It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@lulu_75
@melkikusuma1
@liezfujoshi
@kikyo
@hendra_bastian
@hajji_Muhiddin
@sogotariuz
@junaedhi
@abiyasha
@banaaaaanaaaa
Jangan pernah bawa kehidupanmu di depanku,"
Kalimat itu benar-benar membuatku muak. Sungguh aneh rasanya merasa sakit yang sudah sangat lama aku tidak rasa. Ribuan kali aku mendapat kata kasar dari orang lain, namun rasanya sungguh tidak sesakit ini. Apa yang sebenarnya terjadi denganku? Ini benar-benar gila.
Aku bukan aku sekarang. Aku adalah Brian. Ya, aku Brian, bukan aku atau orang lain. Siapa sebenarnya Brian? Siapapun dia, dia berhasil membuatku seperti pecundang.
Tiiiiiin Tiiiiin Tiiiiin
"Shit," umpatku menyadari kontrakku dengan Steve belum berakhir. Dia masih menungguku di mobil.
"Ini,!" Ujarnya sesaat aku masuk ke dalam mobil. Dia memberiku rokok yang tadi dia beri.
"Aku sedang tidak ingin merokok,"
"Aku tidak butuh pendapatmu, hisap sekarang,!" Titahnya mutlak, membuatku mau tak mau menuruti perintahnya.
"Shit," umpatku lirih mendapati kondisi tubuh tak sesuai keinginan kembali menghinggapiku setelah beberapa saat aku menghisap rokok pemberian Steve.
Aku tahu kondisi ini. Hidup di dunia malam membuatku hafal dengan hal seperti ini. Aku menyukai efeknya, tapi aku juga tidak bisa terus menikmatinya. Aku butuh akalku lebih banyak ketika bersama Steve.
"Ini lebih baik untukmu." Ucapnya yang entah mengapa terdengar aneh hingga tak bisa aku tahan senyumku.
Telapak tangan besarnya masih setia mengacak pelan rambutku. Aku ingin menikmati suasana ini, tapi sial separuh otakku sudah tidak bisa aku kontrol. Aku memutuskan untuk duduk meringkuk lebih dalam. Aku tersenyum miris dalam hati, merutuki kondisi nikmat namun fisikku terlihat tak lebih seperti seekor anjing.
Sangat sulit untuk mempertahankan logikaku sekarang. Aku tidak bisa terus melawan, aku tidak kuat. Kupejamkan Mata dan memutuskan untuk mengikuti arus. Aku menyerah dan menikmatinya.
"Aku akan menyelamatkanmu," suara dengungan itu jelas aku tahu maknanya, tapi aku tak yakin bisa tetap mengingatnya.
*
"Steve?" Panggilku untuk yang kesekian kali. Sejak aku berhasil kembali mengumpulkan logikaku, hanya aku seorang di apartment ini. Pandanganku kembali memandang sekitar dan memastikan tidak ada sosok steve.
"Sorry," gumamku ketika aku memutuskan membuka sebuah buku yang selalu Steve bawa. Aku tahu ada sesuatu yang penting di dalamnya dan aku berharap sesuai dengan yang aku inginkan.
Halaman pertama yang aku buka hanya berisi graffiti sebuah nama, dan aku seketika tersenyum saat membacanya. Brian, nama itu yang tertera di dalamnya. Petunjuk awal yang meyakinkan, pikirku.
Halaman kedua hanya berisi foto wajah lelaki yang pernah aku lihat di kamar mandi saat aku memutuskan untuk memangkas rambut. Aku yakin dia Brian. Dia terlihat bahagia. Setelan kemeja kotak dan kaca mata hitam dengan senyum damai terlihat sempurna untuknya. Sifatnya terlihat natural di foto ini, aku yakin Steve juga menyukainya.
Halaman ketiga, berisi lirik sebuah lagu lengkap dengan kunci gitarnya. Aku yakin, ini salah satu lagu karya Brian. Halaman keempat dan seterusnya membuat optimisme yang sejak awal aku punya sedikit meredup karena berisi lagu, sama seperti halaman sebelumnya.
Semua ini membuatku fristasi karena tak menemukan jawaban yang aku cari.
"What are you doing Brian?" Tanya steve yang aku tidak tahu sejak kapan dia masuk.
"Oh, tadi aku mencarimu" jawabku berhasil mengontrol rasa kaget. Dan untungnya, buku tadi sudah aku letakan kembali pada tempatnya yang aku yakin sebelum Steve datang.
"Aku hanya keluar sebentar untuk membeli sesuatu." Jawabnya yang memang terlihat membawa kantong belanja.
"Oh, ya"
"Bersiaplah," titahnya.
"Kita akan pergi?"
"Yeah"
"Where?"
"Club,"
"I love that's kind of place." Jawabku bersemangat.
"Hey, I like your smile." Sambungku menghampirinya dan mencium senyum itu.
Aku sangat menikmati sifat Brian yang sama denganku. Hal itu membuatku kadang lupa siapa aku sekarang. Miris memang jika aku memikirkan betapa mudahnya aku masuk terlalu dalam menjadi Brian. Aku tidak tahu akhir kerjaku bersama Steve akan seperti apa, tapi yang sekarang terjadi adalah rasa penasaranku tentang siapa Brian sebenarnya semakin besar.
"Jangan pernah bawa kehidupanmu di depanku,"
Kalimat itu benar-benar membuatku muak. Sungguh aneh rasanya merasa sakit yang sudah sangat lama aku tidak rasa. Ribuan kali aku mendapat kata kasar dari orang lain, namun rasanya sungguh tidak sesakit ini. Apa yang sebenarnya terjadi denganku? Ini benar-benar gila.
Aku bukan aku sekarang. Aku adalah Brian. Ya, aku Brian, bukan aku atau orang lain. Siapa sebenarnya Brian? Siapapun dia, dia berhasil membuatku seperti pecundang.
Tiiiiiin Tiiiiin Tiiiiin
"Shit," umpatku menyadari kontrakku dengan Steve belum berakhir. Dia masih menungguku di mobil.
"Ini,!" Ujarnya sesaat aku masuk ke dalam mobil. Dia memberiku rokok yang tadi dia beri.
"Aku sedang tidak ingin merokok,"
"Aku tidak butuh pendapatmu, hisap sekarang,!" Titahnya mutlak, membuatku mau tak mau menuruti perintahnya.
"Shit," umpatku lirih mendapati kondisi tubuh tak sesuai keinginan kembali menghinggapiku setelah beberapa saat aku menghisap rokok pemberian Steve.
Aku tahu kondisi ini. Hidup di dunia malam membuatku hafal dengan hal seperti ini. Aku menyukai efeknya, tapi aku juga tidak bisa terus menikmatinya. Aku butuh akalku lebih banyak ketika bersama Steve.
"Ini lebih baik untukmu." Ucapnya yang entah mengapa terdengar aneh hingga tak bisa aku tahan senyumku.
Telapak tangan besarnya masih setia mengacak pelan rambutku. Aku ingin menikmati suasana ini, tapi sial separuh otakku sudah tidak bisa aku kontrol. Aku memutuskan untuk duduk meringkuk lebih dalam. Aku tersenyum miris dalam hati, merutuki kondisi nikmat namun fisikku terlihat tak lebih seperti seekor anjing.
Sangat sulit untuk mempertahankan logikaku sekarang. Aku tidak bisa terus melawan, aku tidak kuat. Kupejamkan Mata dan memutuskan untuk mengikuti arus. Aku menyerah dan menikmatinya.
"Aku akan menyelamatkanmu," suara dengungan itu jelas aku tahu maknanya, tapi aku tak yakin bisa tetap mengingatnya.
*
"Steve?" Panggilku untuk yang kesekian kali. Sejak aku berhasil kembali mengumpulkan logikaku, hanya aku seorang di apartment ini. Pandanganku kembali memandang sekitar dan memastikan tidak ada sosok steve.
"Sorry," gumamku ketika aku memutuskan membuka sebuah buku yang selalu Steve bawa. Aku tahu ada sesuatu yang penting di dalamnya dan aku berharap sesuai dengan yang aku inginkan.
Halaman pertama yang aku buka hanya berisi graffiti sebuah nama, dan aku seketika tersenyum saat membacanya. Brian, nama itu yang tertera di dalamnya. Petunjuk awal yang meyakinkan, pikirku.
Halaman kedua hanya berisi foto wajah lelaki yang pernah aku lihat di kamar mandi saat aku memutuskan untuk memangkas rambut. Aku yakin dia Brian. Dia terlihat bahagia. Setelan kemeja kotak dan kaca mata hitam dengan senyum damai terlihat sempurna untuknya. Sifatnya terlihat natural di foto ini, aku yakin Steve juga menyukainya.
Halaman ketiga, berisi lirik sebuah lagu lengkap dengan kunci gitarnya. Aku yakin, ini salah satu lagu karya Brian. Halaman keempat dan seterusnya membuat optimisme yang sejak awal aku punya sedikit meredup karena berisi lagu, sama seperti halaman sebelumnya.
Semua ini membuatku fristasi karena tak menemukan jawaban yang aku cari.
"What are you doing Brian?" Tanya steve yang aku tidak tahu sejak kapan dia masuk.
"Oh, tadi aku mencarimu" jawabku berhasil mengontrol rasa kaget. Dan untungnya, buku tadi sudah aku letakan kembali pada tempatnya yang aku yakin sebelum Steve datang.
"Aku hanya keluar sebentar untuk membeli sesuatu." Jawabnya yang memang terlihat membawa kantong belanja.
"Oh, ya"
"Bersiaplah," titahnya.
"Kita akan pergi?"
"Yeah"
"Where?"
"Club,"
"I love that's kind of place." Jawabku bersemangat.
"Hey, I like your smile." Sambungku menghampirinya dan mencium senyum itu.
Aku sangat menikmati sifat Brian yang sama denganku. Hal itu membuatku kadang lupa siapa aku sekarang. Miris memang jika aku memikirkan betapa mudahnya aku masuk terlalu dalam menjadi Brian. Aku tidak tahu akhir kerjaku bersama Steve akan seperti apa, tapi yang sekarang terjadi adalah rasa penasaranku tentang siapa Brian sebenarnya semakin besar.
@lulu_75
@melkikusuma1
@liezfujoshi
@kikyo
@hendra_bastian
@hajji_Muhiddin
@sogotariuz
@junaedhi
@abiyasha
@banaaaaanaaaa
Cerita bkin kepo
lanjut.....
X pov
"Ini bukan tempat yang aku pikirkan, tapi terlihat tak terlalu buruk." Gumamku saat pertama sampai di club yang Steve katakan.
"Aku tidak suka tempat yang berisik." Komentar Steve yang kini sudah menemukan tempat duduk.
"Yeah, lebih tenang lebih baik," timpalku berusaha menyetujui.
"Apa kamu punya kebiasaan untuk duduk berjauhan dariku?" Tanyanya yang kemudian aku melihat jarak antara kami di sofa.
"Better?" Ucapku yang kini berada di sebelahnya.
"Turunkan sedikit posisi dudukmu,!" Titahnya langsung aku laksanakan. Bahuku kini lebih rendah dari miliknya.
"Seperti ini?"
"Yeah," ucapnya yang sekarang dengan nyaman memeluk bahuku dari belakang dengan tangan kirinya.
"Why?" Tanyanya melihatku tersenyum saat menghadap wajahnya.
"Nothing," jawabku lebih memilih meminum wine yang Steve sediakan.
Alunan musik yang tidak terlalu keras membuatku cukup mudah menikmati kebersamaan ini. Tapi, aku tetaplah aku, aku bosan dengan kondisi ini terlalu lama.
"Why?" Tanya Steve melihatku menegakkan posisi dudukku.
"Ini membosankan, aku butuh hal lain," jawabku membuat keningnya berkerut. Kupandangi sekitar untuk menemukan solusi dan viola, aku mendapatkannya ketika melihat meja di depanku.
"Tunggu disini," titahku. Aku menuju meja bar untuk memesan minuman yang kuinginkan.
"Tada..." ujarku kembali ke mejaku dengan Steve.
"Aku..." Aku tidak biarkan Steve protes.
"Ssttt.... ini akan lebih menyenangkan," selaku langsung menuang alkohol yang tadi kupesan ke gelas sekali tenggak.
"Aku...." ucapnya kembali aku potong.
"Come on be gentlemen," ucapku memasang senyum remeh.
"Ok," jawabnya tak mau berdebat.
"Good, sekarang kita minum. One... Two... Three.." ujarku memberi aba-aba.
"Aaagghh" rancauku merasa minuman itu melewati tenggorokanku. Kualihkan pandanganku pada Steve, dia juga punya ekapresi sama, namun lebih bisa mengontrolnya.
"More," ucapku.
"No,"
"One more, please?" Pintaku mengeluarkan jurus terakhirku yang aku pikir selalu berhasil. Dan yeah,...
"Ok," aku tersenyum dan semangat kembali menuangkannya lagi. Kali ini tidak ada aba-aba, Steve langsung menenggaknya dan aku langsung mengikutinya.
"Want a dance?" Tawarku.
"No, Dan jangan memaksaku," jawabnya langsung membuatku tersenyum, mengingat baru saja aku akan mengeluarkan jurus itu lagi.
"Oke, izinkan aku menikmati sedikit musik, ini lagu favoritku,"
"Just go," ujarnya menyetujui.
Menghabiskan hampir tiga hari bersama Steve membuatku sedikit kehilangan hal menyenangkan yang dulu aku sering lakukan. Musik dan menari di tempat seperti ini selalu menjadi hiburan tersendiri untukku.
Kehidupan keluargaku yang cukup kacau tidak mungkin menjadi tempat nyaman untukku. Mungkin jika tidak ada Nathan, aku tidak akan sudi kembali ke rumah itu. Nathan menjadi alasan terbaikku untuk melakukan setidaknya secuil hal berguna dalam hidup.
Aku benci jika harus kembali teringat dengan mereka yang menyebutku sebagai keluarga. Keluarga? Itu kata yang sangat jauh dariku. Aku tidak munafik, aku juga menginginkan sedikit bahagia dari keluarga, namun rasa realitisku harus lebih besar untuk kondisi manusia sepertiku.
"Jangan pikirkan hal tidak menyenangkan ketika kamu ingin bersenang-senang." Sela suara di belakangku yang ternyata adalah Steve.
Dia langsung mengalungkan tangannya keleherku. Dia tersenyum, aku menyukainya namun aku tidak bisa berbohong jika ada sesuatu pada dirinya yang tidak aku tahu.
"Kamu mabuk?" Tanyaku mencium aroma alkohol yang sangat kuat.
"No," jawaban khas orang mabuk, dia bahkan sekarang sedikit sempoyongan.
"Kita pulang,!" Ucapku.
"No...." jawabnya yang kali ini jauh dari kesan tegas seperti biasanya.
"Kita pulang, dan aku yang akan menyetir" finalku yang kali ini tidak bisa dibantahnya.