadiku.
Ada Gustha yang nama aslinya Agus Astha. Bocah asli Bali. Tinggal sekitar lima belas menit dari rumah kami. Rumahnya lumayan jauh kalau di tempuh dengan berjalan kaki. Tapi kalau mengendarai sepeda motor, bisa ditempuh dalam waktu lima belas menit saja. Bocah satu ini yang paling ramai dari dua teman Zain yang ia kenalkan. Langsung klop ketika dikenalkan pertama kali dengan Duo Pe'a --Taka dan Suwek. Dan meskipun agak kurus, tapi Gustha paling hobi makan. Buktinya dia sanggup menghabiskan satu buah cake yang dibawakan Bli Syaka. Bukan satu potong. Tapi satu buah utuh cake. Gustha bilang dia suka sekali dengan cake. Dan cake buatan Bli Syaka itu katanya sangat enak. Untung saja Bli Syaka membawa lebih dari satu buah cake. Karena katanya itu hasil iseng-iseng untuk cake barunya nanti yang akan ia masukkan ke dalam menu.
Terakhir adalah Tora. Bocah ini yang paling tinggi dan juga memiliki bentuk tubuh lumayan berisi untuk anak seusianya. Awalnya kukira Tora adalah kakak kelas Zain. Tapi ternyata Tora memang lebih bongsor. Kalau dia memakai pakaian bebas, bukan seragam SMP, pasti banyak yang mengira dia adalah siswa SMA. Dibandingkan dengan Kahfi dan Gustha, Tora lebih pendiam. Tidak banyak bicara. Mungkin masih malu-malu karena baru kenal. Tapi ia memiliki pandangan mata yang tajam. Sedari awal dikenalkan, ia selalu mencuri pandang kearahku maupun Taka. Mungkin, diantara keempat bocah ini, Tora paling pantas diposisikan sebagai pemimpin. Mudah-mudahan saja dia bukan berandalan. Karena secara fisik dan penampilan, dia memiliki semua kriteria itu.
Zain bilang, kalau Ayah Tora asli Aceh. Dan Ibunya asli Jepang dan Sunda. Tak heran kalau melihat Tora paling menonjol karena memiliki lumayan banyak campuran genetik. Meskipun, tetap kembali lagi ke Kahfi untuk aku kategorikan teman Zain yang paling tampan.
Zain bisa akrab dengan Tora pun, karena Tora sangat menonjol di sekolahnya. Selain itu juga karena mereka duduk bersebelahan di kelas. Zain bilang, Tora duduk di bangku paling pojok di deretan belakang dekat dengan jendela. Sementara Kahfi dan Gustha duduk di depan mereka. Dan berawal dari lokasi tempat duduk itulah, mereka berkenalan dan menjadi lebih akrab.
"Trus, Tora tinggal dimana?" tanyaku setelah mencomot kue bolu di tangan Tora. Sebenarnya sudah dia gigit. Tapi aku cuek saja. Karena sedari tadi aku mengincar bolu itu tapi keduluan Tora.
"Tora ngekos Bang. Soalnya rumah dia jauh banget di Gianyar" jawab Kahfi.
"Kos? Anak SMP udah ngekos?" Taka bertanya keheranan.
Well... aku juga.
"Dulu tinggal sama sodara. Tapi karena ada masalah, jadi di koskan saja sama orang tua" jawab Tora. Matanya melirik kearah bolu di tanganku. Kuambil secomot, lalu kusuapi paksa kemulutnya. Meskipun awalnya ia berusaha mengelak, pada akhirnya dia kunyah juga.
"Tora itu siswa paling pinter di sekolah, Bang. Buktinya dia selalu juara pertama. Udah gitu kata guru-guru, biaya sekolah Tora juga gratis" Gustha menimpali. Kemudian ia bersendawa panjang usai menghabiskan satu toples berukuran kecil berisi sebuah biskuit buatan Bli Syaka.
"Wow! Bagus tuh! Jadi inget seseorang!" Taka melirik kearahku sambil memainkan kedua alisnya naik turun.
"Bang Tiki juga dapet beasiswa?" Zain bertanya padaku. Rupanya dia mengerti maksud dari lirikan mata Taka.
"Die mah sekolah gak pernah bayar. Duit jajannya aja utuh terus. Enaklah hidup dia dulu" Taka menyahut.
"Yeee! Itu mah gara-gara elunya aja yang lebih suka maen daripada belajar!" Kali ini aku buka suara.
Pada akhirnya aku dan Tora berbagi bolu. 70 persen untukku, sisanya untuk Tora.
"Eh Ra! Daripada elu ngekos, mendingan tinggal disini aja! Noh ada dua kamar nganggur di atas. Pilih satu deh" Taka memberikan usul. Dan membuat mata kami semua bergantian menatap kearah Taka dan Tora. "Biar Zain ada temennya juga. Soalnya kita semua disini selalu sibuk. Jarang di rumah. Kalo berangkat sekolah bisa bareng-bareng. Eh bocah! Elu masih SMP gak usah berangkat pake motor. Taro sini aja. Entar pulang pergi biar di jemput dari sini. Kalo gak ama gue ya ama Izul. Ya kan Zul?" Seloroh Taka pada Gustha dan Suwek.
"Gampang. Pokoknya kalo gue gak sibuk aja ye!"
"Sok sibuk lo!" Ujarku dan Taka berbarengan sambil melempar kacang kearahnya.
"Buset! Dilempar kacang. Lo kira gue penghuni kandang tiga belas di ragunan?!" Suwek langsung menjulurkan tangannya kearah ketiak Taka dan mengelitikinya sampai Taka jatuh terlentang dan mereka malah asik mesra-mesraan terselubung.
"Gimana Ra? Mau pindah sini?" Tanya Zain penuh harap. Sementara yang di tanya malah diam sambil garuk-garuk pahanya.
"Apa perlu gue yang ngomong ke ortu lu?" Kali ini aku yang bertanya.
"Gak perlu. Tapi... Apa enggak merepotkan?"
"Deuh... Biasa aja. Itung-itung menghemat uang jatah ortu. Lumayan kan bisa buat di tabung?" Kurangkul pundak Tora. "Sono gih. Elu pilih dulu kamarnya"
"Udah. Pindah aja kesini. Kalo malem minggu, nanti aku nginep sini deh. Kali aja kamu takut" ujar Gustha.
"Dasar!" Tora menyikut rusuk Gustha hingga membuatnya meringis.
Setelah itu, ke empat bocah itu ramai-ramai memilih kamar di lantai atas. Seingatku memang ada dua buah kamar disana. Satu kamar yang memiliki beranda kearah halaman belakang. Satu kamar lagi berada diantara kamar depan yang dipakai Taka yang ada beranda kearah halaman depan.
Taka mendekatiku. "Ki. Elu masih ada tabungan berapa?" Taka bertanya dengan raut wajah serius.
"Kenapa emangnya? Bukan gak mau bilang. Tapi gue belum cek. Kan gue masih ada cicilan" jawabku. Aku yakin Taka tau maksud perkataanku. Karena aku memang masih ada cicilan untuk membayar mobil box yang aku beli beberapa bulan lalu untuk keperluan warung.
"Begini... Gue kemaren ngeliat iklan ini Ki" Taka menunjukkan sebuah iklan di layar iPad miliknya. "Gue rencana mau beli tanah ini. Trus gue bangun kosan aja. Gue pikir-pikir, lumayan juga tau Ki"
Setelah membaca iklan yang ditunjukkan Taka, aku menatap saudara kembarku itu. "Pinter juga lu Ka. Boleh tuh. Tapi nanti gue itung-itung dulu ya. Kan ngebangun gituan butuh biaya lumayan juga Ka"
"Alah... Gampang! Kita bisa ajukan pinjaman ke Big Boss Bayu!!" ujarnya antusias. "Elu bantu rayu deh. Biar gak di bungain. Tu orang kan otaknya kadang kayak rentenir, Ki" lanjutnya. Kami tertawa sebentar.
"Oke deh. Tapi setelah gue konsultasi ke Abang ya?"
"Kelamaan! Kalo gak, ini gue beli dulu pake duit gue. Nanti setelah elu deal ama Bang Zaki, baru deh elu bayar ke gue. Gimana? Tenang... Fifty-Fifty aja ama gue!" Lanjutnya lagi. Sementara aku hanya manggut-manggut saja. "Gue ama Izul pengen bikin usaha bareng, Ki. Dan gue pengen elu ikutan"
"Sementara Abang punya beberapa villa, kita punya banyak kosan. Gitu?" Tanyaku.
"Yoi! Gimana? Ini buat usaha sampingan lu aja. Elu penanam saham gitu deh. Yang kerja biar gue ama Izul" ucap Taka.
"Trus siapa yang bantuin gue di warung dong?"
"Gue pasti selalu ke warung Bang Ki. Lagian kan ada si Wahid. Gak selamanya kan dia jadi waiter dan tukang bersih-bersih. Kasihlah peluang buat dia jadi asisten lu" Suwek menimpali.
"Bilang aja kalo elu butuh asisten. Itu mah elu yang atur Wek. Gue udah ribet koordinir banyak hal. Gue gak mau ngerepotin Bang Zaki terus"
"Oke deh. Kalo gitu deal ya Ki?" Taka merangkulku.
"Jangan main beli aja. Mentang-mentang elu ada duit! Liat dulu situasi disana" jawabku. Kubalas rangkulan Taka.
Sekilas aku bisa melihat pandangan mata Tora dari lantai atas. Tapi tiap kali aku membalas tatapannya, dia sudah mengalihkan pandangannya kearah lain.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Selang seminggu kemudian, Tora resmi pindah ke rumah Taka dan menempati kamar dilantai atas. Rupanya atas usul Zain, Tora memilih kamar yang memiliki beranda di halaman belakang. Dengan alasan kamarnya yang paling luas. Jadi lebih enak dipakai saat ada teman yang main kesitu.
Tadinya Taka yang akan datang. Tapi karena manusia satu itu sibuk kejar omset, jadinya sibuk terus. Jadilah... aku --diantar supir dan mobil milik Bli Syaka-- yang datang ke rumah Tora dan dikenalkan pada kedua orang tuanya. Menjelaskan perihal kepindahan Tora. Dan lain sebagainya sampai akhirnya diijinkan juga.
Tidak banyak barang yang dibawa Tora selain dua buah koper besar berisi pakaian, dan beberapa barang lain. Karena di kamar kos Tora dulu, sudah mendapatkan kasur dan lemari dan Tora tidak membawa barang lain selain kompor gas mini dan sebuah dispenser lengkap dengan galon airnya. Untuk kompor gas, mungkin aku akan mengantar Tora agar menaruhnya saja dirumah dia sana. Sementara dispenser dan galon, bisa dia letakkan di dalam kamar. Kalau dia haus, biar tidak repot naik turun tangga. Lagi pula, di rumah Taka ini, setiap kamar memiliki kamar mandi dan toilet masing-masing.
Dan karena melihat kamar mandi di tiap kamar yang ada dirumah baru Taka itu pula, Bang Zaki membongkar kamar mandi di rumah kami yang berada dilantai atas. Agar menjadi satu dengan kamar atas.
Selama masa renovasi kamar itu pula, Zain terpaksa tidur bertiga dengan Taka dan Suwek di depan ruang TV. Tapi kalau Bang Zaki sedang tidak pulang, kami berempat tidur bareng di kamarku.
"Pokoknya selama tinggal disini, kamu bebas ngapain aja. Anggep rumah sendiri. Tapi usahakan selalu bersih. Jangan sungkan minta tolong ke Zain kalo perlu apa-apa ya" Zain berujar usai membantu menata pakaian Tora ke dalam lemari.
"Beres..." Tora mengacungkan jempolnya pada Zain.
"Udah pada laper?" Tanyaku dengan bosan, karena sedari tadi melihat kedua bocah itu sibuk menata kamar. Sementara aku hanya diijinkan mengawasi dari beranda kamar saja. "Tora bisa masak?" tanyaku.
"Masak mie instan aja" jawabnya sambil tersenyum simpul.
"Zain pinter masak tuh. Minta dia ngajarin elu aja. Gue jadi ngantuk gara-gara duduk doang dari tadi"
"Bisa masak apa aja?" Tanya Tora ke Zain.
"Yang gampang aja. Tora mau nasgor?" Zain mencoba memberi ide.
Kami bertiga kini sudah kembali masuk kedalam rumah Bang Zaki melewati halaman belakang. Karena halaman belakang di rumah Taka ini lumayan luas, Taka membuat kolam renang yang memanjang sampai gazebo. Sementara untuk dapur, pada akhirnya kami memutuskan untuk memakai dapur di rumah Bang Zaki saja. Taka hanya membeli beberapa kulkas untuk menyimpan semua kebutuhannya di dapur miliknya yang jarang sekali dia pakai. Walaupun dipakai, paling juga bisa dipakai sebagai mini bar karena memang dirancang out door menghadap kearah kolam.
"Bang Tiki mau nasgor?" Tanya Zain mencoba menawariku ketika aku sudah berdiri diambang pintu kamar.
"Gak deh. Gue ngantuk banget. Kalian enjoy ajalah" ujarku dengan mata yang sudah lima watt.
Samar-samar aku mendengar Zain mengajak Tora berenang setelah makan. Tapi Tora sepertinya lebih memilih untuk menggunakan beberapa peralatan gym yang berada di teras belakang dekat gazebo. Bocah itu sepertinya memang gila olah raga. Mengingat bodinya yang bongsor tapi padat berisi itu.
Aku langsung memeluk guling saat sudah berada diatas kasur. Tak perlu waktu lama untuk membuatku terlelap.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku hanya tidur selama satu jam. Tapi saat bangun, rasanya seluruh tubuhku sudah jauh lebih segar. Aku segera mandi karena melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore.
Saat aku keluar kamar, aku segera menuju kearah halaman belakang. Rupanya ada Kahfi juga Gustha. Mereka berempat sekarang asik berenang.
"Ikutan Bang!" Zain berseru saat melihatku berjalan menuju gazebo. Tapi aku hanya menggeleng pelan.
"Kalian ganti baju gih. Ikut gue yuk" kataku pada Zain. Dia sedang mengeringkan badannya dengan handuk ditepi kolam, dekat denganku.
"Kemana?" Zain bertanya lalu duduk di gazebo tak jauh dariku.
"Kacamata gue gagangnya kendor nih. Paling mau kencengin dikit. Sekalian beli kontak lens baru. Yang kemaren udah habis" aku menjelaskan.
Aku memang memakai kontak lens saat sedang bekerja. Lebih simple. Tapi aku memilih memakai kontak lens harian saja. Biasanya aku membeli untuk stok selama tiga sampai empat bulan. Dan stok kontak lens milikku sudah habis sejak dua minggu lalu.
Selama menunggu empat bocah itu mandi dan berpakaian, aku putuskan untuk mengganti celana panjangku dengan celana pendek saja. Cuaca hari ini sangat cerah. Meskipun sudah beberapa tahun di Bali, aku masih tidak tahan berada di bawah teriknya matahari begini. Kulitku tidak akan menjadi hitam memang, tapi akan menjadi merah seperti udang rebus. Kalau sudah begitu, biasa aku akan meminta Bang Zaki untuk mengoleskan lidah buaya di sekujur badanku. Tapi sudah satu minggu ini Bang Zaki di Ubud bersama Bang Akbar.
Saat aku berjalan keluar kamar, aku berpapasan dengan Tora. Dia sudah rapih dan sedang duduk di sofa ruang tamu.
"Tadi jadinya pada makan apa?" Aku bertanya sekedar membuka pembicaraan. Dari pada kami duduk berhadapan tapi diem aja, kan jadi aneh. Aku tidak mau membuat Tora menjadi tidak nyaman selama tinggal disini.
"Zain bikin nasgor"
"Enak gak nasgornya?"
"Hmmmm... Begitulah..."
"Kalo gak enak bilang aja. Jadi besok-besok kalo elu gak suka, dia gak maksain elu makan masakan dia"
"Enak kok. Bener! Katanya, Bang Tiki yang ngajarin Zain ya?"
Aku mengangguk sebagai jawaban. Kemudian saat melihat Zain turun dari kamarnya diatas, aku mulai mengeluarkan ponsel disaku kemejaku.
"Bang... Kita naek taxi? Kan mobilnya dibawa Mamang" Zain bertanya ketika ia sudah duduk disebelahku.
"Yang tadi itu mobil siapa?" tanya Tora.
"Itu punya Om Syaka. Kan tadi ada supirnya. Bang Tiki katanya enggak hapal rute ke rumah kamu, Tor" Zain menjelaskan.
Ngomong-ngomong soal taxi, aku langsung mengecek saku celanaku. Nah kan! Benar saja. Aku lupa memasukan dompetku. Tanpa menjawab pertanyaan Zain aku segera berlari menuju kamar dan mengambil dompetku yang masih ada di saku belakang celana panjang yang tadi kupakai.
"Bentar ya. Gue mau order Grab dulu" kataku pada keempat bocah yang ternyata sudah duduk manis di sofa ruang tamu.
Beberapa menit kemudian kami berlima meluncur ke MBG --Mall Bali Galeria, Kuta. Tadinya aku mau sekalian mengajak mereka jalan-jalan ke Beachwalk. Tapi karena tidak membawa kendaraan sendiri, aku cancel saja. Akan sangat repot nantinya.
Sesampainya di MBG, aku langsung menuju ke optik langgananku terlebih dulu. Kalau sudah selesai, mungkin nanti aku akan mengajak mereka makan malam bersama.
Sementara aku sedang berbicara pada petugas Optik, empat bocah itu sedang asik bermain diluar. Kalau aku perhatikan, sepertinya mereka sedang asik berburu Pokemon. Tapi aku melihat hanya Zain dan Kahfi saja yang mengeluarkan smartphone-nya. Mungkin dia teman Zain tidak menginstal permainan itu. Meskipun memang sedang populer, toh tidak semua orang suka dengan game itu.
"Udah selesai Bang?" Tora bertanya padaku. Dia tadi duduk menemaniku meninggalkan tiga temannya diluar.
"Udah. Elu gak ikutan main?" Tanyaku balik.
"Gak suka. Lagian aku gak punya hape canggih" jawabnya sambil menunjukkan ponsel miliknya. "Tapi tadi Zain sempat minjemin hapenya kok. Aku tetap gak suka" lanjutnya lagi.
Aku terkekeh sebentar mendengar kalimat Tora. "Elu kayaknya hobi belajar ama olahraga ya?" Pertanyaanku di jawabnya dengan anggukan.
"Zain suka olahraga juga kan? Tadi aku kaget liat badan dia. Keliatannya aja kurus kalo pakai baju" ucapannya membuatku terkekeh.
"Itu hasil latihan dia selama kurang lebih setahun ini. Dulu itu, Zain tuh pendek dan kerempeng. Gue aja heran dia bisa melar ke atas gitu" aku menjelaskan. Aku menceritakan secara singkat tentang latihan apa saja yang Zain jalani dibawah bimbingan Mbak Donna selama setahun terakhir. "Kalo lagi santai, temenin aja si Zain. Dia pasti seneng ada yang nemenin"
"Emangnya Zain enggak punya teman lain selain kami bertiga?" Tora bertanya dengan penasaran. Kami berdua berdiri dan melihat Zain, Kahfi dan Gustha yang sibuk berlari-lari kecil kesana kemari.
Aku menggeleng pelan. "Kalian teman pertama Zain selama dia tinggal di Bali. Teman sepantaran dia maksud gue. Elu bisa liat sendiri kan, di rumah gak ada yang seumuran ama Zain?"
"Zain juga orang pertama yang bisa langsung akrab ama aku" ujarnya lirih. Tapi aku bisa mendengar ucapannya barusan. "Trus, habis ini mau kemana lagi?"
"Makan?" tanyaku memberi ide.
"Bang Tiki laper?" Tora balik bertanya.
Aku tersenyum simpul sambil mengelus perutku. "Ya begitulah..."
"Kalo masak di rumah aja bisa? Penasaran sama masakan Bang Tiki. Zain bilang, Abang yang ngajarin dia masak"
"Kalo gitu... Panggil tiga bocah itu. Kita belanja dulu" kesenggol pundaknya dengan lenganku. Tora langsung beranjak menghampiri tiga bocah yang masih mondar mandir kesegala arah, seperti anak curut dikejar-kejar kucing.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Sesampainya di rumah, rupanya Bang Zaki sudah pulang. Ada Bang Akbar juga. Mereka sedang duduk santai di sofa depan TV. Saat meletakkan kantong belanjaan di meja makan pun, aku bisa melihat Mbak Donna di gazebo. Sepertinya dia sedang berbicara dengan seseorang. Dan saat aku melangkahkan kaki menghampirinya, aku bisa mendengar suara Bli Syaka. Keduanya menoleh kearahku saat aku menyapa.
Mbak Donna yang paling terkejut saat mengetahui hubunganku dengan Bang Zaki. Katanya aku tidak menunjukkan sedikitpun gelagat yang membuatnya berpikir kalau kedekatanku dengan Bang Zaki sudah melewati batas adik dan kakak.
"Oh My God!!! Kalian bisa ditarik paksa ke rumah orang tua kalian kalau Nyokap lu pada tau!!" pekiknya histeris waktu itu. "Dan elu Zak!!! Tega bener elu ngerahasiain semua ini ke gue! Ke kita semua!!"
"Karena aku tau, reaksimu akan seperti ini, Don" Bang Zaki menyahut santai.
"Maksudnya 'kalian' itu siapa ya Mbak?" tanyaku pada Mbak Donna saat itu.
"Tentu aja elu dan sodara kembar lu yang koplak itu!" jeritnya.
"Woi!! Siapa yang koplak?" tanya Taka dari luar kamar. Karena waktu itu aku dan Bang Zaki sedang di sidang di dalam kamar oleh Mbak Donna.
Taka jatuh tersungkur saat Mbak Donna membuka pintu kamar. Sepertinya bocah satu itu sedang sibuk menguping.
Aku masih akan terus tersenyum kalau mengingat kejadian waktu itu. Mbak Rina perlu waktu dua jam untuk menenangkan Mbak Donna yang masih kejang-kejang di depan TV. Sepertinya memang cuma Mbak Rina saja yang bersikap santai ketika mengetahui hubunganku dengan Bang Zaki.
"Kayaknya rumah ini perlu dikasih label deh" ucap Mbak Donna saat melangkah masuk usai menyapa dan mengecup kedua pipiku. Sejurus kemudian matanya melihat ke empat bocah yang sibuk menata belanjaan di dapur. Zain yang memberikan instruksi kemana saja semua belanjaan itu diletakkan.
"Maksudnya?" Bang Zaki yang menyahut.
"Ya... Rumah ini tuh kayaknya hampir gak pernah dimasuki cewek. Isinya selalu aja cowok" jawab Mbak Donna lalu membanting pantatnya ke sofa. "Perlu gue tulis gede-gede di depan pager rumah lu Zak? 'Pondok Jejaka', gitu. Kalo perlu dikasih lampu kelap kelip biar lebih mencolok"
"Belum sehari dipasang, ni rumah udah di grebek Pecalang" Bang Akbar menimpali.
"Coba aja kalo berani. Nanti aku kempesin melon kembarmu itu" ancam Bang Zaki. Dengan nada bercanda tentunya.
"Heh! Lancang! Kasian lakik gue dong ah..." Mbak Donna mengibaskan rambutnya yang dikuncir ala ekor kuda itu.
"Belanja untuk makan malam?" Bli Syaka yang bertanya padaku. Dia sudah berdiri disebelahku sambil mengenakan apron. "Bli bantu ya..."
"Boleh minta apelnya?" Tora bertanya meminta ijin. Aku menyilahkannya mengambil sendiri di dalam kulkas.
"Wah! Makan-makan nih. Dalam rangka apa?" Mbak Donna yang bertanya.
"Oh iya. Kenalin. Ini Tora. Temennya Zain. Mulai hari ini dia tinggal disini. Dirumah sebelah sih" aku berujar mengenalkan Tora yang baru saja selesai mencuci sebuah apel.
"Temennya Zain? Gue kira tadi tuh dia temen lu Ki" sahut Mbak Donna setelah Tora melangkah pergi usai berjabat tangan dengannya.
"Bongsor emang ya? Gue kira dia itu dulu Kakak kelasnya Zain. Ternyata..." Aku mengangkat kedua bahuku.
"Jangan sembarangan kalo mesra-mesraan lho ya. Kalo Zain sih, dia tuh masih lugu banget. Nah temen-temennya kan kita gak tau" Mbak Donna memberi saran. Aku hanya mengangguk dan mengacungkan jempol.
"Trus kita mau masak apa nih?" Tanya Bli Syaka.
"Ada ide?" Aku menyahut.
"Dia yang belanja, dia yang minta ide" Mbak Donna mencibir. Tapi toh dia tetap saja mengambil apron yang terlipat rapi di lemari didekatnya berdiri.
Mbak Donna memberikan instruksi pada Bli Syaka untuk menyiapkan semua bumbu yang dia sebutkan. Sementara aku kebagian tugas memotong beberapa sayuran dan juga daging ayam yang tadi aku beli. Selebihnya Bli Syaka dengan tanggap menyiapkan menu hidangan penutup. Sedangkan aku dan Mbak Donna, kalau dilihat dari instruksinya, kami akan membuat pizza dan pasta.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
[Side Story]
Cinta pada pandangan pertama adalah kalimat yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku. Saat pertama kali berkenalan dengannya.
Dia tau mengenai hal ini. Dia tau isi hatiku. Tapi hanya bisa bermimpi untuk mendapatkannya. Memang aku yang salah sudah bertindak ceroboh. Aku bertingkah bodoh.
Tapi ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sebenarnya sudah cukup memberiku pelajaran kalau orang seperti dirinya tidak akan mungkin menerimaku.
Bertahan tetap bekerja disini sebenarnya sudah cukup menyiksa lahir dan batinku. Menanggapi bagaimana dia bersikap kasar padaku mengenai kebodohanku beberapa waktu lalu. Juga sikap orang-orang terdekatnya yang bersikap tak jauh beda.
Sempat aku berniat untuk berhenti saja. Tapi saat ia sudah bisa tersenyum kembali padaku, menyurutkan niatku. Aku akan tetap bertahan disini. Aku akan terus berusaha. Semampuku. Walau sebenarnya sakit.
Kupikir... Kejadian malam itu. Saat pertama kali aku melihatnya rapuh, aku bisa menjadi penopang untuknya. Tapi ternyata aku salah.
Tak lama setelah kejadian malam itu, sebuah kabar mengejutkanku. Dia yang kucinta ternyata sudah ada yang memiliki.
Disaat aku mengira, bisa menopang kerapuhannya, ternyata sebuah tamparan keras menyadarkanku, bahwa aku hanya sebuah batu pijakan untuknya terus mengepakkan sayapnya. Jauh meninggalkanku.
Aku tersadar dari mimpi panjangku.
Dia hanya indah untuk kulihat. Tak mampu kugapai. Tak sanggup ku genggam.
Tapi melihatnya bisa tersenyum sebahagia itu, seolah cukup memberikan kepuasan. Walaupun sekali lagi aku harus menangis sendiri didalam kamarku nanti.
Dia tidak perlu tau mengenai doa-doaku yang selalu terpanjatkan, demi untuk melihat senyumnya itu.
Lebih baik begini.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Baiknya engkau mengerti
Kesungguhan hati ini
Yang mungkin telah engkau ingkari
Sejak pertama kali cinta
Hadir hanya untuk dirimu
Tak ada yang lain
Namun lihat yang kau lakukan
Aku bukan diriku lagi
Demi cinta ku relakan dirimu bersamanya
Walau hati kecilku yang terluka
Ku relakan dirimu bahagia
Jika nanti dirimu telah pahami arti cinta
Ingatlah diriku selalu ada
Menanti di ujung waktu
Baiknya engkau resapi
Apa yang telah terjadi
Ooh jangan sampai kau ulang kembali
Jangan kau sakiti dia oooh
Biar hanya diriku yang rasakan
Biar hatiku yang hancur
Sebab suatu saat nanti
Pasti kau sadari semua ini
Demi cinta ku relakan dirimu bersamanya
Walau seluruh jiwaku telah terluka, ku relakan dirimu bahagia oooh
Dan bila nanti dirimu telah pahami arti cinta
Ingatlah diriku selalu ada, menanti di ujung waktu
Oooh ku relakan dirimu bahagia
Dan bila nanti dirimu telah pahami arti cinta
Ingatlah diriku selalu ada, menanti di ujung waktu, menanti di ujung waktu
Baiknya engkau mengerti
[ Demi Cinta - Mike Mohede ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
ada yang hapal ama salah satu karakter yang jarang muncul nih. pasti nunggu POV nya muncul ya?
Emang ingetanku tajam aja, wakakakka