It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ini semua terjadi karena beberapa alasan yang nggak bisa aku bhs di sini, jdi setidaknya ada yg tahu kalau aku sdg dlm msalah.. Btw, aku kehilangan semua file ceritaku yg dulu, ada yg hapus kayaknya.. Jd tlong ksih tahu kalau feelnya hilang, ya..
Turut mengandung : @Sicilienne @lulu_75 @AndikaRiskiSya2 @asz_2468 @Aurora_69 @arya_s @Ricky89
***
Twenty One
***
Hari senin datang seperti sebuah bencana. Gilang mencegatku di tengah koridor dan menyeringai, sebagaimana yang biasa dia lakukan saat tiba waktunya membayar iuran kelas. Aku memutar bola mataku, khawatir dengan apa yang akan aku dengar. Salah satu potongan hatiku membunyikan sirine peringatan dalam kepalaku.
"Selamat pagi," gumanku malas. Dia tidak kelihatan terganggu dengan respon setengah-setengahku. Dia membetulkan letak poni lemparnya dan berbicara dengan nada penuh kemenangan.
"Mulai nanti siang, kita akan mulai program belajar kelompok yang udah kita bicarain minggu kemarin,"
Aku menghela nafas. Akhirnya, aku harus mengorbankan waktu luangku untuk berduaan bersama cowok berambut ikal ini. "Oke,"
"Pulang sekolah langsung saja ikut denganku ke rumah, biar nggak buang banyak waktu," dia berpikir sebentar. "Tapi kalau kau mau bareng denganku, kau harus menungguku dulu mengantarkan Lily, nanti aku kembali lagi ke sekolah untuk menjemputku, lal-"
Aku tidak berminat mendengar ocehannya lebih lanjut, jadi aku putuskan untuk berjalan mendahuluinya dan masuk ke kelas. Normalnya, Gilang akan mendengus, mengejarku, dan mengomentari sikapku dengan mulut besarnya. Tapi ternyata dia hanya diam di tempat dan memperhatikanku. Aku tahu karena aku bisa melihatnya dari kaca jendela di sebelahku. Jangan tanya bagaimana aku bisa melakukannya.
Apa hari ini aku kedengaran membosankan? Demi Penis Besar Priapus, hari ini aku seharusnya bersikap menyenangkan. Ingat, kan malam minggu kemarin aku habis kencan dengan David, dan sampai detik ini, aku masih bisa mencium aroma parfumnya di hidungku.
Astaga, tidak! Aku tidak habis berciuman dengannya, tapi sepanjang perjalanan pulang malam itu, aku terus menempeli punggungnya dengan wajahku. Alhasil, aku jadi hapal seperti apa aroma parfumnya.
Sudah ada Rendi yang duduk menungguku sambil memakan kue kemasan di depannya. "Selamat pagi,"
"Pagi juga," guman Rendi, dengan mulut penuh kue, jadi suaranya kedengaran seperti kentut kambing. Satu-satunya alasan kenapa aku menulisnya dengan benar adalah supaya kalian bisa mengerti apa yang sedang dia katakan. Semoga Athena memberinya hidayah agar segera bertobat.
Aku menarik kursi dan duduk di sebelahnya. "Kenapa wajah lesumu itu? Kau sedang ada masalah?"
"Apa? Tidak, tidak juga," aku beralasan. Rendi tidak kelihatan percaya, tapi dia memutuskan untuk diam dan tidak terlalu menekanku agar bercerita. Dalan hati aku berterima kasih dan menari telanjang seperti orang waras.
Aku sendiri masih tidak yakin bagaimana sebaiknya aku bersikap. Ingat saat Kak Ikbal memperhatikanku di parkiran toko sepatu? Aku harap dia tidak terlalu menanggapi serius aku dan kelabilanku itu, tapi sejauh yang aku perhatikan...
Sejauh ini, ini menurutku, lho, ya! Aku masih belum tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan pria ini. Tapi kalau menurutku(sekali lagi, ini cuma menurutku..) aku kira(oh, aku tak sanggup mengatakannya..) mungkin Kak Ikbal merasa... Apa itu istilahnya? Oh, iya. Cemburu pada David, atau siapapun yang menurutnya dia lihat malam itu.
Bagaimana aku bisa menyimpulkannya, adalah karena sejak saat itu, Kak Ikbal sama sekali tidak mengirimiku kabar. Smsku bahkan tidak dia balas, apa lagi telepon. Bukannya diangkat, malah langsung direject. Aku benar-benar bingung harus melakukan apa saat ini.
***
Laras berbisik pelan di telingaku saat Rendi tidak memperhatikan. "Yan, ada yang mau aku omongin. Penting,"
Aku menoleh padanya dan mengerutkan kening. Aphrodite saja kelihatan agak jelek kalau disandingkan dengan sahabatku ini. "Apa?"
Laras celingukan memandang sekeliling kantin yang lumayan sepi. "Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya,"
"Iya, iya, buruan mau ngomong apa?"
Ujung hidungnya bahkan sampai menempel di daun telingaku, saat dia berkata dengan polosnya, "Cakra ingin mengambil keperawananku,"
Saat itu, aku melihat Kak Ikbal berjalan sendirian melintasi kantin, di dekat mejaku, tapi dia bahkan tidak menoleh padaku. Dia hanya memandang lurus, terus memandang ke depan seolah takut salah menginjak tai ayam, dan mengabaikanku yang hanya beberapa puluh cm di sebelahnya. Aku menghela nafas pasrah dan tersenyum pada Laras.
Good morning!
***
Twenty Two
***
Aku berusaha, sebisanya, untuk fokus pada apa yang Gilang sedang berusaha sampaikan padaku. Tapi ternyata nggak segampang itu. Maksudku tidak terlalu sulit untuk fokus pada wajah cowok di depanku ini (dia lumayan tampan, kok..biarpun David lebih segalanya kemana-mana), tapi pada apa yang sedang dia jelaskan.. hmmm, aku harus bekerja lebih keras lagi ternyata.
Biarpun badanku saat ini sedang berada di kamarnya Gilang, tapi sesungguhnya, seluruh isi kepalaku sudah berceceran di seluruh kota. Salah satunya di kosan Kak Ikbal. Gilang memukul kepalaku dengan pensil saat dia sadar aku sama sekali tidak memperhatikan atau pun mengerti pada apapun itu yang dia katakan.
“Dari tadi nyerocos nggak ada gunanya, dong?” kata Gilang, sedikit jengkel. “Kamu kenapa, sih? Lagi ada masalah?”
“Aku nggak apa-apa, nggak ada masalah,” aku mengelak, mengangkat bahu. “Aku cuma kecapaian aja,”
“Kayak orang tua aja kamu, anak muda itu harusnya penuh semangat!! Emang semalem habis ngapain?”
“Yaaa, tidur, lah. Ngapain lagi?” aku mengambil bukuku dan kembali membaca materi. “Yang ini sih maksudnya apa, Lang?”
“Udah, nggak usah diterusin.. lagian kamu nggak bakal konsen juga,” dia mengambil buku tulisku dan menutupnya. “Mending sekarang kamu ceritain masalah kamu sama aku. Nggak ada gunanya juga kalau kita ngelanjutin pelajaran sementara pikiran kamu entah ada di mana,”
“Lang, nggak usah.. sumpah, aku nggak ada masalah apa-apa,”
“Nggak usah pura-pura terus, Yan.. emangnya nggak capek apa tiap hari pasang wajah kayak gitu?”
Aku berusaha mencerna ucapan Gilang. Entah dia sedang menyindirku, atau sekedar mengatakan apa yang dia pikirkan tentangku, tapi aku merasa dia ada benarnya juga. Bagaimanapun, aku memang cenderung tidak terlalu senang bila ada orang yang mencampuri urusanku, apalagi sampai menyusup dalam masalahku. Tapi beda lagi ceritanya kalau itu adalah Rendi dan Laras. Aku tak keberatan kalau mereka ikut campur urusanku, toh aku juga biasanya akan menceritakan masalahku pada mereka.
Karenanya aku akan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja, padahal kenyataannya aku sedang menangis dalam hatiku. Ini bukan bermuka dua, lho! Ini Cuma antisipasi dari orang yang kelewat ingin tahu urusan orang. Bagaimanapun, Gilang bukanlah teman baikku, tapi aku tidak melihatnya sebagai seorang penggosip, kendati mulut embernya menyaingi seluruh perosotan yang ada di dunia dijadiin satu. Oke, dia memang bermulut besar, tapi yang keluar dari lubang itu biasanya tidak jauh-jauh tentang dirinya sendiri.
“Sebenarnya,” aku berusha memulai ceritaku, tapi tak tahu bagaimana caranya. Aku ingin memberitahunya detail cerita tanpa benar-benar mengatakan apapun padanya. “begini..”
“Iya, gimana, Yan?” Gilang meletakan tangannya di atas meja dan menatapku dengan antusiasme berlebihan. Aku agak risih, tapi berusaha mengabaikannya.
“Apa yang bakal kamu lakuin kalau seseorang yang deket sama kamu tiba-tiba ngejauhin kamu tanpa sebab?” aku mengatakan semua itu dalam satu tarikan nafas. Dia nyengir dan keliatan geli.
“Apa kamu sedang membicarakan David?”
“Apa? Tidak. Kenapa kamu berpikir begitu?” aku memang suka sama David, tapi bukan berarti hanya cowok itu yang ada dalam kepalaku. Sebagai seorang cowok gay normal, aku juga suka kok merhatiin cowok lain di sekitarku.
“Yeah.. kalian kan belakangan ini deket banget, jadi aku kira dia yang sedang mengganggu pikiranmu,” Gilang mengangkat bahu. “tapi kalau memang bukan dia, nggak apa-apa. Dan mengenai pertanyaanmu, hal waras yang bakal aku lakuin, yaa ngobrol sama dia. Nyelesain semuanya baik-baik,”
“Bagaimana kalau dia bahkan nggak mau ngomong sama kamu? Sms pun nggak pernah dia bales,” kataku lagi. Ini sesuai dengan apa yang Kak Ikbal lakukan padaku. Yang dia lakukan padaku itu.. Jahat.
“Kalau menurutku sih, sebaiknya kalian coba ngobrol di tempat yang nggak biasa kalian pakai. Ajak aja dia ketemuan, terus kalau dia bersedia, dia pasti bakal nemuin kamu dan ngejelasin semuanya. Tapi kalau dia nggak dateng.. Berarti kamu harus berhenti ngarepin dia,”
***
“Kamu beneran nggak apa-apa?” David bertanya untuk ke sekian kalinya padaku. Dari suaranya dia kedengeran sangat khawatir. “Aku takut kamu sakit, Yan,”
“Iya, sumpah deh,” aku tertawa kecil dengan perkataanku sendiri. “Cuma lagi ada sedikit pikiran aja,”
“Kalau ada pikiran yang ganggu cerita dong sama aku,” kata David lagi. “Jangan dipendam sendiri,”
“Iya.. kalau udah waktunya aku pasti bakal cerita, kok sama kamu.. tapi nggak sekarang,”
“Lho, memangnya kenapa?” karena aku nggak mau kamu salah paham juga seperti Kak Ikbal. Sudah cukup sakit dijauhi guru olahragaku itu, nggak mungkin aku juga bakal tahan dijauhi David.
“Aku belum siap aja,” kataku, berusaha memberinya pengertian. “Suatu saat aku pasti bakal cerita, kok sama kamu,” Aku berguling di atas kasur dan menghadap pintu kamarku.
“Beneran, nih?”
“Iya, kapan coba aku bohong sama kamu,” aku berkata dengan manis. Beruntungnya kalau aku punya pacar pengertian macam David. “Kamu lagi ngapain?”
“Lagi belajar,”
“Lha, ngapain dong kamu nelepon aku? Bukannya fokus belajar, malah mainan hape,”
“Yaa.. aku kan kangen sama kamu,” David berkata dengan suara kecil. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Berperang dengan Ares pun rasanya aku masih sanggup menang. “nggak ganggu, kan?”
“Ya nggak dong,” kataku girang. Lalu selanjutnya kami pun larut dalam obrolan menyenangkan penuh humor dan tawa David yang luar biasa indah. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul sebelas malem. Hypnos pun seolah sudah menungguiku di jendela kamar.
"Eh, udah malem nih, udah dulu, ya, Yan,” David berkata setengah hati. “Kamu nanti langsung tidur, ya.. jangan malah begadang,”
“Iya, dokter,” kataku sambil menguap, tapi aku masih belum rela harus menutup teleponnya.
“Oh, iya, besok aku mau jemput kamu, ya.. malam, Yan, mimpi indah ”
“Malam.. Mimpi indah juga, David,”
***
Twenty Three
***
Beberapa hari berikutnya aku disibukan dengan kegiatan sekolah dan les privat dengan Gilang. Dia bilang aku sekarang jadi lebih baik, bahkan Bu Helga pun memberikanku senyum tipis sebagai wujud apresiasi. Harusnya aku berterima kasih saja pada Gilang, atau setidaknya mentraktirnya makan di kantin.
Dua sahabatku menjalani hari-hari biasa saja, sama seperti aku. Oh, atau setidaknya, Laras mengalami hal yang luar biasa. Ingat saat dia berkata Cakra ingin mengambil keperawanannya? Beberapa hari yang lalu mereka hampir saja melakukannya di rumah Cakra yang kebetulan sedang sepi, tapi ditengah permainan, saat cowok itu sudah siap menekan penisnya ke dalam vagina laras, dia malah berubah pikiran.
“.. dia meminta maaf padaku, katanya dia merasa sangat bersalah karena mau merenggut masa depanku. Tapi akhirnya permain itu berakhir dengan aku menyepongnya dan dia menggosok-gosok vaginaku..”
Tentang Rendi, ya.. orang tuanya itu terkadang masih suka bertengkar, tapi tidak sesering dahulu. Setidaknya mereka saat ini sudah bisa mengerti bahwa diantara keduanya berdiri seorang anak laki-laki yang masih perlu perhatian mereka.
Di suatu Minggu yang cerah, Kak Andy membawa dua teman cowoknya ke rumah. Mereka semua bertampang hampir sama dengan kakakku. Hanya saja yang satu sipit, yang satu punya mata bulat yang indah sekali, membuatku ingin menyeretnya ke kamarku. Aku lalu menyadarkan diriku bahwa aku tak boleh begitu. Cukup David saja, jangan punya kebanyakan cowok.
“Yan, kenalin temen-temen kakak,” dia berkata padaku yang sedang menonton tv. Aku berbalik dan melihat mereka. “Yang ini Rafael, yang ini Gibran. Bro, ini adek gue, Yana,”
Aku menyalami mereka bergantian dan memperhatikan punggung mereka yang menghilang di balik pintu kamar Kak Andy. Mau ngapain sih pake acara ke kamar segala? Karena tak mau repot, dan juga tidak terlalu peduli, aku duduk kembali di sofa dan menonton tv.
Eh, Kak Ikbal apa kabar, ya? Yeah, same old, same old lah.. dia masih menolak bicara denganku. tak mau mengirimku sms, atau setidaknya membalas sms yang aku kirimkan. Di sekolah pun dia bersikap seolah tidak ada apa-apa diantara kami. Well, memangnya ada apa? Karena menurutku, pihak yang sedang bermasalah di sini adalah aku. Tapi karena dia lebih dewasa, aku senang sekali bisa menyalahkannya.
Saat jam pelajaran Olahraga Kak Ikbal bahkan bertingkah seolah aku ini cuma anak didiknya seperti yang lain. Dia menganggapku biasa, tidak penting. Aku bukan lagi murid yang pernah dia ajak melakukan phonesex di siang hari, yang pernah dia ajak berkeliling pasar malam, bukan pula murid yang pernah menciumnya di tengah malam. Kalau ingat itu semua, rasanya aku agak menyesal waktu itu tidak menolak ajakan David untuk mengantarnya membeli sepatu.
Eh, tidak. Aku tidak boleh mengatakan hal seperti itu. Aku cinta sama David, dia itu cinta matiku, aku tak boleh berpaling darinya walau cuma untuk satu detik. Lalu, hatiku berbisik dengan nada tercekat seperti orang mabuk perjalanan.. terus, perasaanmu pada Kak Ikbal kamu sebut apa?
Di hari Minggu berikutnya, aku mendadak mendapat dorongan hati yang sangat kuat untuk berjogging, entah karena apa. Setelah memakai sepatu dan mengambil sebuah Apel dari meja makan, aku segera berlari keluar rumah sambil menggigit apelku. Aku tidak bisa berolahraga dengan perut kosong, sesuatu yang aku sadari setelah kejadian yang menyakitkan, sekaligus memalukan.
Rencananya, aku akan berkeliling sebentar di taman kota sebelum kembali pulang. Saat aku sampai di sana, ternyata sudah banyak orang juga yang berjoging sepertiku. Bedanya, kebanyakan dari mereka berpasangan, tidak seperti aku yang sendirian. Nasib jomblo, ya kayak gini. Kalo nggak ditolak ya digantungin. Aku jadi keki sendiri berlari bersama mereka. Aphrodite, cepatlah buat David menyatakan cinta padaku!
Setelah beberapa putaran, aku berhenti untuk menarik nafas, dan meluruskan kakiku di bawah pohon. Mataku jelalatan mencari yang seger-seger, dan dapat. Kayaknya sih seorang Papah muda, soalnya dia gendong anak kacil di pundaknya, dan setelah aku perhatikan ada cincin emas juga yang melingkar di jari manisnya. Tapi dia lumayan ganteng lho, badannya juga oke, hot banget deh!
Aku mengerling nakal padanya, dan dia membalasku, senyum langsung merekah di wajahku saat dia kelihatan sama sekali tidak terganggu dengan kehadiranku. Tapi lalu ada seorang wanita menghampirinya, pasti istrinya. Iya, lah! Wong anak kecil itu berteriak memanggilnya mama. Eww.. nggak deh, aku nggak mau saingan sama tante-tante kayak dia. Buru-buru aku memalingkan muka dan mencari mangsa baru.
Hanya perlu beberapa menit buatku untuk mendapatkan mangsa baru, tapi yang ini rasanya aku kenal. Aku bangkit dan mendekati cowok yang sedang duduk sendirian dengan mata tertutup dan wajah tengadah di salah satu kursi taman itu. Kupandangi wajahnya baik-baik, dan setelah memastikan aku tidak salah orang, aku memangilnya.
“Kak Ikbal!”
Dia membuka matanya dan memandangku, seolah tidak percaya aku ada di sini. Dia mengerjap, lalu mengucek matanya, memandangku lagi dari ujung kepala ke ujung kaki. “Ya-Yana?”
“Iya,” aku tersenyum dan duduk di sampinnya. Dia sedikit menggeser tempat duduknya dengan lagak tak nyaman. “Sendirian aja, Kak?”
“I-iya,” Kak Ikbal kelihatannya gugup sekali,pasti karena aku. Menyadari hal itu, entah kenapa aku jadi sangat bersemangat mendekatinya. Biasanya, kan aku yang gugup kalau di dekati cowok. “Kamu ngapain di sini?”
“Aku lagi jogging,” kataku, mengangkat bahu. “Eh, nggak sengaja deh ketemu Kak Ikbal di sini,”
“Oh, gitu,” dia menganggukan kepalanya paham, seolah berusaha menurunkan kata-kata untuk diucapkannya selanjutnya.
“Kak Ikbal kok sekarang jarang banget balas smsku,” tanyaku, dengan ekspresi wajah yang biasa aja. “Aku nungguin lama banget, lho,”
“Itu.. aku lagi sibuk, jarang pegang hape,”
“Terus kenapa telponku direject terus?”
“Anu, kamu nelponnya pas kebetulan aku lagi ada urusan, jadi terpaksa aku reject,” perkataannya sukses menggelembungkan kemarahan di dalam dadaku. Tak tahan aku bangkit berdiri dan mendelik padanya.
“Kak, denger, ya! Kalau kakak emang lagi marah sama aku, atau udah nggak mau lagi kenal sama aku, oke aku terima. Tapi seenggaknya, tolong hagai aku. Jangan diemin aku kayak gini, aku juga punya perasaan, kak,” mendengarku bicara seperti itu membuatnya benar-benar membuatnya seperti habis diseranng badai. Mulutnya terbuka, lalu menutup lagi, dan terus begitu selama beberapa saat.
“Yan.. A-aku.. aku..”
“Udah, ngggak usah ngomong lagi, aku udah muak, Kak. Aku udah muak sama orang kayak Kakak,” aku diam sebentar, menikmati efek yang aku hasilkan dari kata-kataku. “Atau mungkin aku harus kembali memanggil kakak dengan sebutan Pak Ikbal,”
Ada jeda pendek sebelum dia tiba-tiba bangkit berdiri dan meraih tanganku, aku menepisnya dengan kasar dan melotot dengan mata merah menahan sakit hati. “Sampai jumpa dan terima kasih untuk beberapa hari yang mengesankan, Pak Ikbal,” lalu aku berlari meninggalkannya sendirian di taman itu.
***
Aku merasakan cumbuan David di wajahku, sementara aku duduk dipangkuannya, dan tangannya yang nakal bermain di daerah pinggangku. Tanganku yang tak bisa dianggurkan cuma sanggup memegang tangannya supaya bergerak lebih perlahan.
“Geli, Vid..” aku tertawa dan berusaha menghindari bibirnya yang luar biasa terampil. “Berhenti dulu..”
“Aku nggak bisa berhenti,” David berguman di telingaku. “Kamu terlalu menarik buat dianggurin, Yan,”
Semilir angin senja di tepi pantai yang sama saat aku memipikan Kak Ikbal-Pak Ikbal, berkelahi bersama David, membuatku merasa sangat damai. Apalagi sekarang aku berada dipelukan orang yang aku cintai. Well, biarpun ini cuma mimpi, bisa saja kan ini awal yang bagus untuk sesuatu yang lebih indah di dunia nyata?
Saat itu aku mendengar suara gergaji mesin dari arah hutan. David menghentikan aksinya dan menatapku dengan tanda tanya sebesar Lira Apollo. “Apa ada seseorang yang sedang menebang pohon di sekitar sini?”
“Aku tidak tahu,” aku menggelengkan kepala dan memandang ke hutan di belakang kami. “Tapi itu tidak kedengaran seperti seseorang yang sedang menebang pohon,”
Lalu ada seorang pria dengan gergaji mesin melompat ke hadapan kami. Setelah diamati, diteliti, dilaporkan, dan dimusyawarahkan dengan semua lembaga pemerintahan dalam kepalaku, aku menyadari siapa laki-laki itu. Biarpun tidak bisa langsung dikenali karena brewok dan sarang laba-lba di kepalanya, aku cukup yakin dia ini siapa.
“Pak Ikbal?!” aku dan David berseru seketika, lalu melompat bangkit dan memandanginya dengan kengerian yang luar biasa. “Apa-yang..”
“Kamu udah bikin saya patah hati, Yan. Kamu udah benci sama saya, ninggalin saya dan memilih berduaan dengan bocah ingusan ini,” dia menunjuk David dengan gergaji mesin yang masih meraung-raung seperti singa kesurupan. “Udah nggak ada gunanya lagi saya, kamu, ataupun hidup di dunia ini,”
“Pak, sadar, Pak,” aku berkata panik. “Membunuh bukanlah jalan keluar,”
“Kamu bicara terus, berisik,” gergaji mesin itu berputar (You know what i mean..) di tangannya dan dia langsung menebaskannya padaku. Aku menutup mata, menanti rasa sakit atau perih, tapi aku tidak ada apapun yang datang menyentuhku.
Yang aku rasakan malah basah dan hangat, seperti seseorang yang menyemprotkan air hangat kental ke wajahku. Aku membuka mataku dan menatap wajah David yang bersimbah darah kental. Matanya memandangku dengan tatapan sayang, seulas senyum terukir di wajahnya, dan tiba-tiba semuanya bergerak lambat.
Tubuh David perlahan merosot ke bawah kakiku, di belakangnya Pak Ikbal memegang gergaji mesin penuh darah. David baru saja menyelamatkan nyawaku dari pembunuh berdarah dingin ini. Saat suara gedebum tubuh David menghantam bumi terdengar, semuanya kembali normal. Aku bahkan belum sempat berteriak saat Pak Ikbal tiba-tiba menebaskan gergaji mesin itu ke kepalaku.
The End
Eh, becanda ding! Masih ada beberapa part emosional (LOL) lagi..
update
***
Twenty Four
***
Aku terbangun dengan wajah dan kaos yang basah karena keringat, sampai rasanya lengket dan menempel sebagai kulit kedua di badanku. Kak Andy yang malam itu kebetulan menginap di kamarku, berguling dalam tidurnya, lalu dengan setengah mengantuk bertanya..
"Ada apa?"
"Mimpi," aku menarik nafas lega lalu kembali berbaring di sebelah Kak Andy. Dia berguman dalam bahasa ikan, lalu melingkarkan lengannya di atas perutku.
Tadi itu mimpi yang luar biasa sekali. Belum pernah sebelumnya aku membayangkan Ka—Pak Ikbal, menjadi seseorang yang semengerikan itu. Tapi untung saja itu cuma mimpi, ya.. kalau itu nyata.. Wah, aku tak tahu apa aku bisa menjalani hidup tanpa David.
Saat itu ponselku bergetar pelan di atas meja, aku mengambilnya dan melihat ada sebuah pesan dari nomor Pak Ikbal. Apa dia mau meminta maaf sekarang? Kubuka pesannya, dan yang kutemukan bukanlah sebuah perkataan maaf, melainkan sebuah kata yang membuatku sebal.
'Keluar,'
Maksudnya? Apa dia mau memberitahuku kalau dia sedang mastrubasi dan baru saja mencapai orgasmenya? Eww.. Aku benar-benar tidak tahan membayangkan hal itu, dan untuk beberapa hal yang tidak mau aku akui, adik kecilku tegang seketika. Aku hanya berdoa semoga tangan Kak Andy tidak bergerak ke selangkanganku tanpa dia sadari. Hypnos, aku memohon dengan sangat padamu!
Kusimpan ponselku kembali ke atas meja dan menatap nyalang langit-langit kamarku. Apa sebenarnya maksud Pak Ikbal mengirim pesan seperti ini?
'Keluar,'
Tapi kalau dipikir-pikir sih ya, kalau memang dia bermaksud memberi tahuku bahwa dia baru saja mengalami orgasme, itu hanya berarti dia sudah kembali seperti dulu. Maksudku, dia sudah memaafkanku dan membuka kembali peluang buatku menjalin hubungan dengannya.
Hmmm.. Masuk akal juga. Tapi benar, kah sepertu itu? Aku menoleh ke arah ponselku sambil berpikir.
'Keluar,'
Harusnya, aku tidak perlu menjadi Athena untuk memahami pesan itu, tapi malam ini entah kenapa aku menjadi sangat bodoh. Aku menyalahkan Hypnos untuk semua kebodohanku ini.
Secepat kilat aku bangkit dan menuju ruang tengah dimana ada jendela besar yang menghadap ke halaman depan. Kusingkap gordennya dan menyisir tiap inchi halaman rumahku. Dan dapat! Ada sosok laki-laki di atas motor yang terparkir di sana, dan aku tahu pasti siapa dia sebenarnya. Betul, dia adalah Kak Ikbal.
Kututup kembali gorden dan bersandar pada dinding. Dengan jantung yang berdetak kencang, aku meraba kedua pipiku, dan merasakan ada sepasang kerutan besar yang dibuat dua sudut bibirku. Aku tersenyum menyadari Kak Ikbal tengah malam begini datang untuk menemuiku. Dia pasti mau meminta maaf dan memperbaiki hubungan kami yang sempat memanas.
Kutarik nafasku pelan-pelan untuk meredakan peredaran darahku yang mendadak masuk jaringan 4G. Dan setelah mengatur ekspresi wajahku agar kelihatan biasa saja, aku membuka pintu depan dan berjalan pelan di bawah siraman cahaya rembulan.
Melihatku mendekatinya, Kak Ikbal turun dari motornya dan menatapku dengan pandangan sendu. Ada senyum getir yang menghias wajah tampannya.
"Ada apa?" aku bertanya dengan nada jutek, kendati sudah tak tahan untuk segera memeluknya. Tapi aku tahan demi sebuah harga diri.
"Yan," Kak Ikbal kelihatan hampir menangis menyebut namaku. Aku tak tahu kalau perlakuanku padanya bisa membuatnya jadi seterluka itu. "Kakak mau minta maaf sama kamu,"
Aku diam saja dan menatapnya dengan mata memicing. Tanganku menyilang di depan dada dan mendengus.
"Oke, memang kakak yang salah udah nyuekkin kamu, nggak ngasih kabar, ngilang gitu aja tanpa peringatan," dia berusaha tampak tegar. Tapi sia-sia saja. Suaranya mulai bergetar di ujung kalimatnya. "Kakak juga bohong soal ujian, kakak nggak sesibuk itu kalau cuma ngurusin ujian, karena memang sebenernya bukan bagian tugas kakak menyusun hal tersebut,"
"Terus apa? Kakak mau bilang kalau kakak udah nggak mau ketemu aku?" aku kembali merasakan kemarahanku pada pria ini. "Basi! Aku udah tahu,"
"Yan, please.. Dengerin dulu. Kakak bakal jelasin semuanya sama kamu.."
"Kakak mau jelasin apa lagi sih? Kan semuanya udah jelas! Dengan mengelak seperti itu aku jadi tahu kakak memang beneran nggak mau lagi kenal sama aku!"
"Yan.. Kaka.." Kak Ikbal mulai terisak, aku terenyak. Apa-apaan dia ini sebenernya? "Terserah kalau kamu mau benci sama kakak, tapi setidaknya kakak pengen kamu tahu, kalau kakak itu sayang banget sama kamu.. Kakak juga tersiksa dengan ngejauhin kamu kayak gini, Yan.."
Aku mencibir. Menunggunya berbicara lagi.
"Dan mengenai yang terjadi di antara kita belakangan ini.." dia mengambil sesuatu dari bagasi motornya dan menyerahkannya padaku dengan tangan gemetar. "Semoga kamu mau ngerti,"
Aku mengangkat alis dan menerima kertas itu yang ternyata adalah sebuah kartu undangan. Kak Ikbal tidak berani menatapku saat aku membuka plastik pembungkusnya dengan was-was.
Dan di bawah cahaya bulan yang tenang dan nyaman, aku bisa merasakan rasa panas dan sesak menyerang dada dan bagian belakang tubuhku. Ada sesuatu yang meledak dalam jantungku, dan bisa kurasakan beragam emosi menyergapku saat itu juga, membuat kepalaku sakit dan kehilangan sebagian kesadaran.
Satu tanganku bergerak ke mulut, mataku mulai basah dan mengalirkan air mata. Bulir-bulir kristal itu meluncur dan jatuh membasahi kertas undangan bodoh itu. Tepat di atas tulisan..
Menikah :
Ikbal Bastian
Dan
Sarah Kusuma Prasasti
"K-kak.." aku tak tahu lagi apa yang bisa aku katakan. Yang aku rasakan saat ini adalah rasa sakit, kekecewaan, dan semua jenis emosi lain yang diaduk jadi satu. Undangan ini ternyata menjelaskan banyak hal, bahkan melebihi dari yang aku harapkan sebelumnya. Aku mau muntah.
"Yan.." dia bergerak canggung mendekatiku, dan seperti mendapat kode, aku langsung menghambur ke pelukannya yang hangat. Aku tak tahu kenapa kenyataan ini sangat menyakitkan, atau kenapa air mata ini tak bisa berhenti mengalir, atau kenapa isakan tangisku sama sekali nyaris tak terdengar. Kenyataannya, saat ini aku sedang patah hati.
Semilir angin malam itu menjadi teman sekaligus saksi perasaanku yang sebenarnya pada Kak Ikbal. Bahkan pagar-pagar tetangga yang dipenuhi tanaman merambat turut menyaksikan kekejaman realita dunia yang telah memaksa dua orang yang saling cinta ini untuk berpisah diluar kemauan mereka. Kak Ikbal mengeratkan pelukannya di tubuhku, bukan sedang berusaha menenangkanku, tapi hanya untuk memberitahuku bahwa dia juga merasakan penderitaan yang sama. Hanya ada dua anak adam yang sedang patah hati saat itu.
Sayang sekali kami baru menyadari perasaan cinta kami ini saat kami sudah tidak mungkin lagi bersama. Bodohnya aku yang tidak buru-buru mengambil tindakan dulu, dan malah berleha-leha sambil mengayam mimpi, lalu saat sadar malah Kak Ikbal sudah digondol orang lain. Mau bagaimana lagi?
Air mataku sudah membasahi kemeja Kak Ikbal saat aku menarik diri dari kehangatan tubuhnya. Wajah kami sudah sangat kusut karena air mata. Dan saat mata kami bertemu, kami sama-sama terdiam. Jelas terlihat luka itu menganga di dalam diri kami masing-masing, dan aku sama sekali tak tahu apakah luka itu akan sembuh atau tidak. Aku teringat saat menabraknya di koridor sekolah, saat tertawa di atas boncengan motornya, saat.. Saat.. Saat..
Kuusap air mataku dan menarik nafas pelan-pelan.
"Sudah malam," kataku dengan suara serak. "Kak Ikbal pulang, lah,"
"Tapi, Yan.. Kamu udah maafin kakak, kan sekarang? Waktu itu kakak bingung harus bersikap gimana," dia mengacak rambutnya. "Disatu sisi kakak pengen banget terus sama kamu, tapi di sisi lainnya, tekanan dari keluarga untuk segera membina rumah tangga makin besar dan tidak tertahankan.."
"Iya, aku ngerti kak sekarang," kataku, sebisanya kelihatan tegar. "Aku juga udah maafin kakak, kok.. Nggak usah khawatir.."
"Oke, kalau begitu.." dia menggaruk kepalanya, menatapku tanpa malu-malu lagi. Dia berusaha tersenyum walaupun akhirnya yang terlihat hanyalah seperti dia sedang menahan poop. ".. Apa.. Boleh.. Se-sekali saja.. Untuk yang.. Terakhir?"
Aku tersenyum dan maju, mengalungkan lengan ke lehernya, dan menempelkan bibirku ke bibirnya. Kak Ikbal langsung bereaksi dan mencumbu bibirku dengan penuh kasih, pelan, dan sangat intens. Ini bukan ciuman penuh nafsu yang biasa aku bayangkan dan lihat di vidio porno, ciuman kami ini lebih penuh emosi yang susah sekali untuk aku gambarkan. Tangannya dengan nyaman memeluk pinggangku yang sedikit berlemak.
Ditemani musik khas binatang malam, aku benar-benar tak mampu lagi menahan air mataku. Aku menangis lagi tanpa suara, begitupun dia, dan ciuman bibir ini lama-lama jadi terasa asin saja bagiku. Akhirnya, dengan Artemis sebagai saksinya, aku mengatakan juga kalimat yang sudah lama ingin aku katakan.
"I Love You, Kak Ikbal,"
Aku naik ke tempat tidurku dan menyusup ke dalam pelukan Kak Andy. Bisa kudengar suara motor Kak Ikbal yang bergerak menjauh, dan aku memposisikan diriku senyaman mungkin dalam dekapan Kak Andy yang terasa aman dan nyaman. Dia berguman lagi dan mengeratkan pelukannya pada tubuhku. Kupejamkan mataku pelan-pelan, berharap semua ini adalah bagian dari mimpi burukku. Selamat malam Aphrodite sialan.