It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
***
Eight
***
Aku belajar untuk bersabar dan menerima nasibku yang malang sedini mungkin. Jam pelajaran olahraga kali ini adalah praktek, sesuatu yang aku tak pernah bagus di dalamnya. Seolah menyuarakan kekhawatiranku, Laras dan Rendi memandangku dengan tatapan penuh pengertian dan khawatir. Aku memberi mereka tatapan aku-jelas-apa-apa-tapi-nggak-apa-apa-kok saat pelajaran dimulai.
Basket. Tahu, kan basket? Permainan memantulkan bola yang mirip bekel, tapi lebih sulit dan lebih nggak masuk akal. Buat apa aku harus berlari, memantul-mantulkan bola, mengoper, dan memasukannya ke ring yang bahkan tak bisa aku capai? Cape deh! Mending aku main badminton, seenggaknya aku masih bisa mencapai bagian atas netnya. Kuseka keringat di dahiku dengan punggung tangan. Baru main sebentar saja aku sudah keringatan begini. Kebetulan Dewa Apollo juga kelihatannya sedang dalam mood yang bagus, jadi lapangan basket malah terasa seperti sauna buatku.
Di sisi lapangan Pak Ikbal dan beberapa anak cewek memperhatikan kami. Dia memasang wajah datarnya yang tadi, walau harusnya aku bersyukur dia tidak memarahiku saat telat masuk ke kelasnya. Tapi sebagai gantinya dia malah mengabaikanku seperti sekarang ini, sesuatu yang bahkan lebih buruk daripada hormat bendera sepanjang jam pelajaran. Membuat hatiku terasa sedikit pedih. Apa sih sebenarnya masalahnya? Kenapa dia melakukan ini padaku? Aku kan cuma telat lima menit! Guru yang lain biasanya juga cukup tolerir, kok!
"Masuk," katanya tadi, saat memergokiku malah diam memperhatikan punggung David dan bukannya masuk ke kelas. "Ganti pakaian, terus ke lapangan. Hari ini kita main basket,"
Lalu dia pergi begitu saja meninggalkanku. Sebelum dia benar-benar pergi, dia masih sempat melirik sebatang coklat di tanganku. Seolah ada sesuatu antara Pak Ikbal dan sebatang coklat di masa lalu, Pak Ikbal memandangnya dengan penuh kebencian. Aku mengangkat alis, sayangnya dia tidak sedang memperhatikan wajahku, jadi tak ada gunanya aku melakukan hal itu. Aku mengangguk lesu dan masuk ke kelas.
Kebahagiaan yang kurasakan setelah mendapat cokelat dari David seolah meloloskan dirinya begitu saja melalui pori-poriku. Bersama dengan keringatku yang kian banyak, kian berkurang pula moodku yang tadi sedang dipuncaknya. Aku berlari ke sana ke mari, mengejar dan merebut bola dari lawan, tapi pikiranku seperti ikut berceceran seiring gerakanku yang mulai tak teratur.
Mataku tanpa sengaja menyapu ke arah timur, dimana aku menangkap satu sosok jangkung yang sedang berjalan ke arah utara. Tiba-tiba sosok itu menoleh ke arahku, dan untuk satu detik yang membahagiakan mata kami bertemu. Aku tersenyum padanya tapi aku heran melihat ekspresi peringatan di wajahnya, dia menunjuk be belakangku, dan aku tak mengerti. Apa sih? Lalu samar-samar aku juga mendengar suara Laras dan Pak Ikbal memanggil namaku.
Suara Pak Ikbal lah yang sepertinya membuat otakku kembali utuh. Aku berbalik, ingin melihat wajahnya, mungkin dia ingin memberikan sedikit pujian atas permainanku yang lumayan bagus, tepat ketika benda bulat bodoh itu menghantam wajahku. Sepersekian detik kemudian segalnya berubah jadi gelap.
***
Kepalaku pening, tenggorokanku kering, perutku kerontang minta diisi. Kubuka mataku perlahan dan langsung menyipitkan mata melihat sekelilingku. Kok aku ada di sini? Perasaan tadi di lapangan deh. Eh, bentar.. Lapangan? Oh. Yeah. Tadi aku kan pingsan ketimpuk bola. Sialan!
Aku menoleh ke samping dan mendapat kejutan yang tak terduga. Duduk di kursi lipat, tertidur kukira, menyilangkan lengan di dada, adalah Pak Ikbal dengan pakaian yang sama seperti yang terakhir kali aku lihat. Apa yang sedang dia lakukan di sini? Kupanggil dia, namun suaraku serak karena tenggorokanku kering, jadi aku berdehem melonggarkan tenggorokanku. Dia masih pulas.
"Pak Ikbal," panggilku. Dia tidak menyahut. "Pak Ikbal! Pak Ikbal! Bangun!"
Dia mengerjap lalu memandangku dengan linglung, seperti belum sadar sepenuhnya akan dunia di hadapannya. Aku menjentikan jariku di depan wajahnya, dia mengerjap lagi dan mulai kelihatan fokus.
"Lho, Yan? Udah bangun, ya," katanya. Dia bangkit dan mendekat padaku.
"Hooh," gumanku. Aku ikut bangun dan bersandar di kepala tempat tidur. "Jam berapa sekarang?"
"Sudah waktunya pulang sekolah," kata Pak Ikbal setelah melirik jam tangannya. "Kamu pingsan seharian,"
"Hah?!" aku nyaris melompat di tempat tidur. "Seharian?! Terus.. Pelajaranku.. Bu Helga.. Ulangan harianku.."
"Mau gimana lagi," Pak Ikbal nyengir, aku mendengus. "Kan nggak mungkin kamu belajar sambil tidur," Pak Ikbal menyodorkan roti isi selai kacang padaku. "Makan. Kamu belum makan dari pagi, kan?"
Kuambil roti itu dan kumakan dengan rakus, tapi mataku tidak lepas dari wajah Pak Ikbal. Seolah takut dia bakal berubah jadi asap dan menghilang. Ini bukan mimpi, kan? Karena tak fokus, terlalu sibuk memperhatikan Pak Ikbal, aku malah menggigit bibirku sendiri. Sekarang aku tahu ini semua nyata.
"Pelan-pelan makannya, Yan," Pak Ikbal berkata sambil tertawa, tangannya dengan tanpa dosa mengacak-ngacak rambutku yang sudah berantakan. Aku tidak tahu harus berkata apa, tapi warna wajahku pasti sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.
Aku minum dari botol air mineral yang disediakan di UKS, masih merasa lapar, dan segera turun dari ranjang. Kalau aku lapar aku hanya perlu pulang dan makan sampai kenyang lalu tidur siang. Maaf saja, ya, tapi seharian pingsan di UKS tidak bisa kuhitung sebagai 'tidur siang'. Tidur siang bagiku adalah ketika kau memejamkan mata di siang hari dan menjelajah alam mimpi atas kemauanmu sendiri, bukan karena faktor dari luar.
"Mau kemana?" tanya Pak Ikbal. Kumasukan dua kakiku ke sepatu lalu mendongkak menatap Pak Ikbal.
"Pulang," jawabku polos. "Emangnya Pak Ikbal pikir saya mau nginap di sekolah?"
"Ya, nggak lah," kata Pak Ikbal sambil memutar bola matanya. Oh, dia bisa melakukan itu juga, ya! Hebat! "Ayo, Saya antar kamu pulang,"
"Eh, nggak usah, Pak, saya bisa kok pulang sendiri," sekali lagi, aku menolak atas dasar tak enak, bukannya tak mau. "Nanti malah ngerepotin,"
"Ah, kamu ini, udahlah.. Nggak usah banyak protes, saya antarkan kamu pulang, sebagai permintaan maaf saya karena bertingkah menyebalkan hari ini," Pak Ikbal berpidato, aku speechless. Oh, ternyata dia menyadari perilaku kekanak-kanakkannya. "Ayo! Tas kamu tadi udah dibawain sama Laras tadi,"
Aku berjalan dibelakangnya, mengikutinya menuju parkiran motor. Uh, semoga Laras nggak cerita ke Mamah kalau aku pingsan di sekolah. Bisa semalaman aku dikuliahi nanti. Dan Kak Andy pasti puas banget ledekin aku. Ugh! Sialan banget deh!
Sebelum ke parkiran, Pak Ikbal mampir sebentar ke Ruang Guru, katanya mau mengambil sesuatu. Aku menunggu diluar dengan canggung. Secara tekhnis, sekarang ini aku sedang berduaan dengan Pak Ikbal, yang entah bagaimana memicu jantungku untuk berdetak lebih kencang. Kenapa sih aku?
Tak lama kemudian Pak Ikbal kembali dengan setumpuk buku di tangannya.
"Nanti kita ke kosan Saya sebentar, nggak apa-apa, kan?" tanyanya.
"Nggak apa-apa, Pak,"
"Bagus, ayo, nanti kamu tolong pegangin buku ini, ya, soalnya nggak muat di tas saya,"
Aku mengangguk patuh. Diparkiran, Pak Ikbal menyerahkan tumpukan bukunya padaku, kupeluk buku itu dan naik ke boncengannya. Ini pertama kalinya aku aku diboncengin Pak Ikbal, dan sepertinya gerombolan kupu-kupu baru saja bermigrasi ke hatiku.
"Berangkat!" Pak Ikbal berkelakar. Aku tertawa, dan motor pun melaju menuju jalanan raya. Saat aku menoleh ke belakang, kurasa aku melihat David berdiri di dekat pohon mangga di halaman sekolah. Dia masih berseragam lengkap, dan bahkan dari jarak sejauh ini aku masih bisa melihatnya tersenyum padaku.
***
semoga cukup memuaskan, ya!
***
Aku sedang mengerjakan tugas yang dititipkan Bu Helga sebagai ganti absennya diriku dikelasnya tadi siang, saat ponselku melantunkan lagu Faint nya Linkin Park, pertanda ada panggilan masuk. Awalnya aku kira itu Laras, tapi ternyata nomor baru. Hnn.. Siapa ya?
"Halo," kataku setelah menekan tombol terima. Aku menunggu, tapi tak ada yang membalas salamku. Kulirik layar ponselku, masih tersambung, kok! "Aku tutup, ya.."
"Eh, tunggu," akhirnya ada suara yang membalas salamku. Tapi bentar deh.. Rasanya aku kenal suara serak ini. "Ini Yana bukan?"
"Iya, ini Yana," kataku. "Ini siapa?"
"Ini David," kata suara di seberang sana. Pantes saja rasanya aku kenal, ternyata dia. Saat itu juga darah seperti tersedot dari wajahku. Lalu, kehangatan perlahan menjalar melalui sendi-sendi di bagian belakang tubuhku. Terus naik sampai ke wajahku. Sirkulasi darahku kembali normal.
"David? Oh kamu, kirain siapa," aku tertawa gugup. Gimana sih rasanya ditelpon orang yang udah ngasih kamu cokelat tadi siang? "Ada apa, ya?"
"Nggak ada apa-apa sih," katanya. Kubayangkan dia sedang menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Gimana kepala kamu? Udah baikan?"
"Udah, soalnya emang nggak apa-apa sih sebenarnya," kataku. "Tadi itu cuma efek karena aku nggak sarapan,"
"Kebiasaan, ya?" tanyanya. "Nggak bagus lho buat lambung! Nanti bisa kena maag,"
Aku nyengir dibuatnya. "Iya, iya, Pak Dokter," kataku. "Lain kali nggak bakal telat sarapan deh!"
"Kamu ini, masa aku dipanggil dokter," dia tertawa renyah, jenis tawa yang hanya bisa dibuat David. Kedengarannya seperti keripik singkong buatan Nenekku di kampung, garing tapi gurih. "Eh, gimana cokelatnya? Enak nggak?"
Kulirik sebatang cokelat yang tinggal separuh di depanku. Menimang-nimang sebentar.
"Enak," soalnya ini dikasih sama kamu, tambah salah satu potongan hatiku. Rasanya aku ingin menonjok potongan hatiku yang satu ini. "Makasih, lho! Jarang-jarang ada yang ngasih aku cokelat.. Hehe,"
"Aku merasa terhormat," kata David sambil tertawa. Aku ikutan tertawa dengannya. "Emm.. Yan, malem minggu besok kamu free nggak?"
"Free. Emangnya kenapa?"
"Temenin aku beli sepatu, yuk," katanya dengan nada memohon. Apa ini ajakan kencan? "Mau, ya?"
"Asal ada konsumsinya sih," kataku bercanda. "Tapi aku nggak ada kendaraan,"
"Kalo itu mah gampang, lah," katanya. "Pokoknya kamu tinggal siap-siap aja, tungguin aku di depan rumah, nanti aku jemput,"
"Emang kamu ada kendaraan?" sepanjang ingatan otakku yang sederhana ini, aku tak pernah melihat David membawa kendaraan apapun.
"Ada, lah," dia tertawa. "Udah dulu, ya, Yan. Aku ada urusan bentar nih,"
"Oh, ya udah," kataku kalem. Potongan hatiku yang paling nyebelin nangis darah sambil cakar-cakar tembok.
"Sampai ketemu besok di sekolah," katanya. "Sweet dream,"
"You too," balasku, dan sambungan telpon pun terputus. Musim semi dihatiku mengundang lebih banyak kupu-kupu sekarang. Kuambil sepotong cokelat pemberian David, lalu mengunyahnya dengan khidmat.
Aku baru saja hendak mengambil potongan cokelat selanjutnya saat Faint kembali berdering. Siapa sih malem-malem ganggu? Kulirik ponselku, ternyata Rendi.
"Halo, Ren," sapaku setelah menekan tombol terima.
"Kamu telponan sama siapa sih? Lama banget," keluhnya tak senang. Aku mengangkat alis, walau tahu itu akan sia-sia.
"Malem-malem nelpon kirain ada apa," kataku sebal. "Nggak tahunya mau marah-marah,"
Kudengar Rendi menghela nafasnya. "Iya deh maaf," katanya. "Aku lagi banyak pikiran soalnya, Yan,"
Perasaanku nggak enak. "Kamu kenapa, Ren? Sok, cerita sama aku, aku dengerin, kok,"
"Aku ke rumah kamu aja, ya," katanya lemah. "Sekalian nginep nggak apa-apa, kan?"
"Iya ke sini aja, nggak apa-apa, kok," kataku. Berikutnya sambungan telpon terputus secara sepihak, yang mana ditutup secara semena-mena oleh Rendi. Aku menatap layar ponselku dengan heran. Sekarang, apa lagi yang terjadi dengan sahabatku yang satu ini? Kuberitahu Laras melalui SMS perihal rencana Rendi nginep di rumahku. Aku melihat wajah cemasnya menyembul melalui jendela kamarnya yang masih terang.
***
Rendi duduk bersila di atas tempat tidurku. Dia tampak kacau, sorot matanya sarat akan kepedihan, dan dia belum berbicara sepatah katapun sejak tiba di sini. Aku duduk di depannya, memeluk guling dan memperhatikan. Sesekali dia mengacak rambutnya, mengumpat pelan, dan meremas-remas tangannya dengan tidak nyaman. Kubiarkan dia begitu sampai dia mau buka mulut sendiri. Orang bilang, masalah itu jangan digali, tapi tunggu sampai dia naik kepermukaan, baru dihadapi.
Rendi mengangkat mukanya dan memandang tepat di mataku. Melihatnya seperti ini membuat taman bunga di hatiku jadi seindah kuburan, satu bagian hatiku yang paling girang sekarang memakai pakaian serba hitam.
"Ayah sama Ibu mau cerai, Yan," katanya pelan. Aku nyaris terjungkal karena terkejut. "Tadi mereka bertengkar lagi,"
Aku diam tidak tahu harus mengatakan apa. Aku tahu Rendi memang biasanya memendam masalahnya untuk konsumsi pribadi, jarang sekali dia menunjukan rasa sakitnya itu. Karenanya, melihatnya seperti ini membuatku merasa seperti.. Kehilangan. Kehilangan sosoknya yang konyol dan selalu memberiku nasihat super kala aku sedang dalam masalah. Kesedihan menyusup pelan dihatiku.
"Aku nggak ngerti kenapa mereka terus berdebat mempermasalahkan sesuatu yang sama sekali nggak penting," lanjut Rendi. "Mereka kadang bertengkar semalaman hanya karena salah satu dari mereka pulang lima menit lebih lama dari biasanya. Dan parahnya, nggak ada satupun dari mereka yang mau ngalah,"
Dia mengacak rambutnya lagi dengan frustasi, lalu menutup wajahnya dengan telapak tangannya. "Aku capek, Yan. Aku sedih karena mereka nggak pernah sekalipun perhatiin aku," aku mendengar isakan pelan meluncur dari balik tangannya. "Seolah aku tak pernah lahir ke dunia, seolah.. Seolah mereka tak ingat bahwa mereka masih punya satu anak laki-laki yang masih membutuhkan perhatian mereka,"
Aku tak tahan lagi. Kusingkirkan gulingku ke samping, dan merangkak maju, lalu memeluk Rendi. Rendi tanpa diduga langsung melingkarkan tangannya di sekeliling tubuhku, wajahnya ia taruh di pundakku, dimana dia menangis sesegukkan dan membuat kaosku basah. Kuusap-usap pelan punggung dan rambutnya sambil mengucapkan kata-kata penghiburan dan janji-janji bahwa aku akan selalu ada menemaninya, disampingnya, dan semuanya akan kembali seperti seharusnya. Rendi tidak semena-mena tenang, malahan tangisnya kian menjadi. Pelukannya makin erat, dan ini agak menyakitkan. Karena badan Rendi lebih besar dariku, otomatis tenaganya juga lebih besar.
Aku sendiri sebenarnya tak pernah tahu bagaimana caranya menghadapi orang yang sedang dilanda masalah seperti sekarang ini. Tapi berdasarkan pengalaman pribadi, saat merasa sedih aku biasanya selalu ingin ada orang yang memelukku dan memberikan kata-kata penenang, semacam janji bahwa segalanya akan baik-baik saja. Yeah, senggaknya aku punya pegangan untuk tidak meneguk racun tikus. Dan lagi, biasanya, kan aku yang berbagi masalah pada Laras dan Rendi.. Dan setelah itu mereka yang bakal memberiku solusi dan ketenangan. Eum, sebenarnya, kukira Rendi yang selalu melakukan itu padaku. Laras lebih sering memelukku di dada ranumnya dan menghiburku dengan lelucon basinya.
Setelah agak tenang, aku melepaskan pelukan Rendi dan mengambil cokelat pemberian David yang baru kumakan setengahnya. Kuserahkan cokelat itu pada Rendi
"Nih, makan, biar kamu nggak sedih lagi," kataku padanya. Dia mengambil cokelat itu setelah mengusap air mata di wajahnya. Aku duduk memperhatikannya makan cokelat.
"Yan," katanya tiba-tiba.
"Ya, kenapa, Ren?"
"Kamu mau nggak janji sama aku?" katanya, dia menatapku lagi, tepat dimata.
"Janji apa dulu nih?" tanyaku curiga. Kalau dia sedang dalam mood yang bagus, dia bisa jadi sama anehnya dengan Laras. Aku punya alasan bagus untuk sedikit curiga sekarang ini.
"Janji, kamu bakal selalu ada buatku, saat aku perlu kamu," katanya dengan wajah serius.
"Kalo itu sih nggak usah ditanya kali, Ren. Kamu, kan sahabatku," kataku geli. Aku tersenyum padanya, berharap dia bakalan tersenyum juga. Tapi nggak. Dia masih dengan wajah seriusnya. "Iya, aku janji. Aku bakal selalu ada buat kamu, disaat kamu lagi butuh aku,"
"Bagus," katanya. Dia menelan potongan cokelat terakhirnya dan menyerahkan bungkusnya padaku. "Kamu emang sahabatku,"
Aku tersenyum dan menerima bungkus cokelat itu. Aku berbalik hendak membuang bungkusan cokelat itu ke tong sampah, saat Rendi tiba-tiba memanggilku lagi.
"Yan,"
Aku berbalik lagi, dan sesuatu yang berada di luar pemikiranku terjadi. Rendi memajukan tubuhnya ke arahku, wajahnya semakin dekat dengan wajahku, dan..
CUP!!
Satu ciuman mendarat mulus di pipi kananku. Aku mematung, seolah satu ciuman Rendi telah merampas seluruh gerak tubuhku. "Met malem," gumannya di dekat telingaku. Dia lalu mundur dan membaringkan tubuhnya dengan tenang, bahkan tanpa repot-repot melepas sweaternya, lalu memejamkan mata.
Btw david jahat ihhh...
Dan lagy.. Ciyee.. Yana harys memilih anatra 3 pilhan..heh..
Btw.. Mantion dong
***
Eleven
***
Rendi menurunkanku di parkiran. Aku pamit duluan ke kelas dan dia mengangguk dengan helm masih melekat dikepalanya. Membuatnya kelihatan seperti penari hula yang sering aku lihat di dashboard mobil papaku. Mendapat lampu hijau darinya, buru-buru aku melangkahkan kakiku memasuki gedung sekolah.
Semenjak insiden 'ciuman selamat malam' semalam, entah kenapa, aku terus saja berdebar-debar saat berada di dekatnya. Tidurku semalam tak nyenyak. Aku duduk diboncengannya dengan tidak nyaman tadi. Walaupun debarannya tidak sedahsyat saat aku berada di sekitar David, atau saat melihat Pak Ikbal shirtless, tapi cukup untuk membuatku gugup dan tidak nyambung saat diajak bicara.
Beberapa anak yang aku kenal menyapaku di koridor, aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Aku tidak sedang mood membuka mulutku. Saat sampai di depan kelas, aku melihat Gilang yang sudah nangkring di pintu dengan dua tangan membentang dari sisi kanan kusen ke sisi lainnya. Bisa kalian bayangkan? Tidak apa-apa, otakku memang sudah eror dari sananya. Intinya adalah, dia sedang memblokir jalan masuk. Apa-apaan sih nih anak?
"Selamat pagi," sapaku ramah.
"Pagi," gumannya datar. Aku menunggunya menyingkir, tapi dia malah diam dan menatapku, seperti sedang menghitung APBK. Kebetulan dia adalah 'tukang palak' di kelasku.
"Aku mau lewat," kataku dengan satu alis terangkat. "Aku nggak lupa bayar iuran kelas, kan?"
"Nggak, sama sekali nggak, kamu udah bayar semua iuran minggu ini," katanya lagi. "Tapi kita perlu bicara,"
Memangnya kita lagi ngapain dari tadi? Adu panco? Atau nari hula?
"Oh, ada apa, ya?" aku bertanya, dengan nada sedikit ketus.
"Bu Helga bilang, nilai kamu belakangan ini jadi makin anjlok," dia menjelaskan, aku mendengus. Dan kenapa dia harus peduli? "Jadi, dengan kebanggaan sebagai siswa terpandai di pelajarannya dan salah satu pejabat kelas, aku mengajukan diri untuk memberikanmu bantuan, semacam les private,"
Aku yakin aku salah dengar.
"Apa?"
"Mulai minggu besok, kamu sama aku, sepulang sekolah, bakal bikin kelompok belajar bersama," katanya cerah. Tentu dia senang, dia bisa mempermalukanku sepuas hatinya nanti. Saat itu Rendi datang sambil menyisir rambutnya dengan tangan dan berdiri di sampingku, memandangku dan Gilang bergantian.
"Ada apa ini?" tanyanya heran. Karena otakku sepertinya mendadak macet, tidak bisa memproses apa yang sedang terjadi, Gilang membuka mulutnya lagi.
"Mulai minggu besok, Yana sama aku, sepulang sekolah, bakal bikin kelompok belajar bersama," ulangnya untuk Rendi. Aku tahu reaksi Rendi takkan jauh beda denganku. "Cuma berdua," tambahnya lagi. Mulutku terbuka makin lebar.
Puas dengan 'chaos' yang dibuatnya, dia nyengir dan meninggalkaku bersama Rendi, dengan mulut terbuka dan otak yang mendadak macet.
"Apa dia serius?" Rendi bertanya dengan tidak percaya.
"Nggak tahu," jawabku, sama tidak percayanya dengan Rendi. Apa kepala Gilang terhantam sesuatu atau bagaimana? Ataukah dia mendapat hidayah atau semacamnya? Cuma dia dan para Moirae yang tahu.
"Wahh.. Ini kacau," guman Rendi. Dia meletakan tangannya di punggungku dan membimbingku memasuki kelas. "Masa dia yang ngajarin kamu? Padahal, kan aku sama Laras juga nggak bego-bego amat di pelajaran Bu Helga," ini fakta. Diantara aku, Laras, dan Rendi, akulah yang prestasinya paling jelek.
Laras? Demi dewa-dewi!
"Mari kita tunggu apa pendapat, Laras soal ini,"
Lima menit sebelum pelajaran di mulai, Laras masuk ke kelas dengan cengiran lebar dan sedang membetulkan seragamnya yang agak berantakan. Aku tidak perlu jadi rangking pertama untuk tahu apa yang telah terjadi dengannya. Dia bukan siswa terakhir yang masuk, karena lima menit setelah pelajaran dimulai, aku melihat Stela memasuki kelas dengan malu-malu. Aku heran, jelas. Cewek berkaca mata itu tak pernah telat sebelumnya.
#buts its ok lets see
@Zhar12 makasih boy udah sempetin baca iya, ntar aku mention ya!!
Btw jangan lupa mentionnya aja dehh.he