It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
~ Author ~
Saat ini ada event perang guild yang berlangsung. Saat ini Ethoa leader dari guild Hive hanya mematung diladang obat. Dia sedang membuat obat untuk mengisi exp dan hp. Banyak life skills yang ada, tapi Ethoa memilih membuat obat. Dia boros saat menggunakan pot darah. Potnya sering kosong saat dia sadang war atau pvp.
Kutu : -eh bego. Malah d ladang. Ngapain? Ini war lo. Lu leadx kan?-
Ethoa tak merespon. Dia masih mematung di tempatnya, satu dua obat telah selesai.
Kutu : -klo g mw bantuin knp on? Gila y?-
Irie : -dia ada mslh. Td dia curhat k i-
Ethoa : -irie diem!-
Irie : -sorry bos.-
XxX : -all...tuluuung!!! Tuluuung!!! Help help..!!-
ISU : XIAXIA DARI GUILD EXECUTOR BERHASIL MEMBUNUH XxX DARI GUILD HIVE
Kutu : -bah. Bangke!!-
Xiaxia : -klo gni trs daerah A kami yg pegang.-
XxX : -cantik2 ganas.-
Xiaxia : -makasih pujianx.-
Xiaxia : -lead kalian g guna.-
Karen : -emng leadmu ada gunax?-
Karen : -dia cm on buat daftarin guild aja trz ngilang kan?!-
Kutu : -wkwkwkwkwk.-
Semprol : -jngn buka aib ren!!-
Choki-choki : -xia fokus!-
Tetek gede : -xia benderax-benderax!!!-
Xiaxia : -sorry2. Udah aman kok.-
Choki-choki : -qta fokus d satu daerah aja. Jngn mencar. Incar yg tengah.-
Kutu : -hallo tetek.-
Kutu : -tetek gede. Vn dong.-
Tetek gede : -diem! Dasar kutu. Klo g diem aq tetekin.-
Semprol : -wkwkwkwkwk. Mw dong di tetekin.-
Viola : -tek!! Bego lu!! lindungi Choki!!-
Tetek gede : -ups sorry.-
ISU : TETEK GEDE DARI GUILD EXECUTOR MEMBUNUH KAREN DARI GUILD HIVE
Karen : -dasar hode laknat.-
Kutu : -(vn : Hahahahahahahahaha)-
Viola : -eh jaga ya tuh jari!! G prnh di sekolahin apa??!-
Rui : -astagah suara tawa lu kayak mas kunti.-
Karen : -jariq sekolah. Bljr pegang parang buat bacok lu lu pada.-
Ramainya chat di server tidak membuat Ethoa terpancing. Orang aslinya hanya membaca keributan mereka tanpa ada niat untuk ikutan.
ISU : JENUS SUDAH ONLINE
Kemunculan Jenus membuat ramai. Tapi Jenus hanya diam dan masuk keladang obat. Erry menatap seksama ava Jenus yang ada perubahan.
Ethoa : -gilaaaaaa...itu rambutnya jenus baru?-
Kutu : -telat lu. Dia kmrn mlm dpt dr guest spesial.-
Rambut berwarna keabu-abuan dengan sedikit warna merah di bagian kirinya.
Xiaxia : -knp? Pengen?-
Viola : -g bakal bisa dapet deh. Susah lo dapetinnya. Nambahin semua stat. Atk, crt dll.
Ethoa : -brengsek. Kalah lagi kalah lagi.-
Yang membuat Erry bingung adalah keberadaan Jenus yang ada di ladang obat bersamanya di saat perang guild berlangsung.
Akhirnya Erry mengirimi Jenus pesan.
Ethoa : -knp d sni?-
Beberapa detik tak ada balasan.
Jenus : -seingetku ini ladang buat umum.-
Ethoa : -cih...itu lagi war. Knp g ksna?-
Jenus : -km jg knp di sini?-
Ethoa : -wa males.-
Jenus : -aq jg.-
Ethoa mendekati Jenus. Dia melakukannya agar orang aslinya bisa melihat ava Jenus dengan seksama.
Ethoa : -keren.-
Jenus : -?-
Ethoa : -rambutmu. wa sk.-
Jenus : -mau?-
Ethoa : -huh???-
Jenus : -mau g?-
Jenus : -klo mau aq kasih.-
Ethoa : -bohong.-
Jenus : -serius.-
Jenus : -aq g terlalu ska.-
Ethoa : -g deh.-
Jenus : -knp?-
Jenus : -km pngn kan?-
Ethoa : -nnti wa di ejek.-
Ethoa : -tmnmu ganas semua.-
Jenus : -seorg Ethoa tkt sma mreka?-
Jenus : -wow.-
Ethoa : -g gt. Cm males klo ladenin mreka.-
Jenus : -(vn : bego)-
!!!
Jantung Erry sempat berdegup saat mendengarkan suara Jenus. Tidak begitu jelas tapi cukup membuat Erry penasaran. Karena selama ini Jenus dikenal tidak suka mengumbar suaranya. Dan tadi adalah hal terlangka yang pernah ada. Mungkin akan menjadi sejarah dalam game itu.
Lupakan...!
Ethoa : -g jelas suara lu.-
Tak ada balasan.
ISU : JENUS SUDAH OFFLINE
"Brengsek," dengus Erry hampir melempar hpnya.
Erry mendesis. Luka di ujung bibirnya terbuka lagi. Ada darah yang terlihat di jarinya saat dia memegangnya tadi.
Tadi siang Erry dan teman-temannya terlibat perkelahian dengan kakak kelasnya. Masalahnya sepele. Karena cewek. Erry yang dikenal playboy dianggap sudah merebut hati kekasihnya. Adu jotospun terjadi. Dipanggil keruang BP dan mendapat surat panggilan orang tua. Tapi sampai malam, surat itu masih tersimpan rapi di dalam tasnya.
"NGGAK MAAUUUUU!!!" suara teriakan Lena terdengar hingga kamarnya.
"LENAAA!! BALIKIIINNN!!!" kini suara Ervan yang terdengar.
"NGGAAAAKK MAUUUUUUU!!!"
"Apaan sih? Ribut bener," Erry yang merasa terganggu akhirnya kembali fokus dengan gamenya.
Ya...biarpun hanya menatap ladang obat yang kosong. Hanya ada Ethoa di sana.
"Kenapaaaa?? Kenapa nggak bilang??" Vivie langsung mendekatiku saat mengurus berkas-berkas kepindahan.
"Aku kedepan dulu ya," bunda berjalan meninggalkanku dan Vivie.
Septi ikut mendekatiku.
"Pindah sekolah? Kapan?" Vivie masih bertanya.
Aku menggaruk kepalaku.
"Aku masih ngurus surat-suratnya. Kalau sudah selesai ya sudah nggak di sini."
"Kok nggak bilang sama kita-kita?" kali ini Septi yang menuntut jawaban.
"Aku nggak mau kalian sedih."
"Jijik banget, siapa juga yang bakalan sedih," Septi mendengus kesal.
Aku terkekeh.
"Tapi aku sedih," desis Vivie.
Cewek ini...dia yang pertama kali mengajakku ngobrol saat penerimaan murid baru. Dan kami langsung nyambung.
Aku menepuk-nepuk pelan kepala Vivie.
"Cuma pindah sekolah kok. Aku nggak pindah planet."
Septi terkekeh.
"Sekolah mana sih?"
"SMA Cahaya Terang (lol)."
"Mana itu?" Vivie yang buta arah bertanya.
"Deket rumahku sebenernya," Septi yang menyahut.
"Jauh dong..." Vivie nampak nggak terima.
"Biasa aja. Nggak usah lebay. Kayak kita nggak bisa keluar bareng aja. Tinggal bbm, wa, line, ajak keluar, beres," kataku.
"Iya sih...terus...gimana sama bu Anna? Kalian...pacaran kan?"
Pertanyaan Vivie membuatku terbungkam untuk sesaat.
"Kan aku sudah bilang...kalau aku nggak pindah planet," kataku pelan.
Aku juga nggak tahu harus gimana. Satu-satunya tempat yang bisa membuatku bertemu Anna adalah sekolah ini. Aku nggak mungkin kerumahnya karena ada orang tuanya. Dulu aku pernah sekali kerumahnya, tapi sambutan mereka sama sekali tidak hangat.
"Lagian Vi, aku sama bu Anna...nggak pacaran."
Sedih juga kalau harus ngomong jujur. Tapi memang aku sama Anna nggak pacaran. Hubungan kami ini rumit dan 90% kemungkinan gagalnya hubungan kami. Mungkin 99%.
"Ttm ya...tapi kamu cuma bisa nemuin dia di sekolah kan? Apa...nggak masalah?"
"Mungkin karena kepindahanku ini, aku punya kesempatan buat ngajak dia keluar. Sapa tau aja dia kangen terus mau aku ajak kencan."
"..."
"Udah dulu ya, aku mau balik nih. Di tungguin bunda," pamitku.
"Bye...bye..." Vivie melampaikan tangannya sok imut.
"Bye...bye..." aku mengikuti gaya Vivie.
Bunda sudah menungguku di samping mobil yang dikemudikan pak Yoyok.
"Pulang pak," kataku sambil masuk kedalam mobil bersama bunda.
"Oke mas."
Kalau dipikir-pikir setelah ayah meninggal, kehidupanku jadi seperti ini. Berubah drastis. Aku nggak tau ini musibah atau berkat. Tapi satu hal yang harus aku lakukan...
Wajah Erru dengan kantong mata hitamnya dan penolakan Erry terbayang jelas.
Aku harus bisa membuat mereka berdua menerimaku. Menerima kami. Aku, Lena dan Bunda.
~ Erry ~
Tas Anton jadi bantal tidurku. Saat ini jam kosong, bagus buat tidur. Dirumah aku mulai nggak nyaman. Lena itu anak yang ribut luar biasa. Nggak pagi nggak siang nggak sore nggak malam, ribut mulu.
Bluuugghh...
Ada tangan berat yang menimpaku.
Anton...
"Tuh ada Desi. Nyariin."
Dengan malas aku mengintip ke luar kelas. Kelasku jam kosong, mungkin kelas dia jam kosong.
Ah...nggak. dia jam olahraga.
Akhirnya aku mendekati cewek itu. Dia bergelanyut manja di lenganku.
"Jadi keluar nggak?"
"Siapa?" tanyaku bego.
Desi memukul lenganku.
"Aku sama kamu lah."
Aku berfikir sesaat.
"Emangnya kita pernah janjian ya?"
"Nah kaaaaannn..."
Aku terkekeh.
"Candaaaa," kataku sambil mencubit pipinya gemes.
"Heeeiii...!!!"
Cewek manis ini bikin aku gemes. Dia kecil mungil dan lucu.
"Aku denger saudara mu mau pindah sini ya?"
Raut mukaku mungkin berubah dingin. Aku nggak suka pembicaraan ini.
"Iya," sahutku, "apa kamu tertarik? Dia lumayan loh."
Setidaknya wajahnya nggak jelek.
"Nggak lah...kan aku sudah punya kamu."
"Pacaran aja," sindir Levi saat dia keluar kelas.
"Mau aja di kibulin ama dia Des...Des...kayak nggak ada cowok lain aja."
"Cemburu ya Lev??"
"Nggak laahh!!!"
Hehehe...
Bagus benar nasibku. Kenapa aku bisa jadi satu sekolah sama Ervan? Semoga aja nggak satu kelas.
Ervan nampak berkacak pinggang di depan kaca. Dia mengecek apakah penampilannya sudah rapi atau belum. Ada yang berbeda hari ini. Mungkin hari-hari biasa dia sudah terlihat rapi, tapi kali ini jauh lebih rapi apalagi dengan seragam barunya. Biarpun tetap baju putih abu-abu karena ini adalah hari senin. Tapi baju itu dia dapat dari sekolah barunya. Benar...mulai hari ini dia akan bersekolah di tempat yang sama dengan Erry dan Erru.
"Yoosshh..." desisnya setelah menghela nafas panjang, "aku grogi."
"Rambut?" bundanya masuk kedalam kamar Ervan sambil tersenyum.
"Oke," sahut Ervan sambil menyentuh kepalanya.
"Baju?"
"Rapi," sahut Ervan lagi.
Kali ini dia memegang kerah bajunya.
"Kaos kaki?"
"Putiiih."
"Sepatu."
"Belum di pakai."
"Sip."
Kedua anak dan ibu itu membuat tos lalu tertawa bersama.
Bunda Ervan menyentuh bahu Ervan dengan senyum hangatnya.
"Maaf ya, bunda nggak bisa membujuk om Yan. Om Yan ingin kamu sekolah di sana karena Erry.... om Yan ingin kamu mengawasinya."
Ervan terdiam sesaat sebelum tersenyum.
Kejadian terakhir Erry bertengkar sampai di telinga papinya. Papinya benar-benar murka. Hampir saja Erry terkena pukulan, tapi bunda Ervan yang menghalangi.
"Nggak apa-apa kok bun. Sekolah di tempat lama juga gitu-gitu aja. Sesekali cari suasana baru."
Bunda Ervan tersenyum.
"WOOOAAAAHHH... MAS ERVAN GANTENG," kepala Lena menyumbul dipintu kamar Ervan.
Anak itu langsung berlari kepelukan Ervan.
"Kalau Lena udah besar, Lena mau nikah sama mas Ervan."
Kata-kata Lena membuat Ervan dan sang bunda berpandangan lalu mereka. tertawa.
"Ya...cepet besar. Kalau makan yang banyak biar cepet besar," kata Ervan sambil tertawa geli.
Erru mengetuk kamar Ervan saat melihat mami barunya di dalam kamar.
"Berangkat sekarang?" tanya Erru sambil memberi kode ke arah jam dinding.
Seperti teringat sesuatu. Ervan langsung menyambar tasnya.
"Bun aku berangkat dulu."
"Hati-hati."
Erru hanya mengangguk sedikit saat berpamitan. Senyumpun tak nampak di bibirnya. Dan Ervan tau itu.
Perjalanan kesekolah barupun hanya diwarnai dengan keheningan. Ervan menumpang di mobil Erru karena dia menolak di belikan motor baru, karena dia juga tidak mau mobil. Akhirnya Ervan menumpang pada Erru. Satu sekolah membuat Yanuar menyetujuinya.
Ervan berdeham.
"Kamu...kalau senyum dikit keliatan ramah lo," Ervan membayangkan Erry yang terkadang tersenyum palsu.
Biarpun senyum palsu, tapi wajahnya nampak ramah dan enak dipandang.
Erru hanya menatap Ervan sekilas.
"Kamu ini...kok beda banget sama Erry ya?"
"..."
"Padahal kembar."
"Biarpun kembar nggak harus sama kan...sifatnya?!"
Ervin tersenyum.
"Om Yan pernah bilang waktu kalian kecil kalian akrab banget. Kenapa sekarang jadi saling cuek?"
"..."
"..."
"Udah sampai," kata Erru.
Mobil itu memasuki sebuah halaman besar. Banyak anak-anak langsung masuk dengan sepeda motor. Beberapa dari mereka membawa mobil. Berbeda dengan sekolah lama Ervan. Yang membawa mobil mungkin satu dua orang. Tapi disini, ada empat belas mobil yang sudah terparkir.
Bangunan megah yang tergabung dengan TK, SD, SMP, dan SMA.
Setelah dari tempat parkir ada empat gerbang untuk masuk kedalam lingkungan sekolah. Tiap gerbang ada dua satpam yang mengawasi. Jadi tindak pembullyan tidak akan terjadi di tempat parkir dan sekitarnya.
Ervan mengikuti kemana Erru pergi. Salah satu gerbang menuju lingkungan SMA. Ervan nampak tak nyaman dengan sekolah barunya. Sangat berbeda dan tentunya terasa asing. Banyak dari mereka nampak acuh tak acuh. Sekilas mirip Erru yang tak mau tahu dengan lingkungan sekitar. Hanya beberapa cewek yang nampak bergerombol membentuk sebuah genk. Sekali lihat pasti orang tau mereka anak-anak orang kaya. Baju yang diubah menjadi sedikit ketat dengan rok yang dipendekkan. Wajah yang bisa di bilang cantik. Dan body oke punya. Yang cowok juga seperti itu. Apalagi yang baru turun dari mobil-mobil mereka. Mereka nampak....menyebalkan bagi Ervan.
"Gayanya selangit," desis Ervan yang melihat satu cowok baru turun dari mobil.
Cowok itu melepas kacamata hitamnya dan melempar kacamata itu kedalam mobil sebelum menutup pintunya.
Ya memang ganteng. Kalau nggak ganteng pasti kelihatanlah kalau dia berdompet tebal.
Dan Ervan selalu kesal dengan gaya orang semacam itu.
Erru membawa Ervan ke ruang guru dan meninggalkannya di sana. Setelah itu cowok berkacamata itu berjalan menuju lapangan. Empat lapangan yang dipisah dengan kawat dan pagar besi.
Ada seorang anak duduk bersandar di pagar yang sedikit tertutup oleh pepohonan.
"Kak Erru..." kata anak itu saat melihat kedatangan Erru.
Erru tersenyum.
Tangannya terulur ke arah anak itu. Mereka menempelkan kedua telapak tangan mereka. Tangan yang besar dan satunya sangat kecil. Begitu berbeda.
"Lama ya...Ido?"
Anak itu bernama Ido Rianto...kelas satu SD. Mempunyai masalah dalam berkomunikasi.
Langkahku terhenti saat melihat ada sosok yang aku kenal berdiri di depan pintu.
Ervan.
Aku nggak kaget karena memang dia bersekolah di sini hari ini. Tapi...
KENAPA HARUS DIKELASKU.
Ya ampun. Kenapa dia ada disekitarku terus? Nggak cukup ya dia menggangguku dirumah? Sekarang di sekolah juga?
"Diem-diem!! Rame banget kalian ini," pak Sulis masuk sambil membawa setumpuk buku, "ada murid baru dikelas kalian. Bapak harap kalian bisa berteman akrab."
Ervan nampak ragu masuk kedalam kelasku. Senyumnya juga ragu-ragu.
"Namanya...." pak Sulis membaca data siswa yang dia bawa tadi, "Ervan. Ervan Cahya Jadmoko."
Ervan melihatku. Dan dia tersenyum lebar. Ujung bibirku terangkat sedikit.
Sial....kenapa harus dikelasku? Kenapa nggak sekelas sama Erru? Toh mereka akrab. Seharusnya dia sama Erru aja. Bukannya Erru pernah tidur dipangkuannya?
...
...
...
Aaaahhh...sial. Aku bener-bener nggak suka sama Ervan.
Seumur-umur...Erru nggak pernah selembut itu kalau sama aku. Padahal aku kan saudaranya. Tapi kenapa dia bisa senyaman ini sama Ervan? Tidur dipangkuannya. Perhatian.
"Kamu ini...saudaranya Erry kan?
Pertanyaan pak Sulis bikin aku menggigit bibir bawahku.
".... .... .... Iya."
"Oh...kalau gitu. Kamu...ah Ton, kamu pindah tempat. Biar Ervan duduk sama Erry."
Fuck!!
"Ton...." aku memegang baju Anton sebelum dia beranjak dari kursinya.
"Lebay lu," ejeknya sebelum benar-benar pindah tempat duduk.
Dan...Ervan sekarang duduk di sebelahku.
"Nggak suka ya duduk sama aku?!"
Aku tersenyum.
"Biasa aja sih," sahutku.
"Aku kira nggak suka."
Emang nggak suka.
"Nah ayo kumpulin PR nya. Bapak kemarin ngasih PR kan? Udah dikerjain belum?"
"Udah paaaaakkk..."
"Belum paaaakkk...eh ternyata udah."
"Hahahaha...GJ."
"Pak ketinggalan."
"Bapak nggak mau tau. Kumpulin sekarang!!"
Karena tempat dudukku ada dibelakang aku memilih titip.
"Namamu Ervan ya??"
Halah...Femmin si centil mulai beraksi. Dia sudah berdiri di dekat Ervan dan mengulurkan tangan.
"Femmin."
"Ervan."
"Ry, kamu punya saudara cakep gini kok nggak pernah di ajak waktu kita kumpul-kumpul??"
"Ya...karena dia cakep, dia ngabisin waktunya sama sang pacar tercinta," sahutku enteng.
"Tapi aku nggak punya pacar lo Ry."
Ck...
Aku melingkarkan tanganku di bahu Ervan.
"Cariin pacar gih Min, buat kakakku tercinta."
"Hayo...hayo!! Duduk di tempat duduk kalian masing-masing ya. Jangan bergerombol di belakang."
"Sama aku aja gimana?"
"Femmin duduk!!"
"Ah...iya pak bentar."
"Pecun..." celotehan Anton membuatnya kena timpuk buku tebal Femmin.
Yang terpikirkan saat sekolah di sekolah baru ini lumayan buat cuci mata. Ceweknya cantik-cantik. Kulitnya putih-putih. Roknya pendek-pendek. Rata-rata di atas lutut sih. Kayak si Femmin. Roknya di pendekin. Bajunya agak di ketatin. Pakai bra warna pink, kelihatan dari balik seragamnya. Wajahnya terlihat memakai make up tipis. Hampir semua anak di kelasku seperti itu. Kalau yang cowok lumayan bebas juga. Tadi aku lihat ada yang rambutnya di warnai. Dan panjang rambunya nggak harus terlalu cepak juga.
Seingatku sekolah ini memang lumayan longgar untuk ukuran seragam dan lainnya. Dengar-dengar di luaran sana sih, sekolah ini sekolah buangan untuk anak orang kaya. Biasanya mereka lebih banyak menimbulkan masalah disekolah lainnya karena statusnya itu. Suka bikin masalah dan lainnya. Ada lagi mereka yang nggak mau sekolah di tempat lain karena mereka merasa nggak nyaman. Itu yang aku dengar. Sekolah ini memang mahal. Biaya masuknya saja nggak bisa di bilang murah. Meminta cicilan di sini hampir mustahil. Kumpulan calon bos.
Ini jam istirahat tapi nggak ada satu orangpun yang ngajak aku ngobrol. Masalahnya aku juga mikir-mikir juga mau ngajak ngobrol mereka. Merasa bukan tempatku.
Aaahh...tapi nggak masalah lah. Toh aku di sini juga karena permintaan om Yan. Katanya Erry sering berantem sama kakak kelas. Atau kadang sama temen seangkatan. Pernah juga dari sekolah lain.
Anak yang suka bikin masalah.
"Mau kekantin?" seorang cowok menanyaiku.
Putih.
Itu yang ada diotakku saat ini. Putih. Ramput putih. Bulu mata putih. Alis mata putih. Kulit putih. Bola mata...
"Albino..."
Seketika itu aku sadar kalau apa yang keluar dari bibirku keterlaluan.
"Sorry...nggak...maksudku..."
Cowok itu terkekeh.
"Ino," dia mengulurkan tangannya.
Aku buru-buru menyambutnya.
"Ervan. Aduh sorry. Aku nggak ada maksud."
"Nggak masalah," sahutnya, "mau kekantin? Mau bareng aku?"
Albino yang...cakep.
"Bantuan besar. Aku takut nyasar."
Ino terkekeh lagi.
"Yuk."
Aku mengikuti Ino. Sesekali dia menjelaskan ruang apa saja yang kami lewati. Kalau diperhatikan, Ino nggak putih-putih amat. Ada warna kekuningan di rambut, bulu mata, alis mata dan tubuhnya. Kalau aku bilang putih kok terlalu...
"Aduh mulai lagi...tingkah mereka bikin kesal."
Aku melihat apa yang di lihat Ino. Erry sedang terlibat sesuatu dengan seseorang.
Siapa??
"Itu Darwin. Yang pernah di skors gara-gara mukulin Erry, saudaramu."
Aaah....jadi dia.
Aku ingat wajah Erry pernah babak belur. Tubuhnya lebih besar dari Erry. Pantes saja Erry dibikin babak belur. Ujung bibirnya sobek. Salah satu pelipisnya juga sobek dan mengelurkan darah.
Dan kalau sekarang kejadian itu terulang lagi. Erry bakal...
Aku langsung mendekati kerumunan di sisi lapangan tak jauh dari tempatku.
Tangan Darwin yang mengepal sudah siap melayangkan tinju. Aku sedikit berlari.
Dan...
Buuugghh....
"Uugghh..."
Aku baru masuk ke sekolah baruku dan sudah berhadapan dengan...ini.
"Kebanyakan bacot lu ya!!" emosi Darwin membumbung.
Apa salahku? Ceweknya saja yang keganjenan. Ngedeketin aku padahal dia sudah punya pacar.
"Kalau punya pacar itu dijaga," celotehanku membuatnya melayangkan tinjunya ke arahku.
Buugghh....
Eh...
Tepat sebelum pukulan Darwin mendarat di wajahku, aku merasakan sepasang tangan melingkar di wajahku. Sehingga pukulan Darwin tidak mendarat di wajahku dan hanya memberi sedikit tekanan.
"Uugghhh..."
Ada yang memelukku dari belakang.
...
Ervan!!!
Aku langsung menjauh dari jangkauan tangannya.
"BRENGSEK!!! APAAN NIH??!!!" Darwin murka.
Jelas saja.
"Sorry tadi aku liat ada guru jalan kesini," kata Ervan sambil memegang pergelangan tangan kirinya yang kena tinju.
Darwin langsung mengumpat-ngumpat sebelum pergi sambil memberiku peringatan.
Aku menghela nafas.
"Kenapa ikut campur??"
"Ya...karena...aku kakakmu?"
Aku menghela nafas. Dia memang lebih tua dariku satu bulan.
Bibirku menarik seulas senyum.
"Kamu bukan kakakku," desisku.
Aku nggak suka dia ikut campur urusanku. Ini kehidupanku. Dia datang dan mengacaukan semuanya.
"Ervaan!!"
Ino...si albino datang.
Aku memilih menjauh dari mereka.
Aku nggak suka orang lain mencampuri urusanku. Dan aku juga suka mencampuri urusan orang lain.
"RYYY!!!" Anton langsung menghampiriku, "ada apa lagi sih? Kamu kena pukul lagi?? Darwin itu ngapain sih? Nafsu banget pengen mukul kamu."
"Nggak. Aku nggak kenapa-kenapa kok."
"Yakin?"
Aku memamerkan senyum kecutku.
Mataku kembali melirik Ervan. Pergelangan tangannya...pasti sakit.
Itu bukan...urusanku.
!!!!
Erru.
Dia di sisi lain lapangan. Memperhatikanku.
Nggak lucu banget. Tatapan matanya seperti menyalahkanku.
Aku tuh nggak salah apa-apa. Ervan saja yang suka ikut campur. Datang dan menerima pukulan.
Itu bukan salahku.
Erru terlihat menghela nafas sebelum berjalan pergi. Entah kemana dia pergi. Tapi aku yakin dia pergi ke Ido. Anak SD...
Erru...pedofil.
Itu gossip terbuka yang beredar. Tapi jelas, cewek-cewek punya pemikiran yang lebih positif.
"Bego," desisku.
~ Author ~
Sudah beberapa menit yang lalu Erru berdiri menatap layar hpnya yang menampilkam sederet angka. Butuh waktu tak sedikit untuknya memantapkan diri untuk menekan tombol untuk menyambungkan telfonnya.
'Erru? Ada apa sayang?'
"Mam...aku..."
'Kok nggak tidur si sayang?' kata-kata Erru terputus, 'mami lagi sibuk. Ini lagi pergi bareng temen-temen mami. Ada acara reunian.'
Erru melihat jam dinding kamarnya. Hampir jam 12 malam.
'Ini mami mau keluar makan. Kamu kenapa telfon mami?'
Mulut Erru terbuka tapi kemudian tertutup lagi.
'Erru? Kalau nggak ada yang penting mami tutup dulu telfonnya ya. Besok mami telfon lagi.'
Dan sambungan telfon merekapun terputus.
"Mam...aku kangen," desis Erru sambil menatap layar hp.
Erru menghela nafas. Dia membuka laci mejanya. Banyak botol obat. Malam ini sepertinya dia akan kesulitan tidur. Itu semua adalah obat penenang. Obat tidur. Dia sudah mengkonsumsinya dalam jangka waktu yang lama. Efek samping mulai dia rasakan. Kurang fokus menjadi kendala yang merepotkan untuknya.
Erru berjalan keluar kamar. Mendekati kamar Ervan. Seperti biasa, pintu kamar itu tak dikunci. Ervan nampak tidur dengan adiknya, Lena. Cowok dengan kacamata itu mendekati Ervan. Beberapa saat dia hanya berdiri di sana memandang Ervan. Kemungkinan besar Ervan bermimpi buruk. Dahinya kembali berkerut. Erru memegang dahi Ervan sehingga kerutan itu menghilang.
"Kamu kesepian kan? Aku mengerti apa yang kamu rasain."
Wajah Erru mendekat pada wajah Ervan yang terlelap.
"Karena aku juga...sama," desisnya sebelum menempelkan bibirnya pada bibir Ervan.
Dengkuran halus disebelahku mulai menggangguku. Aku tahu Lena tidur sama aku tapi dengkurannya cukup menggangguku. Apa dia kecapean karena kebanyakan muter di rumah atau...
Kelopak mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit. Terkadang mengerjap-ngerjap.
"Uuugghhh..." aku mencoba meluruskan tanganku yang kaku.
Tangan Lena memeluk pinggangku erat.
Kecil-kecil tapi...
Aku mencoba memindahkan tangan Lena.
Tunggu...kok tangannya besar?
Aku langsung tersadar seratus persen. Mencoba melihat pemilik tangan.
"Erru??" desisku dengan dahi berkerut.
Jika Lena tidur di sisi kiriku, Erru tidur di sisi kananku sambil melingkarkan tangannya di pinggangku.
Ngapain dia tidur di...
Ini kamarku kan??
Mataku menelusuri tiap sudut kamar. Dan memang ini kamarku.
"Erru!!!" panggilku sambil menggoyang tubuhnya pelan, "Erruu!!"
Cowok itu bergerak-gerak sebentar.
Tapi kenapa harus dikamarku???
"Aku masih ngantuk...Van..."
"Kenapa kamu bisa tidur dikamarkuuu???" tanyaku gemes sambil mencubit pipinya.
Cowok itu membuka kedua matanya. Masih nampak mengantuk.
"Karena aku nggak bisa tidur," sahutnya dengan suaranya yang sedikit serak.
Mungkin kalau Vivie melihat ini dia pasti bahagia. Gimana nggak bahagia, tiba-tiba ada cowok tidur dikamarnya, cowok cakep sambil telanjang dada, wajah yang ada di atas standart, suara yang serak-serak basah karena baru bangun tidur. Sayangnya yang melihat semua ini adalah aku.
Kalau nggak salah Erru suka telanjang dada kalau tidur. Apa nggak masuk angin? Tapi badannya memang bagus sih buat di pamerin. Tapi siapa juga yang mau lihat kalau dia pamernya dirumah?!
"Ya udah aku mau siap-siap dulu, udah jam...."
Bluugghh...
Tarikan Erru membuat tubuhku kembali mendarat di kasur.
Aku tersenyum aneh saat melihatnya ada di atasku sambil mengurungku dengan kedua tangannya.
"Aku ini...bukan cewekmu lo."
"Aku tau," desisnya.
"Jadi...bisa nggak kamu minggir?"
Dia membuatku takut.
"Nggak mau," sahutnya sambil terus menatapku.
...
...
"Erru...kamu bikin aku takut."
Seperti tersadar, dia langsung menjauh dariku dan berjalan keluar kamar.
Aku menghela nafas.
Kenapa...kenapa dia???
"Mass..."
!!
Lena terbangun.
"O..oh...sudah bangun..." desisku sambil memegang pipinya.
"Uuuu...tangas mas Ervan dingin. Kayak es."
Aku tersenyum kecut.
Hahaha...hahahaha...
...
Aku tadi...benar-benar takut.
~ Erry ~
Daritadi ada yang aneh dengan Ervan. Biarpun nggak terlalu kelihatan, tapi seharian ini dia seperti menghindari Erru. Padahal biasanya, dia bersikap layaknya seorang kakak. Sok menjadi kakak yang baik. Begitu perhatian. Suka nanyain kami berdua sudah makan apa belum, mau nitip apa kalau dia mau pergi keluar. Tapi seharian ini dia hanya diam. Disekolah juga. Aku nggak sengaja lihat, waktu mereka berpapasan di lorong, Ervan langsung putar badan.
Seperti saat ini. Makan malam menjadi sangat tenang. Tak ada suara darinya. Biasanya dia cerewet, apalagi kalau ada Lena.
Aku melirik Erru yang sering menatap Ervan. Dan Ervan yang menghindari tatapan Erru.
Kenapa...?
Ada apa?
Aku menggigit sendokku.
Apa ada yang mereka sembunyikan?
"Aneh..." desisku.
"Van, tanganmu nggak apa-apa?"
...
...
"Oh...nggak apa-apa bun. Sudah lumayan lah..."
Aku berdeham.
Erru melirikku.
'Apaa??' bibirku mengeja tanpa suara.
Erru menghela nafas.
"Makanya hati-hati, masa bisa jatuh sih? Bahaya kalau sampai retak atau patah."
"Kurang kalsium," papi ikut-ikutan, "anak masih muda gini, masa jatuh tangannya sudah terkilir?!"
Ervan terkekeh. Dia melirikku sekilas.
Bukan jatuh, tapi dia nahan pukulan. Atlit tinju. Makanya pukulannya berat. Darwin. Aku pasti sudah bisa bikin dia dikeluarin dari sekolah kalau saja nih makhluk satu nggak ikut campur.
Salah dia sendiri...
"Aku selesai," kataku sambil beranjak dari kursi.
"Makan kok nggak dihabisin? Mana bisa besar kamu!?"
Ck...
Aku tersenyum.
"Gini-gini udah bisa bikin anak kok pi," sahutku sekenanya.
Dan sebelum mendapat ceramahan panjang lebar aku buru-buru menjauh.
"Erry!!"
Langkahku terhenti.
Ervan. Dia mengikutiku.
"Besok...bisa nebeng ke sekolah?"
"Kenapa nggak minta motor ke papi? Motor bututmu mana? Pakai itu saja kan bisa."
"Nggak boleh naik itu..." sahutnya, "sama papi."
Dia menghindari tatapanku.
Papi...jadi dia sudah manggil papi?
"Nebeng Erru saja, bukannya kamu akrabnya sama dia?"
Raut wajahnya berubah.
Kenapa? Ada apa sih antara mereka? Bukannya kemarin nggak ada masalah apa-apa?
"Erru...dia..." dia nampak ragu mau ngomong sesuatu.
"Aku nggak bisa, aku bareng cewekku," kataku sambil berlalu.
Saat ada di lantai atas. Tatapanku dan Erru bertemu.
Biarpun aku ini saudaranya. Biarpun aku ini kembarannya. Tapi aku sama sekali nggak tahu apa yang dia pikirin. Entah apa yang ada di otaknya. Entah apa yang jadi masalahnya.
Sama seperti papi dan mami. Kedatangan Ervan dan keluarganya. Apa yang mereka pikirkan. Aku nggak tahu. Kenapa sampai papi mami cerai, kenapa sampai tante itu datang ke rumah ini. Kenapa Erru bisa akrab sama Ervan.
Aku nggak ngerti.
Aku sama sekali tidak mengerti.
Aku mengarahkan kedua tanganku ke arah meja makan. Dari kejauhan...aku membuat bingkai dari dua jari telunjuk dan jempolku.
Mereka semua terbingkai.
Bibirku mengukir sebuah senyuman busuk.
Erru masih menatapku.
Aku benci.
Aku benci semuanya.
Aku benci mereka yang ada disekitarku.
Aku benci mereka yang ada dirumah ini.
Kalau saja...
Mereka...semua...
...
...
...
Lenyap.