It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku harus menyampaikan curahan hatiku saat ini kepada Nicky. Orang yang telah memenuhi hari-hariku di dalam hati dan pikiranku.
Untuk Nicky
Adikku, pemberiku semangat,
Dimanapun kamu berada, semoga Tuhan selalu memberikan jalan yang terbaik untuk kamu, Nick.
Meskipun masih berharap untuk bisa bertemu lagi, Aa sekarang rela kehilanganmu, Nick. Aa ga akan sedih lagi kalau tiba-tiba ingat kamu. Semoga kamu baik-baik saja disana, berhasil dengan apa yang kamu kerjakan sekarang. Semoga suatu saat kita dipertemukan lagi dalam keadaan yang lebih baik. Aa menerima alasan apapun yang menyebabkan kamu pergi dari sini. Semoga saja bukan karena kamu marah sama Aa. Tapi seandainyapun kamu memang kecewa sama Aa, tolong berikan maafmu untuk Aa.
Aa belum sempat berterus terang kepada kamu Nick. Dan Aa ga tau apakah Aa akan punya keberanian untuk jujur sama kamu suatu saat. Terimakasih untuk kebersamaan yang sudah kita lewati kemarin. Aa akan simpan kenangan-kenangan indah itu di kedalaman hati. Aa akan selalu tersenyum apabila kepingan kenangan itu muncul ke permukaan. Aa akan selalu mendoakanmu, semoga kamu mendapatkan kebahagiaan di dalam hidup kamu selanjutnya.
Satu Lagi, Nick, sebelum surat ini diakhiri, Aa akan menyanyikan sebuah lagu. Lagu ini sudah lama tidak Aa nyanyikan setelah kenal kamu. Lagu yang sejak dua tahun yang lalu selalu Aa nyanyikan kalau kehilangan seseorang yang Aa sukai.
Semakin Jauh, dari Numata
Setulus hatiku pada dirimu
Telah menahun ku menunggu
Kapankah semua akan berakhir
Terbuktikah kesetiaanku
Kau bawa nafasku pergi
Bersama angin kau berlalu
Tak akan redup cintaku
Ku tau tak pernah bisa mencintaimu
Tak ada cinta tuk diriku
Ku tau tak pernah bisa memilikimu
Engkau kini semakin jauh
Kemanakah arah harus kutempuh
Terhempas ku di batas bimbang
Haruskah ku diam atau kupergi
Melepaskan kesetiaanku
Kau bawa nafasku pergi
Bersama angin kau berlalu
Tak akan redup cintaku
Ku tau tak pernah bisa mencintaimu
Tak ada cinta tuk diriku
Ku tau tak pernah bisa memilikimu
Engkau kini semakin jauh
Engkau kini semakin... jauh
Yah, Nicky, meskipun kamu terasa semakin jauh, tapi cinta Aa untuk kamu tidak akan pernah redup.
Parung, 16 Juli 2006
Hoaaaaahhhhhh!!!!
Segar rasanya badan, setelah tidurku yang kurasa cukup…. Seandainya bisa sebugar ini sepanjang waktu, alangkah enaknya ya tidak perlu tidur lagi……hahaha….
Tapi rugi ah, tidur kan merupakan satu kenikmatan tersendiri. Apalagi kalau sedang sangat lelah karena bekerja sepanjang hari, sepertinya bau bantal dan empuknya kasur adalah hal yang paling dirindukan. Tuhan Maha Adil dengan membuat tidur dan bekerja silih berganti.
Selepas sholat shubuh tadi aku kembali terkapar di atas kasur, karena malam yang cukup melelahkan. Acara inaugurasi sebenarnya berlangsung hanya sampai jam sebelas. Tapi sekitar lima belas teman pria bujangan memperpanjangnya dengan acara api unggun di halaman belakang asrama sambil bakar jagung. Sebagai bentuk solidaritas, mau tidak mau aku ikut juga.
Kami duduk mengelilingi api unggun. Mukhlis menggunakan kesempatan itu untuk memaksaku memainkan beberapa lagu yang sedang populer, pop dan dangdut mengiringi mereka bernyanyi bersama. Sampai pegal jari-jariku dipaksa terus memainkan gitar. Tapi karena hatiku sedang senang, rasa pegal itu tidak terlalu terasa..
Hangat…., itulah perasaanku malam itu karena keakraban begitu terasa diantara kita. Membayar suasana tidak nyaman yang kulewati selama seminggu sebelumnya.
Terakhir, Mukhlis yang duduk di sebelahku memintaku untuk memainkan lagi sebuah lagu klasik. Meskipun sudah lelah, aku tidak menolaknya. Secara spontan aku mainkan lagu Air-nya Jason Becker, sebuah lagu klasik moderen. Hanya lagu ini dan Romance D’amour yang sempat kulatih sore sebelumnya. Kulewati saja interlude-nya, langsung pada bagian intinya, supaya cepat selesai. Agak kaku memainkannya, karena baru satu kali latihan.
Suasana malam itu hening, hanya terdengar suara api unggun dan petikan gitarku sampai lagu itu selesai kumainkan. Begitu selesai, suasana tetap hening. Aku heran, dan ketika aku mengangkat kepalaku, kulihat lima belas pasang mata sedang menatap ke arahku. Aku salah tingkah ditatap segitu banyak orang.
“Sudah selesai?” tanya seorang teman.
“Udah.” Aku mengangguk.
“Lagi dong, satu lagi…., bagus betul tadi.”
Hahaha...., bagus apaan? pikirku. Aku tersenyum saja, mendengar pujian itu. Untung mereka tidak faham musik klasik. Padahal barusan aku bermain kurang mendapat feel-nya, terasa flat, karena banyak bagian yang seharusnya dimainkan oleh dua orang pemain gitar.
“Gantian lah, masak saya terus…” Kataku. Lelah, benar-benar lelah. Ngantuk lagi. Maunya sudah cepat baring di atas kasur. Aku mengangsurkan gitarku ke depan, menawarkan kepada orang yang mungkin mau memainkannya.Tapi sepertinya tak seorangpun berminat untuk menggantikan aku.
“Ga ada yang bisa selain lo.” Kata Mukhlis.
“Iya, Pak Andi………, satu lagu lagi aja buat penutup.” Teman yang lain sepertinya mendukung.
Aku tetap menggelengkan kepala, ragu untuk menerima permintaan mereka. Rasa pegal di jari-jariku mulai terasa mengganggu, dan tiba-tiba juga aku kehilangan ide. Mungkin karena udara yang dingin dan kelelahan.
“Ayo, Di…, kasian tuh mereka masih pengen denger satu lagi……” Mukhlis membujukku sambil menepuk-nepuk pundakku.
Kulihat teman-teman, ternyata mereka semua tetap menatapku seolah mengharapkanku memenuhi permintaan mereka. Aku tidak tega. Itu kelemahanku, sering sekali tidak sampai hati menolak permintaan teman.
Tapi pikiranku benar-benar buntu. Apalagi didesak seperti itu, biasanya tambah tidak keluar ide. Aslinya aku ini memang cuman seorang pemain gitar amatiran, yang hanya bisa main gitar kalau berlatih dulu sebelumnya. Sore sebelumnya aku cuman berlatih dua lagu klasik saja, Air dan Romance D’amour.
Aku menunduk memandang gitarku, kubiarkan saja jariku memetik senar semaunya, dan secara tidak sadar aku ternyata sedang memainkan lagu Semakin Jauh-nya Numata. Mungkin pikiran bawah sadarku yang membuatku seperti itu.
Karena sudah terlanjur, kuteruskan saja lagu itu, dan bibirku pun bergerak menyanyikan liriknya. Awalnya sih lirih saja, tetapi lama kelamaan seperti lepas keluar dari tenggorokanku, seperti lepasnya perasaanku.. Tidak ada satupun teman yang ikut bernyanyi, karena memang lagu ini tidak populer. Begitu selesai, aku langsung berdiri pamit untuk istirahat. Mukhlis menjajariku berjalan menuju kamar.
“Lo lagi patah hati, ya?!” Tanya Mukhlis. Aku menoleh menatapnya, tidak menyangka dia akan melemparkan pertanyaan jitu seperti itu.
“Alaaaahhh…., ga usah boong ame aneeee…. .” katanya. Aku diam tidak menggubrisnya.
“Hmm….. pantes… pantes….” Katanya lagi sambil mencibirkan bibir dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Pantes apaan?”
“Pantes lo kemaren susah banget diajak jalan…. Hmmmm…. Rupanya hati elo ketinggalan di Bontang….. “
Aku ketawa ngakak mendengar kesimpulannya. Biarlah, …….. biar dia puas dengan pendapatnya. Biar dia tidak bertanya-tanya lagi.
“Kenapa, Di? Ditinggal kawin ya sama pacar elo?” Rupanya dia masih penasaran.
“Ah, lo tuh mau tau aja urusan orang…. Udah ah, dah mo pagi nih…., ngomong lo tambah ngaco.”
“Di….” Mukhlis memegang tanganku yang bebas. Tanganku satu lagi memegang tali gitar.
“Hmmm…. apa lagi sih.”
“Bagus banget lagu terakhir tadi. Lo nyanyinya penuh perasaan gitu. Jadi sedih gue dengernya. Ga usah putus asa kayak gitu dong….” Katanya sambil mengusap-usap punggung telapak tanganku. Tatapannya seperti sedang mengasihaniku.
“Apaan sih lo….., ah.” Aku setengah geli setengah jengkel. Kucoba untuk mengibaskan tanganku dari pegangannya. Tapi dia menahannya, bahkan sempat membuatku berhenti berjalan.
“Lo tuh ganteng tau.., Di?“ Katanya sambil menatapku lembut. membuatku risih ditatap seperti itu. Aku memalingkah wajahku dan meneruskan lagi langkahku, dia tetap menjajariku.
“Masih banyak yang mau sama elo.” Katanya lagi tetap serius, sok memberi nasihat.
“Hmmm….. terus?” Aku kadang suka gaya bercandanya yang sulit diprediksi.
“Ya cari lagi lah, apa susahnya buat lo.” „
“Halah...., kirain mo ngomong apaan.“ pikirku.
“Ya udah deeh…., thanks nasehatnya…., udah malem nih, gue cape…” Kataku ketika sampai di depan pintu kamarku.
“Gw numpang tidur di kamar lo ya…., ga enak mo bangunin temenku, keknya udah tidur dari tadi.”
“Yup……, masuk aja…., tapi gw mo langsung tidur ya. Cape banget.”
Aku langsung berbaring di tempat tidur tanpa salin pakaian. Saking lelahnya, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Semangat primavera!!! Aku bangkit dari tempat tidur….. Kuputar lagi CD Vivaldi, kali ini di CD Player. Suasana ceria langsung terasa begitu lagu itu terdengar. La Primavera sendiri artinya adalah musim semi. Lagu ini merupakan rangkaian lagu-lagu Empat Musim (Four Seasons) yang ditulis oleh Vivaldi pada jamannya.
“Berisik, Di! Ganggu tidur gue aja.” Mukhlis rupanya terbangun, dan dia tutup telinganya dengan bantal.
Aku cuek. Biar aja, ini kan kamarku. Hehe. Lagian udah terang.
Udara yang sejuk dan hijau pepohonan yang masih mendominasi, membuat musim semi terasa terus di Parung, Jam menunjukkan pukul delapan. Ah, masih sempat aku lari pagi mengelilingi sekolah dua putaran, belum terlalu panas. Aku bersiap-siap dengan baju kaos, celana selutut dan sepatu kets.
Lagu Primavera sudah selesai, aku pindahkan ke mode radio, kucari berita pagi, siapa tau masih ada. Tapi rupanya aku kesiangan, sudah tidak ada satupun channel yang menyiarkan berita. Akhirnya putaran tanganku nyangkut di sebuah musik melayu………….
“Hmmm.. Zapin!!?” pikirku. Kuhentikan pencarianku untuk mendengarkan lagu itu. Salah satu lagu melayu yang kusukai. Kudengarkan intronya, sambil kepalaku bergoyang-goyang.
“Lumayan nih buat senam pemanasan!” Aku berdiri sambil begerak mengikuti irama lagu melayu ceria ini.
Gerakanku terhenti ketika akhirnya liriknya dinyanyikan.
Balonku ada lima....... Rupa rupa warnanya ….hijau kuning kelabu….dst
“Huahahahaa….” Aku tergelak. Bukan Iyeth Bustami yang nyanyi, tapi Timlo! Kuteruskan senamku sambil mendengarkan lagu lucu itu sampai selesai.
Ketika lagu itu selesai, aku berbalik, dan kulihat Mukhlis sudah bangun. Duduk di pinggir tempat tidur.
„Mo kemana, lo?“ tanyanya, wajahnya masih kelihatan kusut.
“Lari pagi….. mo ikut?”
“Oghgh… ga ah.., ngantuk…….. lo sih ganggu tidur gue. Matiin dong tuh radio.”
Kumatikan radio itu. Mataku tertumbuk pada ponselku. Hmmm…. Kayaknya ada pesan untukku. Kuambil ponsel itu, aku kemudian duduk berhadapan dengan Mukhlis yang masih duduk di pinggir tempat tidur. Aku membuka folder pesan masuk. Kutelusuri pesan-pesan itu. Ada dua pesan masuk, dan bukan dari orang yang kutunggu-tunggu kabarnya. Sedikit kecewa, tapi sekarang mudah sekali bagiku untuk menghilangkan rasa kecewa itu. Aku menjawab satu pesan dari Atin, yang mengabarkan perkembangan tentang orang tuanya yang sudah maklum tentang statusku dan Atin. Satu pesan lagi tidak kujawab, sebab itu pesan dari operator nomor ponselku.
Kuangkat wajahku, dan aku heran, sebab Mukhlis sedang menatapku dengan tatapan serius. Seperti sedang menilai sebuah barang yang akan dibelinya. Kubalas tatapannya, tapi dia tetap menatapku. Akhirnya kujulingkan mataku..... sebal karena ditatap seperti itu.
Mukhlis ketawa. “Jelek lo...!”
“Ngapain sih lo liatin gue kayak gitu?” tanyaku
“Heran aja liat lo. Kemarin-kemarin gue liat lo kayak liat mayat idup. Sekarang kayaknya jadi sedikit gila...., napa lo, abis kesambet ya?”
Aku diam sesaat. Akhirnya kupegang tangan kanannya. “Lis, gue jadi ge-er lo perhatiin gue terus tiap hari. Napa sih lo? Lo ada hati sama gue ya?” tanyaku bercanda, tapi dengan nada serius.
“Amit amit...!! biar dibayar mahal juga gue ga akan pernah naksir lo.” Katanya sambil melengos dan mengibaskan tanganku. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju ke pintu.
Aku ketawa saja. “Abis segitunya lo merhatiin gue...... hahaha....!!”
“Eh, lo mo ikut ga lari pagi?” tanyaku lagi. Aku mengikutinya keluar kamar.
“Ga ah... gue masih ngantuk.” katanya sambil berjalan menuju ke kamarnya.
Ketika aku keluar kamar, suasana sangat sepi, tidak seperti pagi-pagi biasanya. “Pada kemanaan semua orang”, pikirku. Ah, mungkin teman-teman masih menikmati istirahatnya setelah acara tadi malam. Kuteruskan langkahku menyusuri koridor diantara kamar-kamar. Begitu keluar dari gedung asrama guru, aku melihat beberapa teman sedang berkumpul di taman. Rupanya mereka sedang berkumpul disini, seperti sedang mengelilingi sesuatu yang tidak terlihat olehku, karena tertutup oleh tubuh-tubuh mereka.
Pagi yang renyah dengan mentari yang hangat ramah. Sayang sekali kalau aku lewatkan begitu saja, sehingga aku berniat untuk berlari tanpa mengacuhkan mereka. Tetapi seorang di antara mereka memanggilku.
“Pak Andi…..!! Mau kemana? Sini dulu…!!”
Kubelokkan lariku ke arah mereka. Semua orang menoleh kepadaku. Aku heran dengan pandangan mereka. Begitu sampai di tempat mereka berkumpul, baru kulihat ada seseorang sedang duduk di kursi, dikelilingi oleh mereka.
“…?!”
Betawi laaah, influenced by masyarakat Parung, Betawi pinggiran.