It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Namaku Mahammeru Junior, orang-orang mengenalku dengan nama Ji, yang tidak mereka ketahui adalah jauh di dalam tubuhku aku punya sebuah rahasia—baiklah tidak benar-benar di dalam tubuhku—lebih tepatnya di pikiranku.
Kau tahu anime Naruto? Kartun Jepang tentang seorang bocah ninja yang memiliki cita-cita menjadi Hokage yaitu pemimpin tertinggi di desanya, sejak kecil Naruto selalu kesepian karena orang-orang desa selalu menjauhi dia disebabkan adanya sebuah monster yang tersegel di dalam tubuhnya. Terkadang aku terlalu mendramatisir dan menyamakan keadaanku dengan keadaannya yaitu kami sama-sama memiliki rahasia dan sama-sama kesepian.
Pada ulang tahunku yang ke-25, aku memutuskan untuk memanjat jendela dan melompatinya. Lari dari rumah untuk melakukan perjalanan yang sangat jauh. Entah kemana. Untuk sementara itu tempat yang akan kutuju--'entah kemana'. Sejujurnya aku adalah seorang yang sangat pemalu dan mungkin kenak-kanakan karena pikiranku sepertinya tidak berkembang sesuai usiaku. Bukan karena aku idiot atau sejenisnya hanya saja lebih kepada bahwa aku punya sebuah ketakutan ketika harus berada di keramaian ataupun selalu tergagap dan terbata-bata jika harus bertemu dengan orang lain secara langsung. Maka dari itu aku selalu menjauh dari orang dan jarang bergaul, duniaku hanyalah sebuah kamar berukuran 3 x 4 meter tapi di sana aku bebas menjadi apapun tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain.
Satu-satunya yang membuatku takut—untuk pergi dari rumah—dan melakukan hal itu sebenarnya adalah cerita mengenai sebuah badai pasir kecil yang terus menerus berubah ketika seseorang sudah terjebak di dalamnya. Badai pasir itu akan terus mengejar, mengikuti bahkan ketika seseorang yang terjebak di dalamnya berniat untuk berbalik badai pasir itu akan terus menari di sekitarnya.
Mengapa? karena menurut orang-orang badai itu adalah pikiran kita sendiri yang ada di dalam tubuh dan bukanlah sesuatu yang bertiup dari kejauhan. Jadi satu yang kufahami selama ini belajar dari ketakutan orang-orang mengenai badai ini adalah ketika aku melihatnya—badai pasir itu—yang harus kulakukan bukanlah berlari tetapi yang dapat kulakukan hanyalah menyerah, pasrah masuk kedalam badai. Menutup mata serta telinga, lantas berjalan selangkah demi selangkah. saat itu terjadi tidak akan ada matahari, tidak akan ada bulan, tidak ada petunjuk, tidak ada waktu. Hanya pasir yang berputar-putar naik ke angkasa laiknya tulang belulang yang hancur lebur.
Dan aku harus benar-benar percaya dan mampu melewati badai yang hebat itu. Tak peduli seberapa hebatnya karena badai itu bisa saja seperti seribu silet yang akan sanggup menembus tubuh dan membuatku berdarah-darah. Darah yang merah dan panas ketika kulit telapak tangan mencoba mengusapnya. Dan begitu badai itu berhenti, katanya orang tak akan ingat bagaimana telah melewatinya, bagaimana pula ia mampu bertahan. Malahan sebenarnya orang tidak akan pernah benar-benar yakin apa ia sudah tersesat dan tidak pernah yakin apa badai itu benar-benar telah berhenti. Tapi satu hal yang pasti, setelah seseorang berhasil keluar dari badai itu. Dia tidak bakal menjadi orang yang sama. itulah tujuan dari badai tersebut.
Jadi jika suatu hari kita bertemu—aku dan kamu—kamu yang sudah menemukan surat dalam kaleng ini. Akan melihat dengan kepala mu sendiri bahwa aku sudah benar-benar berubah, jika ini terjadi mungkin saja aku sudah melewati badai itu.
Rintik hujan itu pecah dan melebur dengan tanah, sebagian mengalir pasrah di kaca mobil yang ku kendarai menyisakan bulir-bulir yang merambat seperti kenangan-kenangan yang wujudnya samar dan tidak begitu jelas. Sesungguhnya tanganku ingin menyentuh pegangan pintu mobil dan membukanya sesegera mungkin setelah kudapati sendiri dengan mata kepalaku bahwa yang berdiri di sana itu benar-benar dirimu, setelah selama ini kau menghilang dan kabarmu juga begitu.
Saat ini aku rindu sekaligus ragu, mengingat bagaimana kamu tahu cara paling ampuh untuk membunuhku diam-diam ketika kau menghilang, dulu kamu mengatakan kamu jatuh cinta, mengungkapkan segala isi hatimu yang membuatku tersenyum dan tersipu. Akupun selalu ingin tertidur setelah itu dengan mimpi indah yang bahagia, namun mimpi mengurangi kualitas tidur katamu. Maka sejak itu aku selalu ingin terbangun lebih cepat tanpa bermimpi. Tapi sejak itu pula kau tak pernah menyapaku, membuatku seperti tumbuhan hijau yang perlahan-demi perlahan kering dan meranggas karena menunggu hujan yang berjanji untuk datang menemui tapi tak pernah kembali.
Selain itu di jalan ini di tempat aku berada sekarang, aku teringat dirimu yang dengan cueknya memegang tanganku di keramaian ketika kita berjalan bersama-sama, sesungguhnya aku malu dalam artian bukan tidak ingin mengakuimu dan berpegangan tangan bersama di tempat umum hanya saja aku tidak mau jika sampai ada orang-orang bicara yang tidak-tidak di belakang kita terutama bicara mengenai dirimu. Tapi semakin tanganmu menggenggamku erat semakin aku percaya bahwa semua ini nyata dan tak mau melepaskannya. Aku yakin seburuk apapun keadaannya tanganmu akan selalu di sana memegangku. Kau tersenyum dan bagiku itu cukup. Tapi ternyata kemudian perkiraanku tentang hatimu salah dan memang benar apalah yang bisa pasti dari hati seorang manusia bahwa di tempat gelap bayangapun akan meninggalkan pemiliknya dan rasa percaya itu sepertinya sudah hancur menjadi debu.
Hujan baru saja berhenti ketika aku memutuskan untuk benar-benar turun dari mobilku, di langit awan di ikat ketat-ketat menyembulkan dahi matahari yang keluar setelah hujan. beberapa bagian jalan masih basah dan menggenang sewaktu aku berdiri dan setengah sadar memandangimu yang sedang tertawa di sebuah butik baju dengan seorang perempuan yang sedang memakai gaun pengantin berwarna putih, beberapa orang pelayannya tampak sibuk memperbaiki gaun itu.
‘Apa kau akan menikah Ryan?’ pikiran itu yang pertama muncul setelah lama memperhatikanmu dari kejauhan. ‘lalu kenapa kau hanya diam, pergi dan menghilang. Apa aku pernah melarangmu atau menghalangimu jika kau ingin melakukannya? Aku selalu bilang akan bahagia jika kau bahagia meskipun bahagiamu tidak membutuhkan aku lagi. tapi yang kau lakukan malah menghilang’.
Dan setelah itu aku baru tersadar bahwa kau kini sedang melihatku juga dari balik kaca butik itu. lalu entah kenapa bibirku tiba-tiba refleks tersenyum dan aku pun mengangguk seolah olah ingin berkata ‘jika ini alasanmu pergi dan menghilang selama ini, aku bisa mengerti’. Tetapi tanpa sepatah katapun yang berhasil nyata keluar tentang bagaimana sebenarnya aku begitu kecewa pada Ryan, aku lebih memutuskan untuk pergi dan menuju mobilku kembali.
Di dalam mobil air mataku mengalir mengantikan air hujan tadi. Tubuhku benar-benar terasa dingin dan sakit tapi entah di bagianmana, lalu aku hanya mencoba membenamkan kepalaku di bawah lindungan tangan yang kutaruh di atas stir mobil. Sebelum akhirnya telingaku mendengar suara kaca mobil yang di ketuk dan Ryan tepat berada di baliknya. Aku menyeka kedua bola mataku dan perlahan turun ke pipi dan ujung daguku. Ku putar kunci yang sudah mengantung di kontak starter, melepaskan rem tangan dan mencoba memindahkan persneling. Sebelum akhirnya pikiranku menolak untuk melakukan itu, menolak untuk membiarkanku pergi begitu saja dan meninggalkan Ryan di sana. Lalu yang kulakukan adalah membuka kaca di samping di mana Ryan berdiri. Udara dingin menyeruak dari luar masuk ke dalam mobil bercampur bersama harum parfum Ryan yang sudah sangat ku hapal.
“Apa kabar?” Ryan berdiri memaku. Aku mencoba menjawabnya tetapi belum mampu langsung memandang matanya. Pada akhirnya aku juga hanya diam memaku. Ryan membuka pintu mobilku dan menarikku perlahan keluar. Kami seperti berada dalam film bisu setelah itu hanya pergerakan demi pergerakan yang minim dengan suara yang terjadi di antara kami.
Aku dan dia benar benar seperti tak saling kenal, kami yang sudah saling hapal sebagaimana seseorang yang memahami dirinya sendiri tiba-tiba harus pura-pura asing kembali. Apa mencoba berjuang mempertahankan ego harus sebercanda ini?
“Ryan,” Kataku. Panggilan itu membuat kami berdua berhenti dari langkah yang coba ia tuntun dan sebenarnya aku tak tahu dia akan membawaku kemana.
Aku melanjutkan perkataanku “Apa tadi itu calon istrimu? Kamu tahu. Dulu, ketika aku bilang sebenarnya aku gak cemburu kamu mau jalan sama cowo ataupun cewe asal kamu jujur saja, aku ikut seneng kok itu artinya ada orang yang selalu jagain kamu. Sebenarnya saat berbicara seperti itu hatiku ini bilang bahwa aku berkata bohong. Karena jujur aku cemburu kamu pergi sama siapapun aku takut kehilangan kamu. Walau sebenarnya yang aku takut bukan kamu yang hilang tapi hatimu. Aku takut suatu hari kamu datang menemuiku dengan senyuman padahal sebenarnya hatimu tak pernah kembali dan memilih pergi. Aku selalu takut apa yang orang sembunyikan di balik senyumannya.”
Ryan hanya meremas tanganku semakin erat seolah ingin menenangkan dan berkata 'aku ada di sini'.
Tapi aku tidak tahu apa raut wajahnya merasa menyesal atau ingin mengatakan apa. Mungkin karena aku sudah tidak peduli.
“Kamu brengseek… kamu…” Aku tidak mampu berucap lagi atau mungkin tidak ingin, bagiku semua sudah tidak berguna lagi. Entah kenapa air mataku tak bisa terbendung lagi dan seperti hujan air mata itu berubah serupa gerimis kemudian lebat.
Ryan mendekatiku ada bagian dirinya yang ingin aku raih saat itu. Dia lalu memelukku erat dan aku perlahan memeluknya erat juga, seperti tak ingin melepaskannya, memeluk Ryan selalu membuatku nyaman, di saat semuanya seperti tenggelam begitu cepat Ryan adalah sebuah perahu yang membantuku tetap terapung. Merasa aman di pelukannya seakan-akan bagiku seberapa besarpun aku tumbuh dan menjadi tua. Aku tetaplah merasa masih anak-anak di hadapannya yang selalu ingin meringkuk di dalam rahim dan tertidur di sana. Dan saat ini rahim itu adalah tubuh dan pelukan Ryan. Tapi sepertinya semua memang harus berakhir di sini, hari ini, menit ini dan detik ini pula. Pada akhirnya seberapa kuatpun kita saling berpegangan jika waktunya tiba aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin sesungguhnya ini yang kubutuhkan, sebuah kepastian yang tidak membuatku terkatung-katung. Jika dia memang tidak mencintaiku dia harus bilang. It`s closure time.
“Ryan aku minta kita putus...”
Apakah mungkin ada cinta di antara kita? kemudian orang-orang mempertanyakan apakah cinta diantara kita adalah cinta? sebagaimana orang-orang bumi mempertanyakan apakah pluto adalah planet? Dan sampai sekarang keduanya, pertanyaan itu tetap saru karena untuk mengetahuinya ada perjalanan jauh yang harus di tempuh ada rasa sakit dan kehilangan, melepas dan ikhlas. karena kita tidak pernah tau apa jawaban sesungguhnya. Yang bisa dilakukan setelah mencoba melakukan perjalanan itu hanyalah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk bahwa pemikiran kokoh yang telah kita bangun seumur hidup kita selama ini mungkin akan runtuh berantakan hanya dalam semalam.
Sejujurnya aku selalu ragu tetapi setiap kali aku bertanya padamu sebenarnya apa hubungan kita kamu selalu membalas dengan kata-kata,
“Gak usah bingung kita jalani aja.”
Mungkin Itu mudah bagimu tapi buatku yang pernah merasakan trauma yang pasti kamu tidak tahu, ini benar-benar hal yang sulit. laiknya ketakutan akan satu hal yang sesungguhnya tidak pernah aku miliki. Seperti sebuah tangisan di pagi hari selepas memimpikan sesuatu, air mataku terus mengalir dan mengalir meski sesungguhnya aku tidak tahu apa yang kutangisi, sebuah mimpi yang saru? Aku, dirimu serupa itu, dan kupikir kita berdua hanyalah tokoh fiksi di novel fiksi.
Kemarin, sesuai apa yang kau sampaikan di telefon—bahwa kau merindukanku— selain itu kau juga bilang bahwa akan mengirimkan sesuatu lewat surat dan sesudah itu pikiranku dan imajinernya bergerak liar membayangkan sebuah rasa dari kebahagiaan seseorang yang akan menunggu suratnya dari seorang tukang pos. Jaman kita hidup memang sudah sangat maju, sesungguhnya orang sudah sangat jarang berkirim kabar lewat surat, tehnologi sudah sangat canggih dan seseorang bisa saling menyapa lewat telefon atau media social di internet. Maka dari itu entah kenapa aku sungguh menjadi terlalu sangat antusias menunggu sebagai generasi yang belum pernah mendapatkan sepucuk surat.
Setelah hampir seharian menunggu, mungkin kamu tidak akan tahu adalah rasa hangat yang terasa di dada ketika si ibu kost membangunkan aku siang tadi dan berkata, ‘mas ada surat, surat cinta dari pacarnya.’ Yang sebenarnya tidak bisa di bilang sebagai surat cinta. Dan aku bahkan tidak berniat sedikitpun untuk mengoreksi pernyataan itu karena senangnya mendengar bahwa kiriman paket surat darimu kini sudah sampai. Dan mungkin satu-satunya momen yang bisa mengalahkan rasa senangnya aku saat ini adalah ketika suatu hari aku masuk ke ruangan rumah sakit dan melihat istri masa depanku sedang menggendong bayi kami yang baru di lahirkan. Bayi laki-laki yang akan aku kasih nama Lukman Al-Hakim.
Dengan tergesa aku membuka paket berupa kop surat berwarna cokelat dengan tulisan bersambung terukir rapih di kop suratnya, sebuah cincin meluncur saat aku membaliknya bersama sebuah kertas berwarna putih yang dilipat rapih. Ku buka plastic kecil yang membungkus cincin itu, sebuah cincin dari perak dengan sebutir permata yang menjadi penghiasnya. Sebulan lalu kita membeli cincin itu katamu sebagai tanda satu tahun kita jadian, aku sangat senang waktu kau berkata seperti itu lebih karena aku senang karena alasan membayangkan wajahmu yang berbinar bahagia. Kuperhatikan sejenak cincin itu dan mengingat foto dirimu yang dulu kamu kirimkan sedang memakai cincin pasangan ini. Kemudian kupakai di jari manis dan ukurannya benar-benar pas sementara ketika kau membeli cincin ini tanganmu dan tanganku tak pernah pergi bersama, tak pernah ada yang namanya kita beriringan ke toko perhiasan dan mengukur ukurannya sama-sama karena itu sungguh tak mungkin, aku belum siap datang ke toko perhiasan bersama seorang pria dan mengukur cincin bersama tak bisa ku bayangkan apa yang akan muncul di pemikiran pelayannya maka dari itu kau yang mengurus semuanya dan baru kemudian sebulan setelahnya kau mengirimkan satu bagian dari sepasang cincin ini padaku. Kemudian mataku tertuju pada kertas yang masih terlipat itu, ku buka perlahan tetapi yang ada di surat itu bukanlah tulisan tanganmu melainkan sebuah print-out bertinta hitam. Bertuliskan,
‘Hallo stranger!’
Aku tersenyum mengingat itu adalah kalimat yang selalu kita ucapkan ketika mencoba menyapa, seperti sebuah ritual ‘tos tangan atau high five’ yang menjadi kebiasaan kita. tetapi setelah itu aku seakan tertampar keras-keras, tersadar, seperti apa yang tertulis di surat itu ‘Stranger’ - bahwa kami adalah orang asing, sebagaimana para nomad gurun pasir yang melihat suatu oase dengan air yang menyegarkan tetapi mereka harus memilih untuk tetap kehausan karena oase itu beracun dan memabukan. Kita tidak mungkin lebih jauh saling merindukan—karena hubungan ini—sekan tabu. Dan semakin kita mencoba untuk mendekat semakin tinggi kita membangun dinding yang harus memisahkan. Kita, aku dan kamu. Karena aku tidak pernah tahu apa di luar sana ada orang yang sama gilanya seperti kita? berkenalan lewat sebuah media social dan memutuskan untuk menjalin hubungan—Sebuah hubungan jarak jauh—tanpa pernah saling bertemu, tanpa pernah saling bersentuhan karena kita hanya bercerita lewat pesan dan media di jejaring social, saling memperhatikan dan saling mencemburui ketika kita bercerita tentang bagaimana kita jatuh hati lagi pada orang-orang yang kita temui tapi bedanya tidak seperti pasangan yang benar-benar nyata saat aku cemburu seperti itu aku tak bisa menarik tanganmu dan mengingatkan bahwa kau adalah miliku dan itu membuatku selalu meradang pilu.
Hari ini hatiku tersengat dua kali yang pertama saat aku jatuh cinta kembali. Dan yang kedua saat aku menyadari bahwa aku patah hati. Tapi sekarang aku yakin bahwa apa yang kurasakan selama ini adalah cinta, memang cinta, kau tau kenapa? Karena hati hanya bisa patah dan tersakiti oleh orang yang benar-benar kita cintai, dan jelas sudah perasaanku selama ini padamu, bahwa aku benar-benar jatuh cinta. Lalu apakah kamu pernah mencintaiku? Sesungguhnya saat ini hatiku adalah urusanku dan hatimu terserah padamu.
“So, Hello Stranger is Pluto a Planet? 100% I swear it that Pluto is a planet.”
Uwow udah nyampe 1K view kekeke
Aku tidak pernah membayangkan bakal kembali lagi ke kota ini, dengan cara memegang tangan anaknya sebagai mana dulu mengingatkaku ketika dia memegang tanganku. Ada kenangan yang selalu mekar ketika aku melangkahkan kaki sehabis turun dari bis yang membawaku kembali ke sini. Bis yang berhenti tepat di halte yang hampir delapan tahun lalu juga menjadi saksi kepergianku meninggalkan kota ini dan memilih untuk tak pernah kembali.
Tapi untuk satu hal aku melanggar janjiku itu, untuk Dipta anak lelaki yang kini tangannya ku genggam erat-erat saat kami hendak melintasi jembatan penyebrangan yang merupakan satu-satunya cara agar kami bisa melintasi jalan menuju area Taman Bahagia.
Hari ini Dipta genap berusia tujuh tahun, hari ini juga hari pertama Dipta masuk sekolah dasar. Dan selepas pulang dia memintaku untuk mengantarkannya menuju suatu tempat. Yang belakangan ku ketahui itu adalah areal pemakaman. Dan setelah hampir sepuluh menit berjalan. Kami tiba di sebuah makam dengan batu nisan yang bertuliskan nama Kirana.
Di depan nisan itu Dipta mulai merebahkan tubuhnya, duduk menyamping dan menurunkan kantong bunga yang di bawanya. Perlahan tangannya menyapu serupa mengelus lembut nisan itu.
“Assalamualaikum bunda, Hari ini aku masuk sekolah. kata ayah ini adalah tahun ke tujuh sudah bunda pergi jauh.” Dengan perlahan Dipta menaburkan bungan itu di makam ibunya.
Aku memegang kedua pundaknya, ia berbicara dengan suara bergetar dan mungkin saja dengan air mata. Tetapi ketika aku melihat kedua matanya ternyata aku salah, dia tidak menangis sedikitpun dan kukira bukan karena dia tidak bersedih hanya saja dia terlalu berusaha keras untuk mencoba selalu tegar.
“Dipta, tidak ada yang salah bila seorang laki-laki sesekali menangis. Dan itu tidak berarti bahwa dia cengeng tetapi itu karena dia terlalu lama menjadi kuat. Kamu tahu kadang-kadang langit yang luas dan kokohpun butuh menangis dan membiarkan hujannya turun dan setelah itu kau bisa melihat mendungnya hilang dan yang tersisa hanyalah warna biru yang cerah di angkasa, bukankah yang seperti itu lebih baik?.”
Aku sedikit kaget ketika Dipta tiba-tiba berbalik dan memeluk lalu mulai menangis di dekapanku. Kuelus kepalanya dan tanganku turun menenangkan punggungnya, kemudian kucium rambutnya. Setelah sesaat kemudian bayangan seseorang kulihat memanjang di tanah pemakaman itu. seseorang dengan payung yang meneduhi tubuhku dan tubuh Dipta orang itu adalah Giri.
Hampir setengah empat saat kami—Dipta, Giri dan aku—memutuskan untuk meninggalkan area pemakaman. Dipta tertidur kelelahan karena mungkin terlalu banyak menangis, ia terlelap di gendongan Giri, ayahnya. Aku yang membawa payung berjalan perlahan mengikuti mereka dari belakang. Dan terkadang aku merasa seperti orang asing di antara mereka berdua, orang asing karena aku memanglah bukan siapa-siapa. Kami tak ada ikatan darah ataupun ikatan apapun tapi entah kenapa aku selalu merasa bahwa Dipta adalah anakku sendiri mungkin karena aku sudah merawatnya dan aku tidak bisa membayangkan rasanya jika suatu saat dia harus pergi dan tidak pernah kembali. Dan memang seperti itu bukan cara kerjanya? Anak-anak hanyalah titipan dan suatu saat karena alasan apapun mereka akan meninggalkan kita cepat atau lambat untuk menjalani kehidupannya masing-masing. Aku tersenyum memikirkan apa yang ada di benaku barusan, bukankah yang seperti itu yang selalu membuatku merasa bahwa aku sudah benar-benar tua sekarang karena memikirkan masalah kehidupan.
Giri membaringkan Dipta di kursi belakang saat kami sampai di mobilnya, dengan wajahnya yang kelelahan Dipta tertidur sangat nyenyak. Kuambil jas Giri yang tersampir di belakang kursi kemudi dan kujadikan selimut untuk menutupi tubuh Dipta.
“Kau pulang cepat hari ini?” Kataku, ketika kami sudah sama-sama duduk di dalam mobil dan membenarkan Sit-belt.
“Kenapa, kau cemburu karena aku menyempatkan untuk dapat pulang cepat hari ini?” Godanya.
Aku mencibirkan bibirku seolah-olah ingin berkata dan menyangkal bahwa apa yang di katakannya tidak benar.
“Tuhkan, kau benar-benar cemburu kalau kau melakukan hal seperti itu.” Giri tertawa lalu perlahan rautnya kembali serius dan lebih mendekati raut wajah seseorang dengan penuh beban. “Ini hari penting bagi kami Tar, Tujuh tahun lalu Kirana meninggal saat melahirkan Dipta. Hari ini berarti hari ulang Tahun Dipta dan hari peringatan Kirana. Aku tak pernah membuatkan pesta ulang Tahun untuk Dipta selama ini karena aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya seseorang yang bahagia karena hari ini ulang tahunnya dan mengingat bahwa dia juga akan menjadi seseorang yang bersedih karena hari ini adalah hari dimana ibunya meninggal.”
Aku memegang sebelah tangan giri yang berada di kemudi, menariknya dan meremasnya erat-erat mencoba menenangkan. Dan sesaat kemudian dia tersenyum lalu melanjutkan bicaranya.
“Aku sangat berterima kasih atas semua yang sudah kamu lakukan selama hampir tiga tahunan ini Tar. Dan aku minta maaf baru kali ini mengijinkanmu untuk pergi dengan Dipta ke makam kirana.”
“Gir aku mengerti, kamu gak usah sungkan kaya gitu. Aku bakalan ada buat kamu atau Dipta kalau kalian memang butuh. Dan aku juga faham hal kaya gini pasti berat buat kalian berdua.”
Dia mengigit ujung bibirnya, pandangannya tertuju lurus ke ujung jalan. Kemudian menarik nafas panjang sebelum akhirnya merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah marun yang berisi sebuah cincin putih polos tanpa ukiran atau permata.
“Apaan ini Gir?”
“Tara, aku udah pikirkan ini baik-baik dan aku rasa ini adalah waktu yang tepat. Kamu mau gak buat selalu hidup sama aku dalam keadaan senang atau pun susah?”
Aku terkejut lalu melihat ke kursi belakang di mana Dipta tertidur, dan setelah memastikan bahwa dia benar-benar terlelap di sana aku menurunkan nada suaraku karena tidak ingin Dipta mendengar apa yang akan aku katakan.
“Giri, kamu buat aku bener-bener salah tingkah saat ini, mungkin yang kaya gini adalah satu moment yang selalu ku tunggu. Tapi kurasa ini salah. Yang di butuhkan Dipta adalah seorang ibu dan seorang ayah bukan sepasang ayah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya dan perlakuan orang-orang di sekitarnya jika hal ini sampai terjadi. Cukup aku saja yang mengalami hal-hal buruk seperti itu.”
“Aku tidak berkata kira harus menikah kalau kau keberatan dengan itu. aku hanya ingin kita selalu bersama dan tumbuh tua. Bagiku itu cukup. Dengan begitu apapun yang terjadi kita tidak akan pernah saling menyakiti. Dan aku tidak ingin kau menghilang tiba-tiba lagi. Bukankah tidak ada yang salah dengan hidup seperti itu?”
Sunyi menyesapi kami, matahari semakin meredup perlahan ke peraduan sebagaimana cahaya lampu-lampu jalan mulai meremang dan membanjiri tempat ini. Giri menyalakan starter mobilnya, membuat suara menderung terdengar perlahan yang di ikuti seakan bergeraknya tubuh kami menyusuri jalanan yang semakin sepi.