It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ga bisa janji, dek. Ini aja kebetulan abang lagi cuti dua minggu, iseng2 nengokin boyzforum.
Eeeeh...., ternyata bf berubah tampilan.. Congrats deh buat superlove
Tadinya gw pikir topik ini udah tenggelam diseret ombak tsunami. Ternyata masih eksis juga, meskipun banyak postingan yang hilang.
Dan dlm rangka memenuhi permintaan para bfers, ya udah gw repost bagian2 yang hilang.
Ya kan? Ya kan? Ya kan?
pengen rasany ada sesuatu yang lebih dari yang sebelumnya.... [-O< Amin
masa betawi si kang?kaga ade deh org betawi ngomongnya gitu. plg bantar kan ngomongnya gini, "org2 pade kemane ye?" kan gitu ya? hehehe.
p0stngannya abis...
nunggu brapa lama lgi ni?
#sambil gi2tin guling..
Itu sih logat betawi kota. Kalau Betawi Ora (pinggiran), pasti diakhiri dengan "ya". Dan cara mengucapkannya pun unik, seperti ada penekanan, trus tiba2 berhenti.
Itu sih logat betawi kota. Kalau Betawi Ora (pinggiran), pasti diakhiri dengan "ya". Dan cara mengucapkannya pun unik, seperti ada penekanan, trus tiba2 berhenti.
آَمِيّـٍـِـنْ يَآرَبْ آلٌعَآلَمِِيِنَْ
[-O<
udah dtnggu ma tmen2 stia warungmu..
“Nicky!” sebuah nama yang tidak berani kusebut.
Entah berapa lama aku terdiam seperti itu. Mungkin wajahku nampak seperti orang bodoh. Shock, kaget luar biasa dengan kenyataan yang ada dihadapanku ini. Tapi dengan segera kukuasai diriku untuk tidak diam terlalu lama, karena kusadari banyak orang yang hadir di sekitarku. Kupasang senyuman di wajahku, lalu kusapa dia.
“Hallo, Nick!” kataku agak kaku. Menghindari kesan lebay, tapi yang terasa malah kecanggungan.
“Hallo!” balasnya, matanya indahnya berbinar melihat kehadiranku, senyumannya merekah di bibirnya. Shhhh..... senyuman itu....., senyuman yang selalu kuingat dengan jelas, karena terpatri dengan kuat di ujung dendrit-dendrit neocortex-ku. Senyuman yang senantiasa membuat jantungku bergetar. Senyuman itu begitu maut, sehingga membuat kaki-kakiku terasa lemas saat itu. Ingin rasanya aku duduk untuk menenangkan diriku, tapi tidak mungkin. Kupaksakan kakiku untuk melangkah menghampiri dia, karena kulihat dia tidak berdiri menyambut kedatanganku.
Ketika kujabat tangannya, terlihat ada dua buah tongkat kruk tersandar di sampingnya. “Lho, ini?” tanyaku heran. Baru kemudian kualihkan pandanganku ke arah kakinya yang dulu patah. Kaki itu kini terbebat oleh karet putih lebar. Tadi tidak terlalu kentara karena tertutupi oleh celana panjangnya. Aku kemudian berjongkok di dekat kakinya untuk mengamati lebih dekat. Nicky diam saja, tidak bereaksi atas pertanyaanku.
“Kenapa Pak Andi tidak memberi tahu saya kalau Pak Nicky patah kakinya?” tanya seseorang.
Kutolehkan wajahku untuk mengetahui siapa yang mengajukan pertanyaan itu. Ternyata Pak Roland.
Aku tidak sempat menjawab pertanyaan itu, karena beberapa teman kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan lain yang senada. Bahkan seorang teman kemudian mengeluarkan pernyataan yang agak menyudutkanku. “Pak Nicky bisa saja diberhentikan dari pekerjaan karena Pak Andi sama sekali tidak memberi informasi tentang keadaannya.”
Aku bingung, kok aku yang jadi tertuduh? aku sendiri tidak mengerti kenapa Nicky bisa patah lagi kakinya. Aku tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, karena kupikir hanya Nicky yang harus menjelaskannya. Kupandangi saja wajah Nicky, yang sepertinya merasa tidak nyaman atas perhatian yang diberikan oleh teman-teman guru, satu hal yang mungkin belum pernah ia dapatkan selama ini.
Akhirnya Nicky berkata dengan suara rendah :”Ketika terakhir bertemu dengan Pak Andi, kaki saya baik-baik saja.”
“Lho, bukannya anda tadi bilang bahwa patah kaki ketika bermain basket bersama Pak Andi? coba tolong dijelaskan lagi.” Pak Roland yang memang suaranya paling keras diantara kita seolah-olah menjadi juru bicara teman-teman yang lain.
Aku yang masih berjongkok di dekat kaki Nicky ikut setuju dengan permintaan itu, dan menunggu cerita lebih lengkap dari Nicky.
Nicky berhenti berbicara untuk menarik nafas. Kami sama sekali tidak ada yang berkomentar, karena yakin masih ada kelanjutannya.
“Nama tempatnya Haji Yasin. Saya diperiksa oleh seorang tabib muda. Menurutnya, ada kesalahan ketika penyambungan dulu, dan akan berakibat fatal suatu saat nanti. Satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah kaki saya harus dipatahkan lagi baru kemudian disambung kembali.”
“Jadi........... Pak Nicky mau saja kakinya dipatahkan lagi?” tanya Pak Roland
Aku meringis membayangkan bagaimana kakinya dipatahkan lagi. Kulihat beberapa guru juga berekspresi seperti itu.
“Ya, daripada ada masalah suatu saat, lebih baik sekalian saja. Seharusnya saya dirawat disana selama sebulan, tapi saya meminta izin untuk kembali, karena saya belum menyampaikan keadaan saya kepada sekolah.” Kata Nicky
“Kenapa tidak telepon saja? Kan lumayan jauh perjalanan dari sana.”
“Masalahya hape saya tertinggal disini, dan saya tidak ingat sama sekali nomor telepon sekolah.” Jelasnya. Sebuah penjelasan yang menjawab pertanyaan-pertanyaanku selama ini. Itulah rupanya penyebab kenapa teleponnya selalu mati, dan sms dariku tidak pernah berbalas.
“Hahaha..... berarti Mang Suta yang seharusnya memberitahu kami atas ketidak-hadiran Pak Nicky.” kata Pak Roland
“Orang seperti dia mana mengerti masalah administrasi, Pak. Jadi tidak bisa juga disalahkan.” Kata seorang teman yang lain.
“Iya juga....., tapi yang penting kan Pak Nicky sudah ada disini sekarang.................. Maaf, Pak Andi, ya....., tadi kami sempat menyalahkan anda.”
Aku mengangguk saja sambil tersenyum maklum. Aku tak ikut berkomentar, karena berbagai perasaan campur aduk berkecamuk di dalam hatiku.
Bahagia, karena akhirnya tak disangka-sangka Nicky hadir kembali di sekolah ini.
Malu.............., ya aku malu kepada Tuhan, karena setidaknya telah pernah menyalahkan Tuhan yang telah memisahkan kami dengan tiba-tiba. Malu juga kepada Nicky, karena sudah berprasangka negatif kepadanya.
Sedih, melihat kondisinya saat ini, kondisi yang sama sekali aku tidak pernah kuperkirakan sebelumnya. Wajahnya tampak lebih kurus dari dua minggu yang lalu. Kesannya berantakan, apakah itu disebabkan oleh wajah kurusnya atau rambutnya yang agak panjang. Tapi ketampanannya malah lebih menonjol dengan keadaannya itu.
Rindu, begitu besar kerinduanku, setelah berpisah sekian lama. Ingin sekali berbicara berdua dari hati ke hati, namun tidak mungkin aku lakukan sekarang, karena masih banyak teman di sekitar kami.
Teman-teman masih berdiri di sekitar Nicky, bertanya dan mengomentari keadaannya. Sesekali Nicky menjawab pertanyaan dengan singkat seperlunya, khas Nicky. Sesekali juga dia menggulung pipa celananya untuk memperlihatkan kakinya yang kini terbalut karet putih sampai betisnya. Pergelangan kakinya terlihat lebih besar daripada pergelangan kaki yang satu lagi.
Aku sendiri tidak terlalu mengikuti pembicaraan mereka, karena perasaan campur aduk yang memenuhi hatiku. Bahagia, malu, sedih, rindu...................... dan yang paling parah adalah mulai terasanya pergolakan batin.
Sebuah dilema muncul begitu saja memenuhi pikiranku.
Dilema yang kurasakan sangat berat. Aku bingung, aku harus bersikap seperti apa selanjutnya? Sebab aku telah berjanji kepada Tuhan untuk berinteraksi dengannya secara pantas. Aku harus menghilangkan segala rasa yang mengarah pada hubungan sepasang kekasih. Aku teringat bagaimana dalam malam-malamku, aku selalu memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan Nicky kepadaku sebagai seorang adik. Dan aku berjanji dalam doa-doaku untuk tidak lagi terjerumus dalam dosa yang berhubungan dengan itu. Sementara sosok Nicky sekarang begitu jelas berada di hadapanku. Penuh dengan pesona yang dia bawa, pesona yang dulu pernah membuaiku dalam mimpi-mimpi indah. Pesona yang kini datang kembali membuat logikaku lumpuh tak berdaya, sehingga tak mampu mengendalikan seluruh indraku. Mataku selalu dan selalu ingin memandangnya, aku tak mampu mengalihkan pandanganku darinya. Dan setiap kali aku menatap wajahnya, setiap kali juga dia memandangku sambil melemparkan senyumnya yang memikat.
Apakah aku harus menjadi seorang munafik di hadapan Tuhan? Ataukah aku harus menjadi munafik terhadap perasaanku sendiri yang jelas-jelas tidak bisa melepaskan diri dari pesona Nicky yang kini berada di hadapanku. Dia hadir pada saat aku sudah berusaha keras untuk merelakan kepergiannya. Dia hadir pada saat aku beranggapan bahwa dia sudah pergi jauh dari sisiku, sehingga aku sama sekali tidak bersiap diri bagaimana seharusnya bersikap jika dia berada disini untuk saat ini dan seterusnya.
Aku menarik nafas panjang sambil memejamkan mata merasakan dilema yang menyiksa ini. Sesungguhya kalau aku mau tegas terhadap diriku, maka tidak ada kata lain, selain harus bersikap biasa saja kepada Nicky. Namun pertanyaannya sekarang adalah mampukah aku bersikap seperti itu?
Ada bagian dari dalam diriku yang selalu menarik-narikku untuk mengikuti kata hatiku. Bagian itu selalu menyuarakan kalimat-kalimat pembenaran atas keinginan hatiku.
“Tuhan kan sudah mengirimkan Nicky atas permintaanku, artinya Tuhan menyukai hubunganku dengan Nicky.” atau
“Apa tanggapan Nicky nanti, kalau aku berubah sikap kepadanya?” atau
"Aku kan mencintainya dengan tulus, kenapa aku harus mengingkarinya?"
“Ah, Tuhan kan pasti akan memaklumi apapun yang kurasakan, karena Dia kan yang menghadirkan rasa itu di hatiku." atau
"Masih panjang waktuku untuk berbuat baik pada Tuhan, sekarang ikuti saja perasaanku."
Dan berbagai statemen lain yang semuanya itu datang begitu bertubi-tubi memperlemah tekadku yang kucanangkan sejak hari sabtu kemarin.
Begitu dalam aku terhanyut dalam dilema itu, sehingga tidak kusadari teman-teman sudah meninggalkan kami untuk kembali beraktivitas di pagi hari.
"Apa kabar, A?" Suara bas Nicky menarikku dari lamunan itu. Kutolehkan wajahku kepadanya, dia tersenyum melihatku.
"Baik..." kataku agak gugup. Dia masih memanggilku Aa, aku tersentuh.
"Aa kelihatan kurus, sakitkah?" tanyanya. Matanya sayu, tapi senyumannya tidak menghilang dari bibirnya.
"Ah, ngga............... kamu justru yang kurusan." kataku mengelak dari pertanyaan itu, aku juga tersentuh dengan perhatiannya, tapi aku berusaha untuk tidak terbawa oleh perasaanku. Aku mengatakan yang sebenarnya, karena kulihat dia nampak lebih kurus dari dua minggu yang lalu.
"Kapan datang, Nick?"
"Baru saja, sekitar lima belas menit sebelum Aa datang. Tadi mau langsung ke kamar, tapi teman-teman menahanku disini." jelasnya. Membuatku mengerti, rupanya belum terlalu lama Nicky berbincang dengan teman yang lain.
"Oh, pake apa dari sana?" pertanyaanku terdengar basi. Bingung mau tanya apa.
"Kebetulan ada dua teman juga mau pulang ke Ciputat. Jadi kita carter taksi, bayarnya patungan."
Aku tidak tahu mau tanya apa lagi. Jadi aku diam saja. Canggung rasanya. Tapi Nicky tetap menatapku sambil tersenyum.
"Ke kamar aja A, panas disini." katanya sambil mengambil tongkat kruk dari sampingnya dan berdiri.