It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Seseorang dokter keluar dari ruang IGD. Wajahnya nampak terbebani. Dia menatap seorang ibu yang tengah di dekap oleh anak laki-lakinya. Sedangkan anak perempuannya yang masih TK mencoba mengintip ke dalam ruangan dengan rasa penasaran.
Dokter itu berdeham satu kali sebelum kata yang akan menghancurkan harapan terakhir mereka keluar dari bibirnya.
"Saya minta maaf, saya sudah berusaha dengan sebaik-baiknya tapi..." belum selesai dokter itu berbicara, sang wanita setengah baya itu menangis dengan histeris.
Beberapa suster langsung cepat tanggap untuk menenangkan. Begitu juga dengan sang dokter. Anak lelakinya hanya bisa berdiam diri. Dia berdiri mematung dengan menutup bibirnya. Walaupun belum melihat apa yang terjadi di dalam ruangan itu tapi firasatnya sangat tepat. Tubuhnya bergetar.
"Mas, kok Ayah ditutupin selimut sampai wajah? Nggak bisa nafas dong nanti," celotehan sang malaikat kecil itu mampu membuat turun setetes air mata yang mati-matian dia tahan sejak tadi.
Buru-buru dia menghapus jejak air mata itu. Dia mencoba tersenyum pada adiknya yang imut itu. Adik yang begitu cantik. Dengan rambut berwarna hitam kelam, kulit yang putih cerah, wajah yang imut dengan kedua mata yang bulat lucu.
"Mas Ervan kok nangis? Sakit ya? Ada yang sakit? Dimana? Ayah sudah sakit jadi mas Ervan nggak boleh sakit."
Ervan hampir tidak bisa mengontrol dirinya. Dia berjongkok di depan adiknya. Mengacak-acak rambut adiknya yang panjang.
"Mas nggak sakit. Cuma sedikit capek."
Dengan susah payah dia mencoba tersenyum.
"Bunda kenapa? Nangis gitu. Cengeng banget."
Mau tidak mau Ervan tersenyum kecut. Di lihatnya Bunda tercintanya masih menangis di pelukan salah satu saudara yang baru datang ketempat itu. Beberapa saudara dari pihak ayahnya nampak sudah berjubel di ruangan tempat ayahnya dirawat. Sebagian lagi langsung mengurus surat untuk pengambilan jenazah.
"Van, sabar ya," seorang cewek mendekati Ervan.
Dia memeluk cowok itu. Dewi, sepupunya itu menatap sedih pada Ervan.
"Wi, Ayahku Wi...." desis Ervan dengan suara seraknya.
Air mata kembali menetes.
"Ayahku Wi...Ayahku meninggal. Aku nggak punya Ayah lagi," suaranya kecil, "aku nggak punya....ayah lagi."
Sebisa mungkin dia tidak ingin adiknya mendengar kata-katanya.
Ibunya Dewi yang mengerti situasi langsung membawa Lena keluar dari tempat itu. Begitu sosok adiknya tak terlihat, Ervan langsung terduduk lemas dalam pelukan Dewi. Dia menangis.
"Ayahkuuuu...Ayahkuuuu...Ayaaaahh...Ayaaahhh...Ayaaaaahh...."
Dewi tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya bisa memeluk saudaranya itu dengan erat. Mencoba memberi penghiburan lewat pelukannya.
- Dion Adimas Jadmoko menutup usia di umur 46 tahun karena serangan jantung, meninggalkan satu istri dan dua anak -
*****
Meja makan yang indah itu menyajikan beberapa menu makan malam yang sangat menggiurkan. Di antaranya ada sup asparagus, sapi lada hitam, nasi goreng spesial dengan telur mata sapi dan lain sebagainya. Tanggal 5 Januari, ulah tahun sang kepala rumah tangga. Yanuar Brahma Irawan yang ke 49 tahun.
"Ru," suara berat yang khas itu terdengar, "kalau lagi makan jangan mainan hp."
Sebuah perintah mutlak. Mengabaikan akan berakibat fatal. Orang yang ditegurpun dengan malas menjauhkan tangannya dari hp kesayangan.
Sebuah suara terdengar lagi, kali ini sebuah suara gesekan dari kursi dan lantai yang beradu.
"Mau kemana? Makananmu belum habis," kali ini yang ditegur adalah istrinya sendiri.
"Aku ada janji sama temen."
"Malam-malam gini mau keluar. Mau kemana mami? Mami nggak lihat jam?! Ini sudah malam," suara amarah yang ditahan terdengar jelas.
"Mami ada janji sama temen mami. Mau bahas arisan buat besok," dengan cuek bebek sang wanita menjawab.
"Bahas arisan kan bisa lewat telfon. Kenapa harus keluar segala?"
Wanita itu menghela nafas. Menatap tajam pada suami.
"Mami aja nggak pernah ngurusin Papi mau keluar kemana, keluar jam berapa. Terus kenapa Papi ngurusin Ma...."
Braaaaaakkkk....!!!
Pukulan di atas meja membuat Erru menghela nafas sambil meletakkan sendoknya. Nafsu makannya hilang seketika.
"Terusin saja sikap Mami yang kayak gitu. TERUSIN AJA!! KAYAK NGGAK PUNYA MALU. KELUAR MALAM-MALAM."
"OOOO....TERUS PAPI SENDIRI GIMANA? KELUAR SAMA SEKRETARIS MU KEMARIN MALAM, MAKAN DI TEMPAT KOH GIN. NGGAK PUNYA MALU KALIAN."
"KALAU MAMI NGGAK TAHU APA-APA MENDINGAN DIAM!!! JANGAN BERLAGAK SOK TAHU!!!"
"BUKANNYA SOK TAHU. TAPI KENYATAAN. PAPI SELINGKUH SAMA WANITA JA*ANG ITU."
Dan pertengkaran yang selalu terulang setiap hari itupun kini berlanjut. Erru, anak kedua dari dua bersaudara kembar itupun mengambil hp nya dan berjalan pergi. Dia menaiki anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Langkahnya terhenti saat melihat kakak kembarnya yang bertopang dagu pada besi pembatas sambil melihat ke bawah, ke meja makan. Bibirnya nampak tersenyum.
"Ngapain cengar-cengir gitu?" tegur Erru eneg melihat tingkah Erry, kembarannya.
"Lucu aja. Ada drama di rumah ini," sahut Erry tanpa menatap Erru.
Erru langsung masuk kedalam kamarnya sambil menghela nafas. Dia menghampiri komputer kuno kesayangannya lalu menyalakan musik sekeras-kerasnya hingga pertengkaran itu tak terdengar oleh telinganya.
Bunyi bel pulang berbunyi. Sorak sorai gembira temen-temen sekelasku terdengar keras. Suara keras kami berlomba dengan suara teriakan dari beberapa kelas lainnya. Nggak ada yang bisa ngalahin power dari sebuah bel sekolah. Bel istirahat dan pulang tentunya. Jangan kira bel masuk bisa membuat kami bahagia. Itu bisa membuat kami sengsara. Apalagi jika pintu gerbang tertutup sebelum kami bisa melewatinya. Itu...wow...jangan pernah di bayangkan. Karena aku juga nggak mau membayangkannya. Aku pernah mengalaminya sekali dan itu membuatku trauma.
"Uugghhhh...." aku meluruskan pinggangku yang terasa kaku.
Memutar tubuhku ke kiri dan ke kanan. Bunyinya seperti tulang patah.
"Van, nongkrong yuk," Vivie menghampiriku dengan Septi yang sibuk dengan hp nya.
"Kemana?" tanyaku sambil menyandarkan punggungku.
"Kemana aja. Asal ketempat yang asyik. Atau...kita main ke rumahmu aja," Septi langsung menyenggol lengan Vivie, "apaan si..."
Aku terkekeh. Aku tahu maksud Septi menyenggol Vivie. Keadaan rumahku mungkin belum stabil, atau...bisa dibilang nggak akan pernah stabil setelah ayah meninggal. Rumahku kini berbeda. Sangat berbeda. Aku seperti ada di rumah orang lain saat aku ada di dalamnya. Seperti...
"Mungkin nggak bisa sekarang deh. Soalnya aku mau jemput adikku."
"Yaaaaahhhh...." Vivie nampak kecewa.
"Nggak apa-apa. Nyantai aja lagi," yah...setidaknya Septi bisa mengerti.
Jam di dinding sudah menunjukkan jam 12.34. Adikku pulang jam 10 pagi.
"Yup...aku balik dulu," aku langsung menyambar tasku, "nanti malem aja aku ke rumahmu."
"Kerumahku atau ke rumahnya Septi??"
"Ngapain kerumahku?" Septi menatapku.
"Atau kerumahku?" Vivie menunjuk dirinya sendiri.
"Y...ya kerumah siapa kek. Yang penting nanti aku kabarin lagi."
Mereka ini bikin bingung aja.
"Udah ya...aku balik...baliiiikkk...."
Aku langsung berjalan dengan cepat. Bisa gawat kalau aku terlalu lama menjemput Lena. Sudah beberapa bulan ini aku minta tolong guru kelasnya untuk menjaganya sampai aku menjemput anak itu.
Brruuugghh....
"Aaaahhhhhh....."
!!!
Refleks aku menahan tangan orang yang baru saja menabrakku agar tidak jatuh terjerembab.
Bruukk...plukkk...baamm...
"Weeww..." aku melihat tumpukan buku yang berserakan di lantai.
"Aaahh...sorry-sorry ibu nggak liat tadi."
Anna nampak terkejut saat melihat siapa orang yang ditabraknya tadi.
"Ervan..."
Aku memberikan senyum terbaikku.
Lucky....
Anna mencoba mengambil buku-buku yang berserakan.
"Anna...."
"Panggil aku ibu saat di sekolah," potong Anna sebelum aku menyelesaikan kata-kataku.
"Ah...mm...sorry."
Aku membantunya memunguti buku yang berjatuhan tadi.
Tangan Anna terulur padaku untuk mengambil buku yang aku pegang.
"An...mmm bu, ada waktu nanti malem atau...."
Belum juga aku menyelesaikan kata-kataku kali ini hp ku yang berbunyi.
"Sebentar bu," aku melihat hpku.
Aahh...nomor asing.
"Hallo..."
'Mas Ervan, ini bu Siska. Si Lena kapan di jemput ya?'
Astaga...aku hampir lupa.
"Ah...iya-iya. Maaf bu. Saya baru pulang ini."
'Oh iya nggak apa-apa mas. Aku tunggu. Lagian Lenanya tidur di UKS setelah makan. Mungkin kecapean bermain waktu istirahat.'
Aku terkekeh.
"Maaf ya bu, ini saya mau kesana."
'Iya mas saya tunggu.'
Sambungan telfon kamipun terputus. Aku kembali memasukkan hpku ke dalam saku.
"Siapa?" tanya Anna.
"Gurunya Lena," sahutku.
Entah itu imajinasiku atau bukan, wajahnya nampak lega. Itu sudah bisa membuatku menarik dua tepi bibirku.
"Aku...jemput Lena dulu."
"Ah...iya."
Dengan berat hati aku kembali melangkah. Kali ini aku sedikit berlari. Sesekali melihat jam yang ada di kelas-kelas yang aku lewati.
Sepertinya aku memang bukan kakak yang baik. Di saat harus menjemput adik, aku malah terpana dengan kecantikan Anna. Guru BP di sekolahku ini. Aku dan Anna bertemu saat aku baru kehilangan Ayahku. Anna adalah guru muda di sini. Guru dengan paras cantik yang menawan. Mungkin aku terdengar kurang ajar, baru kehilangan sosok Ayah tapi aku sudah tergila-gila dengan seorang guru muda yang cantik. Anna memberiku saran dan berbagai nasehat. Seperti yang di harapkan dari seorang guru yang bisa memberi rasa nyaman pada muridnya. Bedanya, rasa nyaman yang aku rasakan ini terlalu menanjak tajam dan berakhir dengan sebuah kata 'love.'
Hubungan kami ini rumit. Jika aku menyebut kami berpacaran, jelas itu tidak benar. Tapi jika aku menyebut kami cuma teman juga itu tidak benar. Hubungan kami lebih ke arah TTM. Teman Tapi Mesra. Atau mungkin ada istilah lain yang mungkin lebih gaul?
"Hahahaha....hahahahahahaha....."
...
...
...
"Wakakakakaka...aaahhhhahahaha...bego-bego hahahaha...."
Film yang aku sukai sejak dulu itu film kucing dan tikus. Pasti semua orang tau film apa itu. Kucing yang punya tubuh lebih besar dari sang tikus bisa di bego-begoin sama tikus yang kecil.
Sudah sejak lama aku mengoleksi film itu. Dulu aku beli CD nya saat masih kecil. Sebagian lagi aku download saat sudah mengenal namanya internet.
Perhatianku terganggu saat si cowok muram, siapa lagi kalau bukan Erru, yang berjalan di depanku. Aku langsung menendang pantatnya yang menutupi pandangan.
Dia berdecak kesal menatapku.
"Ngapain sih? Ganggu aja," protesku.
Seperti biasa dia hanya diam dan hanya mengobrak-abrik barang-barang di atas meja. Isinya cuma cemilan dan minuman kalengku.
Kayaknya dia sedang mencari sesuatu. Karena setelah gagal di atas meja, kini dia beralih pada sofa.
"Nyari apaan sih??" aku jadi penasaran.
"Kacamata," sahutnya tanpa menatapku dan masih sibuk dengan pencariannya.
Aku menghela nafas sambil terkekeh. Tanganku langsung menarik lengannya sampai tubuhnya berputar menghadapku.
Rambutnya kok bisa berantakan kayak gini? Dia habis ngapain sih?
Aku mengambil sesuatu yang nangkring di atas kepalanya.
"Ah...!!" sepertinya dia baru ingat kalau dia meletakkan kacamata di atas kepalanya.
"Bego banget," aku menoyor kepalanya dan dia mengumpat, "santaaaaiiii brooooo!!"
Kini dia berjalan menuju dispenser, sedangkan aku kembali mencoba menikmati tontonanku.
Aku dan Erru saudara kembar. Aku kakaknya karena aku lahir beberapa detik sebelum dia. Tapi saat kecil, dia mati-matian menolak menjadi adikku. Dan berlagak layaknya seorang kakak. Ya...itu waktu kami masih kecil. Sekarang sudah berbeda. Dulu kami selalu bermain bersama. Kemana-mana selalu berdua. Tapi sekarang sudah nggak lagi. Boro-boro main bersama, saling bertegur sapa saja bisa dihitung dengan jari. Terkadang sehari dua hari kami nggak bicara. Padahal kami tinggal serumah.
Mami dan Papi sayang banget sama doi. Denganku? Jangan harap. Dimata mereka aku ini anak kurang ajar pembawa masalah. Beda banget sama Erru yang pendiam. Erru juga lebih penurut dibandingkan denganku. Papi pernah memukulku karena aku mengumpat didepannya karena suatu masalah. Aaaahh....mungkin memang aku anak kurang ajar.
Akhir-akhir ini Erru jadi doyan minum air. Padahal dulu kalau di suruh minum banyak alasan. Tapi sekarang sekali minum dua gelas.
Hpku yang ada di atas meja bergetar. Aku lihat si Rudi telfon.
"Apa Rud?" tanyaku tanpa basa basi setelah menerima panggilannya.
'Besok masuk nggak? Tadi kamu nggak masuk si Ajeng nanyain terus. Dia juga minta nomer hpmu mulu. Risih tau nggak aku.'
Aku terkekeh sambil meletakkan kedua kakiku di atas meja.
"Jangan di kasih ya! Aku baru beli nomer perdana masa harus ganti lagi?!"
'Itu salahmu. Ngapain sih sok deket sama dia. Sekarang dia jadi suka sama kamu tapi kamunya malah....'
"Nah...aku kan iseng. Salah sendiri dia naksir aku."
'Kamu ini seneng banget ya mainin hatinya cewek.'
"Hahahahahahaha....jadi gitu ya aku di matamu? Sedih hati ini jadinya."
'Lebay. Udah, aku mau balik dulu.'
Reflesk aku melihat jam. Sudah hampir jam dua siang.
"Yoi..." sahutku sebelum dia memutuskan sambungan telfon.
Si Erru sudah nggak ada. Mungkin dia balik ke kamarnya. Anak itu suka banget ngabisin waktunya di kamar. Entah apa yang dia lakuin. Aku juga nggak mau tahu.
...
...
Bukan urusanku.
Dikamar yang berukuran 4x5 nampak Erru sedang mencoba untuk tidur. Sejak tadi matanya tak bisa ia pejamkan. Suara-suara di lantai satu membuatnya tersadar penuh. Seperti suara pertengkaran yang di tahan supaya tidak bergema di malam hari. Kalau orang lain yang tidur di kamar Erru pasti akan mengira itu suara makhluk gaib. Apalagi dengan kamar Erru yang penuh barang antik. Maklum, kamar yang di tempati Erru ini adalah kamar bekas kakeknya dulu. Barang milik kakeknya masih menghiasi kamar itu dengan sempurna. Seperti jam burung hantu, atau tv kecil yang masih hitam putih, radio dengan antena alien, belum lagi meja, kursi dan lemari yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran-ukiran di di berbagai sisinya. Suasana mistis terasa cukup kental di kamar itu. Si Putri, asisten rumah tangga saja tidak berani masuk kekamar itu jika sudah menjelang sore. Dia terpaksa masuk ke kamar itu jika disuruh membersihkannya.
Tapi sebenarnya tidak ada apa-apa di kamar Erru. Tidak ada sesuatu hal yang ganjil. Tidak ada sesuatu yang menakutkan. Semua itu hanya pemikiran orang-orang saja kalau kamar Erru angker. Dan suara-suara yang terdengar adalah suara orang tua Erru yang bertengkar. Selalu seperti itu. Saat bertemu, mereka tidak pernah akur. Satu kata yang keluar dari bibir mereka selalu berakhir dengan pertengkaran.
Erru mencoba untuk mencari gelasnya. Kosong. Tak ada air di dalamnya.
Anak itu menghela nafas. Dengan berat hati dia meninggalkan tempat tidurnya. Berjalan keluar kamar untuk mengisi ulang gelas besarnya. Suara pertengkaran semakin jelas terdengar. Sudah menjadi hal biasa di rumah ini. Tapi saat kata 'Cerai' keluar dari bibir sang nyonya. Erru membatu. Sosoknya tertutup oleh lemari makan yang ada di sisi tangga.
"AKU MAU CERAI. AKU UDAH NGGAK BISA KAYAK GINI TERUS."
"KENAPA PIKIRANMU SELALU NEGATIV?? PAPI NGGAK PERNAH SELINGKUH. PAPI INI...."
Kata-kata tuan rumah tertahan. Air matanya mengalir. Kini sang tuan rumah jatuh terduduk di sofa.
"Kalau Mami mau cerai. Oke....oke....papi kabulin. Kita cerai."
Erru masih terdiam. Tak ada ekspresi spesial yang terlihat dari wajahnya. Ekspresi datar tanpa emosi.
Anak itu mengurungkan niatnya untuk mengambil air. Dia kembali berjalan menyusuri anak tangga. Saat sampai di anak tangga paling atas, dia melihat ke bawah. Maminya sudah tidak ada. Hanya ada Papinya yang duduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
Erru berjalan masuk ke dalam kamarnya. Menutupnya dengan sangat perlahan. Lalu dia berjalan menuju meja belajarnya. Membuka laci. Begitu banyak botol-botol obat. Banyak di antaranya hanyalah botol kosong. Dia melempar-lempar botol kosong itu ke lantai. Mencoba mencari yang masih berisi. Dan dia menemukannya. Dia langsung membuka botol itu. Beberapa butir obat terjatuh. Dia memasukkan satu butir obat dalam mulutnya. Menggigitnya hingga hancur. Lalu dia kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Pahit..." desisnya.
Obat itu sukses dia telan begitu saja.
Di sebelah kamar Erru adalah kamar Erry. Anak itu nampak berdiri bersandar di balik pintu kamarnya yang tertutup sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Wajahnya sama seperti wajah Erru tadi. Datar, tak ada ekspresi. Nampaknya dia juga mendengar pertengkaran kedua orang tuanya.
Kini dia melangkahkan kakinya menuju tempat tidur.
"Cerai ya...?" desisnya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, "udahku duga sih. Pasti cerai. Kalau nggak cerai malah....aneh."
~ Ervan ~
Lena semakin hari semakin susah di atur. Pagi ini kami harus main kejar-kejaran karena dia nggak mau mandi. Padahal aku nggak mau sampai telat masuk sekolah.
"Lenaaaa...." panggilku kesekian kalinya, "aaahh...anak nakal."
Aku mengintip kekolong meja. Nggak ada.
"Ayo mandi...ayoooo...nanti mas Ervan telat ke sekolah lo. Kamu juga bisa telaat."
Aduh sudah jam 05.31
"LENAAA!!! SERIUS INI MAS BISA TELAT KALAU KAYAK GINI," kali ini aku berteriak.
"Apa sih Van kok teriak-teriak??"
Aku menengok ke sumber suara.
"Lho...te, kok kesini pagi-pagi??" tante Lidia sudah ada di belakangku.
Dia ibunya Dewi.
Yang jadi pertanyaanku, ngapain dia ke sini pagi-pagi? Memangnya nggak kerja?
"Bundamu dimana?"
"Dapur," sahutku.
"Oooohh..." setelah itu dia berjalan menuju dapur.
"Lenaaaaaa!!! Serius nanti mas Ervan marah lo ya. Kalau marah nanti nggak ada uang jajan."
Tiba-tiba dia muncul dari kamar ayah dan langsung berlari keluar. Tapi dengan sigap aku langsung menangkapnya. Menggendongnya dan langsung membawanya kekamar mandi.
"Aku nggak mau mandiiii," rengek Lena.
"Kenapa nggak mau? Badanmu bisa bau tau."
Aku mencoba melepaskan bajunya. Susah juga kalau dia bergerak seliar ini.
"Aku nggak mau mandi. Yulis aja nggak pernah mandi. Badannya nggak baauuu."
"Hooo tau darimana kamu kalau badannya Yulis nggak bau? Pasti bau. Terus malemnya gatel-gatel tuh badan. Mau badanmu gatel-gatel? Terus bentol-bentol??"
"Nggak mau. Tapi..aaaaaaaaaaaa."
Aku terkekeh melihat dia berteriak saat aku mengguyurnya dengan air. Dia mendekap kakiku sampai membuat setengah bajuku basah kuyup.
"Aduuuhh Lenaaaa. Kamu ini sudah besar. Yang nurut dong!!"
"Nggak mau mandiii. Nggak mau mandi. Aku nggak mau sekolaaaaaah...aaaaaaaa.....dingin."
"Nggak dingin. Ini pake air anget."
Akhirnya tugas memandikannya selesai biarpun harus dengan sedikit susah payah. Setelah memakaikannya baju giliran aku yang mandi. Nggak baik juga kalau mandi sama Lena. Anak sekecil itu masa harus tau tentang belalai gajah kakaknya hahahahahaha....
Aku berjalan menuju kamarku untuk memakai seragam. Yang aku pakai sekarang ini cuma kolor sama handuk yang melingkar di leher. Lena masih di kamar. Dia pasti sibuk dandan. Beberapa hari yang lalu dia minta dibelikan make up, tapi cuma aku belikan bedak sama handbody. Awalnya aku was-was, gimana kalau handbodynya sampai ditelan. Tapi kayaknya dia bakat jadi cewek centil deh. Dia langsung tau semua kegunaannya.
"...tapi mbak, coba mbak pikir lagi."
Kakiku berhenti di depan pintu dapur. Melihat bunda dengan wajahnya yang selalu muram itu sangat membuatku sedih.
Aku harap kedatangan tante bisa membuatnya kembali ceria.
"Aku nggak bisa. Itu nggak mungkin."
"Tapi kalau kayak gini juga...kasian Lena. Dia masih kecil. Sebentar lagi dia mau masuk SD sedangkan Ervan...dia mau naik kelas."
"Aku nggak mau. Aku bisa urus semuanya sendiri. Aku bisa kerja."
"Mbak kalau kerja pasti cepet bosen. Karena aku tahu kalau mbak nggak bisa ikut orang. Nggak bisa ada dibawah tekanan."
"Itu...aku..."
Ada apa sih?
Aku jadi penasaran karena obrolan mereka terdengar serius.
"Mbak, mbak harus nikah lagi. Cuma itu...jalan keluarnya."
!!!
Huh?
Huh??
Huh??? Nikah? Bunda? Bunda nikah?
nb..nah lanjutanx nnti lg. msh kerja soalx
Sudah sebulan sejak perceraian tuan rumah dengan sang nyonya. Kini rumah yang biasanya ramai oleh pertengkaran menjadi sepi. Bahkan bisa dibilang sangat sepi. Tak ada tegur sapa. Semua sibuk dengan kegiatan mereka sendiri-sendiri. Tak ada komunikasi yang terjalin. Mereka hanya bicara pada Putri dan pak Yoyok yang menjaga rumah. Itupun kalau terdesak. Makanpun tidak pernah satu meja. Erru selalu makan sendirian di meja makan, Erry lebih suka makan di luar, begitu juga dengan kepala rumah tangga yang menghabiskan hampir semua harinya di kantor.
Baru kali ini mereka makan di meja yang sama. Karena pagi tadi pak Yanuar meminta anak-anaknya berkumpul di meja makan saat makan malam. Tak ada percakapan yang terjadi. Yang terdengar hanya suara samar sendok dan garpu yang beradu dengan piring.
"Gimana sekolah kalian?"
Erru yang mendengar pertanyaan Papinya terdiam sejenak sebelum memasukkan satu sendok nasi kedalam mulut. Sedangkan Erry hanya menarik salah satu sudut bibirnya jengah.
"Baik," sahut Erru.
"Nggak ada masalah," kali ini Erry yang menjawab.
Pak Yanuar mengangguk-angguk. Ada jeda sesaat sebelum dia kembali memecahkan keheningan.
"Papi...mau menikah lagi," katanya pelan.
Kali ini Erru benar-benar menghentikan acara makannya.
"Sama?" Erry menatap Papinya.
"Kakaknya sekretaris papi."
"Ooh..." Erry menggapinya dengan ogah-ogahan, "bagus dong."
"Dia...juga istri mendiang teman baik papi."
Erru kembali menyuapkan nasi pada mulutnya.
"Kami sudah lama kenal, jadi...gimana menurut kalian?"
"Kenapa tanya kami? Bukannya pendapat kami nggak punya pengaruh apa-apa? Saat papi mami cerai juga nggak tanya pendapat kami kan?! Jadi kalau papi mau nikah lagi ya...silahkan saja."
Pak Yanuar menghela nafas.
"Iya papi memang salah. Tapi itu semua demi kalian...."
"Itukan menurut papi," potong Erry sambil meninggalkan meja makan.
"ERRY!!!"
Panggilan pak Yanuar tidak di dengar. Anak itu terus saja berjalan menuju kamarnya.
"Anak itu...dasar. Kelakuannya mirip banget sama maminya."
Erru masih terdiam.
"Apa dia wanita yang papi sukai?" kini Erru yang membuka suara.
Dia berusaha menatap kedua mata papinya biarpun terasa berat.
Yanuar mengalihkan pandangannya dari tatapan menuntut anaknya.
"Bukan. Papi cuma mau membantunya. Dulu suaminya, teman itu papi banyak membantu papi. Nggak ada dia nggak seru, mungkin bisa dibilang gitu. Dia punya dua anak. Anak pertama seusia kalian. Pasti berat menanggung semuanya seorang diri."
"Jadi papi cuma kasian sama istrinya?"
"Papi nggak bisa menyangkal."
"Kalau dia memang pilihan terbaik papi, aku nggak ada masalah kok," kata Erru sebelum menegak air mineral, "aku ke atas dulu. Mau ngerjain PR."
"..."
~ Ervan ~
Air mataku rasanya nggak mau berhenti. Aku terus menangis dipelukan Vivie.
"Yaelah anak segede ini masih nangis. Malu kali diliatin orang."
"Habisnya...rasanya...berat ngelepasin bunda buat pria lain," aku semakin mendekap erat teman cewekku itu, "mungkin kayak gini kali rasanya melepas anak yang mau nikah."
"Dia ibumu bukan anakmu," Septi menampol kepalaku dari belakang.
Kini aku menatap bunda yang sudah selesai memberi kata sambutan.
Bundaku cantik.
Acaranya nggak macam-macam. Cuma dihadiri kerabat dekat saja. Nggak ada acara mewah yang besar-besaran biarpun ayah baruku orang punya. Setidaknya dia kaya. Aku dengar dari bunda, dia punya usaha, pabrik minuman sama apa gitu.
Sebenarnya air mataku nggak sampai keluar lebay, cuma rasa sesak didada ini bikin aku nggak kuat. Nggak rela aja lihat bunda bersanding dengan pria lain selain ayah. Toh kematian ayah belum lama berlalu. Kesannya orang lain pada bunda pasti jelek. Aku sudah bilang ke bunda tentang semua itu. Tapi kata-kata tante bikin bunda setuju buat menikah. Lagipula aku nggak mungkin bisa melarang bunda cuma karena aku nggak bisa menerima pria lain sebagai ayahku. Aku tahu posisi bunda. Aku nggak bisa egois. Aku harus lihat juga keadaan Lena. Lena butuh sosok ayah. Lena butuh pelindung dari seorang ayah. Aku memang laki-laki tapi aku bukan ayah. Sosok ayah nggak mungkin bisa aku gantikan. Mungkin orang itu juga nggak bisa menggantikan sosok ayah. Ya...memang nggak bisa. Karena dia cuma orang luar.
"Bukannya ayah barumu punya dua anak? Kok aku nggak liat mereka sih?!"
Ah...iya...kata tante ayah baruku ini punya dua anak. Tapi daritadi aku nggak lihat sosok mereka.
"Masa nggak dateng?" Septi mencoba mencari dua anak seumuran kami, "cowok-cowok kan? Itu bukan?"
Aku menggeleng.
"Kayaknya nggak dateng deh. Kalau yang itu anaknya tante yang disana. Kalau satunya itu sepupuku."
"Ooohh..." Septi manggut-manggut, "kurang ajar bener mereka. Ayahnya nikah, mereka nggak dateng.
Mungkin mereka nggak salah-salah amat. Sedikit banyak aku tahu apa yang mereka rasakan. Mungkin mereka nggak rela kalau ayahnya menikah lagi padahal baru bercerai.
Aku menghela nafas sambil meremas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
Jam tangan peninggalan ayah.
"Aku harap...ini yang terbaik."
"Ry, bukannya sekarang papimu nikah??" tanya Anton saat kami sedang menghabiskan waktu di rumahnya.
"Iya emang," sahutku santai yang masih menatap layar laptop di depanku, "yang serius dong mainnya!!"
Anton yang hampir kalah karena mengajakku ngobrol langsung mencoba fokus.
"Gila ya kamu? Papimu nikah ngapain kamu ke sini? Main game lagi," kali ini Rudi yang buka suara.
"Terus aku harus ngapain? Heh!!! Fokus!!! Fokus!! Aahh bego Anton. Mereka pake doping tuh. Ah...aaaaaahh sial aaahh brengsek. Jelas kalah kita. Mana sih anggota guild yang lain? Kok nggak online?! Udah tau kalau jam segini war. Beli doping dong Ton!!"
"Mana sih mana?" Cahyo mendekatiku dari belakang.
Dia terkekeh.
"Aku nggak punya diamond cuy. Kan kapan hari aku pake buat upgrade armor."
Aku mengumpat pelan.
"Mana doping mahal. Diamond habis," dengusku kesal.
"Eh serius Ry, papimu nikah ngapain kamu ada di sini? Harusnya kamu ada di sana. Nemenin papimu."
Usil banget sih si Rudi.
"Ya biar aja lah papi nikah. Yang nikah kan papi, bukan aku."
"Tapi kan dia papimu Ry."
"Terus kalau papiku kenapa?" guild musuh menyerang.
Nih Jenus rese banget deh. Dia sengaja ngincer aku. Aku tahu itu. Mentang-mentang anggota guildku banyak yang nggak online.
"Matiin aja dia," kata Cahyo, "matiin! Matiin!"
"Ngomong gampang. Dia tadi mborong doping di pasaran. Yang mati aku nanti, bukan dia."
"Lho...Ry lhoh Ry. Kok aku di tinggal sendirian?!" protes Anton saat tau aku offline.
Aku terkekeh.
"Aku nggak mau mati sia-sia," kataku yang masih terkekeh melihat Anton yang di keroyok massa.
Dan diapun akhirnya ikut offline.
"Parah dari lima puluh anggota yang online cuma tujuh," gerutu Anton.
"Mau gimana lagi. Sibuk kali," sahut Rudi.
"Kalian dong ikutan main. Bantuin kek," protesku.
"Lhah...ngapain? Enakan nonton anime," sahut Cahyo.
"Aku sih nggak tertarik," Rudi menyahut.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Acaranya pasti belum kelar.
"Ton, aku nginep sini ya," pintaku dengan wajah memelas, "pleaseeeeeeeeeeeeeee..."
"Jangan boleh Ton, jangan boleh Ton," aku langsung melempar bantal sofa ke arah Cahyo.
"Pasti mau menghindar dari ibu tirinya," celotehan Anton membuatku mendengus.
"Bukan masalah itu. Aku males aja kalau di marahin papi. Toh Erru juga nggak di rumah. Dia kabur ke rumah oma. Besok ajalah sekalian pulangku, buar dimarahin bareng-bareng."
"Hah?? Erru juga nggak dateng??" aku senyum datar, "kalian...ini...bener-bener deh."
Aku pura-pura nggak dengar.
~ Ervan ~
Rumah om Yanuar besar, itulah yang ada dipikiranku saat melihat rumahnya. Kemarin setelah selesai acara, aku, bunda dan Lena langsung diminta ikut ke rumah om Yan. Aku masih manggil ayah baruku itu om Yan. Aneh kalau aku manggil dia papa atau ayah. Rasanya aneh. Lena juga manggil om Yan dengan sebutan om.
Rumahnya besar, tapi satu foto saja nggak ada. Beda dengan rumahku. Rumahku penuh dengan foto yang tertempel di dinding. Foto saat aku dan Lena masih bayi, saat aku dan Lena masuk sekolah, sampai foto pernikahan ayah dan bunda.
"Padahal aku pengen liat wajah anak om Yan," desisku sambil bermain hp di ruang tamu.
Tapi pagi nggak masuk sekolah. Aku dapat izin dari sekolah. Karena nggak mungkin aku masuk setelah acara kemarin. Capek tentunya. Aku menjadi koordinator di acara kemarin. Berdiri dan berjalan kesana kesini membuatku capek.
Lena tertidur di sofa dengan nyenyaknya. Dia kelelahan karena bermain di rumah seluas ini.
"Aaahhh...." aku menempelkan kepala belakangku ke sofa bertepatan dengan suara pintu yang terbuka.
"..."
"..."
"..."
Seorang cowok yang baru membuka pintu depan itu nampak kaget melihatku.
"Ru!! Ngapain sih berdiri di de...." kali ini ada wajah yang sama nongol di belakang cowok tadi, dia juga menatapku kaget, "pan pintu."
"A...ah...hei," sapaku tak siap.
Kembar? Mereka kembar?
"Aku Ervan, anaknya bu Sinta dan itu adikku, Lena," kataku memperkenalkan diri.
"Oh...aku Erru," kata cowok berkacamata itu sebelum melangkah pergi.
"Kalau dia Erru, aku Erry. Salam kenal Ervan."
Aku tersenyum samar.
Cowok itu juga itu berjalan pergi, tapi baru beberapa langkah dia kembali menatapku.
"Oh... ya kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau di rumah ini. Tapi anggap saja kami nggak ada di rumah ini. Karena kami lebih suka kalau nggak di...gang...gu," katanya sambil tersenyum.
Dan diapun kembali melangkahkan kakinya.
Sudah kuduga kalau mereka nggak menerima kami dengan tangan terbuka. Mereka nggak datang di acara kemarin saja sudah ketahuan kalau mereka nggak senang ayahnya menikah sama bundaku.
Pasti mereka mengira bundakulah yang membuat orang tua mereka bercerai.
Aku menghala nafas.
Apa ini sudah menjadi keputusan yang benar? Masuk ke rumah tangga orang lain.
Aku menatap Lena yang masih tertidur pulas.
Kamar yang penuh nuansa mistis itu sudah menyihir banyak orang dengan pemikiran tak logis. Mereka percaya jika ada penunggu di kamar itu melihat banyaknya barang-barang disana. Tidak bisa disangkal jika ada penunggu di kamar itu. Penunggu di kamar itu memiliki nama. Erru Arsen Estiawan. Dia terlihat sedang tertidur pulas walaupun mungkin tidurnya tak sepulas kelihatannya. Selimutnya nampak menggunung. Ada sesuatu yang bergerak-gerak di sana. Erru yang merasa ada sesuatu yang ganjil mulai membuka kedua matanya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengumpulkan nyawa yang berterbangan entah kemana. Rasa kantuk dan pusing di kepala membuat keningnya berkerut. Dia mencoba membuka selimut yang menutupi tubuhnya yang setengah telanjang. Jantungnya hampir melompat keluar saat dia melihat apa yang ada di balik selimutnya. Kini dia duduk sambil memperhatikan si malaikat kecil. Lena...gadis kecil itu nampak tertidur di samping kakinya. Erru terlihat kebingungan. Dia menatap kamarnya dengan seksama, memastikan kalau itu adalah kamarnya. Dan memang itu adalah kamarnya. Nampaknya dia lupa menutup jendela kaca sehingga gadis itu bisa masuk ke kamarnya.
Dengan ragu Erru menggoyang-goyangkan tubuh Lena. Mencoba membangunkannya dengan perlahan.
"Emmmm...." tidur Lena mulai terusik.
Gadis itu akhirnya membuka kedua matanya. Dan...tara...terkejutlah dia saat melihat orang asing di depannya.
"Kamu siapa?" tanya Lena dengan mata membulat.
"... Erru."
"Erru siapa??"
"...pemilik rumah mmm...anak pemilik rumah ini."
"Iya ya...ini bukan rumahku," desis Lena, "mas Ervan dimana?"
Kali ini Erru terdiam.
"Namamu Lena kan? Kenapa kamu bisa tidur disini?"
"Aku takut tidur sendirian. Om Yan bilang Lena harus belajar tidur sendiri," suara Lena terdengar lirih, "aku takut. Aku nggak bisa tidur. Jadi aku cari kamarnya mas Ervan."
"Oh..." Erru melihat jam, jam lima pagi, "aku anter kamu ke kamar mas mu ya."
Lena mengangguk.
Setelah memastikan kaca jendelanya tertutup rapat, Erru mencoba menebak dimana kamar Ervan. Ada lima kamar di sana. Tapi karena kamar yang satu kecil jelas bukan kamar untuk Ervan. Karena kamar yang ada tulisan nama Lena, berarti kamar Ervan ada di...
Erru sudah siap untuk mengetuk pintu yang tertutup rapat. Tapi akhirnya dia mencoba memutar knop pintu. Terbuka. Kebiasaan Ervan yang tidak mengunci pintu kamar terbawa sampai dirumah itu.
Erru menggandeng Lena masuk kedalam kamar Ervan.
"Mas Ermmhhh..." dengan sigap Erru menutup bibir Lena dengan tangannya.
"Mas mu sedang tidur. Jangan berisik. Nanti dia bangun," kata Erru pelan.
Lena menempelkan jari telunjuk kebibirnya mengisyaratkan untuk diam.
Erru tersenyum.
"Duduk saja di sini yang tenang," kata Erru sambil mempraktekkan duduk yang tenang.
Lena mengikuti.
Saat Erru berniat meninggalkan kamar itu, dia melihat kening Ervan berkerut-kerut. Ada sedikit genangan air dikedua sudut matanya.
"Mas Ervan pasti mimpiin ayah," bisik Lena, "dia cengeng. Waktu ayah meninggal dia nangis sesengukan. Aku aja nggak nangis."
Erru hanya terdiam sambil menatap Ervan. Jari-jemarinya perlahan terulur ke kening saudara tirinya itu. Menyentuh kerutan yang ada disana. Kerutan itupun menghilang. Wajah Ervan kini jauh lebih tenang.
Tapi karena sentuhan itulah kesadaran Ervan terkumpul. Dan tanpa di sangka-sangka kedua mata Ervan terbuka.
!!!!
"WOOOAAAAHHHHH!!!!"
Sumpah...rasa kagetku mengalahkan rasa kagetku saat dikasih kejutan ulang tahun dengan siraman air comberan.
Si...siapa ini? Erru atau Erry ini, tiba-tiba ada di kamarku dan duduk di sampingku. Gimana nggak kaget coba. Tau-tau ada cowok telanjang dada sedang pegang-pegang keningku.
"A...ada apa?" tanyaku was-was.
Cowok itu hanya diam. Sambil menunjuk Lena.
"Adikmu masuk dan tidur dikamarku."
"Huuhhh???
Aku langsung menatap Lena. Anak itu memelukku.
"Aku nggak mau tidur sendirian. Tadi malem aku kebangun terus nggak bisa tidur lagi. Mau kekamar bunda tapi takut sama om Yan," dan bisa di tebak kalau dia mulai menangis.
Benar juga. Dia kan disuruh om Yan buat belajar tidur sendiri.
"Kalau gitu nanti malem tidur aja sama mas di sini," kataku pelan.
Cowok bertelanjang dada itu melangkah pergi.
"Ah...kamu...Erru kan?!" tebakku.
"Ya,"sahutnya tanpa menatapku.
"Makasih," kataku sambil tersenyum biarpun dia hanya memunggungiku.
Dan dia kembali melangkah tanpa menyahut.
Setidaknya dia mau nganter Lena kekamarku.
Tapi ngapain dia pegang-pegang keningku?
Aku memegang kening yang sempat dia pegang tadi.
"Aneh banget," desisku, "bikin kaget."
Lena masih menangis di pelukanku. Tanganku bergerak menepuk-nepuk pelan bahunya.
Hari ini aku dan Lena rencananya mau di antar om Yan kesekolah. Dan tugasku memandikan Lena diambil alih sama mbak Putri. Bunda terlihat biasa saja. Wajah murungnya masih nampak. Saat ini kami makan bersama di meja makan. Om Yan daritadi senyam-senyum karena ulah Lena. Nampaknya dia bahagia dengan pernikahan ini.
"Erru dan Erry nggak dipanggil turun om?" tanyaku.
Wajahnya langsung berubah datar.
Apa aku salah bicara? Nggak kan?
"Boleh aku panggil mereka?" tanyaku dengan hati-hati.
Belum sampai dijawab, kedua prince di istana ini turun. Nggak berlebihan sih kalau aku menyebut mereka pangeran. Mereka cakep, dari luar nampak sempurna untuk ukuran anak zaman sekarang. Bukankah sekarang ini zamannya oppa-oppa? Bukan oppa dengan rambut putih kulit keriput. Tapi oppa yang menjual ketampanan mereka lalu pecicilan di atas panggung. Biarpun mandi keringat tetap dapat cinta dari banyak cewek. Rasanya aku kok pengen muntah. Jujur saja aku jijik sama mereka yang dipanggil oppa-oppa nggak jelas sama banyak cewek itu. Mereka...tau sendirilah mereka itu...kelihatan homo banget. Terang-terangan kasih FS di atas panggung. Kecup sana kecup sini. Dan herannya cewek-cewek pada suka.
Ya bukannya aku sirik sama ketampanan mereka. Cuma aneh saja.
Nah wujud Erru dan Erry ini mirip-mirip oppa-oppa di sana lah. Cuma bedanya kulitnya nggak seputih itu. Tapi tetep putih sih dibandingkan denganku pastinya. Kalau masalah wajah, coba Erru dan Erry lebih memperhatikan jerawat atau mungkin lingkar hitam di bawah mata. Mereka pasti nggak kalah cakep dari para oppa itu.
"Makan dulu nak," bunda berusaha mengakrabkan diri pada mereka.
Kalau mereka berani kurang ajar ke bunda, aku nggak segan-segan menghajar mereka.
"Oh nggak usah tante. Aku biasa makan di kantin kok," nampaknya Erry bisa berbasa-basi, dia juga tersenyum.
"Aku juga makan di kantin," kali ini si kacamata Erru yang menyahut biarpun dengan muka datarnya.
"Kalian belum kenalan ke mami baru kalian kan?" om Yan mengeluarkan suara beratnya.
Mami....
"Sinta Rahmawati," kata Erry sambil tersenyum, "ada kok di undangan," katanya lagi sambil berjalan pergi.
"ERRY!!! YANG SOPAN KAMU," bentakan om Yan membuatku kaget.
Lena sampai memelukku.
"Sorry," sahut Erry tanpa menghentikan langkahnya.
"Aku kesekolah dulu," kata Erru tanpa bisa melihat situasi, atau memang keduanya tidak tahu situasi.
"Erru!!"
Langkah Erru terhenti karena panggilan papinya.
"Kamu anterin Ervan kesekolah."
Huuh??
"Nggak usah om, aku bisa berangkat sendiri kok. Lagian sekolah kami kan beda."
"Nggak apa-apa Van. Biar kamu di anter Erru. Nanti papi beliin motor atau kamu mau mobil?"
"Apa?" aku kaget.
"Motormu udah kamu modif kan? Banyak yang kamu ganti. Nanti bisa kena tilang. Jadi papi mau beliin kamu kendaraan. Kamu minta mobil atau motor?"
"Aku nggak...."
"Mobil aja," sahut Erru tanpa aku minta.
"Huuh??" apaan si Erru ini.
"Kalau motor nanti bisa kehujanan," kata Erru lagi.
"Mobil ya..." desis om Yan.
"Om aku nggak masalah pakai motor," aku melihat bunda meminta bantuan.
Tapi bunda hanya diam. Dari raut wajahnya aku bisa menebak kalau bunda juga kebingungan.
"Ya udah mobil aja," keputusan akhir om Yan.
DENGERIN AKU NGOMONG DULU!!!!
Mata Ervan lebih nyaman melihat jalanan yang dilalui. Saat ini mereka berdua, Ervan dan Erru, ada di sebuah mobil berwarna biru. Mobil yang cuma punya dua pintu dan dua tempat duduk. Ervan nampak menikmati perjalananmya. Dia baru tahu ada mobil semacam itu. Ervan lebih tahu motor daripada mobil.
"Mahal ya??" Ervan berusaha memecahkan keheningan yang bisa membuatnya sesak nafas.
Erru orangnya pendiam. Berbeda dengan Erry. Dari rumah sampai sini Erru tidak bicara sekecap pun.
Sekolah Ervan memang lebih jauh kalau dari rumah barunya. Kemungkinan besar Ervan...terlambat. Dan kemungkinan besar juga Erru....ikut terlambat. Coba pikir, dari rumah mengantar Ervan kesekolah yang jaraknya lumayan jauh. Bisa setengah jam perjalanan atau lebih. Sedangkan sekolah Erru dekat dengan rumahnya.
"Apanya?" Erru kembali bertanya.
"Mobilmu. Keren aja. Tempat duduknya dua."
Erru melihat Ervan sekilas.
"Nggak tahu. Mami yang beliin."
Ervan manggut-manggut.
"Pastinya mahal..." desis Ervan, "tapi aku lebih suka motor," kata Ervan lagi bertepatan dengan Erru menekan klakson."
"Oh," sahut cowok berkacamata itu dengan singkat-jelas-padat.
Ervan nampak jengkel. Dia merasa kesusahan untuk berkomunikasi dengan Erru.
"Aku nggak bisa nyetir mobil lo."
"Bisa khursus."
Ervan menggigit bibir bawahnya.
"Kalau Erry naik apa kesekolah?" tanya Ervan biarpun anak itu nggak ingin tahu juga, "motor ya? Aku liat ada motor di halaman depan. Motornya keren. Motor modus."
Erru kembali menatap Ervan sekilas.
"Suka banget sama motor ya?"
Erru terpancing. Ervan nampak tersenyum.
"Lumayan. Lagian aku cuma bisa beli motor hehehe."
"Oh..."
Erru terdiam lagi.
"Kamu...kembar ya?" pertanyaan bodoh.
Ervan tak peduli, yang penting dia bisa berkomunikasi dengan saudara barunya itu.
"Iya," sahut Erru tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.
"Kakaknya siapa?"
"Aku."
Ooohhhh....
Ervan manggut-manggut. Jelas saja Erru berbohong. Sejak dulu dia tidak mau menjadi adik. Dia merasa dia adalah seorang kakak untuk Erry.
Dan suasana menjadi tenang lagi. Sepi lebih tepatnya. Akhirnya Ervan menyibukkan diri dengan bermain game di hpnya.
"Udah sampai," kata-kata Erru membuat Ervan menatap keluar jendela.
Seperti prediksinya, dia terlambat. Tapi dia tidak sendirian. Sudah banyak anak yang berdiri diluar gerbang.
"Aduh telat," desis Ervan sambil membuka seat belt.
Gagal.
Sekali lagi...
Tidak terbuka. Macet. Ada masalah disana. Erry pelakunya. Erry tidak sengaja merusak seat belt saat meminjam mobil itu.
"Ru..." belum selesai Ervan bicara, Erru sudah mengulurkan tangannya mencoba membukanya.
Erru nggak cuma membuka seat belt untuk Ervan. Dia juga mencondongkan tubuhnya ke arah pintu dan membuka pintu itu untuknya.
"Thanks..." kata Ervan pelan.
Kalau cewek yang diperlakukan seperti itu kemungkinan cewek itu akan teriak-teriak yes!! yes!!! dalam hatinya. Apa lagi bau harum tubuh Erru sampai menembus lubang hidung.
"Hmm..." sahut Erru.
"Sorry kamu jadi ikutan telat gara-gara aku," kata Ervan setelah turun dari mobil.
"Nggak apa-apa."
Setelah Ervan menutup pintu itu, Erru melesat pergi.
"Itu tadi siapa Vaaaann??? Anaknya ayah barumu?"
Tau-tau Vivie sudah ada di belakang Ervan. Dia melingkarkan tangan kirinya di bahu Ervan.
"Kamu telat juga?" tanya Ervan mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iya," sahut Vivie sambil terus menatap mobil Erru yang semakin menghilang, "siapa doi? Kok aura-auranya, aura cowok cakep."
Ervan langsung mendorong kepala Vivie agar cewek itu menjauh darinya.
"Aku lebih cakep kok."