It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Apa karena itu mereka menatapku dengan pandangan yang gak bisa ku mengerti? Aku ini kenapa?
"Yas... YAS" aku tersentak saat Toni menguncang bahu ku.
"Jangan panik, kamu harus tenang. Oke?" ucap Toni lagi, aku menatapnya.
Toni menepuk wajahku lalu tersenyum. Ini pertama kalinya aku melihat Toni tersenyum. Dia menggandengku, aku mengikutinya. Dia membawaku kehalaman belakang asrama.
"Duduk disini" ucap Toni sambil menunjuk tempat disampingnya.
"Kamu suka disini?" tanyaku.
"Ya, jarang ada siswa yang datang ketempat ini"
"Karena itu kamu suka tempat ini?" ucapku, Toni menoleh kearahku.
"Bukan hanya tempat ini aja yang aku suka" katanya.
"Aku tau. Kamu juga suka Raiz" ucapku sambil menatap hamparan ilalang dihadapanku.
"Raiz yang bilang?" tanya Toni.
"Raiz juga bilang kalo dia memergoki mu mengiriminya surat kaleng"
Toni tergelak, suara tawanya membuatku terpana. Suara berat itu terdengar indah ditelingaku.
"Suara mu bagus. Bisa dipakai untuk memikat perempuan" ucapku.
"Benarkah?" bisik Toni tepat ditelingaku, hembusan nafasnya dileherku membuatku merinding. Jatungku berdetak nyaring.
"Ja... Jangan berbisik ditelingaku" kudorong Toni agar menjauh. Lagi-lagi tawanya berderai. Aku menatapnya sejenak. Dia terlihat senang hari ini.
"Ton, menurut cerita yang kudengar. Kamu ini cenayang, apa itu benar?" pertanyaanku membuat Toni menatapku.
"Kamu tau apa itu cenayang, Yas?" tanya Toni sambil memandang jauh kedepan.
"Yang ku tau, cenayang itu orang yang bisa berkomunikasi dengan mahluk halus, atau orang yang bisa melihat hal-hal yang gak bisa dijelaskan secara ilmiah" ucapku.
"Tapi aku gak bisa lihat setan, apalagi ngobrol dengan mereka" ucap Toni sambil menoleh ke arahku. Aku melongo mendengar jawaban Toni.
"Tapi cerita yang beredar gak gitu, bahkan kudengar kamu juga bisa mengutuk orang" ucapku serius
"Jadi kamu gak bisa mengutuk orang?" tanyaku. Toni menggeleng cepat.
"Aku sama sepertimu, Yas" ucap Toni.
"Trus kenapa kamu berpenampilan aneh begini" tanyaku lagi.
"Aku suka warna hitam, Yas"
"Karena itu kamu menghitamkan matamu?"
"Iya, bukankah aku jadi terlihat keren? Mataku jadi seperti gaara" ucap Toni percaya diri.
"Itu sama sekali gak keren. Kamu jadi kayak setan" ucapku.
"Benarkah?"
"Iya"
"Tapi Yas, aku suka gayaku ini"
"Gayamu itu cuma buat orang jadi takut"
"Trus aku harus gimana, Yas?"
"Bersihkan riasan diwajahmu itu"
"Tunggu disini, aku cuci muka dulu" usai mengucapkan itu Toni segera berlalu.
Aku menyandarkan tubuhku ke pohon dibelakangku. Sepi sekali disini, tapi udaranya lumayan sejuk. Mungkin karena itu Toni menyukai tempat ini.
"Yas...." dari kejauhan kulihat Toni berlari mendekatiku. Rambutnya bergerak ditiup angin.
Toni membungkuk mengatur nafasnya. Wajahnya jadi tampak segar, apalagi saat Toni menyibakan poninya keatas. Dia cakep.
"Apa aku terlihat keren sekarang?" tanya Toni kemudian.
"Banget"
"Sungguh? Apa kamu suka?" ucap Toni lagi.
"Iya, aku suka. Tapi coba lepaskan jaketmu" ucapku sambil menarik jaket Toni. Tapi dengan kasar Toni menepis tanganku.
Aku menatapnya bingung.
"Jangan lepas jaketku" Toni bicara sambil memalingkan wajahnya.
"Kenapa? Kamu akan lebih keren kalo gak pake jaket" ucapku lalu menarik kembali jaket Toni.
"Hentikan!!" bentak Toni sambil mendorongku kuat. Lalu entah karena apa tiba-tiba tubuhku penuh dengan api. Pakaianku terbakar.
Aku berteriak panik dan langsung berguling-guling ditanah. Aku merasa kulitku panas dan perih.
"DIAZ !!!" aku kenal suara itu, lalu tubuhku dipukul dengan sesuatu untuk memadamkan api yang membakar pakaianku. Kenapa aku bisa terbakar? Apa yang terjadi?
"Di, kamu gak apa-apa!?" Raiz memelukku cemas. Kulitku perih.
"Yas, maafkan aku..."
"Ayo Di, kita obati lukamu" ucap Raiz sambil memapahku.
"Yas, ku mohon maafkan aku" ucap Toni. Aku menatap Toni yang juga menatapku. Sebenarnya aku bingung dengan yang baru aja kualami tadi. Bagaimana manusia bisa mengeluarkan api? Kekuatan apa yang sebenarnya Toni miliki?
"Aku maafkan" ucapku mencoba tersenyum meski senyumku lebih mirip ringisan karena kulitku terasa perih.
"Ayo Di, abaikan aja dia" ucap Raiz, kulambaikan tanganku lalu pergi bersama Raiz.
"Ngapain sih kamu ngobrol sama dia ditempat sepi kayak gini. Cari penyakit" omel Raiz. Aku diam.
---
Dikamar asrama, aku mendapati orangtuaku sedang duduk. Mama langsung panik saat melihat kondisiku yang setengah hangus. Pakaianku bolong karena terbakar, kulitku melepuh dan berdarah. Sambil menangis mama mengobati luka-luka ku. Sementara Raiz mencoba menenangkan papa yang murka.
Beruntung mama bisa menenangkan papa. Setelah papa tenang, papa lalu menitipkanku pada Raiz. Mama memeluk ku sayang sebelum pulang. Papa hanya menepuk kepalaku, tampak sekali kalo papa sangat khawatir.
"Tante titip Diaz ya Raiz, kalo ada apa-apa lekas hubungi tante" pesan mama sambil memeluk ku.
"Iya tan, Raiz pasti jagain Diaz" jawab Raiz. Aku hanya menghela nafas, kadang aku merasa seperti anak kecil padahal aku sudah 17 tahun. Aku bahkan lebih tua setahun dari Raiz. Setelah orangtuaku pulang, aku merebahkan tubuhku ditempat tidur.
"Jangan ngelamun, Di" ucap Raiz yang sibuk dengan buku-buku dimeja belajarnya.
"Iz, kita punya tugas sekolah?" tanyaku.
"Punya, ayo aku bantu ngerjainnya" aku segera beranjak dari tempat tidur.
@boyszki kak boys, kangeeen
Kemudian mulai mengerjakan tugasku dibantu Raiz. Aku bukannya gak bisa mengerjakan tugasku. Hanya saja, akan butuh waktu lama buatku jika mengerjakannya sendiri.
Aku menyeka keringat dikeningku, ngerjain tugas sekolah rasanya kayak lari seratus putaran. Otak ku panas.
Aku menghela nafas lega setelah tugasku selesai. Raiz mengangkat dua jempolnya sambil tersenyum.
"Iz, waktu dirumah sakit kulihat papa sama mama ngobrol sama kamu. Ngobrolin apa?" tanyaku sambil meletakan kepalaku dimeja belajar.
"Ahh itu, om sama tante cuma bilang tolong jaga Diaz" jawab Raiz sambil membereskan peralatan belajarku. Lalu menyiapkan buku-buku pelajaran yang akan kubawa besok. Aku gak tau kenapa Raiz melakukan hal itu. Itu sudah berlangsung sejak aku kelas satu.
"Kenapa aku harus dijaga? Dan kenapa kamu repot-repot nyiapin semua itu?" aku menatap Raiz yang sejenak mematung.
"Gak ada apa-apa. Kamu gak usah mikir aneh-aneh Di"
"Tapi sikapmu ini justru bikin aku mikir, Iz"
"Sudah malam, tidur yuk" ucap Raiz.
"Di, aku janji sama om untuk diam"
"Kenapa?"
"Kita lupain aja ya, kita tidur aja sekarang. Kamu jugakan harus istirahat, Di" ucap Raiz lalu menarik ku ketempat tidur.
"Aku sakit apa, Iz?"
"Kamu gak sakit, Di"
"Kamu bohong" Raiz lagi-lagi menghela nafas.
"Kemarilah, duduk didekatku" ucap Raiz, aku menuruti permintaannya. Duduk menyamping, menekuk sebelah kaki ku agar langsung menghadap Raiz.
"Jadi, aku sakit apa?" tanyaku.
"Kamu tau penyakit alzhaimer, Di?"
"Penyakit apa itu?"
"Penyakit yang ditandai dengan melemahnya daya ingat. Biasanya diderita orang yang sudah tua tapi orang muda juga bisa mengidap penyakit ini meskipun jarang" jelas Raiz sambil menatapku.
"Jadi maksudmu aku sakit alzhaimer?" tanyaku.
"Baru gejala, masih bisa disembuhkan dengan terapi" Raiz menatapku khawatir. Jadi aku benar-benar pikun lebih cepat. Oh ya ampun, pantas aja selama ini aku sering lupa.
Jadi ini arti dari jawaban mama. Kalo lupa boleh tanya, ck.
"Aku pasti akan semakin sering menyusahkan mu, Iz" ucapku lesu. Raiz merengkuh tubuhku dalam pelukannya.
"Aku senang bisa bantu kamu, Di" ucap Raiz seraya mendekapku lebih erat. Semoga aja Iz, batinku. Semoga Raiz gak bosan melakukan semuanya.
Aku gak bisa tidur, kamarku terasa panas meskipun pendingin ruangan menyala. Raiz sudah sangat pulas ditempat tidurnya.
Aku melangkah keluar kamar, koridor asrama tampak sepi. Udara malam terasa dingin. Aku duduk dilantai, menghadap ketaman buatan yang ada di sisi kiri kanan koridor.
Taman ini kalo siang hari terlihat indah, tapi kalo malam begini keindahannya jadi gak tampak. Aku menolehkan kepalaku saat kulihat bayangan seseorang berkelebat dari arah samping kananku. Apa ya?
"Siapa disana?" tanyaku, tapi sepi gak ada sahutan. Mungkin perasaanku aja.
"Raiz?! ngagetin aja!"
"Kenapa gak tidur, Di?" tanya Raiz lalu duduk disebelahku.
"Dikamar panas, aku gak bisa tidur" jawabku.
"Tapi kalo duduk disini nanti kamu masuk angin, Di"
"Sebentar aja Iz. Kurasa, aku lagi banyak pikiran sekarang makanya gak bisa tidur" Rais menyandarkan kepalanya ke bahu ku. Menautkan jarinya ke jemariku.
"Apa yang kamu pikirin, Di?"
"Banyak"
"Mau cerita?" ucap Raiz sambil mengecup leherku, aku menggeliat geli lalu mendorongnya.
"Geli" ucapku, Raiz tertawa. Lalu kembali menempel padaku seperti posisinya semula.
"Jadi apa yang kamu pikirin, Di?" tanya Raiz lagi.
"Banyak" jawabku.
"Seberapa banyak?"
"Banyak sekali, aku sampe gak tau mau mengingat yang mana dulu" ucapku.
"Cukup ingat aku aja" Raiz meraih wajahku untuk menatapnya.
"Kenapa gitu?" tanyaku.
"Karena aku adalah ingatan mu, Di" jawab Raiz seraya mengusap pipiku. Aku nyengir mendengar ucapan Raiz.
"Jijik" ucapku kemudian, Raiz manyun.
SREKK SREEK BRUGH
Aku berpadangan dengan Raiz saat kami dengar suara benda yang tampaknya berat jatuh gak jauh dari tempat kami duduk.
"Siapa disana?" tanya Raiz, lalu gak lama sosok Toni muncul dari keremangan malam. Dia basah kuyup.
"Toni??" ucapku sambil berdiri. Toni lalu menatapku sebelum akhirnya dia memeluk ku.
"Maafin aku, Yas. Tolong jangan membenci apalagi menjauhiku" ucap Toni setengah terisak.
"Lepasin Diaz, lepas!!" bentak Raiz lalu mendorong kuat Toni hingga jatuh tersungkur ke lantai.
Toni tampak sangat marah, lalu mengankat tangan kanannya dan BLAAR!! Tubuh Raiz terbakar.
Aku berteriak panik, lalu menabrakan diri ketubuh Raiz. Kami bergulingan dilantai, tapi api yang membakar tubuh Raiz gak kunjung padam.
"Jangan... Jangan sakiti Raiz, kumohon" aku menangis sambil memeluk Raiz yang sudah terkulai gak berdaya. Lalu entah seperti apa, api itu padam.