It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
kenapa tiki dan zaki gak nikah aja?
zain lucu, masih polos bgt. aku kira masih anak2 dia gak taunya udah smp.
zaki dan tiki mesra juga
yah, bang @tamagokill, bapernya di pendam dulu, habis nulis baru dikeluarin ya...haha maaf banyak minta bang..
bang kok menurtku, chemstry antara zakixtoya sama zakixtiki beda, maaf lagi bang ketemu pembaca banyak protesnya doang..
hmmmm... bingung juga. chemistry-nya harus sama kah? terus, yang bikin beda itu bagaimana?
mungkin, karena dari segi usia, ZakiToya gak terpaut jauh. sedangkan ZakiTiki, perbedaan usia mereka lumayan jauh. (udah dijelasin di beberapa POV Toya yang dulu-dulu, kalau usia si kembar 3 dengan Toya itu lumayan jauh)
mungkin aku bukan satu-satunya, yang nulis cerita kalo lagi adegan marah, rasanya dihatiku tuh ikutan kesal.
bahkan di POV nya Bang Zaki waktu dia sakit, itu aku sampe ikutan nangis waktu ngejelasin Zaki yang kangen ama Toya.
maunya sih gak bawa perasaan saat nulis. tapi kalo aku nulis cuma pake otak dan jari tapi gak menyertakan hati juga perasaan ku, pasti dikomen alurnya hambar. gak ada rasa.
bocoran nih ya. waktu nulis adegan Syaka yang pengen ikutan lompat ke liang kubur nya Zaim di Young Love, aku sesenggukan di dapur sampe dikira kesurupan ama Mamahku
masih... kenapa??
ya abang @tamagokill nangis sampai dibawa ke dapur bang,...haha kayk kurang kamar aja bang,haha #janganditimpuksandalbang. cara penyampaian perasaan penulis memng beda2 bang, mungkin abang harus terbawa suasana dulu biar abang bisa menyampaikan ke kita2 pembaca..
kalau masalah umur aku udah agak paham bang, ya kalau perbedaan umur pasti jauh lah antar tikixzaki, secara tiki adiknya toya yg umurnya dibawahnya banget,dan zakinya abang nya toya yg pasti ada perbedaan umur..# mungkin ini hanya masalh selera pasangan.
overall,i really2 love ur story,it's my drugs btw. Q minta di mention ea bro @tamagokill
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz
@jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE
@prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset
@Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh
@Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90 @ando_ibram @handikautama
@babayz @seventama
@Gaebara @abyh
×××°•••°°•••°×××
Bang Zaki merenggangkan pelukannya. Kali ini tangannya memegangi kepalaku. Ia masih belum puas juga melumat bibirku.
Sementara itu, tanganku merambat turun dari punggung, berlanjut ke pinggang. Dan berhenti di bongkahan bokong montoknya. Kuremas dengan gemas. Dan setiap kali aku meremas bokongnya, disaat yang bersamaan, Bang Zaki menyesap kuat bibirku. Kali ini tepat di bibir bawahku.
Dari bibir, kini mulutnya beralih menciumi pipiku bergantian melewati daguku, yang sempat ia gigit gemas. Kemudian menjalar kebagian telingaku.
Tubuhku menggeliat dan menggelinjang geli ketika lidahnya dimain-mainkan pada daun telingaku.
"I love you, Tiki... So much!" Bisiknya sebelum ia beralih menjilati leherku. Sementara aku hanya bisa mendesah dengan mata sayu menatapnya, saat Bang Zaki mencubit kedua putingku. Menariknya maju pelan hingga putingku terlepas dari jepitan jarinya. Kemudian tangannya, meraih dadaku. Meremasnya. Dan kali ini memilin putingku.
Bibirku mendesis, manakala ujung lidahnya mendarat, dan bergerak berputar-putar disalah satu putingku.
"Mmhhh... Banghhhnn... Hahhh... Hahhh..."
Aku dibuatnya ngos-ngosan, seolah baru saja berlari seratus meter, ketika bibirnya menyucup putingku. Lagi-lagi aku dibuatnya menggeliat ketika sambil menghisap puting milikku, lidahnya tidak pernah berhenti memainkan ujung putingku.
Dan dibawah sana, tugu monasnya sedang beradu dengan menara Eiffel milikku, dan bergesekan saat tubuh gempalnya menghimpitku.
Saat tanganku mencoba menggapai tugu monasnya, ia menepis, dan menaikkan tanganku. Kemudian ia membenamkan wajahnya diketiakku.
Aku menjerit tertahan saat bibirnya menyesap kulit dibagian bawah ketiakku. Terlebih saat lidahnya terjulur dan menjalar naik melalui ketiakku. Tubuhku dibuatnya menggelinjang geli. Namun nikmat.
Bang Zaki menggigit gemas permukaan kulitku dari bagian ketiak, menuju pinggang kananku. Sementara tangan kirinya kini menyusup melalui sela pahaku. Melebarkan kaki kiriku. Meremas pahaku.
Saat wajahnya bergeser kearah perut, wajahnya menabrak menara Eiffel milikku yang terus saja berdenyut akibat perbuatannya.
Dan kini lidahnya beralih menjilati bagian batang menara kebanggaanku itu. Saat kukira ia akan bergerak naik menuju puncak, rupanya Bang Zaki malah bergerak turun. Dan kini memainkan dua telur kembar milikku bergantian. Karena mulutnya tak pernah sanggup melahap telur kembar milikku itu walaupun hanya salah satunya saja.
Meskipun begitu, Bang Zaki selalu bisa membuatku menggeliat hingga membuat punggungku melengkung terangkat. Dan kedua tanganku meremas seprai disekitarku.
Kali ini pun, seperti yang "sudah-sudah", aku dibuatnya meraih bantal, yang kupakai untuk menutupi wajah dan menyumpal mulutku. Karena aku pasti akan menjerit dan berteriak penuh nikmat.
Tapi sedang asik-asiknya menikmati permainan Bang Zaki dibawah sana...
"Baaang Tikiiii!!! Maaamaaaang Zakiiiiii!!!"
Zain berteriak dari luar kamar dibarengi dengan ketukan keras beberapa kali dari luar kamar.
"Eh bocah!! Mau ngapain?"
Kudengar suara Bang Bayu menyahut.
"Jangan diganggu dulu. Mereka lagi ngomong serius!" Jelas Bang Bayu.
"Ngomong apa memangnya?"
"Kayaknya masalah sekolah elu disini... Udah sini! Elu ikut gue aja. Gimana?"
"Kemana?"
"Ada deh..."
Mendengar semua itu, aku dan Bang Zaki jadi saling bertukar pandang. Aku dengan separuh wajah menutup wajahku dengan bantal, dengan posisi terlentang mengangkang, menatap Bang Zaki yang sedang melahap ujung menara Eiffel milikku. Mulutnya terlihat penuh.
Kalau dalam keadaan ereksi, biasanya mulut Bang Zaki hanya sanggup melahap bagian ujungnya saja. Akan tetapi, karena ada gangguan barusan, menara milikku itu mendadak layu. Makanya sekarang mulut Bang Zaki bisa melahapa beberapa inchi saja dari ujungnya.
Setelah Bang Zaki melepaskan menara Eiffel milikku itu, kami terdiam selama beberapa menit.
"Langsung drop?"
"Gimana enggak nge-drop Bang?" Aku menyahut. "Itu Bang Bayu mau bawa Zain kemana coba?"
"Oh iya ya"
Tanpa ba-bi-bu lagi, kami langsung melompat dari ranjang. Memunguti pakaian kami yang berserakan di lantai. Dan mengenakan dengan cepat-cepat. Tak lupa kami merapihkan rambut kami yang acak-acakan. Dan setelah kami rasa penampilan kami sudah oke, kami segera melangkah keluar kamar.
Sebelum membuka pintu, Bang Zaki sempat melumat bibirku selama beberapa detik.
"Nanti malem ya, Ki?" Pintanya dengan pandangan mata sayu.
Duh... Bang Zaki! Gak perlu minta pun, aku pasti kasih, batinku. Dan sebagi jawaban, aku hanya tersenyum. Mengangguk. Dan mengecup pipi kirinya.
Sebelum melangkah keluar kamar, aku sempat mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja di samping pintu.
"Bang! Elu dimana?"
^Di depan. Lagi cari taxi^ jawab Bang Bayu.
"Emangnya mau kemana?"
^Udah deh... Lanjutin aja! Kondisi udah aman terkendali kok^
Jawaban Bang Bayu membuat wajahku serasa memanas.
"Udah gak mood gue-nya" jawabku pelan.
^Yaelah... Gitu doang kok...^
"Udah deh. Kalian balik aja dulu" aku memotong ucapannya. Karena aku tau kemana arah perbincangan ini. Akan semakin membuatku malu. Karena aku memang tidak terbiasa dalam hal seperti ini.
Setelah mengakhiri panggilan telepon dengan Bang Bayu, aku segera berlari menuju kamar mandi.
"Kemana Ki?" Tanya Bang Zaki. Ia mengikutiku sampai kamar.
"Mandi" jawabku sambil melepas satu persatu pakaianku dihadapan Bang Zaki. "Abang hari ini sibuk?" Tanyaku dibawah guyuran air dari shower.
Aku berbicara sambil mandi, karena kamar mandi di kamar ini saja yang hanya diberi sekat dari kaca buram. Tanpa pintu pula. Jadi kalau salah satu dari kami sedang mandi, atau melakukan aktivitas apapun disini, akan terlihat dari ranjang. Walaupun berupa siluet saja.
"Enggak kemana-mana. Hari ini semua urusan kerjaan sudah dihandle Akbar" Bang Zaki menjelaskan padaku. Rupanya dia sudah berdiri bugil di belakangku.
Saat aku memberi isyarat kearah pintu, Bang Zaki memberi kode dengan kedipan matanya, kalau pintu kamar sudah dikunci.
Bang Zaki membantu menyabuni tubuhku dari belakang. Dan saat aku berdiri membelakanginya, Bang Zaki memelukku dan menyabuni bagian dadaku. Bisa kurasakan Tugu Monas miliknya berdiri tegak dan terhimpit diantara bokongku dan perutnya.
Lantas aku membalikkan diriku. Menggiring tubuh kami agar tersiram air dari derasnya shower diatas kepala kami. Kemudian kulumat bibir ranum milik Bang Zaki, sambil tangan kananku melingkar di bokongnya. Dan tangan kiriku menggenggam Tugu Monasnya.
Ugh! Bokong Bang Zaki yang bulat dan montok ini, selalu saja membuat selangkanganku semriwing-semriwing.
"Kiiii!!! Tikiiii!!!"
Wajah Bang Zaki berubah masam saat mendengar suara Bang Bayu diluar sana. Sepertinya dia sengaja teriak begitu melangkahkan kakinya ke dalam rumah.
"Nanti malam. Oke?" Kukecup keningnya. Kemudian kedua pipinya bergantian. Bang Zaki tersenyum. Meskipun terlihat sekali kalau dipaksakan.
"Semoga saja nanti malam gak ada gangguan lagi" aku tertawa mendengar gerutuan Bang Zaki. Lalu aku meraih handuk putih besar yang tergantung dekat dengan wastafel. Kukeringkan badan Bang Zaki dengan handuk yang tadi kuambil.
"Udah... Jangan ngambek..." Aku berujar sok bijak. Padahal, jauh di dalam lubuk hatiku. Aku merasakan hal yang sama. "Nanti malem aja ya, Abang sayang..."
"Iya... Iya..." Bang Zaki menyahut dengan dongkol.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Saat melihat Zain memakai baju yang sama seperti yang ia pakai saat bangun tidur tadi, aku langsung menyuruhnya ganti. Tapi Bang Zaki menjelaskan kalau Zain tidak membawa banyak pakaian.
"Abang belum sempat" kata Bang Zaki.
Aku menduga kalau penyebabnya adalah aku. Dan sekejap saja aku jadi merasa bersalah pada Zain. Juga Bang Zaki.
"So... Kita mau kemana?" Bang Bayu bertanya setelah ia usai berganti pakaian dari dalam kamar. Karena ia tidak membawa baju ganti, jadinya Bang Zaki menawarkan pakaiannya untuk dipakai. Lagi pula ukuran pakaianku tidak ada yang cukup untuk Bang Bayu.
Aku baru sadar kalau ternyata tinggi badanku sudah melewati tinggi badan Bang Bayu. Tapi tubuhku tidak sebesar Bang Zaki maupun Bang Bayu.
"Beli baju. Buat Zain" kataku akhirnya.
Bang Zaki segera mengambil kunci mobilnya yang ia letakkan disamping televisi. Ia bergegas keluar. Menuju garasi. Ia sempat berujar mau memanaskan mobil dulu.
"Maaf ya Bang" ujar Zain dengan kepala tertunduk.
"Maaf? Untuk apa?" Tanyaku sambil menyilangkan kedua tanganku didepan dada, dan menatap Zain dengan kepala kumiringkan ke sebelah kanan.
"Jadi ngerepotin Abang..."
"Masalahnya..." Aku memotong kalimat Zain yang terdengar ragu. "Kita disini gak ada yang punya baju dengan ukuran lu, Zain. Tuh liat aja Mamang Bayu. Dia bisa make bajunya Mamang Zaki kan?" aku menunjuk ke arah Bang Bayu yang lagi asik ngemil di depan kulkas. "Kalo mau ngemil. Tolong bawa kesini aja ya! Trus itu pintu kulkasnya ditutup! Listrik mahal!" aku berseru. Sementara Bang Bayu merespon dengan cengengesan. "Tolong jangan ditiru!" Pintaku pada Zain.
"Tapi... Kalo misalnya dibeliin baju baru.... Baju yang ini jangan dibuang ya Bang..."
"Kenapa?"
"Anu... I-ini baju yang dibeliin Abah..." Zain berujar dengan canggung.
Aku menghela nafas. Lalu membalas tatapan mata Bang Bayu. Sejurus kemudian kami kembali menatap kearah Zain.
"Gue heran. Abah lu itu..."
"Paling enggak, Bokap dia gak ngilang dan pura-pura mati kayak Bokap gue" aku memotong kalimat Bang Bayu. Karena aku tau arah kalimatnya.
Memang. Salah satu penyebab aku tidak mau ikut ke Paris beberapa tahun lalu, karena masih terselip rasa canggung. Juga marah. Terhadap Daddy-ku satu itu. Seenaknya saja memalsukan statusnya. Mengatakan pada keluarga kami di Indonesia, kalau beliau mengalami kecelakaan. Dan itu semua disebabkan oleh Om-ku. Yaitu Bokapnya Bang Bayu. Sejak mengetahui semua rahasia itu, aku tidak pernah lagi mau berbicara pada Beliau --Om ku. Kadang aku masih berbicara pada Daddy-ku saat melakukan video call pada Mamah. Atau pada Taka, saat ia masih disana.
Dengan semua hal itu. Aku jadi sering berpikir. Kalau perasaan penyimpangan seksualku ini disebabkan karena aku kurang rasa kasih sayang dari orang tua lelaki di dalam hidupku. Karena aku pernah membaca di salah satu artikel, entah dimana. Aku lupa. Kalau penyebab gay-nya seorang lelaki karena kurangnya kasih sayang seorang Ayah. Tapi aku juga merasa, kasih sayang Mamahku, sudah jauh dari cukup. Kalau mengingat bagaimana Mamahku banting tulang siang malam saat aku --dan Taka juga Tika-- masih di bangku sekolah dulu, ingin rasanya aku meninju Daddy. Tapi meninju beliau sampai babak belur pun tidak akan cukup. Yang ada, aku malah akan durhaka.
"Yuk. Kita berangkat" ajak Bang Zaki akhirnya.
"Oke. Kalian duluan deh. Gue rapihin ini dulu" kuambil beberapa toples biskuit yang tergeletak di meja makan. Yang tadi dikeluarkan Bang Bayu. Sementara dia langsung ngacir menyusul Bang Zaki.
"Zain bantuin Bang..."
"Gak usahlah..."
"Tapi kalo berdua, kan lebih cepet Bang"
"Iya deh. Thanks a lot, ya"
"Hah?"
"Makasih banget" lanjutku, menjelaskan kalimatku barusan.
"Hehehe... Maaf Bang. Zain kurang bisa bahasa asing" ujarnya malu-malu.
"Gak papa. Nanti juga terbiasa. Kan disini ada dua orang dengan casing bule. Dan kebetulan, rata-rata yang tinggal disini, bisa banyak bahasa" kataku.
"Bahasa asing, Bang?"
Aku nyengir. "Ya gitu deh. Tapi kebanyakan sih bahasa planet Satur-anus"
"Saturnus, Bang" Zain mencoba meralat.
"Kalau sudah saatnya, nanti pasti dikenalin ke Tante Rina dan Tante Donna. Mereka tuh yang pinter banget bahasa dari planet Satur-anus"
"Saturnus!"
"Yeh! Dibilang Satur-anus!"
Zain mengerutkan keningnya. Tidak mengerti dengan maksud kalimatku. Aku tersenyum, sambil dalam hati berdoa. Supaya Zain tidak sawan saat dikenalkan pada dua orang itu.
"Kenapa ketawa sendiri gitu Ki?" Bang Bayu yang bertanya. Rupanya dia melihatku terkikik sendiri saat duduk dikursi tengah, menyusul Zain. Tentunya setelah mengunci pagar terlebih dahulu.
"Kagak. Gue mendadak inget ama Mbak Donna dan Mbak Rina" jawabku.
"Kenapa emangnya?"
Aku cuma mengendikan kepalaku kearah Zain. Lalu Bang Bayu, juga Bang Zaki, terkikik di kursi depan.
"Tadi gue bilang ke Zain, kalo dua orang itu pinter banget bahasa Satur-anus" ujarku.
"Saturnus, Bang" Zain masih ngeyel mengoreksiku.
"Hahahaha... Tapi memang kata Donna, itu bahasa Satur-anus ya, Ki?" Bang Zaki bertanya padaku. "Mau berapa kali pun dia ngajarin, Abang tetap enggak bisa"
"Sama!" Aku menyahut. "Nanti mampir kesana yuk Bang?"
"Kemana? Kerumah dia? Ogah!" Kali ini Bang Bayu protes. "Anceman Donna ke gue pasti masih berlaku!"
Aku dan Bang Zaki tertawa. "Kenapa emangnya? Elu takut diperjakain ama dia?"
"Salah satunya itu!"
"Hus! Ada anak di bawah umur tuh!" Bang Zaki menyahut.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku terenyuh saat melihat Zain menitikkan air mata saat kami sedang asik menikmati ayam goreng, di salah satu restoran fast food. Kami sudah selesai membelikan banyak sekali baju untuk Zain. Beberapa pasang sepatu. Juga sandal baru. Dan semuanya dibayarin Bang Bayu. Hadiah buat ponakan, katanya pada Bang Zaki yang sempat keberatan.
"Kenapa?" Bang Zaki merangkul pundak Zain, dan mengusap air mata yang menetes membasahi pipi bocah itu.
Zain menggeleng pelan. "Gak papa... Zain cuma inget orang tua Zain aja Mang..." ucapnya lirih sambil sesenggukan.
"Elu gak usah merasa jadi anak yang gak beruntung. Justru karena mereka kayak gitu, sekarang ini elu bisa hidup jauh lebih baik. Meskipun tanpa mereka" Bang Bayu mencoba memberikan nasehat. Meskipun sedikit ekstrim.
"Iya... Sekarang Zain kan punya Mamang. Juga ada Bang Tiki tuh... Udah ah. Itu dilanjut makan-nya" Bang Zaki mengusap kepala Zain yang kini berada dalam pelukannya.
"Abis ini kita kemana lagi nih?" Bang Bayu mencoba mengalihkan topik. "Belanja, udah. Makan... Masih berlangsung. Mumpung gue masih disini"
"Elu balik kapan, emangnya?" Tanyaku.
"Selesai ini semua, gue balik. Besok gue ada meeting" jawabnya santai. "Baju lo gue pinjem dulu ya Zak?"
Bang Zaki hanya mendengus, lalu tersenyum simpul. "Kayak sama siapa aja Bay. Santai aja. Enggak dibalikin juga gak masalah. Aku masih punya banyak stok"
"Beneran nih?"
"Ya ampun Bay! Kamu itu ya!"
Bahagia rasanya bisa melihat dua Abangku ini akur seperti ini. Setelah Bang Zaki bisa membuat Zain berhenti menangis, kami melanjutkan makan. Dan sementara aku juga Zain asik menikmati hidangan di hadapan kami, dua Abangku ini masih terus berdiskusi mengenai sekolah Zain. Pada akhirnya untuk sementara waktu, Zain akan menjalani home schooling. Dan kalau memungkinkan, barulah dia akan melanjutkan di sekolah umum.
You are so lucky, boy!, aku berujar dalam hati sambil menepuk-nepuk pelan kepala Zain. Sementara Zain hanya tersenyum saat kuperlakukan seperti itu.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Bang Bayu menolak kami antar ke bandara, dan memilih pergi menggunakan taxi. Kami berpisah di Central Parkir, agar tidak terlalu sulit mencari taxi yang sedang mangkal. Setelah itu, kami bertiga keliling kota Denpasar. Kami sempat mampir di Lapangan Renon. Lalu setelah sekitar satu jam kami asik tidur-tiduran di atas rumput, Bang Zaki mengajak kami bertiga beralih ke Pantai Sanur.
Atas persetujuan Bang Bayu, aku memberikan ponsel yang ia belikan untukku kemarin pada Zain. Bukan main senangnya Zain. Meskipun masih kikuk saat menggunakannya, dia tetap terlihat senang. Aplikasi yang sering ia pakai adalah kamera. Bukan untuk ber-selfie ria. Tapi lebih kepada mengabadikan semua hal yang ia lihat yang dianggapnya menarik.
Saat di Lapangan Renon tadi pun, aku dan Bang Zaki membiarkan Zain sibuk memainkan ponsel barunya itu. Sementara kami menunggu, Zain sibuk jeprat-jepret.
Saat di pantai Sanur, beberapa kali aku mengajaknya untuk foto berdua. Atau bertiga. Kebetulan aku menemukan tongsis milikku yang lama aku cari tergeletak di dalam mobil Bang Zaki.
"Wah... Ada bakat jadi fotografer nih!" Pujiku saat meminta Zain menunjukkan hasil jepretannya.
"Tapi Abang juga ada bakat jadi foto model loh" Zain berkomentar.
"Enggak ah. Cukup Taka aja yang jadi model" kataku lagi.
Mendadak Bang Zaki mengulurkan layar ponselnya dan menunjukkan sebuah foto pada Zain. "Ini Taka dan Tiki loh".
"Eh Eh...! Dikasih siapa tuh? Kok Tiki gak tau Bang?" Aku terkejut saat mengetahui foto yang dipamerkan Bang Zaki pada Zain, adalah foto saat aku iseng membantu Taka pada sesi pemotretan beberapa waktu lalu. Aku bukan membantu Taka sebagai model. Tapi lebih kepada menjadi asistennya. Dan foto itu diambil diam-diam oleh fotografernya.
"Taka yang ngirimin Abang via e-mail" jelas Bang Zaki. "Kamu mau?" Tawar Bang Zaki padaku dan Zain. Aku mengajarkan Zain cara mengaktifkan bluetooth sebagai media transfer paling mudah. Mungkin nanti aku akan mengajarkannya cara menggunakan aplikasi untuk mengirim file besar yang jauh lebih cepat dibandingkan bluetooth pada Zain.
"Kamu gak mau Ki?" Tanya Bang Zaki. Aku menggeleng pelan.
"Oh iya Bang. Kita sekalian belanja yuk. Buat perlengkapan warung besok" kataku.
"Gak usah" jawabnya santai.
"Loh? Kok? Abang marah ya?"
"Enggak. Tapi untuk sementara waktu, warungnya sengaja Abang tutup dulu. Tugas kamu sekarang, masak dan jagain Zain dirumah"
"Hah? Serasa jadi ibu rumah tangga aja" ujarku dengan nada bergurau.
"Emang..." Bang Zaki berujar lirih.
"Hey! I can hear you!!!" Kugamit lengan Bang Zaki, dan kugelitiki area pinggangnya. Sementara itu aku melihat ke arah Zain, ia masih sibuk mengarahkan kamera ponselnya pada kami. "Hey! Bukan cuma kami berdua yang hepi-hepi ya! Elu juga!"
Rupanya Zain sedang membuat video. Rupanya sedari tadi ia sibuk merekamku dan Bang Zaki. Saat aku mengarahkan kamera ke arah Zain, ia malah diam dan bertingkah kikuk. Berulang kali aku menggodanya. Mencoba mengelitikinya sambil terus mengarahkan kamera kearahnya.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Kami sampai rumah sekitar jam sembilan malam. Karena tadi kami sempat belanja dulu di pasar Badung untuk keperluan warung besok pagi. Juga untuk stok di rumah.
Saat kami melangkah masuk rumah, Taka menyambutku dengan gerutuan kalau dia sudah kelaparan dan dengan gaya lebaynya yang heboh seolah-olah dia sudah akan pingsan.
"Gue gak bisa hidup tanpa ngerasain masakan lu, Ki... C'mon... Please... Bikinin gue sesuatu yang layak di makan..."
"Iye iye... Sabar... Bantuin gue dulu. Tuh di mobil masih banyak!" Aku menyahut.
"Wah! Adek Abang pinter banget!" Taka memeluk Zain yang sedang menjinjing kantong belanjaan. "Sini sini... Gue bantu..." Kali ini ia tak cuma mengangkat tas belanja, tapi juga Zain.
"Ya ampun Ka... Zain itu udah kelas 1 SMP tauk! Bukan anak TK!"
"Masaaa??? Kok kecil giniii?!"
"Tu bocah bisa remuk kalo elu pelukin terus Ka! Udah sana, bantuin angkatin belanjaan yang Bang Zaki taro di teras!!"
"Gue bantu ya, Bang Ki?" Suwek melangkah cepat menuruni anak tangga dan berjalan menuju teras depan. Dimana Bang Zaki sedang sibuk menurunkan semua belanjaan yang kami beli bersama.
Setelah semuanya beres, Suwek mulai membantuku menyiapkan apa saja yang aku butuhkan untuk besok pagi. Paling banyak, ia hanya mencuci sayuran dan daging. Memotong lalu menyimpannya ke lemari pendingin. Khusus untuk daging, Suwek sudah tentu tau dimana ia harus menyimpannya tanpa harus mendengarkan petunjukku. Suwek juga membantuku membuatkan beberapa bumbu yang akan kami pakai besok. Dia sudah semakin mahir.
Walaupun sempat di ganggu Taka, yang menuntut untuk dibuatkan makan. Untuk beberapa menit aku dan Suwek melakukan pertunjukan seperti acara masak memasak yang sempat populer semasa aku sekolah dulu. Kulakukan bukan demi Taka yang kelaparan. Melainkan pada Zain.
"Mau nyicip?" Taka menawarkan sesendok nasi goreng sosis buatan Suwek pada Zain.
Zain sudah membuka mulutnya lebar saat Taka bersiap menyuapinya. Tapi bukan Taka kalau tidak usil. Bukannya menyuapi Zain, malah dia lahap sendiri.
Taka mencubit gemas pipi Zain. Karena bocah itu sepertinya keki.
"Ciyeee... Yang punya adek baru" godaku. "Zain mau juga?"
"Enggak. Udah kenyang" jawab Zain.
"Beneran udah kenyang?" Tanyaku lagi.
"Iya Bang... Kan tadi udah makan banyak banget" jawabnya mencoba meyakinkanku.
"Ya udah... Sekarang sikat gigi. Trus tidur. Udah malem" aku berujar setelah melihat ke arah jam dinding. Rupanya sudah jam dua belas malam.
Zain segera menuju kamar mandi di lantai dua. Taka mengikutinya. "Kita tidur bareng lagi?" Zain bertanya pada Taka yang berjalan disampingnya.
"Yoi!" Taka menyahut sambil merangkul Zain.
"Udah beres semua kan?" Kali ini aku bertanya pada Suwek yang masih sibuk di dapur. Suwek hanya mengangguk pelan.
"Jadi..." Suwek mulai buka suara setelah dia menoleh kearah ruang TV. "Selama ini, elu... Mmm... Jadian ama... Bang Zaki?"
Aku yang sudah selesai menata piring di dalam lemari khusus piring, yang tadi sudah Suwek keringkan dengan lap bersih, menoleh kearah Suwek. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
"Jadi... Elu nolak gue karena elu... Ada rasa ke Bang Zaki?" Suwek bertanya lirih.
"Bukan" jawabku. Kali ini aku berdiri di hadapannya. "Bukan cuma itu. Gue mempertahankan elu disini, karena gue pengen nyatuin elu lagi ke Taka"
"Dan elu udah berhasil..."
"Iya..."
Lalu kami hanya berdiri. Berhadapan. Dalam diam.
Aku menunggu. Karena dari yang kulihat, Suwek seperti punya banyak hal yang ingin dia utarakan. Tapi dari cara ia memandangku, terlihat ragu di ekspresi wajahnya.
"Makasih..." Ujarnya. "Makasih Bang... Elu emang... Emang Abang ipar gue yang paling baik... Sedunia..."
"Gue yang seharusnya berterima kasih"
"Untuk...??"
"Untuk kesabaran lu selama ini. Elu udah sabar nungguin Taka. Elu udah sabar ngadepin sikap dan tingkah laku gue yang selama ini selalu aja kasar ke elu"
Suwek terkekeh. "Kalo elu gak kasar, gue gak mungkin kayak sekarang. Lagian elu itu bukan kasar"
"Trus apa?"
"Elu... Kejam!" Ujarnya dengan raut wajah serius. Seketika kami tertawa.
"Udah sono! Taka pasti udah nungguin elu!"
"Oke..."
Sementara Suwek menaiki anak tangga menuju kamar atas, aku melangkah masuk ke dalam kamar tidurku. Dalam remang-remang lampu tidur, aku bisa melihat Bang Zaki yang sudah tertidur pulas.
Perlahan aku mengunci pintu kamar. Kemudian melepas pakaianku, dan hanya menyisakan celana boxer saja. Kuamati tubuh Bang Zaki.
Tanganku terulur dan meletakkan nya di paha Bang Zaki. Kubelai lembut permukaan kulitnya. Tanganku bergerak kearah lutut, kemudian naik perlahan kearah paha dalamnya. Kubelai lembut gundukan celana pendeknya itu.
Perlahan, kucoba menarik turun celananya. Tapi mendadak saja tangan Bang Zaki meraih dan mencengkram pergelangan tanganku.
"Kamu pasti capek kan, Ki?" ujarnya pelan. Kemudian menarik tanganku hingga aku jatuh menimpa tubuhnya. "Bobok aja yuk..." Bisiknya lirih.
Kugeser tubuhku kesamping, kemudian Bang Zaki menyelipkan tangannya ke leherku. Dikecupnya keningku. Sementara tangan satunya membelai lembut bagian belakang kepalaku, hingga ke tengkuk.
"Kan siang tadi..."
"Abang udah ngantuk" potongnya.
"T-tapi..."
"Tapi Abang udah cukup puas dengan hanya memeluk kamu, Tiki" potongnya lagi. Mencoba meyakinkanku.
Kupindahkan tangan Bang Zaki yang berada di bawah leherku. Kuarahkan kebagian depan badannya. Untuk kemudian, kugenggam erat jemari dan telapak tangannya. Dan kulingkarkan tangan kiriku dibawah lengan kanannya. Kupeluk erat Bang Zaki.
"I love you so much, Bang..."
"Iya... Abang tau..."
"Oya? Dari mana Abang tau?"
"Buktinya kamu pulang, kan?" Dan bibirnya kembali mendarat dikeningku. Kemudian menggesek-gesekkan wajahnya dikepalaku. "Kamu tau? Abang setengah mati bingung waktu kamu lari. Abang menyesal sudah mukul kamu. Padahal... Tidak sekalipun Abang pernah menyakiti Toya..."
Mendadak saja aku langsung teringat sesuatu.
"Jadi itu sebabnya Abang sampai pergi dan ngebawa hape Bang Toya?"
Bang Zaki sedikit menjauhkan punggungnya. Agar ia bisa menatapku.
"Hape Toya?" Ia bertanya dengan raut wajah bingung.
"Iya. Tiki kan tau, kalau hape Bang Toya ada di lemari. Tapi waktu Abang pergi..."
"Tunggu... Tunggu..." Bang Zaki menghentikan kalimatku. "Kamu cemburu?"
"Kalo iya, kenapa?"
Bang Zaki tersenyum. Entah apa maksudnya ia bereaksi seperti itu.
"Jangan-jangan... Kamu marah waktu itu, karena kamu cemburu dan kesal karena Abang ngebawa hape Toya?"
"Iya!"
"Abang enggak bawa kok..."
"Trus itu hape kenapa ngilang?"
Bang Zaki mendesah pelan. Lalu kembali tersenyum. Kali ini tersenyum simpul.
"Abang tidak mau sampai merusak peninggalan Toya satu itu. Jadi... Abang menyimpannya di Bank. Jujur, Abang masih... Dan selalu mencintai Toya. Tapi sekarang sudah ada kamu yang menggantikan Toya..."
"Ooohhh... Tiki pemeran pengganti, begitu?"
"Bukan! Bukan begitu!" Bang Zaki bangkit duduk dan aku mengikutinya. "Abang enggak mau terus menerus sedih karena kehilangan Toya. Dan Toya masih sangat berarti di hidup Abang. Tapi Abang harus move on, kan, Tiki? Abang enggak mau kesedihan Abang mempengaruhi hubungan diantara kita..."
Aku langsung menyesal sudah mengungkit-ungkit hal ini. Bodohnya aku! Kalau begini caranya, artinya aku sedang mengorek luka lama di hati Bang Zaki!
"Kamu tau gazebo di belakang? Sebenarnya itu..." Bang Zaki terdiam. Pandangan matanya terlihat bingung. "Sebenarnya, itu tempat Toya selalu duduk saat dia sedang ingin sendiri. Dia pasti duduk di teras belakang atau di atas rumput, sambil memandangi pohon Kamboja di sudut belakang. Itu pohon yang ditanam oleh Zaim. Kamu tau siapa Zaim?"
Aku menggeleng pelan. Sekilas aku merasa deja vu mendengar nama itu. Karena sekilas saja, nama itu nyaris seperti menyebut nama Zain.
"Zaim itu nama almarhum kekasih Syaka... Meskipun sebentar saja kami mengenal Zaim, Toya sudah menyayanginya, layaknya adik. Dan kepergiannya bukan cuma menjadi pukulan untuk Syaka. Tapi kami semua. Termasuk Toya. Dan..." Bang Zaki membuat jeda panjang selama beberapa detik. "Dan sampai sekarang, Abang enggak pernah tau apa yang ia pikirkan saat memandangi pohon itu"
"Zaim tinggal disini juga?"
"Iya. Zaim dan Syaka adalah yang pertama kali menempati kamar atas. Setau Abang, bukannya kamu... Ah! Mungkin Taka yang pernah diceritakan mengenai Zaim"
"Kayaknya Tiki pernah denger. Tapi udah lupa"
"Dan tujuan Abang membangun gazebo itu, sebenarnya agar tempat duduk favorit Toya tetap seperti itu. Abang gak mau ada yang merusaknya. Sama seperti hape Toya. Abang enggak mau secara tidak sengaja merusak isi hape itu. Lagi pula semua isinya sudah Abang backup ke akun cloud milik Toya"
"Jadi waktu Abang ke Sumatera, hape itu disimpan ke Bank terlebih dulu?"
"Enggak. Sudah sekitar dua bulan sebelumnya kok"
"Kayaknya Tiki pernah liat Bang Zaki bawa hape Bang Toya deh"
"Bukan. Itu milik Donna. Toya, Donna, Putu dan Rina punya hape dengan model dan warna yang sama persis. Waktu itu Donna meminjamkannya ke Abang. Untuk menjadikan satu backup-an datanya ke akun cloud milik Toya"
"Setelah di backup, Abang balikin lagi?"
"Enggak. Abang simpan juga di Bank. Atas permintaan mereka" kemudian Bang Zaki meraih ponsel miliknya yang ia letakkan disebelah ponsel milikku diatas meja lampu disisi ranjang. "Sebenarnya ini hape baru. Dengan model yang sama. Meskipun agak susah belinya, karena seri lawas. Hape Abang juga di simpan di Bank. Dan semua yang ada disini hanya berisi tentang kenangan Abang dan kamu, Tiki"
Aku hanya terpaku menatap Bang Zaki. "Tiki gak mau jadi penyebab Bang Zaki ngelupain Bang Toya..."
"Tapi Abang harus melangkah maju, kan? Atau kamu mau Abang berjalan ditempat seperti sebelum kita menjalin hubungan ini?"
Aku menggeleng.
"Maaf Bang... Tiki udah bertingkah kekanakan begini..."
"It's okay. Kalau kamu enggak nanya, mungkin Abang akan diam saja. Karena Abang enggak mau kamu punya pikiran aneh-aneh" Bang Zaki mengelus kepalaku. "Pokoknya, kalau ada apa-apa, Tiki langsung tanya aja. Apa pun itu. Jangan dipendam sendiri. Abang ada disini untuk kamu, Tiki. Dan Abang berharap juga sebaliknya"
"Tentu! Apa pun itu... Abang jangan sungkan bertanya kalau ada uneg-uneg. Tiki baru pertama kali ini ngejalanin hubungan serius begini Bang. Tolong jangan pernah capek negur Tiki kalo ada salah"
"Iya. Negur aja... Abang janji enggak akan bikin kamu terluka lagi..." Raut wajah Bang Zaki nampak penuh penyesalan saat mengusap sudut bibirku. Kukecup jarinya. Dan kugenggam punggung tangannya saat ia beralih mengusap pipiku.
"Sekarang bobok yuk... Kan mulai hari ini kamu kerja lagi..."
"Hari ini?" Tanyaku bingung sambil ikut rebah disamping Bang Zaki. Aku dimintanya memutar badan sehingga memunggunginya. Kemudian Bang Zaki memelukku erat dari belakang. Tak lupa Bang Zaki membetulkan posisi bantal agar pas dikepala kami.
"Kamu gak sadar kalau sekarang sudah jam dua dini hari? Belum lagi nanti kamu harus bangun shalat Subuh"
Aku terkekeh mendengarnya.
"Nanti habis shalat subuh, kamu tidur aja lagi. Dateng ke warung agak siangan. Abang udah minta Wahid untuk kemari dan bantuin Fikar"
"Abang ke Jimbaran atau ke Ubud hari ini?"
"Mungkin ke Jimbaran dulu. Kasihan Akbar kewalahan disana"
"Salam ya buat Bang Akbar"
"Kan kamu bisa telepon. Udah ah! Bobok!"
"Hmmmm..." Aku menyahut dan menggenggam erat kedua tangan Bang Zaki yang sedang memelukku erat dari belakangku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku baru saja selesai mengambil air wudhu ketika mendengar ketukan di pintu kamar. Saat kubuka, ternyata Zain yang melakukannya. Rupanya dia mengajakku, juga Bang Zaki untuk melaksanakan shalat Subuh berjamaah. Saat berjalan keluar kamar, aku melihat Taka yang sedang berjalan menuruni anak tangga dengan mata setengah terpejam. Membangunkan manusia satu itu untuk shalat Subuh sebenarnya sangat susah. Thanks to Zain karena bocah itu ngotot membangunkan si pemalas, Taka.
Taka masih rajin shalat. Hanya saja, dia memang paling sulit saat dibangunkan untuk shalat Subuh. Aku terkikik geli saat Zain bilang, dia harus duduk diatas perut Taka dan terus mengelitikinya sampai Taka mau bangun dan segera berjalan menuju kamar mandi di lantai atas.
Pada akhirnya kami berlima shalat Subuh berjamaah di ruang TV, dengan Bang Zaki sebagai Imam-nya.
Usai menjalankan shalat berjamaah, aku langsung menyiapkan segala keperluan untuk warung. Karena semalam aku dan Suwek sudah menyiapkan sebagian besar bumbunya, jadi sekarang kami tinggal mulai memasak.
Sambil memasak, aku sempat menghubungi Wahid. Kuminta dia untuk datang kemari. Selain untuk mengajaknya sarapan pagi disini, aku memintanya untuk membantuku juga.
Selang satu jam kemudian Wahid sudah datang kemari. Dia sempat berbicara sebentar dengan Bang Zaki di ruang tamu. Mungkin karena kemarin Bang Zaki bilang dia ingin berterima kasih pada Wahid. Dan meminta maaf karena sudah merepotkannya.
Mungkin karena hari ini aku mendapat bantuan dari Wahid juga Zain, persiapan pagi ini berjalan dengan lumayan cepat. Jadi saat Bli Syaka datang, tepat saat kami semua sedang melakukan sarapan pagi.
"Kalo liat kamu kabur kemarin itu, aku jadi inget Mas Yo" ujarnya lirih.
Mas Yo itu sebutan kesayangan Bli Syaka pada Bang Toya.
"Yang dia ngilang waktu di Jakarta dulu itu?" tanyaku dengan suara lirih. Karena kami tidak mau Bang Zaki mendengar pembicaraan kami ini.
Bli Syaka menggeleng. "Bukan cuma itu saja! Mas Yo itu sering banget kabur-kaburan. Sedikit-sedikit kabur, tanpa melakukan konfirmasi terlebih dulu" lanjutnya menjelaskan. Sementara aku hanya manggut-manggut. "Makanya... Lain kali, jangan kabur begitu lagi ya! Kasian Abang. Dia sangat shock waktu kamu kabur kemarin"
"Iya Bli..."
"Bli gak berani nanya kalian ada masalah apa. Tapi Bli cuma bisa kasih masukan, semarah apa pun Abang, dia gak akan berbuat lebih jauh selain memberi ceramah selama satu kali dua puluh empat jam" lanjutnya lagi. Kali ini kami terkikik geli.
"Kalian itu pagi-pagi udah asik ngerumpi. Makan dulu!" perintah Bang Zaki yang duduk di seberangku. Biasanya kami duduk bersebelahan. Tapi si Zain nempel terus denganku. Jadilah dia duduk di kursi sebelah kiriku. Sementara Bli Syaka di sebelah kanan.
Usai sarapan, Bli Syaka diajak berbicara empat mata di gazebo belakang. Sementara Zain masih ikut membantuku memindahkan semua keperluan warung ke mobil box yang terparkir di depan rumah.
Dulu memang kami biasa membawa semua ini memakai mobil Bang Zaki. Tapi atas saran dan ijin Aji'-nya Bli Syaka, beliau meminjamkan salah satu mobil box miliknya untuk membantu membawa semua keperluan warung ini. Meskipun awalnya Bang Zaki menolak, tapi karena terus didesak secara halus, pada akhirnya dia menerima juga bantuan mobil box ini. Lagi pula kami hanya memakainya di pagi hari. Karena malam hari saat kami tutup, setelah mencuci bersih semua kontainer dan panci-panci berisi sayur dan lauk pauk lainnya ini pun, bisa dengan mudah masuk di mobil Bang Zaki.
Sebenarnya aku juga ingin memiliki mobil box sendiri. Tapi tabunganku belum cukup. Meskipun awalnya Bang Zaki yang ingin membelikannya, akan tetapi langsung saja aku tolak. Aku tidak ingin menerima begitu saja. Malu rasanya. Walaupun pada akhirnya aku setuju dengan kesepakatan Bang Zaki untuk patungan saja kalau uangku sudah cukup.
"Bang... Nanti Zain ikut ya" pinta bocah itu sambil mengelap keringat dikeningnya. "Zain janji enggak ngerepotin"
"Gue mah oke oke aja. Tapi elu harus minta ijin Mamang Zaki dulu" jawabku. "Mandi lagi gih! Ganti baju. Gue juga mau mandi lagi nih" ujarku sambil melangkah masuk kedalam kamar.
"Pelan-pelan woi!!"
Bisa kudengar teriakan Taka saat Zain setengah berlari menuju kamar dilantai atas. Aku juga sempat mendengar suara Zain yang meminta Taka untuk naik ke atas. Entah untuk apa.
Aku tadi sempat melihat Bang Zaki dengan Bli Syaka di gazebo belakang. Karena dinding yang dulu menghalangi view halaman belakang, sudah diganti dengan kaca beberapa bulan lalu, jadi aku bisa melihat mereka disana. Meskipun aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka, aku bisa melihat kalau mereka sedang berbicara serius. Nampak sekali ekspresi serius di wajah keduanya. Terakhir aku sempat melihat Bli Syaka berdiri dan memeluk Bang Zaki yang duduk ditepian gazebo.
Aku tidak berani mengira-ngira pembicaraan mereka. Tidak berani menduga-duga. Lebih baik menunggu saja. Pada saatnya nanti, salah satu atau keduanya pasti memberi tahukan padaku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•