It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
kata2 nya agak satrawan sih..tapi mudah kok dipahami..
pengambilan alurny agak gimana ya..baguss dehh..
aku selalu ngebaca..ini aja beru kelarr..nge-but bacanya..
titip mention ya bang.... °^_^°
Can't even explain how the words can fills my heart !! I smile, shiver.
Such a heartwarming story !!
Loovee it !!
Continue and mention me please mas @AryoAjji ! Thx
- Mengapa kata "menikah" bagiku jadi masalah, sebenarnya apa yang salah? -
"Koko.." Chris melirik ke arahku yang masih terlena dengan apa yang baru saja yang terjadi.
"Ya?" Aku menjawab tanpa menoleh ke arahnya. Hanya sebentar saja, dia sudah berhasil membuatku terbiasa dengan panggilan itu.
"Aku tidak suka panggilan itu." Ada bagian hatiku yang tetap tidak suka mendengarnya. "Tapi, kalau kamu yang memanggilku, entah kenapa aku merasa senang." Aku merasa sedang memanjakannya, dengan membiarkannya memanggilku seperti itu.
"Bantuin dong, Ko!" Chris setengah memohon dengan nada manja.
"Bantu apa si?" Aku akhirnya menoleh ke arahnya.
Dia tertawa kecil dan memberi isyarat pada roti yang ada di sampingnya. "Anak ini masih juga lapar?!" Aku bergumam dalam hati. Sepertinya dia memang masih kelaparan karena baru sarapan sebuah kue kecil.
"Bantuin buang?" Aku bertanya dengan nada datar, sengaja menggodanya.
"Enak aja buang... Bantuin ini, aku kan tidak bisa makan sambil nyetir." Dia tampak menyeringai.
"Ok. Sini aku yang nyetir." Aku menawarkan diri.
"Eits!" Chris tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mobil ini hanya boleh aku yang setir, ya? Ini belum lunas tahu!" Dia setengah berbisik untuk kalimat yang terakhir.
"Lha?" Aku memalingkan muka darinya. "Ya sudah."
"Lhoooo," Chris terdengar sangat panjang.
"Kurang panjang tuh." Aku berkomentar sekenanya.
"Ayolah Koko yang baik hati dan tidak sombong. Koko yang lagi ulang tahun, yang paling keren sedunia, bantuin Chris ya?" Dia meminta seperti anak kecil. Sangat terdengar seperti anak kecil.
Aku menarik nafas dan memandanginya sejenak. Dia memainkan matanya sambil tersenyum memelas.
Akupun akhirnya mengulurkan tanganku untuk meraih roti itu dari tempatnya, lalu mengarahkannya ke mulutnya.
Ini pertama kalinya, aku menyuapkan makan kepadanya. Terasa sedikit kikuk, agak canggung, tapi yang kutahu hatiku bahagia dan tidak ingin melewatkan moment ini.
Chris melahap roti itu dengan cepat.
"Hei.. Hei!" Aku berkomentar secara spontan merespon cara makannya. "Jangan terlalu cepat begitu." Aku segera menarik tanganku, menjauhkan makanan itu darinya.
Dia tampak tersenyum sambil terus mengunyah. Sebentar kemudian tampak dia sudah selesai.
"Lagi dong?!"
Aku segera mengulurkan kembali makanan yang tinggal seukuran tiga suapan itu kepadanya. Dan dalam sekali suapan Chris melahap habis roti itu. Aku bisa merasakan bibirnya yang lembut mengenai jari-jariku.
"Hei!" Aku setengah berbisik halus. "Jangan makan tanganku juga lah ya." Aku segera menarik tanganku.
Chris tertawa, masih dengan mulut yang tampak mengunyah.
"Aku kadang iri dengan nafsu makan anak ini. Benar-benar mengagumkan."
Aku bergumam sendiri.
"Kamu ga mau makan?"
"Udah kenyang aku, ngeliat caramu makan."
"Oh.." Dia mengangguk-angguk. "Berarti kamu lihat aku terus deh. Lumayan kan kalau itu sudah bisa bikin kamu kenyang. Kamu bisa hidup tanpa perlu keluar uang banyak untuk beli makanan. Ya, ga?" Dia menggerak-gerakkan alisnya.
Aku tidak menjawabnya. Hanya terdiam dan kembali mengarahkan pandanganku ke luar jendala mobil. Macet. Seperti biasanya.
"Aku kok masih lapar ya."
"Hah?"
"Gimana dong? Makan lagi ga ya?"
"Ga usahlah."
"Kenapa?"
"Nanti juga lapar lagi kan?"
"Yah.. Kan tinggal makan lagi.." Dia tertawa.
Aku hanya menggeleng-geleng dan mengalihkan pandanganku darinya. Bagaimanapun momen-momen seperti inilah yang membuatku semakin menyukainya. Sejujurnya, sampai saat ini, hanya sebatas seperti ini saja yang terjadi. Tetapi kenapa rasanya begitu manis. Begitu membahagiakan.
"Koko.." Chris terdengar memanggil kembali, kali ini terdengar lembut.
Aku hanya menatapnya. Kuanggap itu sebagai sebuah jawaban.
"Mau beli rumah?"
"Mau lah." Aku menjawab seasalnya. Aku sendiri tidak menyangka dia akan bertanya tentang itu. "Apalagi kalau dibeliin." Aku menyeletuk, untuk kemudian kembali memandang ke luar jendela.
"Coba ambil tasku deh, Ko."
Aku tidak begitu bersemangat, tetapi sesaat kemudian tetap melakukan apa yang dia minta.
"Ambil brosur di bagian depan tasku."
Aku tidak berkomentar, hanya membuka bagian depan tasnya, memang ada beberapa brosur di sana. Aku mengambil dan mengeluarkannya.
"Letaknya tidak jauh dari sini. Memang sudah di luar ibukota, tapi masih bisa ditempuh dengan mobil." Chris seolah seperti seorang Salesman yang sedang memprospek calon pembeli.
"Aku tidak punya mobil." Gumamku pelan. Aku kemudian memandangi brosur perumahan baru itu. Hal pertama yang aku pastikan adalah apakah cukup dekat dengan kantorku. Bagaimanapun aku tidak boleh membeli rumah terlalu jauh dari kantorku, karena itu akan membuatku banyak menghabiskan waktu di jalanan.
"Ini tidak terlalu jauh?" Aku bertanya sambil memperhatikan peta yang ada di brosur.
"Ya, kalau kamu bandingan sama apartemenmu yang sekarang, pasti lebih jauh lah ya." Chris menimpali. "Tapi itu tidak bisa kamu bilang terlalu jauh. Kalau yang dekat-dekat sini, harganya sudah selangit."
Aku tersenyum mendengar komentarnya. "Bukannya kamu bilang suka ketinggian?"
"Bukan masalah harga lho ya?"
"Emang ini harganya berapa sih?" Aku membolak balik brosur mencari harga.
"Itu murah lah, ada temenku kerja di situ. Nanti aku kenalin."
"Emang bisa jadi lebih murah kalau kenalan?" Aku tersenyum senang.
"Ya, bahkan itu bisa dibeli tanpa DP lho?"
"Hah, masa?" Aku menatap ke arahnya, setengah tidak percaya. "Kalau ga pake DP jangan-jangan pake Jupe?"
Dia tertawa mendengar komentarku. "Ngawur.." Dia menimpali komentarku. "Itu bisa cicilan tanpa DP. Memang baru bisa ditempati akhir tahun depan, sih. Tapi paling ga bakal kerasa. Tiba-tiba udah lunas aja."
"Wow," aku menatapnya seolah kagum.
"Cuma wow?" Dia membalasku dengan senyuman.
"Kamu sudah persis kayak salesnya, lho. Kamu dapat komisi berapa?" Aku tertawa kecil menggodanya.
"Lho! Jangan salah, Ko." Dia nampak serius. "Aku ini pemilik perusahaannya!"
"Oh, really?" Aku mengangguk-angguk seolah menerima pengakuannya begitu saja.
"Baru tahu ya?"
"Iya, baru tahu. Baru tahu kalau aku bakal dapat rumah gratis, sebagai hadiah ulang tahunku." Aku tersenyum sumringah. "Makasih ya?"
"Sama-sama!"
Kami terdiam sesaat, untuk kemudian tertawa bersama tentang apa yang baru saja kami bicarakan.
"Tapi, Chris. Kenapa kamu tiba-tiba punya ide tentang beli rumah sih?" Aku bertanya kepadanya, kali ini aku serius.
"Hm.." Dia terdiam sebentar. "Bukankah kamu selalu merasa, harus punya rumah dulu baru bisa menikah?" Dia menatapku.
Aku tersenyum mendengarnya. "Jadi, ini semua supaya aku cepat menikah?"
Dia hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaanku.
"Bagaimana denganmu sendiri?" Tiba-tiba aku bertanya pelan. Ada rasa takut menyelinap dibalik hati.
"Aku?"
"Apakah kamu pernah terpikir untuk menikah?"
"Pernah lah ya." Dia menatapku sejenak. "Tapi aku tidak mensyaratkan harus punya rumah dulu."
Aku menarik nafas panjang. "Berarti kamu bisa menikah kapan saja ya?" Aku berkata pelan.
"Ya tidak begitu juga. Nikah kan tetap butuh persiapan. Lagipula bagaimana aku bisa menikah, kalau yang mau diajak nikah ternyata punya syarat."
Deg! "Dia mau nikah? Benarkah?" Mendadak ada himpitan yang kurasakan di dalam dadaku, membuat hatiku terasa sesak.
"Kamu mau menikah?" Aku menatapnya dengan sebisanya menyembunyikan rasa khawatir.
"Iya." Dia mengangguk pelan sambil tersenyum malu kepadaku.
jd nebak2 sendiri ceritanya. good job mas aryo ^^
entah berapa bulir air yg luruh jatuh dari mata ini... sakit sekali saat perpisahan di depan menanti didatangi... akankah berakhir dengan kisah sedih ataukah bahagia datang mengeringkan jejak air mata yg telah terukir indah?... apapun itu selalu kutunggu lanjutannya mas!
btw, nama tokoh utamanya siapa ya? kok gue lupa?!! OwO
apakah pernah ada disebut? #bingung
- Dia jelas-jelas yang pertama, tetapi mungkinkah kami bisa selalu bersama? -
Aku terdiam. Hatiku terasa semakin sakit seperti ada sesuatu yang tajam menyayatnya. Kalau boleh jujur, aku merasa sangat-sangat tidak siap untuk mendengar semua ini.
"Hei?" Chris menegurku. "Kenapa diam?"
Aku segera menatapnya sejenak, sebagai sebuah respon sebelum berpaling beberapa saat setelahnya. Sungguh sulit rasanya untuk menyembunyikan apa yang sedang aku rasakan saat ini.
"Hmm.." Chris bergumam, kemudian diikuti dengan mengucapkan sesuatu yang aku sudah tidak bisa memahaminya lagi. Karena kemudian aku mulai terlalu sibuk untuk menghadapi semua yang berkecamuk di hatiku. Aneh sekali, begitu cepatnya hatiku berganti-ganti rasa dan suasana dalam beberapa hari terakhir ini. Dan itu terjadi hanya karena satu anak manusia ini saja!
"Kamu membiarkannya terlalu jauh!" Perdebatan batin kembali dimulai.
"Terlalu jauh bagaimana?"
"Kamu membiarkankan terlalu jauh masuk dalam hatimu."
Aku hanya menarik nafas panjang.
"Sekarang kamu menyesalkan, kan? Begitu mudahnya hatimu diombang-ambingkan olehnya."
Tidak. Aku tidak merasa begitu. Aku tidak menyesal sama sekali.
"Tidak. Ini semua bukan sepenuhnya karena dia saja. Ini sebenarnya tentang hatiku sendiri. Hatiku terlalu lemah akhir-akhir ini. Bisa kubilang aku akhir-akhir ini agak.. mungkin lebay?" Luar biasa, dalam kondisi seperti ini, bahkan aku masih bisa membelanya.
"Ko, kita dah sampai lho?" Chris tiba-tiba terasa begitu dekat di telingaku, membuyarkan semua lamunanku.
"Oh," hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Kami ternyata memang sudah berada di parkiran kantor. Suasana tampak sepi. Mungkin karena kami datang sudah terlalu siang?
Kurasakan Chris menarikku ke dalam pelukannya. Dan apa yang bisa kulakukan sekarang? Lagi-lagi aku hanya pasrah. Tidak ada penolakan, hanya diam. Sebentar, atau ini mungkin bukan pasrah? Jangan-jangan aku menikmati semua ini?
"Kenapa tiba-tiba diam, Ko?" Chris berbisik di dekat telingaku.
Aku tidak menjawab. Saat ini, aku seperti kehilangan kemampuan mengendalikan diriku sendiri. Blank. Tidak ada respon yang bisa kulakukan. Tidak ada gerakan, tidak ada penolakan, seperti yang selama ini selalu aku lakukan.
"Ko?" Chris mendadak melepaskan pelukannya, lalu mengguncang-guncang badanku yang seperti tersihir tak bergerak. Hatiku menjerit ingin merespon, tetapi tubuhku seperti tidak mampu mewujudkan semua itu.
"Koko!" Chris tampak mulai panik karena kondisiku. Terasa tangannya yang halus memegangi kedua pipiku sekarang.
Aku masih menatap kosong ke arahnya. Dia yang akan segera menjadi miliki orang lain. Sedihnya.
Sementara dalam hatiku terus terjadi perdebatan yang melelahkan, yang menyerap hampir semua tenagaku saat ini. Sesaat, mataku bisa menangkap senyumannya, sebuah senyuman khas yang selalu penuh arti bagi hidupku selama ini, tetapi kali ini senyuman itu tidak membantuku sama sekali, bahkan senyuman itu hanya menambah sakit dalam hatiku.
Mataku terpejam, saat Chris kemudian menempelkan hidungnya ke hidungku. Hembusan nafasnya yang hangat terasa menerpa kedua bibirku. Aku sudah tidak tahu lagi, berapa lama waktu yang terlewatkan dalam kondisi seperti ini. Tapi kedekatan ini, kehangatan ini, bahkan tidak menenangkan hatiku meskipun hanya sedikit, meskipun hanya sebentar saja.
Chris ternyata bertindak semakin jauh. Terlalu kasar rasanya, jika kubilang dia sedang memanfaatkan situasi yang terjadi padaku. Karena toh sebenarnya aku sendiri sudah menginginkan hal ini terjadi sejak lama.
Dan, terjadilah! Kurasakan bibirnya yang lembut menempel tipis di kedua bibirku. Getaran-getaran halus merambat cepat ke sekujur tubuhku. Ada beberapa kilatan cahaya tergambar dalam gelapnya kepalaku saat ini. Itu getaran yang indah, itu cahaya yang sempurna. Seharusnya aku bahagia saat ini, seharusnya aku puas saat ini.
"Sadarlah!" Ada bagian hati yang berteriak berusaha menyadarkanku. "Kumohon.. Lakukanlah sesuatu dengan yang sedang terjadi ini! Dia sedang menciummu!" Tetapi, aku saat ini bahkan seperti tidak tahu ada di mana, antara sadar atau tidak.
Untuk pertama kalinya, dengan begitu lembut dan hangat, dan sedikit basah kemudian, kurasakan bibirnya mengecup bibirku, diiringi dengan nafas kami yang mulai memburu berebut oksigen. Bibir itu juga yang kemudian melumat bibirku halus, begitu halusnya.. namun mampu membuatku langsung merinding. Tetapi kenapa hatiku tetap merasa sakit? Kenapa aku tetap merasa sedih..
Entah berapa lama ini terjadi. Berapa lama aku berjuang untuk bisa menguasai diri dan tersadar dari kondisiku ini, sementara Chris terus menciumiku.
Tiba-tiba terdengar suara pengumuman dari pengeras suara tepat di belakang mobil. Cukup keras, panggilan untuk taksi dengan nomor tertentu, aku tidak dapat mengingat detailnya. Tapi suara itu cukup mampu membuatku tersadar dan segera menarik kepalaku, melepaskan diri dari ciumannya.
Sesaat aku terengah-engah dengan nafasku sendiri. Mencoba mengumpulkan kesadaranku tentang apa yang baru saja terjadi.
"Chris baru saja menciummu!" Aku berusaha menerima kenyataan itu. Kenyataan yang seharusnya membahagiakan, menyenangkan, seharusnya semua itu membuatku melambung ke langit. Bukankah aku memimpikannya sejak lama?
Tapi, tidak. Kenapa aku tidak merasa bahagia saat ini? Kenapa aku tidak merasa senang saat ini. Kenapa aku merasa hatiku semakin sakit? Kenapa aku merasa hatiku semakin ketakutan? Takut kehilangannya.
Chris kembali mencoba menarikku ke pelukannya. Tetapi kali ini rupanya aku sudah punya kemampuan untuk menolaknya. Aku tidak tahu pasti, seperti apa ekspresi wajahku saat ini? Tapi kulihat Chris tampak tersenyum melihat penolakanku.
"Koko, kamu kenapa sih? Lucu lho mukanya kayak orang bingung begitu?" Dia berkomentar.
Aku masih juga terdiam.
Chris tampak menghembuskan nafas panjang, menyaksikan keadaanku yang sejujurnya bukan hanya aneh baginya, tetapi aneh juga bagiku. Chris mengulurkan tangannya, menepuk-nepuk halus pipiku. "Sadar.. Sadar, Ko?"
Aku mengangkat tanganku untuk menepis tangannya. "Apaan sih?" Aku merasa lega akhirnya bisa mendengar suaraku sendiri. Akhirnya aku bisa kembali berbicara!
"Nah," Chris tertawa kecil. "Akhirnya dia ngomong." Dia pun tampak menarik nafas lega.
Aku menggeleng-geleng kepalaku, sambil mengumpulkan kesadaranku.
"Kamu kenapa tuh, tiba-tiba kayak kesurupan tadi?" Chris terdengar menggodaku.
"Hah?" Aku menatapnya. "Kesurupan?"
"Iya, kamu tidak meresponku sama sekali lho tadi."
Aku terdiam. "Apa dia mengira aku kesurupan? Dia percaya dengan hal-hal semacam itu?"
"Koko!" Chris setengah berteriak.
"Ya?" Aku sedikit kaget menjawabnya.
"Jangan bikin aku khawatir terus dong?" Dia memasang mimik memelas. Mataku sekilas menatap bibirnya yang terlihat merah. Bibir itulah yang baru saja menciumku. Ciuman pertamaku!
"Kenapa?" Aku bertanya pelan dan tersipu malu.
"Kamu tidak merespon!" Chris terdengar bergetar.
"Aku baik-baik saja." Aku buru-buru membuka pintu mobil dan beranjak untuk turun.
"Ko?" Suara itu menghentikanku. "Kamu kenapa?"
Aku menatapnya sekilas, tetapi lagi-lagi fokusku terarah pada bibirnya. "Ah, kenapa pula aku jadi fokus pada bibirnya itu!" Aku kembali merasakan panas di pipiku, mengingat apa yang terjadi.
Aku segera memalingkan pandanganku. "Aku tidak apa-apa kok."
"Jadi, kamu ingat tidak dengan semua yang sudah terjadi?" Dia memegangi lenganku.
"Apa?" Aku berbohong, tetapi tidak berani menatapnya.
"Yang baru saja kita.." Dia terhenti, tampak menelan ucapannya sendiri.
"Apa?" Aku menatapnya kali ini. Tetapi hanya mampu sebentar.
"Ah, ya sudahlah. Kita sudah terlalu terlambat." Dia melepaskan tanganku, dan membiarkanku segera turun dari mobil.
Aku menutup pintu mobilnya sambil terus berpikir. Terbayang momen saat dia menciumku untuk pertama kali, terus menerus. Dan pertanyaan yang muncul di hatiku, kenapa momen indah itu sama sekali tidak terasa membahagiakan untukku saat ini?
Chris menempatkan tangannya dipundakku, menarikku dengan cepat dan lagi-lagi mendaratkan ciuman di pipi kananku.
"Chris!" Aku segera merespon, melepaskan diri darinya dan mengusap-usap pipiku yang terasa sedikit basah.
Chris tampak tertawa senang melihat responku. "Nah, ini baru Koko yang aku kenal!"
"Ini kantor!" Aku setengah berteriak dan berjalan cepat meninggalkannya.
"Aku tahu." Chris menyusulku. "Jadi yang tadi benar-benar ga ingat?"
Aku memencet tombol saat sampai di depan lift, tidak menjawab pertanyaannya. Aku tahu, dia menanyakan masalah ciumannya tadi. Tapi entah kenapa, aku memilih untuk tidak memberitahunya, bahwa aku benar-benar ingat semua itu.
"Ko!" Chris setengah berbisik.
"Apa sih? Ingat apa?" Aku memasang tampang galak. Dan itu bertepatan dengan pintu lift terbuka.
Chris segera mendorongku masuk ke dalam lift. "Bukan apa-apa."
@CurhatDetected
@ethandio
@4ndh0
@9gags
@Fuumareicchi
@tarry
@Ray_Ryo
@Muabhi
@Autumn2309
@yeniariani
@banana24
@Gaebara
@TigerGirlz
@Hiruma
@d_cetya
@ularuskasurius
@3ll0
@Wook15
@Monic
@erickhidayat
@ebing3
@AndreaDeka
@al_vino
@Rimasta
@delusi
@shuda2001
@anohito
@Tsu_no_YanYan
@BieMax
@bumbu