It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
bukan aku yang jawab loh ya
thanks ya @LittlePigeon udah jawab..
syaka dulu korban sodomi juga kan?
ntu side storynye wahid ye?
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara
×××°•••°°•••°×××
mari kita mulai
Semakin hari, hubunganku dengan Bli Akhza semakin dekat saja. Tidak hanya denganku saja. Tapi dengan Ibu pun begitu. Tiga bulan setelah Bli Akhza memutuskan untuk tinggal bersama kami, suatu hari Bli Akhza datang bersama dengan Bli Aryasatya. Biar lebih mudah menyebutnya, aku hanya memanggil Bli Arya saja.
Bli Arya mengajak isteri dan dua buah hati yang lucu. Dua anak lelaki yang awalnya kukira kembar, Danapati dan Danasura. Wajah mereka sangat mirip. Mungkin karena mereka hanya berjarak dua tahun. Dua keponakanku ini pun cepat sekali akrab denganku. Bisa jadi karena sewaktu masih tinggal di rumah Eyang dulu, aku biasa ngemong saudara sepupu dan keponakan yang ada disana.
Sewaktu masih Mondok dulu, aku juga cepat akrab dengan teman-teman juga juniorku disana. Melihat Danapati dan Danasura, jadi membuatku teringat dengan banyak nama. Kenangan sewaktu masih Mondok dulu memang yang terbaik untukku. Meskipun aku sempat sedih harus terpisah dengan keluarga besar di Pondok Pesantren, tapi memang harus ada yang aku korbankan. Karena aku kangen. Aku rindu dengan Ibu. Itulah alasan yang aku pakai pada Eyang agar mengijinkanku untuk tinggal bersama Ibu di Denpasar.
Sayangnya aku hanya bertemu dan bermain sebentar saja dengan Danapati dan Danasura. Karena aku harus segera berangkat bekerja. Tadinya Ibu memintaku untuk mengambil ijin agar tidak masuk kerja. Tapi aku tidak mau.
Meskipun sakit. Meskipun rasanya menyiksa batin. Tapi aku tetap ingin bekerja. Karena memang cuma di jam kerja saja, aku bisa bertemu dengan Kak Tiki. Aku sudah cukup puas menjadi penonton kebahagiaannya. Rasanya aku tidak sanggup tersenyum lagi kalau tidak melihat wajahnya.
Hanya dengan melihatnya tersenyum, bagiku sudah cukup menentramkan hatiku. Lagi pula sejak beberapa bulan lalu, ada satu orang lagi yang kadang datang membantu di Warung. Yaitu Zain. Itu juga Zain hanya diperbolehkan membantu kalau dia sudah selesai home schooling-nya.
Kak Zulfikar bilang, Zain adalah keponakan yang di adopsi Bang Zaki. Tidak banyak info yang aku dapatkan. Tapi kehadiran Zain, juga menjadi pemicu rasa cemburu di hatiku. Beruntungnya Zain, dia bisa mendapat semua perhatian dari Kak Tiki.
Saat seusianya dulu, aku sedang berada dimasa kelamku. Dimana aku takut untuk menemui banyak orang. Itu karena ulah kedua Kakak tiriku. Entah bercanda atau memang serius, aku sering sekali menjadi korban bullying.
Kedua Kakak tiriku itu sebenarnya masih sering bertemu dengan Ibu sampai aku duduk di bangku SMP. Tapi puncak bullying mereka adalah saat Bli Akhza mencekik dan mengancamku dengan sebilah pisau yang ia acungkan seolah akan ia hunuskan ke bagian dadaku.
Aku jadi teringat. Waktu itu aku hanya bisa menangis sesenggukan dan menyebut memanggil Bapak. Dan Bli Akhza mengejekku karena aku tidak punya seorang Bapak.
Meskipun pisau itu tidak menghujam bagian tubuhku, tapi seolah sesuatu yang tajam menghujam jantungku. Membuatku setengah mati ketakutan sampai aku mengompol. Aku harus menerima kenyataan bahwa kedua Kakak tiriku itu sangat membenciku. Padahal aku sangat menyayangi mereka.
Saat itu Ibu sudah menyewakan beberapa kamar di rumah. Dan ada salah satu penghuni kosan yang melihat aksi Bli Akhza itu. Aku sudah lupa nama dan wajahnya. Tapi saat itu, dialah yang menolongku. Hingga puncaknya Eyang sangat murka dan membawaku ke rumah Eyang.
Ingatanku sudah samar-samar. Aku lupa siapa yang membawaku pergi waktu itu. Apakah Ibu atau Eyang yang menjemput dan membawaku pergi. Dan karena kejadian itu, aku selalu ketakutan setiap kali melihat sebilah pisau. Aku trauma. Bahkan sekali waktu, aku pernah sampai pingsan waktu masih Mondok dulu. Karena ada salah satu juniorku yang menjatuhkan sebilah pisau di dekat kakiku. Kalau sedang Idul Adha pun, aku selalu jauh-jauh dari halaman yang dipakai untuk menjadi tempat kurban. Aku akan muntah kalau mencium bau darah. Parahnya mungkin aku akan jatuh pingsan, dan akan berlanjut menjadi demam selama beberapa hari.
Dari kejadian itulah, banyak sekali yang membantu untuk menghilangkan traumaku itu. Entah mereka mendengar dari siapa, kalau aku pernah mendapatkan pengalaman menyeramkan dengan sebilah pisau. Mungkin mereka menduga. Atau memang ada yang menceritakan. Karena ada beberapa saudara sepupuku yang juga Mondok denganku. Bisa jadi mereka, atau salah satu dari mereka yang menyebarkan cerita itu.
Dan alhamdullilah... Setelah melewati beberapa bulan dan tahun. Traumaku dengan sebilah pisau perlahan menghilang.
Adalah Arkananta. Atau biasa dipanggil Arka oleh teman-temanku, sementara aku biasa memanggilnya Kak Nanta. Yang selalu ada dan meluangkan sedikit waktunya untukku. Usiaku dengan Kak Nanta sebenarnya hanya berjarak beberapa bulan saja. Tapi karena aku merasa bahwa aku juniornya, aku selalu menaruh rasa hormat, juga kagum padanya.
Kak Nanta adalah salah satu panutanku. Karena dia sangat mandiri. Sudah sejak usia sepuluh tahun Kak Nanta tinggal di pondok pesantren. Jauh dari orang tuanya. Sementara kedua orang tuanya tinggal dan bekerja di luar Indonesia. Kak Nanta bilang Ibunya bekerja menjadi TKW di timur tengah. Sementara Ayahnya bekerja di timur tengah, tapi berbeda negara. Aku lupa negara mana.
Kak Nanta pernah bercerita kalau ia dipindahkan ke Pondok Pesantren untuk mengamankan dirinya dari tangan anak buah rentenir di kota asalnya. Entah bagaimana ceritanya, Kak Nanta tidak menceritakan lebih rinci, kedua orang tuanya terlibat hutang puluhan juta. Dan jalan satu-satunya adalah bekerja diluar negeri.
Saat Kak Nanta akhirnya harus kembali berkumpul dengan keluarganya, mungkin aku salah satu yang paling kehilangan dirinya. Karena Kak Nanta adalah teman sekamarku selama aku Mondok. Sebenarnya ada dua orang lain yang juga sekamar dengan kami. Tapi aku lebih dekat dengan Kak Nanta.
Malam hari sebelum keberangkatannya untuk pergi dari Pondok, aku menangis di hadapan Kak Nanta. Aku bilang aku akan sangat kehilangan dirinya. Terlebih, Kak Nanta tidak memberikan alamat tempat tinggalnya. Atau nomor telepon. Atau apapun untukku. Aku tidak bisa menjangkaunya. Aku akan benar-benar kehilangan dirinya.
Hanya satu ucapanku waktu itu. Kalau dia ingin bertemu denganku. Sedangkan aku sudah tidak tinggal di Pondok lagi, aku akan menitipkan alamatku pada Kak Arso, yang tak lain adalah saudara sepupuku dan teman dekatnya.
Setahun setelah kepergian Kak Nanta, aku pun minta pulang. Kembali tinggal bersama Ibu. Aku pun merasa rindu dengan Ibu. Sebelum berangkat ke rumah Ibu di pulau Bali, aku sempatkan diriku untuk nyekar di pusara Bapak. Aku juga meminta ijin Eyang Kakung, untuk mengambil salah satu foto Bapak. Ada tiga buah foto yang aku minta. Sebuah foto close up Bapak, yang kusimpan di dompet. Sebuah foto saat Bapak sedang meletakkan tangannya diperut buncit Ibu, saat Ibu tengah mengandungku. Wajah mereka terlihat sangat bahagia. Dan sebuah foto saat kedua orang tuaku sedang duduk dipelaminan. Hatiku rasanya ikut merasa bahagia melihat ekspresi mereka di dalam foto itu.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku sedang istirahat makan siang saat Ibu meneleponku. Tapi saat kuterima, bukan Ibu yang bicara, melainkan Bli Akhza. Dia bilang kalau mereka memesan delivery di warung.
"Sebentar. Nanti Wahid telepon balik ya Bli. Mau nanya bos dulu. Soalnya petugas delivery-nya masih diluar" ucapku.
Yang bertugas sebagai pengantar di warung sebenarnya ada Bli Syaka dan Bli Putu. Tapi karena belakangan kami jarang menerima orderan kecuali pesanan tetap dari pelanggan, keduanya pasti akan sangat kerepotan. Jadi tidak ada salahnya kalau aku konfirmasi dulu dengan Kak Tiki.
"Jadi ada sodara lu yang pesen?" Kak Tiki bertanya balik saat aku bertanya padanya. Aku mengangguk. Sementara Kak Tiki sedang rundingan dengan Kak Zulfikar di meja kasir, aku mencoba menyibukkan diri. Kucuci piring dan sendok yang tadi aku pakai untuk makan siang.
"Loh? Kok tutup?" Tanyaku penasaran karena sekembalinya aku dari belakang, kelar mencuci semua piring yang kotor.
"Ini bawa aja semua Hid. Dirumah lu lagi banyak sodara kan?" Kak Tiki yang menjawab.
Kulihat dia sibuk memasukkan semua lauk yang ada di etalase ke dalam beberapa buah rantang. Biasanya rantang itu dipakai untuk dikirim ke pesanan makan siang di beberapa tempat. Misalnya saja ke karyawan Spa yang sudah menjadi pelanggan tetap Warung ini sejak Kak Tiki belum bekerja disini.
Aku memang pernah mendengar, dari Kak Zulfikar, kalau Warung ini dirintis oleh mendiang Kakak dari Kak Tiki. Bang Zaki dan Bli Syaka juga termasuk diantaranya.
"Tapi Kak... Kok semuanya?" Aku masih bingung melihat Kak Tiki dan Kak Zulfikar. "Trus gimana aku bisa bawa semua itu?" Aku mulai panik. Aku mulai khawatir kalau mereka sedang ngerjain aku. Karena kadang kala, Kak Tiki itu jahilnya bukan main. Biasanya Kak Zulfikar yang sering jadi sasarannya.
"Elu gak mau mau pulang cepet?" Kak Tiki yang bertanya.
"Iya nih. Udah dikasih pulang cepet, tapi gaji utuh, malah protes" Kak Zulfikar menyahut.
"Tenang aja. Nanti gaji lu yang gue potong" Kak Tiki menimpali.
"Siapa? Gue? Kok gueee???!!"
"Kenapa? Mau gue potong, kan elu masih dapet jatah dari Ayang Taka" Kak Tiki melanjutkan.
Aku terperangah mendengar kalimat terakhir Kak Tiki. Hah? Kak Taka? Dengan Kak Zulfikar?
Selama ini aku memang tau mereka sangat dekat. Kata Bang Zaki, mereka dulu sahabat sejak sekolah.
"Gak bisa! Balikin! Balikiiiinnn!!!" Kak Zulfikar mencoba menumpahkan kembali isi di dalam rantang yang dia isi dengan berbagai lauk pauk juga sayur itu. "Gue gak ikhlas kalo gaji gue di potong!" gerutunya.
"Milih gaji dipotong, atau gue suruh Taka supaya elu tidur di teras depan?"
"Wah! Merkik lu Bang Ki!"
"So what?"
"Heh bocah! Malah cekikikan! Seneng lu denger gaji gue di potong?" Kak Zulfikar berseru kepadaku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Ibu menyambut kedatanganku dan Kak Tiki dengan ekspresi bingung sekaligus senang. Bingung karena kami bertiga --aku, Kak Tiki, dan Kak Zulfikar-- datang membawa banyak sekali rantang. Senang karena sudah lama Ibu tidak berjumpa dengan Kak Tiki. Ibu memang tidak tau kalau Kak Tiki sempat menginap lagi di kamarku karena sakit akibat kehujanan.
"Bos kamu bule, Hid?" Bli Akhza berbisik padaku. Sementara aku hanya tersenyum saja. "Tapi bahasa Indonesia-nya lancar banget ya?"
"Hah! Bule? Dia mah casingnya doang yang bule" Kak Zulfikar menyahut. Rupanya dia mendengar ucapan Bli Akhza.
Kukenalkan Kak Tiki dan Kak Zulfikar pada saudara-saudaraku. Lalu aku mengajak Danapati dan Danasura bermain di halaman depan rumah. Karena aku tidak mau mereka mengganggu Ibu dan Kak Tiki yang sedang sibuk menata makanan di dapur.
Selang beberapa menit kemudian, kulihat Kak Tiki keluar membawa rantang-rantang kosong. Kak Zulfikar berjalan mengekor di belakangnya.
"Bli Akhza udah bayar, Kak?" tanyaku pada Kak Tiki.
Kak Tiki tersenyum mendengar pertanyaanku. "Ini sebagai ucapan terima kasih gue ke elu. Karena elu selalu baek ke gue. Terakhir, elu kan udah baek banget nolong gue"
"Jadi, Kak Tiki enggak bakalan motong gajinya Kak Zulfikar kan?" tanyaku sambil melihat Kak Zulfikar berjalan mengeluarkan sepeda motornya dari halaman rumahku. Bisa kulihat dia sedang sibuk menyalakan motor sambil ngedumel sendiri.
Kak Tiki terkikik geli mendengar pertanyaanku. Matanya juga tertuju kearah Kak Zulfikar. "Jangan bilang siapa-siapa ya. Die itu emang paling enak dikerjain. Liat aja reaksinya yang lebay itu" Kak Tiki memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya, dibarengi dengan kedipan mata kanannya.
"Dasar! Kasian tau Kak..." kutinju lengan Kak Tiki. "Trus kenapa hari ini tutup lebih awal?"
"Oh iya. Elu kan gak tau kalo di rumah lagi ada renovasi. Gue pengen bantuin. Tapi gak di bolehin ama Bang Zaki. Makanya... Sekali lagi, thanks karena elu gue jadi punya alesan yang tepat. Hehehehe..."
"Iisshhh... Jahat! Kok aku jadi kambing hitamnya gitu?"
"Hahahaha... Enggaklah. Santai aja. Enjoy your time!" Kak Tiki meremas bahuku kemudian menghampiri Kak Zulfikar.
"Pati! Sura! Yuk maem dulu" panggil Mbok Citra, istri Bli Arya.
"Aaahhh... Masih mau maen sama om Wahid..." Danapati dan Danasura berseru sambil bergelayutan di kanan dan kiri tanganku.
"Emangnya belum laper? Yuk maem. Mau di suapin?" ajakku pada keduanya.
"Pati udah gede. Gak mau disuapin" jawab Danapati.
"Sula juga. Kan Sula juga udah gede!" Danasura menyahut dengan suara cadelnya, tak mau kalah dengan Kakaknya.
"Yawes... Tapi mau maem kan?" tanyaku sambil menggandeng keduanya kedalam rumah.
"Ealah... Ini banyak banget Hid. Ibu bingung mau makan yang mana duluan" Ibu berujar saat aku melangkah masuk ke dapur. Aku juga cuma bisa geleng-geleng kepala saat melihat banyaknya makanan di meja makan.
"Yowes tho. Ibu tinggal buka lapak di depan" aku menyahut sambil mengambil piring untuk Danapati dan Danasura.
"Sontoloyo!" Ibu melingkarkan tangannya di pundak ku, lalu menggelitiki area pinggangku.
"Ampuunnn... Sek Bu... Wahid mau ngambil maem buat Pati dan Sura!" Aku berseru memohon agar Ibu menghentikan aksinya.
Aku mengambil dua buah piring. Mengisi nasi diatasnya. Karena aku pikir ini untuk anak-anak, jadi aku hanya mengambil setengah centong nasi saja. Lalu aku menggendong Danapati dengan tangan kiriku. Agar dia bisa membantuku memilihkan lauk untuknya. Selesai dengan Kakaknya, lalu aku melakukan hal yang sama dengan adiknya, Danasura.
"Maem di teras belakang yuk" ajakku. Aku masih lumayan kenyang, karena tadi kan aku sudah makan siang di Warung, aku hanya mengambil nasi dan lauk dengan porsi yang sama dengan dua keponakanku ini. Sekedar menemani mereka makan saja.
Sesampainya di teras belakang, aku mengajak Danapati dan Danasura duduk bersila di teras belakang. "Maem dulu yuk. Nanti kalau sudah selesai, bantuin Om Wahid ngasih makan untuk ikan dikolam. Oke?"
Sebelum makan aku selalu berdoa terlebih dulu. Saat selesai berdoa, aku melihat dua keponakanku memandangiku. Beruntung Bli Akhza datang menyusul. Dia duduk disebelahku. Karena dua keponakanku ini beragama Hindu, aku bingung harus bagaimana untuk mengajari mereka berdoa sesuai keyakinannya. Jadi aku minta tolong pada Bli Akhza untuk memandu dua keponakannya.
"Kamu sabar ya ngadepin dua bocah ini" Bli Akhza berujar. "Udah pantes bikin anak juga"
Aku nyaris tersedak mendengar ucapannya itu. Untung saja tadi Ibu sempat menyusul dan membawakan tiga gelas teh hangat. Jadi aku tidak kelimpungan.
Bli Arya yang tadi mendengar ucapan Bli Akhza ikut mengiyakan. Aku baru sadar kalau kami semua sudah duduk di teras belakang. Rasanya jadi terasa sangat ramai. Karena biasanya aku cuma makan sendirian disini, atau berdua saja dengan Ibu. Tapi sejak bekerja, aku sudah jarang makan disini bersama Ibu.
Aku melirik kearah Ibu. Aku yakin Ibu pasti mendengar ucapan Bli Akhza barusan. Aku melihat Ibu nampak acuh. Seolah-olah tidak mendengar ucapan Bli Akhza. Aku jadi miris sendiri.
Kalau begini situasinya, aku jadi teringat dengan Zain. Aku jadi punya pikiran kalau dia sengaja di adopsi untuk menjadi ahli waris Bang Zaki. Mengingat kalau Bang Zaki itu lumayan berduit juga. Akan kemana semua harta benda yang susah payah ia cari saat tua kelak, kalau tidak ke tangan Zain? Sementara aku?
Aku bukannya tidak pernah memikirkan hal ini. Tapi aku tidak pernah serius memikirkannya.
Dengan tergesa-gesa aku beranjak berdiri dan melangkah cepat kearah ruang tamu. Langkahku tidak berhenti disitu. Setelah memakai sandal jepit yang tergeletak di depan pintu, aku melangkah keluar halaman. Lalu menuju kamarku.
Aku jadi makin merasa bersalah pada Ibu. Tapi aku tidak mau membohongi diriku sendiri. Kalau kelak aku menikahi perempuan, apakah aku akan bisa melaksanakan tugas dan kewajibanku sebagai seorang suami? Aku tidak ingin membuat istriku kelak merasa tertipu. Atau tersiksa lahir batin karena bisa jadi aku tidak akan pernah bisa menjadi suami yang baik.
"Hid... Wahid...?" Bli Akhza mengetuk pintu kamar dan memanggil namaku.
"M-masuk aja Bli" aku menyahut.
Aku jadi salah tingkah saat Bli Akhza masuk ke dalam kamar dan menatapku. Aku jadi tidak enak hati. Harusnya aku diam saja disana. Tidak bertingkah seperti ini, yang pastinya akan membuat kecurigaan.
Dan kebisuan diantara kami semakin membuatku salah tingkah. Membuatku bingung sendiri.
Aku berdeham. Sekedar memecah kesunyian. Tapi aku tidak berani membalas tatapan mata Bli Akhza yang duduk di tepi ranjang. Aku yakin dia menatapku dengan sorot mata penuh tanda tanya.
"Maaf kalau Bli sudah salah bicara. Tadi Ibu bilang kalau kamu pernah nolak tawaran Ibu untuk menikah dengan anak dari temannya"
Duh, Ibu! Kenapa harus berbohong seperti itu? Tapi tidak mungkin juga Ibu mengatakan kepada kedua Kakak tiriku itu kalau aku...
"E-enggak kok... B-bukan itu alasannya. Wahid cuma udah kenyang aja" aku menyahut. Lalu kami kembali terdiam.
Aku kemudian melangkah menuju lemari pakaian. Aku melepas pakaianku dan hanya menyisakan celana boxer saja. Kugantung di belakang pintu kamar. Dan segera mengenakan kaus dan celana pendek yang tadi aku ambil dari dalam lemari.
Kuambil ponsel di dalam saku celanaku. Kemudian kuletakan di atas meja.
"Bli belum nyimpan nomer kamu Hid. Boleh minta?"
"Berapa nomernya Bli? Biar Wahid miskol"
"Punya Line atau Messenger lain?"
"Line? Ada. Apa ID-nya Bli?"
"Nih kamu scan aja barcode-nya"
Aku beranjak mendekatinya. Lalu kemudian duduk di sampingnya. Kemudian aku mengirim sticker untuk menyapanya.
"Yup. Ini ya?" Bli Akhza menunjukkan layar ponselnya padaku. Aku tersenyum dan mengangguk.
Kemudian aku merebahkan diri dikasur. Sementara Bli Akhza duduk membelakangiku. Kupandangi punggungnya yang membungkuk. Kutebak ia sedang sibuk dengan ponselnya. Sesaat kemudian aku mendengar suara pesan masuk di Line-ku.
^Bli bisa membelikan kamu arloji. Tapi Bli pasti tidak akan bisa membelikan kamu waktu yang sudah Bli sia-siakan. Hadirnya Bli di kehidupan kamu lagi, semoga bisa untuk menebus semua waktu yang terbuang percuma. Kalau kamu ada masalah, apapun itu, bilang aja sama Bli. Oke?^
Aku tersenyum melihat pesan masuk yang dikirimkan Bli Akhza padaku. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya, kupeluk ia dari belakang. Dan kusandarkan kepalaku di pinggangnya. "Makasih Bli..." ucapku lirih.
Bli Akhza kemudian meletakkan tangannya dikepalaku. Memainkan rambutku dengan telapak tangannya yang lebar itu. Jemarinya sesekali membelai pipi dan keningku.
Aaahhh... Andai saja aku punya kekasih yang memperlakukanku seperti ini. Mencintaiku. Dan bisa menerima diriku. Juga mau mengajakku menempuh suka dan duka hidup. Bersama.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Diluar sudah gelap saat aku membuka mata. Rupanya aku ketiduran.
Seumur hidup, aku tidak pernah diperlakukan seperti tadi siang. Seperti yang Bli Akhza lakukan padaku. Walau cuma membelai kepalaku saja. Hatiku rasanya menjadi damai. Tentram.
Aku menoleh dan mendapati Bli Akhza tidur disisiku. Pelan-pelan aku mencoba memiringkan badanku. Kuulurkan tangan kiriku menyentuh wajahnya. Jempolku mendarat tepat di bibirnya.
Tahan Wahid! Jangan sampai kejadian seperti dengan Kak Tiki terulang lagi!
Tapi aku hanya ingin menyentuh wajah Bli Akhza. Dia Kakakku. Kami lahir dari rahim yang sama. Meskipun lahir dari bibit yang berbeda.
"Kamu pernah pacaran Hid?"
Deg!
Jantungku rasanya mau copot saat Bli Akhza bertanya padaku.
"Belum tidur Bli?" Tanyaku.
Kucoba menyingkirkan tanganku dari wajahnya. Tapi ia meraih dan memberikan isyarat agar aku tidak merubah letak tanganku diwajahnya. Padahal kedua matanya terpejam.
"Ditanyain kok enggak jawab?" Bli Akhza bertanya lagi.
"P-pacar? Enggak punya Bli" jawabku akhirnya.
"Bli tanya... Kamu 'pernah' pacaran?" Ia mengulang pertanyaannya. Dengan lebih menekankan ditiap kata-katanya.
"B-belum pernah Bli... Kenapa emangnya?"
"Berarti belum pernah ciuman?"
Mendadak terbersit adegan peristiwa saat malam itu bersama dengan Bang Akbar dan tukang pijat yang ia sewa jasanya. Lalu kenangan malam hari tidur bersama dengan Kak Tiki. Sepertinya hanya aku yang tau, kalau aku diam-diam mencium bibirnya yang kenyal itu saat ia tidur seperti orang mati.
"C-cium..man?"
"Iya.... Ciuman... Pasti belum pernah ya?"
"Kalau pacaran, emang belum pernah, Bli. Tapi ciuman? Pernah dong" jawabku penuh percaya diri. Meskipun aku merasakan hangat di kedua pipiku. "Kenapa Bli?"
"Ooohhh... Ya enggak kenapa-napa... Iseng aja..." Jawabnya kalem.
Tapi mendadak ia terbangun. Membuatku terkejut bukan main.
"Kamu belum pernah pacaran, tapi pernah ciuman?" Bli Akhza menatapku dengan tatapan tak percaya. "Wahid. Bukannya kamu itu Santri? Pernah bandel juga?"
Aku bangun. Ikutan duduk. Menyandarkan punggungku di dinding.
"Santri kan cuma manusia biasa Bli. Bukan makhluk suci" aku menjelaskan. "Emangnya kenapa Bli? Jangan bilang kalau udah segede itu, Bli Akhza belum pernah ciuman ya? Hehehehe..." Godaku.
"Enak aja!" Bli Akhza menyentil hidungku. Enggak sakit. Cukup membuatku meringis. "Lagian kenapa tadi megang-megang muka Bli?"
"Gak kenapa-kenapa. Iseng doang" jawabku. "Oh iya. Bli Arya udah pulang?"
"Iya. Tadi dia titip salam. Gak tega bangunin kamu. Kamu keliatannya capek banget"
Bli Akhza menggeser kakinya saat aku ingin turun dari kasur. Aku lalu berjalan menuju kamar mandi. Aku baru ingat kalau pintu kamar mandiku masih rusak. Sepertinya Ibu belum tau tentang hal ini. Bli Akhza mungkin tidak berani bilang. Karena aku memintanya untuk tidak mengatakan pada Ibu perihal aku menangis histeris di kamar mandi beberapa waktu yang lalu.
Jadi kalau aku masuk ke dalam kamar mandi, aku harus mengangkat daun pintunya dan menutup secara manual. Bukan berarti pintu kamar mandiku itu sebelumnya otomatis. Tapi aku jadi merasa pintu kamar mandiku ini seperti bedeng gitu.
Bli Akhza tertawa melihatku agak kesulitan menutup pintu. Pada akhirnya aku buka saja. Lagi pula aku cuma mau pipis. Kalau mandi, mungkin aku akan bela-belain sedikit repot membuka dan menutup pintu ini.
Dan tanpa aku duga, Bli Akhza mengikutiku. Bukan membuntutiku. Tapi ternyata dia ikut-ikutan pipis disebelahku.
Sekarang kami sama-sama mengarahkan pistol mini kami kearah toilet. Dari sudut mataku, aku bisa melihat ekspresi Bli Akhza yang mendongakan wajahnya saat pipis. Kemudian aku melirik kearah pistolnya itu.
"Ya ampun Bli!! Itu hutan lindung atau hutan amazon? Lebat amat??" Aku setengah terpekik melihat betapa rimbunnya semak belukar miliknya itu.
Cepat-cepat aku menyudahi pipisku. Kemudian kutekan tombol flush. Dan aku segera keluar dari kamar mandi.
Tak lama aku kembali masuk dan melihat Bli Akhza masih berdiri di depan toilet, dan ya ampun! Sudah berapa liter air seni yang ia kucurkan? Sampai belum selesai juga.
Aku berjongkok dan menunggu dengan sabar.
"Ngapain kamu?" Bli Akhza bertanya padaku.
"Cakep-cakep kok jorok! Sini!" Kuraih celana pendeknya dan kutarik mendekat. Bli Akhza sempat terperanjat saat melihat gunting di tangan kananku.
"Mau ngapain kamu, Hid?"
"Mau nyunat pistolnya Bli nih!" Aku menjawab sambil menyunggingkan bibirku. "Bercanda... Bercanda... Hahahaha..."
Dengan telaten, ku rapihkan rerimbunan semak belukar yang tumbuh liar dihadapanku itu. Bli Akhza bahkan menurunkan celana pendek dan celana dalamnya sampai sebatas lutut. Membuatku semakin leluasa meneruskan kegiatanku.
Mungkin karena aku tidak ada rasa apapun seperti saat aku bersama dengan Kak Tiki. Jadi aku tidak merasa risih. Atau gemetaran seperti saat menggenggam rudal milik Kak Tiki yang ukurannya luar biasa itu.
"Mau segini aja, atau di gundulin nih?" Tanyaku meminta ijin.
"Hmmmm... Bagusnya gimana?" Bli Akhza balik bertanya. Ia menunduk menatapku sambil berkacak pinggang. Untuk menahan kausnya agar tidak mengganggu aktifitasku.
"Pernah di gundulin Bli?" Aku bertanya dan melihatnya menggeleng. "Coba di gundulin, mau?"
"Terserah..." jawabnya sambil tersenyum.
Kuraih botol berisi foam yang biasa aku pakai untuk mencukur bulu-bulu milikku. Kukocok sebentar, lalu ku arahkan ke selangkangan Bli Akhza. Karena semak belukar miliknya sudah hilang dan berganti dengan rumput liat yang lebih pendek, memudahkanku untuk mencukur habis semuanya.
"Jangan bergerak ya Bli. Tolong lebarin dikit kakinya" pintaku.
"Sebentar..." Bli Akhza mundur dua langkah. Untuk melepas semua celananya itu. Aku tersenyum saat melihat pistolnya itu berayun-ayun seperti belalai gajah. "Oke. Lanjuuuut..."
Kali ini aku memintanya untuk duduk di toilet saja. Dengan kedua kaki mengangkang lebar.
Aku bisa merasakan pistol milik Bli Akhza berdenyut pelan ketika tanganku menggenggamnya. Kulakukan itu karena aku memang sangat rinci ingin membersihkan semua bulu miliknya.
"Kalau sudah tumbuh lagi, Bli boleh minta tolong Wahid cukurin lagi?" Bli Akhza bertanya padaku. Sementara aku hanya mengangguk. Karena mataku masih fokus untuk membersihkan sisa-sisa bulu yang masih berada dibawah kantung berisi granat kembarnya itu.
Saat sudah bersih, aku berdiri dan mengambil ember yang berada di sudut kamar mandi. Biasanya aku pakai ember itu untuk mencuci celana dalamku ketika mandi. Tapi kalau cucianku banyak, aku tinggal memakai mesin cuci yang ada di rumah Ibu.
Kusiram selangkangan Bli Akhza. Lalu aku menyabuninya.
"Mmmhhhh...." Bli Akhza meremas pundakku sambil melenguh pelan. Mungkin dia merasa geli, pikirku. "Sabunin kepalanya juga... dong... Mmhhh... Hid..." pintanya terputus-putus.
Kutarik kulup yang menutupi bagian ujung pistolnya. Kuteteskan sedikit air, lalu aku memberi satu tetes sabun cair yang aku pakai sedari tadi.
"Akh! Pelan Hid... Geli..." Bli Akhza meremas pundakku lagi dengan tubuh menggelinjang. Karena banyaknya busa sabun, aku baru sadar kalau pistol milik Bli Akhza sudah menjadi senjata laras lanjang di dalam genggamanku.
Bli Akhza kemudian meraih gayung yang berada di ember. Disiramnya senjata laras panjang miliknya itu. Dan wooowww!!! Aku tidak mengira ukurannya akan membengkak berkali lipat dari saat ku genggam awal tadi.
Bli Akhza meraih tengkukku. Dan mendekatkan wajahku ke selangkangannya. "Ssshhh... Isepin Hid... Ayohhh... Isepin!" Bli Akhza berujar dengan suara agak menggigil, sambil tangannya menggenggam senjata laras panjangnya itu, untuk kemudian di tampar-tamparkannya ke wajahku.
Sementara aku tengah terpesona menatap indahnya lekuk tubuh Kakak tiriku yang tampan itu, senjata laras panjangnya sudah bersarang di dalam mulutku.
Meskipun awalnya aku agak kesulitan melahap senjata laras panjangnya, pada akhirnya aku sanggup menelan utuh semuanya. Sampai membuat Bli Akhza menatapku takjub dengan mulut ternganga di iringi desahan.
Kedua tanganku yang tadinya hanya mencengkram kedua lutut Bli Akhza, kini merambat naik ke pinggang. Perutnya terpahat enam. Lalu beralih meraba dadanya.
Bli Akhza mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur saat aku meraih kedua putingnya. Meremas dadanya. Lalu mencubit putingnya lagi. Dan gerakan maju mundur pinggulnya semakin cepat, hingga membuat ujung senjatanya berulang kali menohok kerongkonganku. Hingga membuatku sampai kesulitan bernapas.
Beberapa menit berlalu. Dan Bli Akhza kemudian menarik senjata miliknya dari mulutku. Badannya sedikit merunduk dan maju mendekatiku.
"Wahid... Wahid..." Ujarnya seraya mengacak-acak rambutku. Kepalanya menggeleng berulang kali.
Aku terkejut saat Bli Akhza dengan cepat menyusupkan tangannya di bawah ketiakku. Lalu ia mengangkat tubuhku dengan mudah. Memberiku instruksi agar melingkarkan kedua tanganku di lehernya. Dan juga memintaku melingkarkan kakiku di pinggangnya.
"Hid... Bli boleh nyium bibir kamu? Boleh ya?" ujarnya memohon. Dan tanpa harus menjawab, kudekatan wajahku ke wajahnya. Bli Akhza meraih bibir bawahku dan melumatnya dengan lembut. Sementara aku secara refleks, membalas dengan melumat bibir bagian atas miliknya.
"Mmmhhh... Bliiihhh... Mmmhhhh...."
Aku tak sadar kalau Bli Akhza sudah membawaku keluar dari dalam kamar mandi. Kini ia perlahan merebahkan tubuhku di atas kasur.
Aku hanya bisa mengerang tertahan saat bibirnya merayap turun ke leherku. Sementara tangannya dengan mudah melepaskan satu persatu pakaian yang melekat dibadanku.
Tubuhku mengejang dan menggelinjang. Rasa geli dan nikmat bercampur aduk menjadi satu menjalar di sekujur tubuhku. Manakala lidah terampil Bli Akhza memainkan kedua puting milikku. Bibirnya tak hanya menyesap pelan. Tapi menyedot dengan buas, bergantian kiri dan kanan, seolah putingku itu bisa mengeluarkan air susu.
Aku hanya bisa menyumpal mulutku dengan bantal atau punggung tanganku, ketika lidah dan mulut Bli Akhza menjalar semakin turun ke bawah. Badanku rasanya sampai panas dingin dibuatnya.
Bahkan saat bermain dengan Bang Akbar dulu, rasanya tidak seintens ini. Kali ini aku benar-benar dibuat melayang. Dan saat aku sadar, karena kukira tubuhku dihempaskan kembali ke bumi. Adalah saat Bli Akhza membalikkan badanku.
Kali ini aku tengkurap. Dengan posisi pantat yang menungging. Samar-samar aku bisa melihat Bli Akhza duduk memperhatikan pantatku. Saat mataku terbuka sempurna, kurasakan tangannya membelai permukaan kulit dibagian pantatku. Ia membungkuk dan mendekat. Hingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"Kamu pernah di anal, Hid?" ia bertanya dengan raut wajah terkejut.
Aku hanya menggigit bibir bawahku, dan menggeleng pelan.
"Tapi tadi kamu jago banget ngisep lolok Bli! Mantan cewek Bli aja enggak bisa bikin Bli kejang-kejang seperti tadi!!" ia berseru.
"Itu karena Wahid enggak mau ngecewain Bli Akhza" ujarku jujur dengan suara lirih. Aku bahkan sampai meraih jariku sendiri dan menggigitnya pelan.
"Wahid... Wahid..." ia menggeleng-gelengkan kepalanya lagi. Matanya lekat menatapku.
"Kenapa Bli...?"
"Kamu seksi banget Hid!" ia berseru memujiku. Kali ini sambil menggesekkan senjatanya dibelahan pantatku. Dan satu tangannya lagi, meremas pantatku dengan gemas. Hingga membuatku tanpa sadar mengerang dan mendesah lagi.
Saat mataku terpejam, menikmati remasan tangan Bli Akhza, aku bisa merasakan ia mengecup. Menjilat. Dan menyesap setiap inchi permukaan kulit punggungku. Sesekali ia meracau memuji kulitku yang katanya sangat mulus.
Ah! Aku tidak bisa berpikir jernih saat ini. Otakku tidak berfungsi di saat seperti ini. Tubuhku bergetar berulang kali merasakan kecupan bibirnya di bongkahan pantatku. Bisa kurasakan kedua tangannya meremas bongkahan pantatku, dan menariknya berlawanan arah. Hingga membuat belahan pantat milikku terbuka.
"Oouuuhhhhhmmmmhhhh!!!"
Aku mengerang dan sepersekian detik kemudian membenamkan wajahku di bantal.
Tubuhku seperti tersengat aliran listrik saat sesuatu yang basah menyentuh lubang di bagian tengah pantatku. Nafasku tersengal. Sementara kedua tanganku mencoba menggapai apapun yang bisa kuraih. Bisa kuremas.
"Oohhhhh... Mmmhhhh... Hah! Mmmhhhhhhh..."
Tangan kiriku kini tanpa kusadari meraih dan mencengkram rambut Bli Akhza. Kutarik kepalanya agar ia bisa membenamkan wajahnya di belahan pantatku. Bukannya menolak, ia malah semakin gencar memainkan lubang milikku itu dengan mulut dan lidahnya.
Suara decak. Kecap mulutnya. Bahkan saat mulutnya menghisap kulit disekitar lubangku, seolah mencoba mencupangku di area itu. Memenuhi seisi kamar. Seiring desahan dan rintihan yang keluar tertahan dari mulutku.
Saat aksi Bli Akhza berhenti, perlahan ia membalikkan badanku. Dimintanya agar aku melebarkan kedua pahaku. Pada akhirnya aku berinisiatif mengangkat kedua lutut milikku. Hingga menyentuh daguku sendiri.
Bli Akhza melanjutkan permainan lidahnya. Sementara aku berjuang sekuat tenaga agar tidak menjerit akibat dilanda nikmat yang baru pertama kali ini kurasakan. Terutama saat jarinya dimainkan keluar masuk di lubang milikku itu.
Kalau hanya dimainkan dengan jari, tentunya aku bisa dengan mudah merasa rileks. Karena, kalau aku sedang onani pun, aku sering kali memainkan lubangku itu dengan jariku.
Berawal satu jari, Bli Akhza memainkan lubangku itu sampai dengan dua jari. Berlanjut, mungkin, tiga jari. Dan membuat lubangku terasa licin. Sementara jarinya membuat lubangku rileks, mulutnya sibuk menjilat dan mengulum kantung granat milikku. Hingga membuatku nyaris melepaskan cengkeraman tanganku dibagian paha dalamku.
Kini Bli Akhza sudah kembali memainkan lidah dan mulutnya lagi di kedua puting milikku. Sementara aku bisa merasakan batang senjata laras panjangnya itu di gesekan naik turun pada belahan pantatku yang terbuka.
"Bliiihhh..." Panggilku lirih.
"Iya Wahid sayang...?"
Oh Tuhan! Jantungku serasa berhenti berdetak saat mendengarkan ucapannya itu. Mataku terbelalak melihat wajah tampan milik Bli Akhza, yang merupakan Kakak tiriku, hanya berjarak beberapa inchi saja dari wajahku.
Kuraih kepalanya. Kukecup bibirnya. Dan ia meresponnya dengan melumat bibirku. Saat lidahnya terjulur memasuki rongga mulutku, dan aku memberi respon menghisap lidahnya, bisa kurasakan sesuatu benda bulat tumpul melesak masuk perlahan ke dalam lubang analku.
Yang membuatku heran, tidak ada rasa sakit sama sekali saat aku sadar itu adalah senjata milik Bli Akhza yang melesak masuk perlahan. Yang aku rasakan adalah rasa gatal-gatal nikmat ketika kulitnya bergesekan dengan lubang analku.
"Akh! Enak Bli!" Jeritku sambil menggapai-gapaikan kedua tanganku di punggung kekarnya. "Nghhh... OKHHH!!"
Aku berseru tertahan saat Bli Akhza, untuk pertama kalinya menghentakkan pinggulnya. Hingga aku menduga, senjata miliknya masuk semua ke dalam lubang analku itu. Karena aku bisa merasakan permukaan kulit pantatku dan perut bawahnya saling beradu. Dan menggesek ketika ia membuat gerakan memutar. Hingga aku bisa merasakan perutku serasa di aduk-aduk senjata milik Bli Akhza.
"Wahid suka?" ia berbisik di telingaku. Kemudian memainkan lidahnya di daun telingaku. Hingga aku menggelinjang, seiring dengan ditariknya senjata milik Bli Akhza. Dan detik selanjutnya ia menghentakkan lagi pinggulnya.
"Bliihh... Aahhh... Bli Akhzaaa..." Aku berulang kali memanggil menyebut namanya setiap kali merasakan gesekan dan hentakan senjata Bli Akhza yang menancap pada lubangku dibawah sana.
Bli Akhza pandai sekali memainkan ritme goyangannya. Terutama saat ia memutar tubuhku tanpa mencabut senjatanya itu dari lubangku.
Sambil menungging menikmati gerakan maju mundur pinggulnya, hingga membuatku tanpa sadar membalasnya dengan gerakan maju mundur berlawanan arah. Terutama saat aku membuat kontraksi di bagian lubangku itu. Kubuat senjatanya itu seolah kuremas-remas dengan otot di dalam anusku.
Dan aksiku itu membuatnya bergerak tak terkendali. Dan aku menyukainya!
Terlebih ketika dari mulutnya itu, ia terus meracau memanggil namaku. Membuatku semakin terlena.
"Hid! Wahid! Bli mau keluar!" erangnya sambil menggigit pundakku.
"Tahan Bli! Tunggu dulu!" erangku. Kali ini kuputar tubuhku hingga membuat senjatanya tercabut.
Tapi tanganku lalu meraih dan membimbingnya agar kembali bersarang di dalam lubang milikku. Kulingkarkan kakiku di pundaknya. Sementara kedua tangannya meraih kepalaku dan melumat bibirku, dan membuat tanganku pada akhirnya bisa meraih bongkahan pantat Bli Akhza yang padat dibawah sana.
"Mmmhhhh!! Mmmmhhhh!!!"
Kami sama-sama mengejang. Dan kelojotan akibat puncak orgasme kami yang datang berbarengan.
Hal ini disebabkan oleh senjata Bli Akhza yang berulang kali menghunus di prostatku, sementara pistol milikku bergesekan diantara himpitan tubuh kami.
Aku terkulai lemas. Sementara Bli Akhza terus menerus menciumi wajahku tak henti-hentinya.
Kupeluk tubuhnya sambil mengatur nafasku.
"Bli..."
"Iya Wahid sayang...?"
"Duh... Jangan panggil gitu... Aku bisa Ge-eR!!"
"Lah kenapa GR? Bli serius lho!"
"Tapi kita... Adik dan Kakak, Bli..."
Bli Akhza mengecup keningku selama beberapa detik. Kupejamkan mataku, untuk menikmati kecupan yang terasa penuh dengan kasih sayang itu. Yang baru pertama kali ini kurasakan dan kudapatkan dari Kakak tiriku, yang seingatku, dulu ia sangat membenci diriku.
"Diluar, kita adik dan kakak. Tapi disini. Kamu istri Bli Akhza!"
Aku sampai melotot mendengar ucapannya.
"Kita beresin ini dulu" Bli Akhza lagi-lagi mengangkat tubuhku dengan mudahnya.
Sekuat itukah ia? Atau aku yang semakin kurus? Tapi tadi Bli Akhza bilang kalau aku sexy. Atau itu hanya ia lakukan akibat terbawa suasana?
"Ini masih belum lemas ya Bli?" tanyaku saat Bli Akhza duduk di toilet sementara senjatanya masih tertancap di dalam lubangku.
Bli Akhza hanya tersenyum lebar mendengar pertanyaanku itu.
Sejurus kemudian, ia berdiri lagi tanpa membiarkan senjatanya tercabut. Kemudian ia memutar posisi hingga kini aku yang duduk mengangkang di toilet, setelah sebelumnya Bli Akhza menutup dengan tutupnya.
"Ronde dua ya Sayang?"
Tanpa ba-bi-bu, ia mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur perlahan. Sementara aku cuma bisa merintih.
"Enak kan?"
Aku mengangguk. Dan dari bibirku hanya bisa mendesah.
"Suka kan?"
Aku melakukan hal yang sama. Hanya merintih. Meringis. Dan mengangguk.
"Masa Wahid gak mau jadi istri Bli Akhza?" ia bertanya. Dan menghentikan genjotannya. Menarik senjata miliknya itu, dan menyisakan ujungnya saja di bibir lubang anusku.
"T-tapi Bli... AAAKHH!" aku terlonjak. Sampai membuat kepalaku terdongak. Mana kala Bli Akhza menghentakkan pinggulnya. Hingga membuat senjatanya itu menohok lubangku hingga ke pangkal-pangkalnya.
"Enak kan sayang?"
"Iya Bli. Enak banget!"
"Suka kan?"
"Suka banget, Bli!"
"Jadi istrinya Bli ya, Hid?"
"Wahid takut, Bli..." erangku tertahan.
Rupanya hal itu membuatnya berhenti dan membelai wajahku dengan lembut. "Emangnya Wahid takut kenapa? Takut Bli Akhza bohongin kamu, gitu?"
Aku menggeleng.
"Takut Bli nyakitin kamu lagi?"
Aku mengangguk.
"Bli janji. Enggak akan nyakitin orang yang Bli sayang..."
"Bli bisa bilang gitu, karena sekarang lagi napsu aja kan?" Tak kusangka, pertanyaanku ini membuat senjatanya seketika menciut dan tercabut dari lubangku.
Bli Akhza terdiam. Sementara aku hanya bisa memalingkan wajahku. Dan membiarkan Bli Akhza memandikanku.
Setelah mengeringkan badan kami dengan handuk, Bli Akhza membungkus bagian pinggangku dengan handuk. Sedangkan ia tetap bugil.
Kuminta Bli Akhza memakai pakaiannya yang bersih dan berada di dalam lemari. Sedangkan aku sibuk mengganti seprei juga sarung bantal dan guling.
Aku jadi malu pada diriku sendiri. Begitu mudahnya aku terlena karena melihat kemaluan lelaki di hadapanku! Apakah aku serendah itu? Mungkin itu alasan Kak Tiki menolakku. Bukan tak mungkin Bang Akbar tidak bercerita padanya kan? Mengingat mereka sudah saling kenal, jauh sebelum aku mengenal mereka.
Kalau memang seperti itu adanya, aku benar-benar...
Tanpa sadar aku sudah menangis lagi.
Ah! Aku ternyata memang sangat cengeng! Aku sampai tidak berani menatap Bli Akhza. Bisa jadi sekarang ia menyeringai lebar penuh kemenangan.
Aku memang seorang pecundang sejati! Tidak akan pernah menjadi kebanggaan Ibu dan mendiang Bapak. Kalau Bapak masih hidup, mungkin beliau akan mengubur dirinya hidup-hidup melihat putra semata wayangnya selemah ini.
"Bli serius, Hid! Bli enggak bohong" Bli Akhza memelukku dari belakang. "Sebenarnya sejak dulu Bli suka sama kamu. Tapi cara Bli mencari perhatianmu ternyata salah. Dan kekanak-kanakan!"
"Lalu bagaimana dengan ceweknya Bli Akhza?"
"Dia udah lama Bli putusin. Bli selalu ingat kamu. Tapi Bli takut setiap kali mau datang kemari"
"Apalagi waktu liat kamu nangis histeris di kamar mandi waktu itu. Bli berpikir kamu ketakutan sama Bli" ia melanjutkan. "Bli serius, Hid! Bli benar-benar suka kamu! Bli cinta sama kamu!"
Aku hanya melongo, tanpa bisa membalikkan badanku. Aku benar-benar bingung. Tidak percaya dengan perkataannya.
"Wahid udah lupa kenapa dulu Bli marah sama Wahid?"
Aku hanya bisa mengernyitkan dahiku. Dan mulai menoleh menatap Bli Akhza.
"Dulu Wahid nolak kan, waktu Bli pengen nyium kamu. Trus Wahid nampar Bli. Sampai... Akhirnya, Bli malah kalap" aku melebarkan kedua mataku mendengar kalimatnya. Lengkap dengan mulut ternganga lebar. "Waktu itu, Bli kan udah SMA. Sedangkan kamu masih SMP. Kamu itu imut banget. Sampai sekarang pun masih tetap menggemaskan. Rasanya tadi itu Bli kayak ngimpi bisa benar-benar ngelakuin itu semua... Bahkan kamu enggak membuat perlawanan sedikitpun. Enggak kayak dulu..."
Ya Tuhan! Aku tidak percaya dengan apa yang ku dengar. Dan penjelasannya itu membuat ingatanku kembali perlahan.
Bukan berarti aku amnesia. Tapi waktu itu aku memang sangat ketakutan melihat Bli Akhza yang marah besar kepadaku. Hanya hal itu yang sampai terukir jelas di ingatanku!
"Bli salah... Bli benar-benar minta maaf... Mungkin tadi kamu terpaksa ngelayanin nafsu bejat Bli, karena kamu takut. Bener kan, Hid?"
Aku hanya menggeleng pelan. Mataku tak lepas membalas tatapan matanya. "Enggak... Tadi beneran nikmat... Meskipun tadi itu bukan pertama kalinya buat Wahid. Tapi Bli Akhza orang pertama yang... merawanin Wahid..." aku berujar lirih.
"Siapa orang pertama yang ngelakuin hal tadi ke kamu, Hid?" Dari nada suaranya aku yakin sekali, Bli Akhza merasa cemburu.
Cemburu? Ada yang cemburu? Padaku?
"Aduh! Sakit Hid!" Bli Akhza berseru saat aku mencubit lengannya.
"Jadi Bli Akhza beneran cemburu?"
Ups! Padahal kukira aku akan membatin saja. Ternyata pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.
"Ya iya lah!" jawab Bli Akhza dengan mantap.
"Trus... Siapa orang pertama yang merjakain Bli Akhza?" pertanyaanku dijawabnya dengan kebisuan. "Anggap saja kita satu sama untuk hal satu itu Bli. Tapi Wahid serius. Bli Akhza orang pertama yang merawanin Wahid" aku melanjutkan sambil menepuk pantatku sendiri. Kuseka air mataku dengan handuk.
Ya ampun!! Aku sampai lupa belum memakai baju!!!
Bli Akhza malah menarik lepas handuk yang kupakai. Dan saat itulah aku baru sadar!
Segera saja aku berjalan kearah cermin. Bisa kulihat banyaknya bekas cupang di leher. Dada. Lengan. Dan bagian lainnya.
"Bli! Badan Wahid bisa remuk kalo jadi istri Bli! Apalagi ini!" Aku meremas pantatku sendiri. "Lobang pantat Wahid bisa lebar kalo pasrah aja ama nafsu kuda Bli Akhza!" jeritku panik. Sementara Bli Akhza hanya terkekeh dan memeluk erat tubuhku.
Di bopongnya tubuhku. Untuk kemudian ia merebahkan dirinya di kasur. Sementara ia memposisikan badanku yang bugil, bertelungkup diatas dada bidangnya. Tangan kekarnya memelukku erat.
"Selamanya Wahid cuma milik Bli Akhza! Bukan orang lain" ia berujar sambil tersenyum senang.
"Posesif?"
"Karena Bli cinta mati sama kamu, Wahid!"
"Gombal nih..."
"Bli berani sumpah! Cuma Wahid yang selalu terngiang-ngiang di benak Bli. Dari dulu. Sampai sekarang!"
Kami berciuman selama beberapa menit. Bibir kami saling memagut. Lidah kami saling beradu dan bertaut.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
...
Oh, kiss me beneath the milky twilight.
Lead me out on the moonlit floor.
Lift your open hand.
Strike up the band and make the fireflies dance,
Silver moon's sparkling.
So kiss me.
...
[ Kiss Me - Sixpence None The Richer ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Pak! Cinta itu beneran buta! Cinta itu beneran gak berlogika!
Maafin Wahid ya, Pak. Tapi Wahid benar-benar melihat kesungguhan di dalam tatapan mata Bli Akhza, Pak.
Cinta yang kami miliki salah Pak. Terlebih karena Bli Akhza anak dari laki-laki yang membuat Wahid harus terpisah dengan Bapak.
Walaupun Wahid belum sepenuhnya menyerahkan hati ini ke Bli Akhza, karena hati ini masih milik Kak Tiki. Tapi Wahid yakin, bisa membalas perasaan Bli Akhza sepenuhnya.
Suatu hari nanti. Meskipun Wahid belum tau kapan hari itu akan datang.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•