It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Mataku terus menatap kedua makhluk hidup yang entah kenapa bisa bergerombol di kamarku.
"Kalau kamu ke sekolah cuma mau bikin ulah. Buat apa sekolah?" Erry yang menatap layar hpnya sejak lima menit tadi mulai mengoceh.
Erry bersandar di pintu kamarku yang terbuka.
"Lihat siapa yang ngomong," sahut Erru yang daritadi memeluk leherku dari belakang.
Sumpah aku sudah nyingkirin tangannya, tapi tetep aja dia memelukku lagi. Padahal aku sedang konsentrasi belajar...di meja belajar.
"Aku nggak masalah kamu mau bikin ulah apa, itu juga bukan urusanku. Tapi nggak usah bawa-bawa aku lah."
"Kalau yang di uks itu, bukannya kamu yang ikut campur sendiri?"
Aku cuma terdiam.
"Sama aja. Gara-gara kamu, aku ikut keseret. Terus tadi kamu mbolos juga. Emangnya aku nggak bakal keseret lagi? Kalau papi sampai tau gimana?"
"Sejak kapan kamu jadi sok perhatian?"
"Sejak kapan juga kamu jadi banyak omong?"
"Bisa nggak kalian kalau berantem di tempat lain aja? Jangan di kamarku."
Erry langsung menatapku.
"Ini juga awalnya kamarku," sahut Erry kembali menatap layar hpnya.
Aku menghela nafas.
Kini aku mendongakkan kepala manatap Erru yang juga sedang menatapku. Sejak dia curhat ada yang beda sama dia. Maksudku dia jadi lebih suka ngomong ya biarpun nggak sebanyak orang pada umumnya. Tapi tetap ada yang berubah darinya. Masih dalam taraf wajar sih. Tadi aku cerita ke Anna. Anna bilang itu wajar. Karena Erru sudah percaya sama aku sepenuhnya. Dan beban mentalnya sudah terangkat berkat aku yang bersikap apa adanya di depannya. Ya biarpun aku nggak bilang ke Anna kalau kemungkinan besar Erru suka sama aku. Nggak kemungkinan lagi malah, si Erru emang suka sama aku. Bisa bahaya kalau Anna sampai tahu. Bisa-bisa dia yang turun tangan menangani Erru. Secara dia itu...lulusan psikolog.
Tapi kalau Erry...aku nggak tau kenapa dia ikut-ikutan bersikap aneh.
"Lagian kamu ngapain nempel-nempel ke Ervan?" aku menelan ludah mendengar kata-kata Erry, "bikin sakit mata tau nggak?!!"
"Kalau nggak suka ya nggak usah diliat."
Aku melihat Erry yang menahan emosinya. Tangannya mengepal mencengkeram hpnya.
Sejak aku di rumah ini, baru kali ini melihat mereka berantem. Hehehe...
Aku nggak bisa nahan senyum. Entah kenapa sikap mereka yang seperti ini lebih mencerminkan....keluarga yang sebenarnya.
"Udah-udah sekarang kalian keluar aja dari kamarku! Kalau ribut gini gimana aku bisa belajar coba?"
Aku mendorong Erru sampai ke pintu kamarku.
"Kamu juga keluar!!" aku memegang lengan Erry tapi Erry langsung menepisnya dengan keras.
Karena terlalu keras, hp yang di dia pegang ikut terjatuh.
"Hpkuuu...."
Karena jatuh hpnya dekat dengan kakiku, aku lebih dulu mengambilnya. Tapi mataku sedikit melebar melihat apa yang tersaji di depanku.
"Kamu main ini juga?" tanyaku saat melihat gambaran yang sudah aku kenal betul, "tunggu....kamu..."
Erry langsung merampas hpnya dariku.
"Kamu...Ethoa? Kamu Ethoa???"
"Apaan...bukan urusanmu juga kan?!"
"Erry, ini aku...aku Jenus. Apaan nih...ternyata Ethoa itu kamu hahahaha....kok bisa ya...kebetulan yang ajaib."
"..."
"..."
"..."
"..."
"Huh....?"
Aku tersenyum.
Ramainya orang lalu lalang tidak bisa membuat Erry lepas dari lamunannya. Sejak sampai di mall dengan teman-temannya Erry selalu diam. Tidak hanya hari ini saja, sejak beberapa hari ini Erry lebih banyak diam. Rasanya kepribadiannya jadi terbalik dengan Erru.
"Minum apa nih? Teh? Jeruk? Atau mau es krim?" Anton mencoba melihat stand makanan dan minuman dari tempatnya duduk.
"Jeruk aja lah. Dipojokan nah yang itu tuh, yang tempatnya warna pink, itu pesenin aku jeruk. Enak di sana ada susunya," Cahyo langsung mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari kantongnya.
"Teh aja lah aku," Rudi juga ikut menyodorkan uang lima puluh ribuan.
"..." Erry masih terdiam sambil menempelkan kepalanya ke meja.
"Yang bener aja coy!! Ini uang lima puluh ribuan semua. Kembaliannya gimana? Udah aku yang traktir aja. Nih uang kalian nggak kepake."
"Eh bego. Sekalian sama makannya. Itu aja kurang nanti. Kamu tambahain aja hahaha..." alis Cahyo naik turun, "diihhh keburu laper ini. Buruan napa?!"
Anton masih menatap Erry. Cuma dia yang belum memesan apa-apa.
"Kamu nggak makan? Nggak minum?" tanya Anton.
Dia masih nggak tau apa yang sedang dipikirkan Erry. Kemarin Erry sama sekali tidak online. Padahal biasanya sesibuk apapun Erry, dia akan menyempatkan diri online walaupun cuma sebentar.
"Nggak. Aku nggak nafsu makan," sahut Erry lirih.
Cahyo menekan kepala Erry kemeja.
"Ada masalah apa sih?" tanya Cahyo penasaran, "patah hati? Hahaha nggak mungkin sih kalau itu."
"..."
"Aku beli pesanan kalian dulu," Anton beranjak dari duduknya.
Saat Cahyo terus menggoda Erry, Anton sibuk membeli makanan dan minuman. Tidak tanggung-tanggung, orang cuma berempat tapi makannya seperti sepuluh orang.
Anton berdiri di stand es krim. Dia melihat berbagai macam menu di sana, padahal dia sudah memesan makanan manis lainnya.
"Erry suka es krim coklat nggak ya? Hmm...tapi dia suka yang manis-manis, harusnya sih suka."
Bibir Anton mengukir sebuah senyuman.
"Es krim coklatnya mbak satu."
Laju kakiku terhenti saat sadar kalau Erru sedang mengikutiku. Dari tadi...nggak...sejak beberapa hari yang lalu dia selalu ngikutin aku kemana-mana. Nggak di rumah, nggak di sekolah, dia suka ngikutin aku.
"Ru, bisa nggak sih kamu nggak usah ngikutin aku sampai toilet?? Emangnya kamu itu anjing yang kemana-mana selalu ngikutin majikannya???"
Ino terkekeh.
Erru nampak menghela nafas.
"Aku juga...mau kencing," sahut Erru yang membuat Ino tambah ngakak.
Entah sejak kapan gerombolanku jadi tiga orang. Aku, Ino dan sekarang ada Erru. Dan entah sejak kapan juga terkadang ada cewek yang ikut nimbrung. Lama kelamaan gerombolanku jadi rame. Ya biarpun aku tau kalau para cewek itu cuma ndeketin Erru. Tapi lumayan lah mereka itukan cantik. Beda sama temen sekolahku yang lama. Udah jelek sok kecantikan.
"..."
"Oh iya...besok bukannya ulang tahunmu ya Ru?"
"Huuhh???" aku langsung menatap Ino, "besok kamu ulang tahun??" kini aku menatap Erru.
Erru mengangguk.
Ooooooo....brarti Erry juga ulang tahun kan?!
"Kok nggak bilang sih kalian?!"
Erru yang sedang buang air menatapku.
"Buat apa juga bilang-bilang?" sahut Erru.
"Ya biar aku tau lah."
Setelah selesai buang air, kamipun segera keluar dari toilet. Berlama-lama di toilet juga nggak enak. Bukannya bau pesing. Di sini toiletnya bersih, beda sama toilet di sekolah lamaku. Tapi masalahnya, di depan toilet bergerombol cowok-cowok nggak jelas. Kalau yang ini rasanya sama aja kayak sekolahku yang lama.
"Aku aja nggak sengaja denger waktu Erry di godain sama temen-temennya. Tadi ada cewek yang ngasih kado Erry. Katanya kado tadi buat dp dulu. Besok baru dilunasi," kata Ino yang membuatku nyengir.
Kado apaan kok ada dpnya.
"Nah Ru...kamu mau kado apa?" tanyaku.
Ino ikut menatap Erru.
"..."
Erru cuma diam.
Hmmm...hadiah ya...?
"Ya udah aku balik kelas dulu, belum ngerjain pr," karena aku ingat belum ngerjain pr untuk pelajaran selanjutnya aku memutuskan balik ke kelas, Ino juga sama.
Tapi sebelum kakiku benar-benar melangkah masuk ke dalam kelas, Erru menarik lenganku dan membisikkan sesuatu ditelingaku. Setelah itu dia beranjak pergi.
...
...
...
...
"Ngapain bengong di depan pintu?!" ketua kelasku menepuk punggungku.
"Oohh...iya," sahutku pelan.
...
...
...
'Aku mau kamu jadi pacarku.'
~ Erry ~
Nggak ada yang lucu. Paham?! Aku ini nggak suka sama Ervan. Tapi bukan berarti aku benci char nya di game. Yang ada, semakin aku melihat char Jenus, aku semakin suka. Tapi bukan berarti aku suka sama Ervan. Nggak akan pernah suka sama orang yang mendadak masuk ke dalam keluargaku. Dan lagian Ervan cowok. Ya Jenus juga karena dia Ervan, dia juga cowok. Tapi Jenus ya Jenus. Ervan ya Ervan.
"Kenapa kamu nggak pernah online? Bukannya kamu betah online akhir-akhir ini karena Jenus? Terus tiba-tiba kamu nggak online. Itu...aneh. Anak-anak pada nyariin juga. Jenus juga...nyariin."
!!!
"Apaan sih Ton, cerewet banget kamu ini?!"
Aku sedang ada di mobilnya Anton. Lebih tepatnya nebeng. Tadi pagi waktu mau berangkat sekolah ban motorku bocor.
Begitu sampai di rumah, rumahku sepi. Seperti biasa.
"LENAAAAA!!!"
Atau...nggak.
Lena berlarian di ruang tamu. Ervan mengejarnya. Saat melihatku Ervan tersenyum. Aku menghindari tatapan matanya dan kembali berjalan.
"Ry, kamu kok nggak pernah online?" pertanyaan Ervan membuat langkah kakiku berat, "tapi memang lucu sih, satu rumah main game yang sama di server yang sama."
Aku menelan ludah.
"Aku udah nggak main game itu. Udah males."
"...wah...sayang...padahal kamu pasti sudah habis duit banyak kan buat char mu itu?"
Ah iya...Jenus...itu kan...
"Kamu juga pasti habis banyak kan buat bikin Jenus?! Habis berapa sampai bisa kayak gitu? Emangnya kamu punya duit?"
Ervan terkekeh.
"Ya...itu bukan charku sih sebenernya."
Huuuh???
"Itu punyanya temenku. Dia bikin char itu udah lama. Tapi karena dia nggak terlalu bisa mainnya ya aku yang mainin. ya...berdua sih mainnya, gantian. Tapi lebih banyak aku. Kalau dia palingan cuma misi harian sama top up."
"..."
Aaahhh....jadi bukan cuma Ervan yang main? Kok...bukan dia sendiri aja?
"Oh iya...met ultah ya."
!!!
Tau darimana dia...aahh Erru. Si brengsek itu.
"Mau kado apa?" Ervan nyengir, "jangan yang mahal-mahal tapi."
"Aku nggak butuh kado," sahutku kembali melangkahkan kakiku ke lantai atas.
Kado ya...
Aku mencoba mengintip ke lantai bawah. Ervan masih di sana.
"Kalau kado...aku mau dia berdandan kayak Jenus sekali aja."
Pasti cocok banget...
Hehe...
Hehehe...
Hehehehe...
Ah...Erru. Baru keluar dari kamar mandi. Ngapain? Kencing? Beol?
Hmm...
Dia mendekati Ervan.
Meme...luk?
Kedua mataku seakan dipaksa untuk melihat adegan yang membuat jantungku berdetak kencang. Wajahku rasanya panas. Aku nggak mau liat, tapi mataku tetap melihat ke arah mereka.
Erru mencium Ervan. Ervan berusaha menolak tapi Erru terus mencoba menciumnya. Aku nggak tau apa yang dibisikkan Erru sampai Ervan akhirnya berhenti berontak dan pasrah saat Erru kembali menciumnya.
"Mas Erry, liatin apa sih? Kok sampai melotot?"
!!!
Lena.
Dia sudah berdiri di dekatku.
"Lena..." desisku.
Aku berjongkok. Selain karena kakiku yang rasanya nggak bisa menyangga tubuhku lagi, aku juga menutup kedua mata Lena dengan tanganku.
"Main petak umpet yuk," aku bisa dengar kalau suaraku agak bergetar, "kamu...tutup mata dulu. Hitung sampai seratus."
"Okeeee....satu dua."
"Jangan cepet-cepet."
"Satu...dua...tiga...."
Aku mengintip lagi ke bawah tapi sosok mereka sudah nggak ada.
Kemana? Kemana?? Mereka kemana??
"Sepuluh...sebelas...dua belas..."
...
...
"Dua satu..."
Aku berjalan pelan menuruni anak tangga.
Kemana...dengan perlahan aku mencoba mengintip ke kamar papi mami. Mami yang aku maksud bukan ibunya si Ervan. Tapi mamiku sendiri.
Kosong...
Mami baruku...juga nggak ada. Pasti keluar lagi sama mbak Putri. Tadi mobil di luar juga nggak ada. Enak banget keluar-keluar pakai mobil orang.
!!!
Suara dari kamar mandi.
Baru aku mau mendekat. Kamar mandi itu terbuka. Ervan kaget setengah mati melihatku di depannya. Beberapa kali dia mengusap bibirnya.
...
Dia sekarang pergi naik ke lantai atas. Erru juga keluar dari kamar mandi. Dia memegang bibirnya. Ada darah di sana. Bekas pukulan?
Entah kenapa emosiku membumbung. Aku langsung mencengkeram kerah bajunya.
"Brengsek!! Habis ngapain kamu tadi huh??"
"..."
"HABIS NGAPAIN???!!!"
Erru menatapku tajam. Dia meremas pergelangan tanganku.
"Aku cuma ngambil kado ultahku."
!!!
"Breng...sek...kamu itu...orang terbrengsek yang pernah aku kenal."
Parahnya dia saudaraku. Saudara kembarku.
"Aku nggak mau denger itu dari mulutmu. Orang yang nggak pernah perduli apa-apa, sekarang jadi sok peduli?? Aneh."
!!!
"..."
Aku melepaskannya.
Erru berjalan melewatiku.
"Nggak adil," desisku, "nggak adil semua nggak adil. Kamu nggak adil!!!"
Erru berhenti berjalan dan kini menatapku.
"Kamu juga nggak peduli apapun. Tapi kenapa kamu ngatain aku? Kamu juga nggak peduli waktu papi mami cerai. Semua salahmu!!! PAPI MAMI CERAI ITU JUGA SALAHMU!!!"
Ughh...
Erru masih menatapku. Jangan menatapku seperti itu!! Itu...
"E...Erry...?? Erru???"
!!!
Aku menatap suara yang sudah nggak asing lagi.
"Ta....tante," desisku.
Erru langsung berjalan pergi.
Tatapan matanya...apa yang dia kasihani dariku?
Jahat ya aku ini. Padahal aku tau kalau papi mami cerai bukan karena salahnya. Tapi aku selalu nyalahin Erru buat membenarkan tindakan mami. Aku selalu nyalahin Erru.
"E...Erry..."
Tante makin bingung saat aku mulai nangis. Aku nangis bukan karena aku sedih. Aku nangis karena aku terlalu kesal. Karena terlalu kesal sampai aku nggak tahu harus gimana dan akhirnya aku nangis.
Aku kesal karena mami selingkuh.
Aku kesal karena Erru nggak peduli apa-apa dan sibuk dengan sikap sok penurutnya.
Aku kesal karena papi sangat sayang Erru daripada aku.
Aku kesal karena mami lebih sayang Erru padahal aku lebih sayang mami daripada Erru.
Aku kesal karena selalu di banding-bandingin sama Erru.
Aku kesal karena keluargaku hancur.
Aku kesal karena papi mami cerai.
Aku kesal karena orang luar masuk di rumah ini.
Aku kesal karena Erru nyium Ervan.
Aku kesal karena...karena...karena...aku suka Ervan.
Hari ini Ervan tidak ikut satu mobil dengan Erru, dia meminta Ino menjemputnya. Pulangnya pun dia lebih memilih nebeng Ino dan minta di antar ke sekolah lamanya. Anna masih ada di sekolah walaupun sekolah sudah sepi. Ervan bisa masuk ke dalam sekolah karena dia memang pernah sekolah disana dan kenal dengan penjaganya.
Beberapa jam lamanya Ervan hanya terdiam menunggu Anna mengecek tugas anak-anak karena ada satu guru yang sedang absen. Anna diminta untuk mengisi saat jam kosong.
"Jadi...kenapa? Ada masalah apa sampai kamu kesini?"
"Apaan?! Nggak boleh ya aku kesini??" Ervan merengut.
Anna terkekeh.
"Ada apa? Serius. Kamu ada masalah apa?"
Ervan terdiam. Dia masih ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Dalam sehari semua berubah total. Entah apa yang terjadi dengan Erry dan Erru, yang jelas Erry tidak ikut sarapan pagi dan tidak masuk sekolah. Sedangkan Erru kembali jadi sosok yang pendiam. Kemarin malam Erru tidak ke kamarnya. Hari ini Ervan juga nampak lesu. Ciuman yang dipaksakan membuat Ervan sedikit takut dengan Erru...tidak sedikit, Ervan benar-benar ketakutan. Dia sampai memukul Erru sekuat tenaga. Tapi yang membuat frustasi bukan rasa takutnya, ada hal lain yang membuat dia mengutuk dirinya sendiri. Ervan sempat menikmati ciuman itu walaupun sebentar. Dia sedikit bergairan dengan ciuman yang diberikan Erru. Terlihat dari sesuatu yang mengembung di bawah sana secara perlahan.
"WAAAAAAAAAAAAAAAA....WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA....."
Jeritan Ervan yang tiba-tiba tentu membuat Anna terkejut. Buru-buru Anna menutup bibir Ervan dengan tanggannya.
"Eh...gila ya kamu?? Kalau nanti pak Seti dateng gimana?"
Ervan menatap Anna. Kedua matanya nampak berkaca-kaca.
"Anna," kata Ervan setelah menurunkan tangan Anna, "cium aku. Aku mau kamu menciumku."
"Huh???"
"Aku mau kamu menciumku. Anna...cium aku."
Air mata Ervan meleleh. Rasa kesal, jijik dan tidak terima karena kejadian kemarin membuatnya menyalahkan dirinya sendiri.
Anna menatapnya beberapa saat sebelum menghela nafas. Wanita itu tersenyum.
"Kemarilah..." dia membuka kedua tangannya.
Ervan mendekatinya dan memeluknya. Anna juga memeluk erat Ervan.
"Tenangkan dirimu dulu. Oke...jangan lepas kendali. Nggak ada gunanya jika emosimu meledak-ledak seperti itu."
"..."
Ervan masih menangis. Jijik rasanya mengingat ciuman itu. Tapi dia lebih jijik sama dirinya sendiri yang sempat menikmatinya.
"Tenanglah...tenang...semua nggak akan jadi lebih baik jika kamu seperti ini. Segala masalah jangan dilihat dari satu sisi. Lihat juga dari sisi yang lain. Aku nggak tau apa yang terjadi tapi aku yakin kamu bisa mengatasi masalahmu dengan baik."
"Anna..."
"Hmm???"
"Apa kamu menyukaiku? Suka...cinta?"
"Kenapa kamu tiba-tiba tanya itu?"
"Jawab aja!!"
"Tentu saja. Kenapa kamu masih tanya itu?"
Ervan melepaskan pelukannya dan kini mencium wanita itu tepat dibibirnya.
Kedua mata mereka bertemu. Perlahan-lahan mata itu terpejam. Sebuah ciuman lembut dengan kedua lidah kenyal yang mendominasi.
"Aku mau menikahimu..." bisik Ervan yang membuat Anna terkekeh.
"Belajar dulu yang rajin, dapet kerjaan mapan baru ngomong masalah menikah."
Kening mereka beradu. Bibir mereka mengukir sebuah senyuman.
"Aku bener-bener nggak pantes jadi guru..."
Ervan terkekeh.
"Udah kayak gini kenapa kamu nggak mau jadi pacarku? Punya hubungan ngegantung gini nggak enak tau," protes Ervan yang kembali memeluk Anna.
"Beri aku waktu. Aku pikirin dulu..."
"..."
"..."
"Jangan lama-lama ya..."
Tawa Cahyo meledak saat melihat ada anak sebelah tersandung lalu jatuh dengan hebohnya. Orangnya gendut. Jadi seakan lemak-lemaknya bergoyang kesana kesini.
"Hehe..." aku ikut tertawa biarpun tawaku nggak ikhlas.
"Bego ya...jalan nggak liat-liat..." Cahyo masih ketawa.
"Ada apa sih??" Anton yang baru ikut gabung dengan kami di kantin penasaran karena tawa Cahyo yang nggak berhenti.
"Tuh ada babi jatuh hahahaha...jalan sih nggak liat-liat."
"Siapa??" Anton masih nggak ngeh.
"Si Vio," sahutku, "punya mata empat nggak ada gunanya sama sekali."
Anton terkekeh.
"Gitu-gitu pacarnya cantik lo. Aku pernah ketemu."
Aku menatap Anton yang bercerita panjang lebar tentang ceweknya si Vio.
"Jelas aja cantik. Vio gitu. Anak tunggal. Anaknya bos pabrik bangunan," Rudi yang daritadi diam ikut menimpali.
"Matre tuh. Kalau cewek cantik yang normal, mana mau sama Vio. Udah gendutnya nggak ketulungan, putihnya kayak mayat, tuh liat tubuhnya kringetan."
Aku nyengir. Untung badanku keren. Padat berisi lah. Ya...biarpun nggak sebesar si Erru, tapi aku cukup percaya diri dengan tubuhku.
Rudi mulai merokok. Dari kami berempat yang suka ngerokok cuma Rudi.
"Nggak usah ngerokok di sini!!" Anton protes, "udah tau tempatnya sempit, panas, pengap, bau kringet, masih aja ngrokok."
Ya memang kantin kalau lagi ramai gini baunya bermacam-macam. Iya kalau bau parfum. Bau kringet sejak tadi pagi bercampur jadi satu.
"Bibirku butuh penyegar," sahut Rudi yang masih meneruskan merokoknya.
"Es nih es batu buat penyegar," Cahyo melempar satu es batu ke arah Rudi.
Akhirnya Cahyo kena omel ibu kantin karena melempar-lempar es batu miliknya.
Tawaku berhenti saat melihat Ervan dan Ino ada di kantin. Ervan yang nampak sedang mengobrol dengan Ino langsung terdiam saat melihatku. Aku juga sama. Aku langsung beranjak dari tempatku.
"Mau kemana?" tanya Anton.
"Balik ke kelas," sahutku tanpa menatap ke arahnya.
Aku buru-buru meninggalkan kantin. Ya ampun...aku belum siap ketemu muka sama dia. Ingatan saat dia berciuman dengan Erru terus terulang di kepalaku.
Ervan begoooooooooooooo!!!!
Sumpah aku pengen banget mukul wajahnya itu. Asal pasrah aja dicium.
Aaaaaaarrgghhhhhh....gara-gara dia imajinasiku tentang Jenus buyaaar. Buyaaarrr...
"Erry!!"
"...Ton??"
Anton berlari kecil ke arahku.
"Kenapa tiba-tiba pergi sih?"
"Kamu ngapain nyusul??"
"Habisnya...kamu pergi mendadak. Apa ada PR? Kalau ada aku juga mau ngerjain sih hehehe...tapi seingetku nggak ada PR."
Aku menghentikan langkahku.
"Nggak ada PR," sahutku.
"Terus??"
Aku terdiam.
Anton menghela nafas.
"Ada apa sih? Kamu itu aneh banget lo belakangan ini. Aku itu...." Anton menghela nafas panjang, "khawatir."
"Aku nggak apa-apa. Cuma lagi...nggak mood aja."
"Pasti ada masalahkan?!!"
"Nggak ada apa-apa."
"Erry!!!" Anton menarik tanganku saat aku mau berjalan pergi, "jujur deh! Ngomong aja jujur ada apa. Jangan bikin kita-kita khawatir. Rudi sama Cahyo juga khawatir karena sikapmu aneh belakangan ini."
Aku tersenyum samar.
"Nggak usah sok peduli lah. Aku tau kok kalau kalian cuma pura-pura."
Anton nampak kaget.
Hahaha...masih pura-pura dia.
"Apa sih yang kamu omongin barusan?"
"Orang yang sekolah disini itu isinya penipu semua. Termasuk kalian!! Kelihatannya aja kita ini temen. Statusnya aja temen deket. Tapi aku nggak pernah nganggap kalian ini temenku. Dan kalian juga pasti gitu kan?! Jadi nggak usah sok peduli. Bikin muak tau nggak?!"
Buuuuugghhhhh....
DEG...!!
Jantungku rasanya mau copot saat Anton tiba-tiba memukul dinding yang ada tepat di samping kiri kepalaku dengan sangat keras.
...
...
...
Anton menatapku tajam. Rahangnya mengeras. Aku nggak pernah lihat Anton semarah ini sebelumnya.
"Bilang kayak gitu lagi aku bakal..." Anton mendadak terdiam.
"Ba...bakalan apa? Mukul aku?? Silahkan. Kata-kataku nggak salah kok. Aku tau kamu orang kayak apa. Suka rebut pacar orang. Kamu kira aku nggak tau? Tapi nggak masalah. Aku jadi tau kayak apa orang yang ngaku-ngaku jadi temenku."
Anton masih menatapku. Dia menggigit bibir bawahnya.
"Kamu itu...nggak tau apa-apa," desisnya sebelum pergi meninggalkanku.
Aku menghela nafas. Dan aku baru sadar kalau tingkah laku kami dijadiin tontonan.
"Erry!!!"
...
...
...
Ah sial...
Aku langsung pergi saat melihat Ervan datang mendekatiku.
"Kamu nggak apa-apa? Tadi itu...Anton kan?? Kenapa..."
"Apaan sih?? Nggak usah ikut campur!!"
"Erry!!!"
Aku bersyukur si Ervan nggak ngikutin aku. Kalau dia ngikutin aku...aku nggak tau harus gimana. Aku nggak siap berhadapan langsung sama dia.
Bukannya ke kelas seperti rencana awalku, aku...akhirnya masuk ke toilet. Karena kesal aku menendang apa saja yang ada di sana, tempat sampah dan pintu jadi sasaran.