It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
jadi mewek
*nyesek
akina gak pernah buat thread cerita?
(Waiting for someone else to make you happy is the best way to be sad)
Dulu hatiku tertutup. Dingin
Aku Kaku dan Sinis.
Penuh dengan keping Rahasia dan harapan yang tidak begitu hebat
Lalu lewat dirimu aku temukan sebuah dunia baru di luar dunia besar yang sebenarnya kerdil.
Maka di sinilah aku memilih untuk menendang tanggaku, supaya aku bisa tetap di sisimu.
Jam itu menunjukan pukul 11:11 malam, keadaan bandara ini sudah semakin lengang. Hanya seorang wanita paruh baya yang terihat berjalan kearahku sedang kursi-kursi tunggu cuma beberapa yang terisi, sisanya hanyalah udara dingin yang tidak perhatian. Aku mengamati koper berwana merah marun yang berada di depanku, pikiranku seperti tersedak mengingat sebuah pepatah bahwa manusia itu seperti sebuah koper yang dari luar tampak biasa saja tersembunyi dan tertata rapih karena mata tidak bisa menjamah rahasia di bagian lainnya. Dan yang dibutuhkan manusia dengan kopernya hanyalah menemukan seseorang yang cukup mencintai dia untuk membongkar segala isi kopernya lalu hidup apa adanya dan kukira itu benar. Paling tidak itu menurutku, menurut sepengalaman bertemu denganmu.
Pertama berjumpa hatiku terasa bergetar ketika melihatmu. Orang-orang bilang itu artinya aku jatuh cinta. Namun lagi-lagi aku tak mengerti apa maksudnya. Tak ada yang bisa menjelaskan kepadaku tentang arti jatuh cinta dan arti cinta itu sendiri segamlang yang mereka bisa, setidaknya aku lebih mengerti ketika seseorang pernah berkata kepadaku bahwa cinta di butuhkan orang bumi untuk berkembang biak, mungkin ini mengapa aku baru pertama kali merasakannya karena di planet asalku, Pluto. Kami tidak membutuhkan cinta untuk berkembang biak, tetapi kami biasa melakukannya dengan cara membelah diri. Kapanpun selama kami mau bahkan tak ada larangan jika ada seseorang yang tak mau membelah dirinya untuk berkembang biak sampai akhirnya ia mati.
Aku memperbaiki posisi duduk ku, posisi mantel dan topi. Lalu dengan sudut mata melirik jam dinding itu lagi, geraknya kembali terbata ketika meluruskan jarum panjangnya ke angka tiga. Sesungguhnya aku ingin jam itu berhenti karena saat ini aku tidak benar-benar ingin pergi dari sini dan pulang atau sekedar kembali. Tapi semenjak orang-orang bumi bilang bahwa Pluto tempat asalku bukanlah planet, aku sangat marah dan ingin berkata, ‘bagaimana bisa? Sedangkan aku seorang penduduknya bisa berada di sini, sekarang dan saat ini’. Jika Pluto bukan planet maka aku tak pernah melakukan perjalanan sehingga ada di sini di bumi, tak pernah merasakan jatuh cinta dan cintaku tak pernah benar-benar nyata. Tapi lagi-lagi semakin orang-orang bumi berkata bahwa Pluto bukanlah planet semakin ragu juga aku untuk marah, bahkan semakin ragu mengenai eksistensi dan cintaku. Karena terkadang benar dan salah ditentukan sudut pandang mereka, oleh karena itu aku memutuskan untuk sekedar kembali ke Pluto dan meyakinkan diriku sendiri bahwa itu adalah sebuah planet.
Sebenarnya kamulah yang paling tahu, meski aku tak dikembangbiakan di bumi, Selama ini aku sudah berusaha semampuku, belajar berbicara dengan mulutku meski sesungguhnya tidak semua maksud bisa tersampaikan dengan cara seperti itu, lalu mencoba menerima perbedaanku dan mencium pipimu saat kamu menangis, merubah bulir-bulir air matamu menjadi butiran es agar kau berhenti karena itu satu-satunya magis yang bisa aku tunjukan sebagai orang dari Pluto yang ingin jadi orang bumi. Tapi tetap saja seberapa keras aku berusaha membuat orang bumi menyukaiku tetap ada saja yang memilihi tidak. Lalu entah dengan maksud apa mereka menyebarkan rumor-rumor Pluto seperti itu dan mereka tidak pernah bisa dibedakan seperti sekedar hitam dan putih karena orang bumi seperti itu saru abu-abu.
Karena hal itu ada kalanya aku goyah tak mempercayai diriku dan hatiku, tak mempercayai apa yang telah coba aku perjuangkan selama ini. Seperti Ketika acara ulang tahunmu, aku yang berasal dari Pluto tak terbiasa dengan keramaian karena kami biasanya hidup soliter menyendiri. Namun demi dirimu aku memaksakan untuk pergi dan keadaan saat itu luar biasa dengan hiruk-pikuknya. Aku memandang berkeliling dan menyadari ketika melihatmu meniup lilin bahwa aku berbagi dirimu dengan banyak orang lain saat itu. Dengan ayahmu, ibumu bahkan dengan saudara dan teman-temanmu. Aku tidak melihat apapun yang tidak mereka lihat dan tidak mendengar apapun yang tidak mereka dengar. Aku merasakan sengatan dalam dadaku. Itulah perjumpaan pertamaku dengan rasa cemburu dan patah hati kepadamu. Merasa semakin kecil sebagai minoritas dan mengingat bahwa aku juga adalah seorang dari Pluto yang membuatnya terasa lebih menohok, aku seperti bulir hujan yang gugur sendirian melihatmu masih berarak menjadi awan bersama yang lain diangkasa. Lalu berpikir sebaiknya kita memang berpisah, aku akan ke utara kau keselatan seperti air hujan biasanya, aku ke pegunungan kau jauh ke dataran mungkin suatu hari kita akan bertemu lagi setelah sekian lama berkelana menjadi aliran sungai dan bertemu kembali di lautan. Berbagi cerita yang sangat panjang sambil menahan kerinduan, setidaknya saat itu aku sudah belajar melepaskanmu.
Sejujurnya andai saja malam ini kamu bisa datang sebelum aku pergi. Aku ingin bertanya sekali lagi saja kepadamu, ‘apakah Pluto adalah sebuah planet?’. Tak perlu siapa-siapa cukup kamu saja yang berkata dan meyakinkan bahwa Pluto memang sebuah planet meski sebenarnya kamu juga tak tahu dan aku sebenarnya tak akan terlalu peduli dengan itu, yang jelas aku akan percaya dan menunda kepergianku, lalu akan belajar berpura-pura kembali menjadi orang dari bumi, belajar berkembang biak dengan cara bercinta bukan dengan membelah diri dan mungkin tak akan pernah kembali ke Pluto sana, tak peduli apa kata orang ia nyata atau tidak, karena yang terpenting kamu ada. Cukup kamu saja, satu yang meyankinkanku melawan seribu, sejuta bahkan semiliar keraguan, cukup kamu satu. Dengan begitu aku tidak perlu mengepak koperku lagi dan menemukan orang lain yang sesuai untuk membantuku membukanya kembali, karena aku berharap di bumi ini dan bersamamu adalah saat pertama dan terakhirku.
Tetapi sayang kamu belum juga datang dan orang-orang bumi masih bilang bahwa Pluto bukanlah planet. Aku semakin merindukamu sekaligus semakin takut, kini membayangkanmu saja aku sudah tidak mampu, seingatku rupamu mulai menjadi saru, matamu bercampur dengan mata orang lain, begitupun hidungmu, mulutmu serta siluetmu dan kamu tetap belum juga datang dan aku sesungguhnya benci menyebutmu mulai mirip orang bumi yang abu-abu saru itu. Mungkin macet? Di hari yang hampir tengah malam seperti ini aku masih berpikir konyol seperti itu dan lebih memilih mungkin dan kemungkinan lain alih-alih mempercayai bahwa dirimu memang tidak akan pernah datang. Sesungguhnya aku masih menunggu dan Orang-orang masih bilang bahwa Pluto bukan planet.
Di kejauhan mataku melihat sebuah cahaya semakin benderang, terlihat membias di kaca bandara yang berfilter hitam. Hatiku sebisa mungkin mencoba berdamai dengan kenyataan, mungkin memang harus seperti ini akhir ceritanya, seakan-akan kita dulu berjumpa memang hanya supaya berjumpa, kita bicara hanya supaya bicara, meski sekelebat pertemuan punya tempatnya tersendiri di hati dan aku akan menganggapnya itu berakhir bahagia. Akhir bahagia tidak selamanya berakhir dengan sepasang kekasih hidup berdua selamanya. Terkadang akhir bahagia berakhir dengan masing-masing berbahagia dengan jalannya sendiri-sendiri dan tak perlu untuk bersama. Aku bahagia akan pergi ke Planet asalku dengan dada yang terasa dingin tapi memang seperti itu seharusnya karena aku Orang dari Pluto dan sepantasnya aku kembali ke asalku yang sebenarnya. Ternyata alih-alih ingin membuktikan bahwa Pluto sebuah planet mungkin sebenarnya aku cuman ingin pergi dan menyembuhkan diri.
Mataku kembali melirik, sekarang aku iri kepada jam di dinding itu. Kedua jarumnya seakan saling menggenggam erat menunjuk tepat pukul dua belas, tapi tersadar mereka juga tak lama lagi akan berpisah kembali tapi sesungguhnya siapa yang akan paling merindukan ketika mereka berpisah, kukira jarum panjanglah yang paling merindukan karena seberapa keras ia kembali untuk menemui jarum yang lebih pendek. dia tidak pernah sadar bahwa perlahan jarum jam yang lebih pendek tidak pernah berada dan setia di tempat yang sama dia perlahan pergi menjauhnya.
Aku berdiri dari duduk membenarkan pakaikanku dan berjalan dengan setengah menggusur koper merah marun itu. Karena aku akan segera pergi menumpangi bintang berekor yang semakin datang dengan terang benderang, wahanaku satu-satunya menuju Pluto yang hadir setiap seratus tahun sekali dan kini bintang itu sisa menunggu jeda meleset di angkasa. Lalu dengan cemerlangnya akan membawaku, menyisakan berita di Koran esok pagi kepadamu bahwa seorang dari Pluto telah hilang lebih tepatnya pergi dari bumi dan ia segera sampai pada tepi dari mana tak mungkin lagi kembali. Dan saat kabar itu sampai kepadamu aku mungkin tengah melayang di tengah ruang, di mana tak berpisah malam dengan siang sebagaimana tak berpisah dirimu dari pikiranku.
Jarum jam yang berpegangan erat itu kini berjarak.
“Selamat tanggal 25 Sayang tepat dua tahun kita bertemu”.
Di kejauhan seorang wanita terdengar berteriak, “pria itu melompat dari gedung…”
(Jakarta, 25 mei 2015)
Quote from me :
Even though the person you loved and you didn't end up together, be happy with the fact that they were once a part of your life. Some people enter your life for only a short period of time, but they can be great influences for the rest of your life. It barely takes any time to fall in love, so why is it a complete torture when it's time we need to say goodbye? No matter how tightly you hold someone, you still need to let go when the time comes, because that fact sometimes I called what happened betwen us is a special bond rather than love. Cuz a special bond is stronger than love, so it must be what I called to you a best friend not a lover one. Cuz a best friend is someone who will love you the day you forget to love yourself but the lover? I never get it what well said for that.
jd inget perkenalan pertamaku dgn si dia, jg karena menunggu hujan. bedanya kita di masjid, bukan di sekolah. hehe.
Aku ga berani nge post cerita yang ku bikin coz aku merasa bahasa ceritaku kaku
Yang berani ku post cuma kisah pribadiku yg di blog
Menunggu hujan
Perpisahan adalah sebuah paket dengan pertemuan. Meskipun kadang kita tidak pernah mau mengambilnya, bahkan sekedar diberipun kita sudi apa lagi harus membayarnya dengan rasa sakit. Perpisahan takan pernah bisa dibagi seperti kebahagian , tiba-tiba saja sesuatu terasa hilang di hati dan di pikiran tapi dunia masih terus berputar seakaan tidak perhatian bahwa sesuatu terjadi di sini.
Sembilan atau delapan aku tidak yakin ini hari atau minggu keberapa semenjak kamu pergi, namun rindu itu sudah semakin besar melebihi besarnya pulau Nami ini. Lebih sering melebihi banyaknya daun pohon oak yang mulai gugur. Tapi mungkin kamu tidak pernah tahu dan takan pernah tahu karena hujan yang kutunggu belum juga tiba. Sebentar aku tertawa, mengingat entah sejak kapan tiba-tiba aku menjadi sok puitis dan sok merindu. Tapi apa kabarmu? Apa kamu masih ingat pertama kita bertemu ? bisa jadi iya bisa jadi tidak atau mungkin? Yang jelas bagiku pertemuan denganmu adalah sebuah anugerah luar biasa, aku yang dulu hanya suka dan hanya bisa diam di dalam ruangan yang tidak lebih dari 3x4 meter. Tiba-tiba menjadi petualang luar biasa, menjelajah sekitar pulau Nami dan aku baru tahu kalau di sekelilingku banyak hal-hal indah yang kulewatkan hanya karena aku tak pernah mau untuk melihat lebih jelas. Lalu apa mungkin di hatimu yang terdalam ada sedikit rindu untuku? Raga kita memang sudah saling menjauh tapi biarkan aku menjaga hati ini dan bayanganmu tetap di sini.
Hei kamu tahu hal apa lagi yang paling lucu yang pernah kamu ceritakan kepadaku, selain asal usul yang tidak jelas tentang mengapa kamu menyebutku dengan nama Mboon ? tentu saja cerita yang lain adalah alasan kenapa setiap pagi kamu selalu menyempatkan diri untuk pergi ke mini market terdekat. Dan kamu bilang alasannya adalah agar selalu ada orang yang mengucapkan selamat pagi setiap membuka pintu kepadamu setiap hari meski bukan pacar yang mengucapkan dan menyapamu tapi petugas mini market. Karena kamu selalu merasa kesepian setiap pulang ke rumah dan tak ada yang menyambutmu, kamu di sini di korea melanglang jauh sendirian.
Awal kita bertemu, aku tak pernah mengerti apa yang kamu sampaikan. Mungkin karena bahasa kita berbeda. Untuk beberapa waktu kita hanya bisa berjalan saling diam, melewati pohon-pohon oak besar yang berderet sepanjang jalan. Saat itu matahari mulai senja Namun akhirnya sedikit demi sedikit aku mengerti ucapanmu dan satu pertanyaan darimu yang selalu terngiang adalah ‘apa yang paling kamu benci?` Aku coba menjawab hujan tapi sepertinya kamu tidak mendengar, sampai akhirnya entah bagaimana aku mulai menyukai dan menunggu hujan semua karena dirimu.
Lalu di hari selanjutnya setelah percakapan itu tiba-tiba saja langit hujan, setelah berjalan secepatnya akhirnya kita hanya bisa berteduh di sebuah halte bis kecil. Kesunyian terasa meresap di sana hanya hujan yang tidak tahu diri saja yang terdengar berjatuhan dengan ributnya.
“Mboon,“ kau mulai meracau menyebut namaku . Aku hanya bisa diam setengah mendengarkan setengah tidak.
“Kau tahu apa yang paling kubenci dari dulu? Hujan. Kau tahu kenapa? Karena ayahku pergi meninggalkan keluarga kami saat hujan. Hujan menelannya dalam-dalam, semakin jauh ia semakin menghilang tertelan hujan. Andai saja hari itu tidak hujan, mungkin saja aku bisa melihatnya lebih lama. Tapi entah bagaimana akhir-akhir ini aku mulai suka hujan menunggunya setiap hari menunggu baunya setiap pagi. Dan kamu tahu kenapa tiba-tiba aku menyukai hujan? Itu semua karena hujan yang bisa kusentuh kali ini mungkin adalah hujan yang juga pernah ayahku sentuh ketika ia pergi dan memilih untuk tidak kembali. Karena kupikir ketika kita merindukan seseorang dan hujan turun maka kita bisa melepaskan kerinduan itu dengan menyentuh hujan. Karena siapa tahu hujan yang kita sentuh adalah hujan yang pernah orang yang kita rindukan sentuh, hujan yang pernah membasahi tubuhnya, dan hujan yang pernah mengecup wajahnya. Tapi pada akhirnya kita memutuskan untuk berteduh dari pada mencoba menyentuhnya, mungkin karena aku belum siap pada sihir apa yang akan di bawa oleh hujan.” kamu mengakhiri perkataanmu.
Semenjak itu entah karenamu atau bukan aku juga semakin menggilai hujan. Bukan karena mengapa, hanya saja aku suka setiap hujan datang kau akan menceracau menumpahkan isi hatimu dan ternyata mendengarkan kisah manusia semenarik buku-buku yang pernah kau bacakan untukku. Dan kamu selalu bilang disetiap hujan bahwa aku adalah teman terbaikmu ketika jauh dari keluarga.
Sampai akhirnya aku tahu bahwa ternyata kamu berbohong, sebagaimana kamu bilang menyukai hujan tapi kamu lebih memilih untuk berteduh ketika ia datang. Dan mengapa aku percaya ketika kamu bilang menyayangiku tapi akhirnya di sini kamu meninggalkanku. Memang Tanganmu tetap tanganmu, meskipun ia berada sedekat tali remku. Ia bisa pergi dan memilih untuk tidak pernah kembali karena tanganmu tetap tanganmu. Aku sadar kamu adalah manusia dan aku hanyalah sebuah sepedah yang suka berbicara sendiri dan mendengarmu. Tidak lebih dan tidak bisa menjadi sesuatu yang lebih. Karena kita sudah di takdirkan begini. Tapi untuk terakhir kalinya aku benar-benar ingin menyentuhmu lagi semenjak kamu memustukan untuk pulang kenegaramu sendiri, meski hanya menyentuh lewat hujan seperti katamu siapa tahu saja hujan yang kutunggu adalah hujan yang pernah menyentuh tubuhmu, atau bahkan wajahmu? Sehingga aku bisa mengingat bagaimana rupamu sebelum siluetmu mengabur dan sebelum aku kembali mejadi sepedah yang bisu. Tapi akhirnya, aku hanya bisa berdoa dan berdoa karena menangis tak ditakdirkan bisa dilakukan olehku, semoga saja lewat doa ini Tuhan yang di sebut-sebut manusia itu bisa mengabulkan doaku, doa yang sederhana yaitu semoga hujan datang dan….
Aku belum menyelesaikan ucapanku ketika sebuah kertas terbang tertiup angin. Sepertinya itu sebuah surat yang berisi alamat rumahmu di Indonesia.
***
2 hari setelah hujan turun di pulau Nami, Korea Selatan
***
Sukabumi, Jawa Barat Indonesia
Pintu itu terbuka saat Ia mengetuknya tiga kali.
“Permisi, Sungainya ada?” kata pria itu mengawali percakapan ia sedikit gugup dengan cara berbicaranya semoga saja bahasanya di mengerti.
“Oh, cari Sungai? Sebentar,“ jawan si wanita, pria itu berpikir wanita itu adalah ibunya. Wanita itu kemudian menghilang masuk kerumahnya kembali sambil berteriak bahwa di luar ada seseorang yang mencari Sungai. Kemudian pintu itu terbuka separuh lagi.
“Nama anda siapa?” Wanita itu tersenyum.
“Mboon“. Kataku.
Di kejauhan terdengar nyaring suara guruh.
“Siapa bu?”
“Mboon“
“Mboon siapa ?"
Sungai keluar, di luar hujan mulai gerimis. Tak ada siapa-siapa di sana kecuali sebuah sepedah yang pernah ia tinggalkan di Korea.
siapa tahu saja hujan yang kutunggu adalah hujan yang pernah menyentuh tubuhmu, atau bahkan wajahmu?
End
Sekedar Curhat : Menunggu Hujan adalah Cerpen yang saya buat ketika terjebak di sekolah dengan seorang teman sekaligus ‘BoyCrush’. Waktu itu hujan lumayan deras, sekolah saya yang memiliki jendela cukup lebar seperti bangunan-bangunan Belanda jaman dulu selalu membuka jendelanya ketika jadwal istirahat atau pun sehabis piket dilakukan ketika pulang sekolah. Saat itu kami ngobrol-ngalor ngidul sampai-sampai saya berharap bahwa hujan bisa turun selamanya sehingga kami bisa lebih lama berduaan. Mungkin karena bosan akhirnya dia pergi duduk di depan jendela tadi, pertama-tama menjulurkan lenganya untuk menyentuh hujan kemudia dia mencuci mukanya dengan air hujan sementara saya mengaguminya dari kejauhan sembari menulis cerita di atas. Hujan semakin kecil dan akan reda, tiba-tiba menyadari hal ini saya takut kehilangan di mana momen-momen kebersamaan ini akan segera berakhir dan ketakutan terbesar adalah bahwa kami sudah kelas 3 dan sebentar lagi pasti kami akan berpisah menuju kehidupan masing-masing, lalu bagaimana jika suatu saat saya kangen dia maka tiba-tiba muncul pemikiran “siapa tahu saja hujan yang kutunggu adalah hujan yang pernah menyentuh tubuhmu, atau bahkan wajahmu yakni hujan yang dia sentuh waktu duduk di jendela atau mungkin hujan adalah air yang pernah di pakainya untuk mandi atau pemikiran paling jorok adalah air hujan adalah salah satu air yang diminumnya lalu dia keluarkan jadi air kencing yang terbawa ke selokan, sungai laut dan berubah jadi hujan. Jadi ketika hujan turun saya mebayangkan menyentuh air hujan yang pernah di pegangnya.”
Cerita diatas menggambarkan sebuah sepedah yang jatuh cinta pada pemiliknya yang mana cintanya tidak mungkin terwujud karena manusia dan sepedah tidak bisa bersatu. Hal ini secara tidak langusung mewakili perasaan saya pada teman saya tersebut. Mboon adalah plesetan dari nama panggilan teman saya Mbeek, Beck, black, si hideung alias hitam karena kulitnya tubuhnya sawo matang. Dulu saya ingin langsung memasukan Mbeek alih-alih Mboon namun saya takut dia menyadarinya dan taraaa perang dunia ke 3 pun bisa terjadi. Akhirnya saya memilih Mboon supaya bisa di baca teman sekelas yang lain waktu itu.
Oleh:Mahameru J. Kurniawan
Cast: Athar. Farhan. Rian.
***
Malam di Sukabumi. Aku jatuh cinta dengan bagaimana cara dia menyetrika.
***
Ku pandangi kembali lemari baju yang isinya sudah hampir semerawut itu dan sebagian sudah berserakan di ranjang kamarku. Yang terakhir ku keluarkan sebelum menutup pintu lemari adalah sebuah batik berwana cokelat ke-emasan yang langsung ku letakan di depan tubuhku sambil memandangi pantulannya di pintu lemari yang bagian depannya memang di pasangi sebuah cermin. Bayanganku yang seakan memakai batik itu tampak serasi dengan celana bahan dan sepatu pentopel warna hitam yang sudah ku kenakan sedari tadi. Aku berputar perlahan, menyamping dan menghadap ke depan cermin kembali setelah ku pikir akhirnya menemukan pakaian yang cocok dan serasi. Aku benar-benar harus terlihat baik kali ini minimal mendekati sempurna pikirku.
Setelah ter-semir hitam mengkilat, ku letakan sepatu itu di tepi ranjang. Ku ambil sambungan kabel yang lampu indikatornya menyala merah lantas ku sambungkan setrikaan itu dan meletakan batik cokelat ke-emasanku di sampingnya. Ada kenangan semerbak di benaku sebagaimana bau baju yang mulai tersetrika. Bau dari masa lalu yang membuat mataku basah dan meneteskan bulirnya ke baju batik itu.
Delapan tahun lalu sama seperti sekarang, bedanya saat itu kau berada di sampingku membimbing perlahan bagaimana cara merapikan pakaianku dengan setrikaan. Kau menertawakan ku saat pertama kali melakukannya dengan ‘kagok’. Kuakui aku memang tidak pernah melakukan hal seperti ini, di keluargaku aku di manjakan bahkan sudah ada pembantu yang khusus melakukannya untuku jadi aku berpikir untuk apa aku belajar merapihkan baju? Sampai akhirnya aku memulai Sekolah menengahku mendapatkan dirimu sebagai teman satu kamar di asrama dan kamu berkata ‘Bagaimanapun laki-laki harus bisa, suatu hari mereka akan berpisah dari keluarganya dan sendirian terlepas suatu saat kau akan menikah dan mempunyai istri dan istrimu akan menyetrikakan pakaiaanmu tapi tetap saja kau harus bisa dalam artian kau harus mandiri’. Mungkin itu maksudmu bukan sekedar menyetrika tapi intinya bahwa pria itu harus belajar mandiri melakukan semuanya sendiri tidak bergantung pada orang lain.
Tapi pada akhirnya, aku tidak pernah bisa melakukannya. Selalu ada saja pakaian yang hangus atau berbekas dalam karena terlalu lama di gosok dan terlalu panas. Dan saat itu kau selalu ada di sana menyelamatkan sisa pakaianku dengan cara membantu menyetrikakannya sampai malam karena harus menyetrikakan pakaiannmu juga dan yang kulakukan adalah berada di sampingmu sekedar membantu menyimpan lipatan-lipatan baju itu dan memperhatikan dirimu yang kelelahan. Ini mungkin salah tetapi aku menyukai dirimu yang kelelahan, lalu terlelap di pangkuan kakiku di tepi pakaian yang selesai tersetrika dan kamu tidak sadar ketika aku memandangimu semalaman sambil mengelus rambutmu tapi tak mampu meraba wajahmu yang sisa sejengkal di pangkuanku itu.
“Athar kau harus mencobanya lebih keras, aku tak mungkin terus melakukannya untukmu. Suatu saat kita akan berpisah menempuh jalan dan impian masing-masing dan jika suatu ketika aku melihat bajumu tidak rapi akan ku pukul kepalamu,” dia tertawa lalu terbangun sambil mengelus keras kepalaku.”
Siluet-siluet kenangan itu lebur ketika ponselku berbunyi dan menyadarkan bahwa kini aku sedang berada di kamar menghadapi pakaian batikku yang sedang tersetrika. Ku angkat ponsel itu dan terdengar suara Rian di ujung panggilannya.
“Kamu jadi ikutkan besok Thar, momen temen seumur hidup loh. Kapan lagi, gak mungkin ada yang kedua kali. Paling ngga itu kan yang semua orang mau sekali aja cukup.”
“Aku gak tau Ian,”
“Kenapa Thar? Ini masalah waktunya bentrok dengan pindahan rumah mu? Kamu jangan gitu, adakalanya kamu harus hadapi apapun itu, kamu gak mungkin selamanya lari.”
Aku terdiam sebentar, dan menyadari perkataan Rian.
“Iya aku jadi ikut.”
“Nah gitu, Oke Thar besok aku jemput.”
Sambungan telephone itu terputus, tapi kata-kata Rian masih terngiang tentang ‘selamanya yang gak mungkin terus lari’. Aku kembali melihat pakaian batik ku yang belum selesai di setrika. Dan dengan lemah akhirnya aku kembali menyelesaikannya walau perlahan. Sisa malam itu ku habiskan untuk merapihkan pakaianku sesempurna se-isyarat bagaiaman dulu kau mengajariku.
***
Di depan sebuah tenda biru, janur kuningmu melengkung. Ada nama-nama yang tertulis di hati tapi tidak bisa tertulis di buku nikah.
***
Sekian lama aku mencarimu atau mungkin malah menghindarimu ketika aku tahu di mana sesungguhnya dirimu berada aku malah lari semakin menjauh. Dan kini ada rindu menggunung di pelupuk yang akhirnya meleleh menjadi air mata membawaku hanyut dan tenggelam ketika surat undangan itu tiba dan namamu bersanding dengan mempelainya di sana. Tetapi yang lebih menyedihkan adalah bagaimana bisa aku merasa kehilangan bahkan sebelum aku pernah memilikimu dan menyadari bahwa kamu bukan siapa-siapa. Tapi tetap saja hati ini merasa tidak bahagia. Karena semua ini datang justru ketika aku siap untuk bertemu dan mencurahkan semuanya namun ternyata rencana tidak sesuai keadaannya. Sesungguhnya aku tidak mau datang kepernikahanmu entah terlalu sakit atau cemburu aku, entah terlalu kesal atau takut, aku tidak tahu.
Dan pada akhirnya hari itu pun tiba, mobil Rian yang membawaku berhenti tepat di bawah salah satu janur kuning yang melengkung yang entah kenapa seakan menamparku keras-keras tentang kenyataan yang selama ini harus ku hadapi bahwa kamu tak pernah memiliki perasaan apapun padaku dan janur kuning ini buktinya bahwa kau kini menikah dengan orang lain dan berbahagia tak mungkin ada kesempatan lain kali untukku.
***
Di depan mataku kau berjarak semakin jauh
***
Tak ada bukti lain yang kubutuhkan selain kehadiranmu yang sudah di sana memakai pakaian pengantin berwarna putih dan sedang bercakap-cakap dengan penghulu. Mendengar kalimat demi kalimat ijab kabulmu serta doa-doa orang di sekitarku yang perlahan membawamu semakin menjauh dariku meski ragamu tepat di depanku.
Dulu kau menarik ku dari kesepian sedikit demi sedikit membimbingku, mengingatkan kan serta merubah apa yang tak baik dari diriku. Tapi kini engkau yang serupa cahaya di dalam kegelapan seolah pudar membiarkanku tersesat kembali di kekelaman. Tapi tak ada yang bisa ku lakukan selain menghadapi kenyataan dan melanjutkan perjalanan.
Setelah itu kau bersanding di pelaminan, sementara aku dan Rian mengantri untuk bersalaman. Antrian itu bergerak perlahan. Sampai akhirnya dunia mempertemukan kita kembali.
Aku menjabat tangannya dan dia menjabat tanganku.
“Hei.. lama gak ketemu dan kamu gak berubah Thar,” dia tersenyum kemudian memeluku, pelukan khas seorang teman sesama pria.
“ Selamet yah Far, semoga sakinah mawadah warohmah,”
“Makasih, kapan nyusul?” Dia tersenyum kembali. Aku terdiam sejenak batinku mendengus. ‘Nyusul? Bagaimana caranya sementara janur kuningmu sudah melengkung?’ tapi kata-kata itu tertelan sebelum sempat muncul kepermukaan. Dak akhirnya aku hanya bisa tersenyum dan sesegera mungkin menyalami mempelai perempuannya. Ujung-ujung mataku terasa panas. Dan ada sebagian kecil di hatiku yang menyesal untuk datang hari ini.
Aku hendak menuju ke parkiran, menyalakan sebatang rokok sebelum akhirnya Rian menahan tanganku.
“Lo mau kemana makan dulu sini,” dia menarikku menuju tempat prasmanan. Memberiku sebuah piring dan membantu mengisinya ketika dia melihatku tidak bereaksi apa-apa terhadap ajakannya.
***
Alasan lain di balik sepotong Ikan salmon
***
Empat bulan lagi usiaku akan menginjak seperempat abad, sudah banyak orang yang ku kenal di usia ini, mereka belajar untuk mapan, menikah dan mempunyai anak. Sementara aku tidak pernah memikirkan hal itu meskipun jauh di lubuk hatiku selalu ada kata-kata yang tertindas yang memelas membisikan kerapuhannya ‘kapan akan kembali?’ dan sejujurnya aku tidak tahu karena sepertinya aku sudah terlalu jauh melangkah dan jalan untuk kembali itu tidak terlihat lagi, aku kepalang basah. Tapi entah kenapa semenjak surat undangan dari Farhan itu datang, aku merasa jalan untuk pulang itu seperti kembali terlihat. Farhan adalah cinta pertamaku dan mungkin dari sana aku memulai segalanya memulai petualangan mencari cinta Farhan dari tubuh orang lain dan ketika menyadari dia akan menikah sepertinya aku tertampar keras-keras bahwa seharusnya aku menghentikan hayalan-hayalanku selama ini, aku memulainya dari dia dan harus menghentikannya karna dia juga. Dan ini saatnya.
Dengan tidak berselera dan menghargai apa yang sudah di lakukan Rian perlahan aku menyantap hidangan di piring itu sesendok nasi putih dan sepotong ikan.
“Kau harus makan lebih banyak Thar, Ikan salmon itu bagus untuk kesehatanmu,”
“Salmon?” Tanyaku sambil kembali melihat sepotong ikan di piring.
“Iya, yang kau makan itu Ikan Salmon. Kesukaan Farhan. Yang membuat dompet kita cekak ketika jaman sekolah dulu karena beli sushi yang topingnya ikan Salmon dan ternyata harganya selangit,” Rian tertawa. “Sejujurnya aku rindu masa-masa itu, masa sekolah dan kuliah saat kita tidak terlalu sibuk dan masih bisa sering untuk berkumpul.”
“Ahh aku ingat Ian.”
“Dan kamu tahu Thar aku masih percaya kata-kata setengah bualan si Farhan tentang alasan ikan ini mahal karena prinsip hidupnya.” Rian kembali terbahak.
Aku ingat potongan lain kenangan kami tentang ikan salmon ini, seusai acara kelulusan Farhan mengajak ku dan Rian ke sebuah restaurant sushi. Yang kemudian membuat Rian terbengong-bengong melihat jumlah struk yang harus dibayarnya dan berdebat cukup lama dengan Farhan karena dia yang mengajaknya kesini maka dia yang harus membayar semuanya, sesungguhnya aku bisa saja membayar semuanya dan mentraktir mereka tapi Farhan tidak mau aku melakukannya sampai akhirnya Farhan menceritakan alasan setengah bualan kepada aku dan Rian kenapa ikan salmon yang menjadi toping itu mahal.
“Kalian tahu, Ikan salmon hidup di laut selama empat hingga tujuh tahun, di laut mereka di manjakan dengan melimpahnya makanan. Menginjak dewasa dan siap untuk bereproduksi salmon akan meninggalkan perairan asin dan memasuki sungai air tawar, salmon betina kemudian akan berpuasaan sesaat setelah memasuki perairan tawar. Dia tidak minum ataupun makan karena dia perlu ruang di perutnya untuk menyimpan 2000 - 10.000 telurnya. Sementara pada salmon jantan, perutnya akan menyusut dan berubah menjadi tempat sperma. Tidak ada waktu lagi untuk makan dan minum, tidak ada waktu lagi untuk bersenang-senang ada zat-zat tertentu yang harus di buang demi kualitas telur yang baik dan mutu sperma yang super.
Dan kendatipun dalam keadaan berpuasa, ikan salmon itu tetap berenang dan melompat melawan arus menuju hulu. Perjalanan ini bisa menempuh ribuan kilometer setara jarak 2 kali pulang pergi Jakarta Surabaya. Dan konon puasa juga yang bisa membimbing mereka ke lokasi yang tepat yaitu lokasi ketika mereka dulu di lahirkan. Tidak semua salmon bisa tiba di kampung halaman asalnya, di jalan ada saja yang di tangkap oleh beruang atau mati kelelahan.”
“Atau di makan kaya gini?” Sela Rian setengah mendengus, sementara Farhan melanjutkan ceritanya.
“Salmon jantan dan betina akan menjaga tempat mereka bertelur kurang lebih empat bulan sampai telurnya menetas dan tidak lama kemudian induk jantan dan betinanya akan meregang nyawa karena kelaparan setelah mereka yakin bahwa keturunannya menetas, dan bayi ikan salmon yang yatim piatu tidak memiliki induk yang membimbingnya ini akan bergerak kearah hilir menuju lautan bebas. Dan suatu saat mereka akan kembali ketempat mereka lahir dan melakukan hal yang sama yang pernah di lakukan induknya. Siklus hidup salmon memang dramatis. Ada perjuangan dan pengorbanan melawan arus demi keturunannya.
Dan kalian tahu kita harus bersyukur karena dengan makan ikan salmon, kita bisa meresapi pola hidup mereka. Intinya kita bisa mengambil pelajaran dari ikan salmon bahwa esensi kita menjadi makhluk hidup adalah pindah. Dimulai dari kecil, kita pindah dari rahim ibu ke dunia nyata. Lalu, kita pindah sekolah, lalu pindah pekerjaan. Dan, pada akhirnya, kita pindah hidup yaitu mati, pindah kealam lain. Hidup penuh ketidakpastian, tetapi perpindahan adalah salah satu hal yang pasti. Kalau pindah di identikkan dengan kepergian, maka kesedihan menjadi sesuatu yang mengikutinya. Padahal, untuk melakukan pencapaian lebih, kita tak bisa hanya bertahan di tempat yang sama. Tidak ada kehidupan lebih baik yang bisa didapatkan tanpa melakukan perpindahan. Dan suatu saat kita harus berpindah dari pria menjadi seorang ayah, mengorbankan hidup untuk anak-anak keturunan kita.” Jelas Farhan mengakhiri sambil menunjukan struk itu dan meminta iuran masing-masing kepada kami untuk membayar nya.
“Terus apa hubungannya dengan keadaan kita sekarang? Kau hanya bicara membuang-buang waktu” balas Rian.
“Kecuali ceritanya ini akan selalu kau ingat ketika makan Salmon kembali suatu saat, sisanya memang tidak ada hubungannya,” Jawab Farhan singkat. “Yang jelas kita harus membayarnya agar bisa pulang dari sini dan kau bisa berhenti mendengarkan ku bicara ngawur,”
“Sialan,” Rian tertawa dan kamipun tertawa
Tapi jauh di lubuk hatiku aku sedikit mengerti kali ini. Yang Farhan lakukan hanyalah perlahan ingin membuat kami mandiri, bahwa apa yang sudah kami lakukan kami harus seperti ikan salmon itu memiliki tanggung jawab dan mandiri berpindah dari seorang laki-laki menjadi pria dewasa, hidup tidak selamanya muda ada masa dimana kita harus menyerahkan sisa hidup kita untuk keturunan selanjutnya. Dan kupikir yang ingin dia lakukan selama ini terhadapku adalah melindungiku sebelum akhirnya dia juga akhirnya harus pergi dan membiarkanku sendiri tetapi aku menanggapinya lain. sedih tentu, tapi terkadang kenyataan memang pahit seperti itu.
***
Ia tanamkan di dalam diri ku mutiara,
Hingga tiba saatnya aku dapat menyinari tanpa mentari
dan berjalan di malam hari tanpa rembulan
Karena kedua matanya ibarat sihir yang pernah ku tatap di malam sunyi
Milik Allah-lah setiap bulu mata, leher dan kulit yang mempesona
Tapi tidak semua bisa menjadi milik hambanya, karena makhluk terikat takdir
Lepaskan lah sesuatu yang memang tidak bisa kita rubah, hijrrah dan menjadi lebih kuatlah
***
“Jadi kapan kau akan pindah karena alasan pekerjaan itu?” Rian membenarkan posisi kemeja yang di pakainya.
“Aku tidak tahu, pindah berarti kita harus berhubungan kembali dengan barang-barang masa lalu, dan menemukan rumah yang baru yang belum tentu cocok dan akan selalu teringat dengan rumah yang lama”
“Kamu tahu Thar, pindah juga berarti kamu harus siap membuang barang-barang masa lalu dan siap menerima barang-barang baru.”
Aku terdiam.
Hampir tengah hari ketika aku dan Rian berdiri disamping Farhan sementara seorang fotographer mempersiapkan kameranya untuk kami berfoto. Mungkin ini untuk yang pertama dan terakhir.
Farhan merangkul pundak ku dan pundak Rian yang berdiri mengapitnya.
“Jadi gimana? Kapan kamu nyusul?” Farhan berbisik dan tersenyum kembali ketika aku melihat matanya.
Aku menghela nafasku perlahan kemudian membalas senyumannya dan berbicara selepas mungkin.
“Aku tak tahu Far, mungkin secepatnya. Tapi paling tidak malam tadi aku bisa menyetrika bajuku ini sendirian”
Sudah sekitar pukul Lima ketika Davan berjalan perlahan sambil memperhatikan pagar-pagar dengan ujung yang di beri pembatas berupa kawat. Sebuah papan bertulisakan property milik pribadi tampak menggantung di sana.
Davan menghentikan langkahnya dan dengan setengah tak pasti menimbang-nimbang apakah benar ini tempat yang dia cari. Setelah terdiam cukup lama Davan tampak kembali melihat ke sekeliling dan berjalan memutar melewati semak yang menutupi hampir sebagian tubuh pagar. Di depannya kini sebuah pintu yang berupa gerbang terbuat dari kawat yang terjalin seperti jaring nelayan, rapat tergembok rantai yang sudah berkarat.
Ia menurunkan ransel dari pundak dan melemparkannya melewati pintu pagar tadi. Tangan kirinya mencoba untuk memanjat pintu pagar kawat itu, ketika kedua tangannya sudah mencengkram ujung-ujung pintu pagar, kakinya mencoba memanjat melalu celah-celah yang ada. Tidak berapa lama Davan sudah berada di balik gerbang itu memungut ranselnya dan kembali berjalan semakin masuk ke dalam, ke bangunan yang di tutupi pagar tadi.
Kakinya berkeliling mengikuti sebuah undakan tangga yang tampaknya seperti bagian pintu masuk ke sebuah kolam renang yang besar. Kini Davan bisa melihat kolam itu yang sudah terbengkalai, sementara di sampingnya terdapat sebuah lorong dengan pilar-pilar yang besar. Menurutnya tempat ini mungkin dahulu di pakai sebagai kolam renang umum namun saat ini yang bisa dia lihat hanyalah tempat yang terbengkalai.
Davan melepaskan ransel yang di bawanya dan kembali lagi melihat ke sekitar sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di tepian kolam renang itu. Sepengamatannya ini adalah kolam yang sangat besar mungkin bagian yang terdalam bisa mencapai 4 meter. Dari kejauhan Davan bisa melihat seluncuran yang berbentuk spiral berwarna oranye yang bagian bawahnya terlihat berwarna hitam karena lumut. Sementara bagian kolam renangnya sendiri hanya terisi sepertiganya saja dengan air yang sedikit berwarna keruh mungkin sisa air hujan yang menggenang. Tembok di tepi kolam itu sebagian besar berlumut beberapa bahkan sudah sangat menghitam dan terkelupas seakan-akan membentuk siluet pria tinggi besar yang setengah badannya terendam air sementara bagian pinggang ke atasnya terlihat di permukaan.
Suara langkah kaki yang di seret tiba-tiba membuat perhatian Davan tertuju pada ruangan di sampingnya yang tertututp kaca bertekstur buram. Suara itu terdengar lagi ketika sekelebat terlihat seseorang yang sedang berjalan dari arah dalamnya.
Perlahan Davan bangkit dan berjalan ke tempat suara berasal, mendorong sebuah pintu kaca yang hanya satu-satunya bagian penghubung ke ruangan itu. Suara engsel menderit adalah hal pertama yang membuat Davan ragu untuk masuk. Tapi ketika pintu hampir sebagian terbuka dengan mudah engselnya membiarkan pintu berayun ke dalam memperlihatkan sebuah ruangan besar berwarna putih dengan keramik yang senada. Hampir sebagian besar dinding sebelah kanan dan kirinya adalah kaca putih bertekstur buram seperti kaca yang tertutup uap air hangat. Bengkalan dan beberapa sampah yang tidak ia ketahui apa, tampak berserakan di mana-mana, tempat itu mengingatkannya seperti sebuah ruangan untuk kafetaria dengan sebuah podium utuk pertunjukan yang sudah tidak terurus lagi. Davan perlahan memasuki ruangan itu berjalan melewati sebuah pilar yang sangat besar, sekelebat dari baliknya dia bisa melihat seseorang sedang berdiri memunggunginya. Davan melangkahkan kakinya tak pasti antara yakin dan tidak apakah dia barusan benar-benar melihat seseorang berdiri di sana. Davan kembali mendekati pilar itu dan seseorang memang sedang berdiri di sana. Seorang pria sebayanya memakai celana jeans dan kemeja berwarna biru berdiri memunggunginya, di tangan kanannya tampak sebuah rokok yang asapnya meliuk perlahan. Davan berhenti sebentar dan memandangnya untuk beberapa lama sebelum akhirnya pria yang berdiri di depannya berbalik dan menyenderkan bahunya ke pilar yang ada di dekatnya.
“Davan?” Pria itu berbicara. Suaranya seakan bergema di ruangan yang kosong memantul-mantul di dinding. Membuat sesuatu terasa berdiri di tengkuk Davan. Pria itu kembali diam dan mengerutkan kedua alisnya sebelum berbicara lagi
“Apa yang terjadi dengan wajahmu?”
Davan hanya diam dan sementara memandangi sekitar dan memandangi pria itu seakan tak percaya sebelum akhirnya membuka suara.
“Aku kira, aku tak akan pernah bertemu dirimu, Ken.”
Pria yang di panggil itu terdengar mendengus kemudian tersenyum.
“Tentu saja aku akan menunjukan diriku, aku sangat ingin bertemu denganmu”. Ia membenarkan posisi berdirinya dan berjalan selangkah mendekati Davan. “Ternyata, Real-nya kau terlihat lebih imut.”
“Apa kau serius?”
“hheum eum” Ken mengangguk. “Bagaimana dengan ku? Apa ada sesuatu yang ingin kau sampaikan? Setelah bertemu denganku secara langsung?”
“Kau juga terlihat tampan, lumayan”
“Benarkah?” Ken lalu terdiam, ia kembali menghisap rokok yang ada di tangannya, matanya mendelik ke kanan kemudian ke langit-langit. “Mau tau sesuatu? Tempat ini berhantu.”
Davan menelan ludahnya. “Kau bohong?”
“Tidak.” Jawabnya sambil melemparkan rokok yang sudah hampir habis itu ke lantai dan menginjaknya. “Kau pernah dengar berita, tentang anak-anak yang sering tenggelam di kolam?”
“Sepertinya aku pernah dengar.”
“Inilah tempatnya.”
“Euuh itu menakutkan, sudah berapa lama itu terjadi?”
“Aku tak tahu. Yang aku tahu bahwa hantunya benar-benar menyeramkan.”
“Kalau begitu kenapa kamu ingin kita bertemu disini.”
“Kita tak bisa bayar kamar motel, dan kita tidak mungkin bertemu di rumahmu, jadi ini satu -satunya tepat yang tepat.” Suara Ken menggantung. Entah tepat apa maksudnya yang ingin di sampaikan.
Tak ada suara lagi yang keluar dari kerongkongan Davan.
“Sudahlah daripada kita diam saja lebih baik kita berkililing tempat ini. Kau mau memanjat ke atapnya?” Ken memperhatikan Davan, tetapi masih tak ada jawaban. Akhirnya dia memegang tangannya dan menariknya untuk berjalan ke satu-satunya tangga spiral yang ada di sana. Mereka berdua berjalan perlahan, bayangan Davan terpantul di kaca tampak sedang menaiki tangga itu dengan tangan terjulur ke depan.
“Apa kau takut?”
“Tidak.” Jawab Davan
Langkah mereka terus bergerak meniti satu demi satu anak tangga sampai akhirnya tiba di lantai dua. Ruangan di lantai dua tidak jauh berbeda dengan keadaan di lantai satu. Hampir seluruh ruangan berwarna putih dengan cat yang hampir mengelupas. Ruangan di lantai dua ini memiliki balkon yang menghadap ke kolam renang, dari sana mereka bisa melihat matahari yang hampir tenggelam dan lampu-lampu kota yang mulai menyala di kejauhan. Ken berjalan mendahului Davan, duduk di salah satu tembok pembatas beranda, menaikan satu kakinya dan membiarkan yang lain mengangtung ke lantai.
“Jadi apa kau bilang kepada keluargamu?” Mendengar pertanyaan Ken, Davan hanya terdiam. Ada rasa asing atau rasa takut untuk membicarakannya.
“Bagaimana denganmu?” Jawab Davan. Ia mengikuti apa yang di lakukan Ken, duduk di pembatas beranda tetapi dengan kaki yang menggantung kearah kolam. Dari sana dia bisa melihat bayangan matahari tenggelam seperti beriak di air kolam.
“Kukira mereka sudah tahu, tapi aku sudah tidak tinggal dengan mereka lagi jadi aku tidak peduli. Aku bekerja dan tak memakai uang orang tuaku lagi.”
Davan memperhatikan raut wajah Ken yang sepertinya merasa bebas tanpa rasa takut untuk berbicara dan akhirnya dia pun merasakan bahwa tak ada hal yang harus di tutup-tutupi lagi kepada ken
“Ibuku mengetahuinya beberapa saat lalu”
“Kau bilang sendiri padanya?” Timpal Ken antusias
Davan menggeleng. “Dia membersihkan kamarku dan secara tidak sengaja menemukan video porno gay simpananku di ponsel.”
“Apa kau tipe orang yang selalu mesum? Benarkan? Sedikit?” Ken tersenyum. Ia mengeluarkan kembali rokok dari celana dan menyalakan ujungnya. “Lalu apa yang terjadi? Apa luka dan lebam itu kau dapat dari keluargamu?”
“Bukan, ini… ini karna aku berkelahi di sekolah. Keluargaku tak mungkin memukul ku di wajah, tak mungkin memukul di tempat yang bisa mudah di lihat.”
Ken hanya melihat Davan. Mendengarkannya dengan serius.
“Kau ingin tahu apa yang paling aku benci, Ken? Aku benci melihat orang menangis. Karena itu membuatku selalu merasa bersalah. Meskipun bukan aku yang mau hal seperti ini terjadi. Kau tahu? Mereka –Keluargaku-- tidak pernah percaya pada apa yang ku katakan. Ketika sesuatu hilang di rumah mereka akan menyalahkannya padaku.”
“Bukankan itu tak adil?” Ken melemparkan rokok di tangannya rokok itu melayang terjun ke bawah dari lantai dua. “Euuh… Kau bisa sedikit bergeser ke sana? Aku ingin tiduran di pangkuanmu.” Ken merebahkan kepalanya di pangkuan Davan. Dengan usil sebelum dia merebahkan seluruh tubuhnya dia mencium kemaluan Davan. Sontak Davan terkejut.
“Heii!!”
Ken tertawa, “Sorry… Sorry.” Katanya cepat.
“Apa kau pernah dengar ini?” Ken melanjutkan “Ketika kau gay dan orang tua mu tak bisa menerimanya, orang biasanya akan bilang padamu untuk sabar dan terus berbuat hal yang baik. Bekerja keras dan menghasilkan banyak uang jadi orang tuamu bisa melihat kau sukses. Dan menunjukan pada mereka bahwa kau bisa membuat mereka bangga. Tetapi ketika aku gay dan aku tidak sukses dalam hidup bukankah itu membuatku hanya menjadi sampah? sampah masyarakat? Orang-orang akan berpikir seperti itu.” Ken menatap mata Davan, Tangan kanannya mencoba menarik tangan Davan dan memegangnya erat di dada. Perlahan hanya diam yang terasa. Ken mengangkat wajahnya mendekati Davan, merangkul pundaknya dengan tangan kiri dan perlahan membuat wajah Davan mendekatinya, menundukan kepalanya menuju kepala Ken yang berada di pangkuannya. Pertama-tama gerakan mereka terasa lamban dan perlahan hanya saling pandang, mata ken seakan ingin berkata percayalah padaku kemudian ia mencium bibir Davan, mengigitnya sedikit lalu melumatnya mereka saling cumbu.
Sesaat kemudian Ken bangkit dari posisi tidurnya, duduk di samping Davan dengan tangan yang masih saling berpegangan. Tangan kirinya menunjuk ke depan ketika matahari sudah sempurna terbenam dan berkata.
“Lihat Dav, Blue hours. Keadaan langit berwarna biru tua menjelang gelap. Keadaan langit sore selepas di tinggal matahari terbenam. Tetapi langit itu bukan langit sore atapun langit malam, tapi dia berada di antaranya. Blue Hour. Bukankah keren, kita hanya bisa menikmatinya sekejap sebelum hilang tertelan langit malam.”
“Ken aku teringat sesuatu, Apa kau tahu cerita ketika masih kecil? Bahwa kau tidak boleh keluar selepas sore seperti ini. Karena kau bisa di culik hantu, dan jika hantu itu menyukaimu kau akan hilang di sembunyikannya sampai mati. Mungkin Blue Hour itu kalau kata orang sunda sama dengan sareupna?”
Di kejauhan suara anjing terdengar menggong-gong. Dari ujung pagar seseorang berteriak pada Davan. “Hei nak apa yang kau lakukan di sana sendirian? Cepat turun dan pulang, sudah larut nanti kau di culik hantu.”