It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
wah pak ikbal*yang maunya di panggil kak ikbal* mesum juga ya ternyta..hahah
@JimaeVian_Fujo @Yirly @Rabbit_1397
@Sicilienne @Alvinchia715 @Sogotariuz @shrug
nggak yakin part ini memuaskan udh bulak balik diperiksa, tp rsanya ada yg kurang..
mohon komentarnya minna-san!!
***
Fifteen
***
Oke, mungkin ini kedengaran menyedihkan, memalukan, menggelikan, atau apalah itu terserah kau. Tapi yang jelas, aku tak punya pilihan lain, kecuali jika diam di kamar dan membusuk karena bosan dan gelisah adalah sebuah pilihan. Aku perlu melemaskan saraf-saraf di tubuhku.
Aku berjalan mengikuti orang-orang yang juga tertarik dengan pasar malam. Tahu, kan pasar malam? Wahana merakyat ini memang selalu ramai sejak dahulu kala. Aku ingat saat kecil sering sekali memaksa Kak Andy untuk mengantarku ke sini dan menjajal semua permainan dan jajanan yang ada. Aku mendadak kangen sama dia. Tapi sekarang aku sendirian. Kak Andy belum pulang dari kampusnya, dan mau tak mau, aku harus berangkat sendirian ke sini.
Laras sedang sibuk membantu orang tuanya, mengumpulkan barang-barang dan makanan rumahan untuk di bawa Mamahnya menjenguk kakak pertama Laras yang tinggal diluar kota, jadi tidak bisa menemaniku. Sementara Rendi.. Hnn, aku tak mau mengganggunya sekarang. Dia mungkin saja sedang melakukan diskusi intens bersama dua orang tuanya, mencoba berdiplomasi di tengah konflik. Lagi pula, dia belum mengsmsku sejak dia pulang tadi. Jadi aku berasumsi dia sedang sibuk.
Tahun ini pasar malamnya kelihatan lebih ramai dari tahun-tahun sebelumnya, padahal ini belum masuk liburan sekolah. Orang tua dan anak-anak mereka yang berisik ingin ke sana ke mari berlalu lalang di depanku. Banyak juga anak-anak seusiaku yang datang. Mereka rata-rata datang bergerombol bersama teman se-geng masing-masing, atau dengan pacar mereka. Bagus banget, ya nasibku. Dua temanku sedang sibuk, sedang aku tak punya pacar. Indah sekali.
Nah, pertama-tama, aku ingin makanan kecil. Aku membeli sekotak popcorn di salah satu stand dan memakannya sambil berjalan. Ntapss! Sekarang, saatnya mencari kesenangan. Karena aku tidak mau naik benda-benda semacam komidi putar, kuputuskan untuk memainkan permainan berhadiah saja. Aku meneliti sebuah stand berjudul 'Tembak burungku! Dan dapatkan hadiah setelahnya!'. LMAO.
"Bang, main dong," kataku pada si abang penjaga stand. Dia bertampang garang dan memakai pakaian berwarna cerah. Mataku pedih melihatnya.
Dia mengangguk dan menyerahkan sebuah pistol mainan berpeluru plastik lalu menjelaskan aturan permainannya padaku. Ternyata, satu kali membayar aku mendapat tiga kali kesempatan untuk menembak burung-burungnya(?). Kalau aku berhasil menembak satu burung di akhir permainan, aku mendapat hadiah sesuai nomor burung yang aku tembak. Kalau berhasil menembak dua, aku mendapat hadiah sesuai nomor burung pertama dan bonus sekarton kacang rebus gratis dari pemilik stand. Kalau aku berhasil menembak tiga burung berturut-turut, aku bebas memilih satu hadiahku dari daftar. Kuperhatikan daftar hadiah yang dipajang di sebelah kanan. Nomor 12, kataku dalam hati. Ku arahkan pistolku ke arah burung-burung yang terus bergoyang itu, dan setelah menentukan sasaran, aku mulai menembak.
15menit kemudian aku meninggalkan stand itu dengan sebuah boneka Minion setinggi 20cm ditangan. Ini bukan hadiah yang aku inginkan, aku tadinya mengincar sebuah boneka beruang, bukan Teddy Bear, ya tapi beruang. Sayangnya, tembakan pertamaku meleset. Saat menembak dikesempatan kedua, aku malah mengenai nomor 14, yang mana adalah sebuah tiruan merpati untuk Minion. Aku masih berpeluang mendapatkan kacang rebus, tapi aku gagal lagi dikesempatan ketiga.
Kubawa lagi dua kakiku berkeliling. Aku melihat beberapa teman sekolahku juga datang ke sini, tapi aku tidak menyapa mereka. Aku melihat Gilang dan Lily mengobrol sambil memakan satu permen kapas sebesar dua bola basket bersama-sama. Ada juga Ratna, Helen, Fajar, Santi, Wildan, Kevin, Surya, Chiko, dan beberapa anak yang aku lupa siapa namanya. Wahh.. Asyik banget mereka datang bergerombol tanpa mengundangku.
Terlalu asyik memperhatikan, aku sampai tidak sadar dengan sekelilingku. Seseorang menepuk pundakku dari belakang, aku terpekik dan melompat, popcornku tumpah ruah ke tanah. Aku berbalik dengan sebal dan nyaris pingsan melihat si biang kerok.
"Kak Ikbal!" seruku, murka. "Bisa nggak sih nggak ngagetin aku?!" aku bersungut-sungut saat melihat popcornku yang malang.
Dia cuma nyengir kuda. "Ya, maaf, dek. Habisnya kamu dipanggil-panggil nggak nyaut, jadi kayaknya bagus juga kalau aku kagetin,"
Aku menatapnya dengan wajah sebal maksimal. Mungkin ini karena efek pakaian casualnya atau memang aku yang tak pernah memperhatikan. Tapi dia kelihatan ganteng sekali malam ini. Kelihatan lebih muda. Otot wajahku mengendor seketika, lalu kembali tegang saat ingat kejadian tadi siang. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku.
"Maaf buat yang tadi siang," dia berkata sungguh-sungguh. Wajahnya melasin banget. "Kakak beneran nggak ada niatan jelek, kok cuma iseng aja,"
Aku sebenarnya tidak betulan marah padanya, aku hanya betulan malu. Tapi aku TAK berniat SEDIKITPUN mengakuinya.
"Hnn," gumanku, lalu menyilangkan lengan di dada. Dia menungguku mengatakan sesuatu yang lain, tapi saat aku diam saja, dia kembali membuka mulut.
"Jangan gitu dong, Yan," bujuknya pelan, dia mendekat, memegang pundakku, dan menunduk mensejajarkan tinggi kami. "Kakak, kan udah minta maaf, jangan diemin kakak gini dong,"
"Oke, aku maafin," kataku. "Tapi ada syaratnya,"
"Apa syaratnya?" tanyanya penasaran. "Ayo, bilang aja, pasti kakak lakuin, kok,"
Aku menyeringai dan dia menatapku was-was. Seperti terdakwa yang menanti vonis sang hakim.
***
Syarat yang aku ajukan nggak susah, kok. Aku cuma minta ditraktir jajan dan dibayarin buat main semua permainan berhadiah yang aku inginkan sepuasnya. Dia dengan enteng menyanggupinya. Mengantarku dari satu stand ke stand lainnya, dan membayar semuanya. Aku sudah seperti kucing simpenan om-om saja. Beruntung Kak Ikbal masih di bawah tiga puluh.
Di stand yang menjual jersey bola, dimana aku dan Kak Ikbal berlama-lama, aku melihat seorang cewek yang rasanya aku kenal. Dia sedang membelakangiku jadi aku tak bisa melihat wajahnya, tapi aku cukup yakin itu siapa. Dia tiba-tiba berbalik dan melihat-lihat jersey berwarna biru yang tergantung, dan benar saja dugaanku. Stela di stand pakaian sedang memilih jersey favoritnya. Aku tak pernah tahu kalau dia suka sepakbola.
Aku berniat menyapanya saat melihat David muncul entah dari belahan bumi sebelah mana dan menghampiri Stela. WTF?! Apa-apaan ini?!
David mengambil sebuah jersey dan menempelkannya ke tubuh jangkungnya di depan Stela.
"Keren nggak?" kudengar dia bertanya.
"Kamu pake apa aja tetep kelihatan keren, kok," Stela menjawab dengan wajah merona. Entah kenapa pemandangan ini mengganggu fisik dan batinku. Tanganku gatal ingin menonjok David, sedang batinku meraung penuh kekecewaan. Ada apa dengan diriku?
"Kak, pindah, yuk," kataku pada Kak Ikbal yang sibuk dengan kumpulan jersey warna merahnya.
"Bentar, dek, bagus-bagus nih," katanya tanpa menoleh padaku, aku menarik-narik tangannya seperti anak kecil.
"Kalo yang ini gimana?" kudengar David kembali bertanya.
"Kak Ikbal," aku menariknya lebih keras. Dia menoleh dengan alis terangkat. "Kenapa sih, dek?"
"Aku pengen pindah," kataku. "Ayo, lah, kak,"
"Tapi.. Ini-" tak sabar, aku menarik paksa dia, akhirnya Kak Ikbal menyerah dan mengikuti kemauanku juga. Dia mengekor di belakangku dengan wajah bingung sementara aku menarik tangannya. Setelah cukup jauh, barulah aku melepaskan tangannya dan berhenti.
"Kamu kenapa sih, dek?" Kak Ikbal bertanya, dia maju dan menunduk mensejajarkan tubuh kami. "Ada masalah atau apa?"
"Nggak apa-apa," kataku. Aku nggak bohong, kok! Aku sendiri nggak ngerti apa yang terjadi dengan diriku. Yang aku tahu adalah aku-nggak-suka-David-deket-deket-dengan-Stela. Fuck!
"Dek," Kak Ikbal menegur. Aku menghela nafas dan menatap mata coklatnya yang bulat nan menggemaskan, sangat ingin kutusuk dengan dua jari tanganku sekarang ini.
"Aku lapar," kataku, berharap dia percaya. Aktingku sepertinya lumayan bagus, karena dia tertawa dan mengacak rambutku.
"Ya, udah, yuk cari makan dulu," dia merangkulku dan membawaku menuju stand berbagai makanan. Aku menoleh dan melihat stand pakaian tadi di kejauhan, masih kulihat David dan Stela di sana, sedang membandingkan jersey lainnya.
***
Aku sampai di depan rumah pukul sebelas malam. Dua tanganku sibuk dengan kantong kresek yang penuh dengan barang-barang kecil yang berhasil aku kumpulkan di pasar malam tadi. Kak Ikbal membuka helmnya dan tersenyum padaku.
"Seneng, deh ngabisin malam sama kamu," katanya riang. "Harus sering-sering ngajak kamu keluar nanti,"
"Yaelah, kalau aku main terus, kapan belajarnya, dong?" tanyaku sambil tertawa. Keren nggak, sih kata-kataku? "Eh, tapi makasih, lho, Kak traktirannya,"
"Nggak masalah," katanya mengangkat bahu. "Itu sebagai permintaan maaf kakak,"
Aku tersenyum, bahagia bukan main. Apalagi ketika aku ingat perlakuan manisnya ketika dia mengusap saos di sudut bibirku saat kami makan mie ayam tadi. Wahh.. Moodku naik seketika.
"Aku masuk dulu, ya, kak," kataku. "Besok, kan masih sekolah,"
"Ya, udah sana. Mimpiin Kakak, ya," katanya dengan cengirannya yang mendadak sangat aku sukai.
"Oke!" jawabku. "Hati-hati dijalan," aku sebenarnya ingin mengajaknya menginap, tapi aku tak tahu apa yang mungkin bakal terjadi nanti. Mungkinkah nanti aku bangun dengan bercak kemeraham di sekujur tubuhku? Nggak! Nggak! Kita tidak sedang membicarakan penyakit kulit atau sesuatu semacamnya.
Aku berbalik dan berjalan menuju pintu, tapi berhenti saat Kak Ikbal memanggilku lagi.
"Ciuman met malemnya mana?" tanyanya dengan wajah mesum. Aku berpikir sebentar dan menatap kantong kresekku. Satu ciuman saja nggak apa-apa, kan? Sebagai ucapan terima kasih, mungkin?
Aku melangkah mendekatinya lagi dan berjinjit, lalu mendaratkan sebuah ciuman di pipi kirinya. Bahkan dalam keremangan cahaya malam aku bisa melihat wajahnya merona, seperti yang biasa aku lakukan. "Selamat malam, Kak Ikbal," kataku di dekat telinganya.
Lalu berbalik dan berlari memasuki rumah. Kututup pintu di belakangku dengan tenaga berlebihan dan bersandar padanya. Jatungku berpacu lebih cepat, nafasku naik turun tak beraturan. Apakah aku benar-benar baru saja mencium Kak Ikbal? Wahh.. Kalau iya, ini rekor! Kapan lagi aku bakal mencium guru gantengku itu?
Aku naik ke kamarku, melepas sepatu dan menaruh kantong kresekku. Setelah menggosok gigi aku langsung berbaring dan memejamkan mata. Sepuluh menit kemudian aku mendengar suara motor menjauh dari depan rumah.
Semoga david ga ada maksut lain ke yana
***
Seventeen
***
Aku nggak tahu apa yang sebenarnya sedang aku lakukan, tapi yang jelas, aku mencoba berjalan secara anonymous diantara lautan siswa-siswi yang berlalu lalang. Hal ini tak lebih aku lakukan hanyalah untuk menghindari Kak Ikbal dan... David. Mungkin, yang paling ingin aku hindari saat ini adalah Kak Ikbal. Selain merasa malu karena telah menciumnya, aku juga merasa bersalah karena telah mengundangnya ke dalam mimpi mesumku semalam. Aku bisa menjelaskan mengapa aku sampai selancang itu.
Mm.. Ingat nggak saat Kak Ikbal mengantarku pulang karena aku pingsan seharian? Saat dia membawaku ke kosannya sebentar? Well, sebenarnya bukan sebentar sih, itu nyaris satu jam, karena ternyata Kak Ikbal menyuruhku menunggunya mandi dan berganti pakaian dulu sebelum mengantarku pulang. Aku dibiarkannya terdampar di ruang tengah, dimana ada karpet dan sebuah televisi yang aku tak tahu berapa ukurannya, dan beberapa toples makanan kecil.
"Kalau mau minum ambil di dapur aja, ya," katanya sambil menyodorkan toples kue kering padaku. "Udah nggak kuat nih,"
"Eh, iya, nggak apa-apa," kataku. "Biar saya ambil sendiri,"
Dia tersenyum dan ngeloyor pergi menuju kamar mandi, yang bersebelahan dengan dapur. Kubuka toples kue dan menyalakan televisi, lalu menonton acara musik kesukaanku sambil makan. Berikutnya aku mendengar suara khas orang mandi dari arah dapur(Byurr.. Byur.. Gjubar!).
15menit kemudian, aku mendengar suara pintu dibuka, dan Kak Ikbal mengintip dari balik tembok dengan hanya memakai handuk kecil di pinggangnya. Air menetes dari ujung rambutnya yang masih basah belum benar-benar dikeringkan. Aku mendadak sesak nafas melihat pemandangan ini.
"Lama, ya?" tanyanya dengan cengiran lebar. Aku tersenyum canggung. "Bentar, ya, mau pakai baju dulu," dan diapun menghilang ke kamarnya.
Kuambil sepotong kue dan mengunyahnya. Astaga! Aku baru saja melihat Kak Ikbal nyaris telanjang! Apa kau melihat biseps, triseps, dan seps-seps lainnya yang menempel di tubuh kerennya? Apa kau melihat kotak-kotak di perutnya yang rata? Pinggangnya yang ramping dan bebas lemak? Kulitnya yang sangat mengundang untuk kusentuh? Dan jangan lupakan tonjolan di handuknya yang minim itu! Saat mengingatnya, aku mendadak tersedak, dan buru-buru ke dapur mengambil air minum. Setelah melegakan kerongkonganku, aku berniat kembali ke ruang tengah, tapi saat melewati kamar Kak Ikbal aku melihat gordennya sedikit terbuka dan akupun berhenti. Tanpa dapat ditahan, aku mendekatkan wajahku dan mengintip ke dalam.
Apa yang aku lihat adalah sesuatu yang tak pernah aku saksikan sebelumnya seumur hidupku. Kak Ikbal. Sedang berdiri telanjang bulat. Dan memegang penisnya yang sebesar.. Sebesar.. Pentungan satpam? Dan penisnya itu sedang ereksi. Aku menelan ludahku dengan susah payah.
Dia menggerakkan tangannya maju mundur perlahan, seperti sedang mengurut penisnya. Kepalanya tengadah, dan samar-samar aku mendengarnya menggumankan nama seseorang. Apa yang dia lakukan? Apa dia sedang mastrubasi? Siang-siang bolong begini? Ck ck ck. Aku tak pernah mengerti pola pikir orang dewasa. Walau bagaimanapun, celanaku mulai terasa sesak.
Aku bertahan seperti itu selama sekitar lima menitan. Kak Ikbal sudah mempercepat gerakan tangannya, dan aku bisa melihat sesuatu menetes dari ujung penisnya. Dia juga mulai mengeluarkan desah rendah tertahan dari mulutnya yang terbuka. Jingle iklan Mie Instan mengalun cukup kencang dari ruang tengah dan barang kali Kak Ikbal menganggap suara televisi itu cukup untuk meredam suaranya. Mungkin bakal berguna kalau aku masih di sana, sayangnya, sekarang aku ada di depan kamarnya.
Kak Ikbal makin liar. Sekarang dia melengkungkan punggungnya, dan gerakan tangannya sudah secepat Nimbuss 2000, aku bisa melihat ekspresi seperti dia sedang merasa kesakitan di wajahnya. Saat akhirnya dia tengadah dengan mulut terbuka lebar, aku melihat sesuatu akhirnya muncrat dari penisnya, jatuh dan mengotori lantai. Astaga! Dia orgasme!
Gimana sih reaksimu saat melihat gurumu sendiri sedang mastrubasi dan akhirnya orgasme? Secara sembunyi-sembunyi? Nggak tahu, ya tapi kalau aku jelas melongo dan mendadak ingin menendang sebuah perahu sampai terbalik.
Saat tetes terakhir orgasmenya jatuh ke lantai, perlahan, penisnya kembali melunak, tapi tangannya masih bergerak nyaman di sana. Dia sekarang menjilat bibirnya dengan mata terpejam nikmat. Ngapain coba dia ngelakuin itu?
Saat akhirnya penisnya benar-benar lemas, dia mengambil setumpuk tisu di meja samping tempat tidurnya, dan melap spermanya yang mengotori lantai. Sebelum aku hilang akal, buru-buru aku menyingkir ke ruang tengah lalu duduk sambil memeluk toples kue Kak Ikbal.
Sekarang ngerti, kan kenapa aku sampai mimpi ML sama Kak Ikbal? Makasih kalau kalian mau ketawa. Dan aku berjalan di antara kerumunan, sembunyi di balik tubuh siswa yang lebih besar, hanya untuk membisikan kepada kalian bagaimana persisnya mimpi basahku. Kukatakan sekali lagi, aku sedang menghindari Kak Ikbal dan David.
Sialnya, di depan kelasku, sudah nangkring David dengan gaya coolnya yang luar biasa. Aku merasakan sentakan kebencian saat ingat dia semalam menghabiskan waktu bersama Stela, lalu kebencian itu berubah menjadi debaran menyenangkan saat dia tersenyum padaku. Berikutnya, semua emosi yang mungkin aku rasakan saat di dekatnya melebur jadi satu. Potongan hatiku yang biasanya nari Hula saat bertemu David sedang muntah-muntah di toilet. Adakah yang bisa menjelaskan mengapa aku jadi selabil ini?
"Selamat pagi," dia menyapa duluan. Aku tersenyum, menggumankan 'selamat pagi' dan menyadari nada letih dalam suaraku. Sepertinya dia juga memperhatikan. Seketika senyumnya berubah jadi garis khawatir. "Kamu kenapa? Kok lesu gitu,"
"Nggak apa-apa," kataku, berusaha strong. Padahal sebenarnya aku ingin menangis jejeritan dan menjawab bahwa aku begini karena dia. "Aku tadi lupa sarapan,"
Dia menggelengkan kepalanya, kelihatan sedikit marah. "Kebiasaan," gumannya. Dia merogoh ke balik tas ranselnya. "Tadi pagi aku heran sendiri mengapa mendadak aku pengen bawa bekal, padahal aku udah sarapan," dia menunjukan sebuah kotak bekal berwarna calm padaku. "Kebetulan ternyata kamu belum sarapan. Jadi, ini buat kamu,"
"Eh?" kataku terkejut.
"Ambil," kata David. "Buat kamu,"
Setelah dipikir-pikir, nggak ada salahnya juga aku terima. Aku, kan memang belum sarapan. Aku bertanya-tanya, mungkinkah dia mencampur bekal ini dengan Sianida?
"Makasih," kataku sambil menerima kotak bekalnya.
"Sama-sama," dia tersenyum dan mengacak rambutku. Aku mendengar seseorang bersiul dari dalam kelas tapi tidak aku hiraukan. "Oh, iya, aku juga mau ngasih ini," dia merogoh tasnya lagi dan mengeluarkan sebatang coklat. Lagi? "Biar kamu nggak sedih lagi," aku menerimanya sambil tersenyum. Kalau saja ini adegan sinetron, mataku pasti berkaca-kaca sekarang.
"Sip deh!" katanya dan menutup kembali tasnya. "Aku duluan, ya," dia mengacak rambutku sekali lagi sebelum pergi menjauh. Tapi berhenti lagi seperti kelupaan sesuatu. "Nanti malem aku jemput jam tujuh," dan dengan satu lagi senyum charming-nya dia pergi.
Aku berbalik untuk melihat punggungnya sampai dia menghilang di koridor depan. Please! Jangan ada Kak Ikbal berdiri di belakangku!
Knpa dekan gak benci gtu sma david..pdhla kn dia udah tau misi david.....
Dekan sma kk ikbal aja ya . manisss...
@liezfujoshi soalnya dia msih labil hahaha