It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Pukul 18;25, Pakde Rus menghampiriku dirumah. Saat itu aku baru saja selesai Tadarus.
Senangnya diajak melaut, sebenarnya saat Pakde hendak mengajakku, Bapak sempat kembali melarang, krn cuaca saat itu tampak mendung tebal. Tapi Pakde Rus kembali meyakinkan Bapak bahwa kami hanya akan Miyang dibeberapa ratus meter saja dari bibir pantai. Hhh terimakasih Pakde...
Pukul 18:45 aku dan Pakde tiba di sungai Payau. Terlihat beberapa Pria dan Pemuda2 yg berbenah di Perahu yg akan kita gunakan untuk Miyang nanti.
"woi, piye? Wes beres po? (Hoi gimana? Udah beres semuanya?)" teriak Pakde rus pada mereka.
"beres, nggeri mangkat (beres.. Tinggal berangkat)" teriak seorang Pemuda yg hanya menggunakan Singlet dan sempak saja.
Jendolan itu besar sekali aku lihat. Otot lengannya kekar, perutnya ramping rata, rambutnya gondrong, wajahnya tegas, rahang kuat, mata sedikit sipit. Kulit coklat. Entah kenapa sedikit berbeda rasanya aq melihatnya... Terangsang? Ah ada-ada saja kamu Tang.
"ayo rwa mangkat (ayo berangkat)" ajak Pakde Rus.
Beberapa Pria muda mulai masuk ke perahu. Ada juga mas Imam, mas Arifin, mas Andi, Pakde Sugiarto, Pakde Waluyo dan Pakde Rus sendiri. Aku ikut saja naik ke Perahu. Kami sengaja memilih Perahu yg besar, karena perahu yg besar ini ada penutupnya, untuk jaga-jaga saja jika nanti saat Miyang turun hujan.
"kok nderek nang? (kok ikut nang?)" sapa pakde Waluyo padaku. Dia masih kerabat denganku, ayah Pakde Waluyo adalah kakak dari Ayah bapakku. Intinya, pakde dan Bapak adalah sepupu.
"nggeh pakde, dijak Pade To (iya pakde, diajak Pakde To)"
"tak jek aku Yo. Misa'ke de'en mau manceng ora entok iwak. Lha nak tak jak miyang porak enko weroh akeh iwak ck" timpal pakde To terkekeh. Sepertinya dia tengah mengejekku, bahwa aku tidak bisa memancing. Padahal dia tidak tau saja, sungai ini memang sudah jarang sekali ikannya. Hhh
"ayo ayo mangkaatt" teriak Pakde Rus.
Perahu pun mulai mentengah dari bibir sungai. Dan langsung melaju mengikuti aliran sungai. Sungai ini memang langsung melaju ke Jantung Laut. Tak perlu waktu lama untuk kami jumpai Air Asin. Sejenak kita lewati Phon-pohon tembakau dipinggiran lumpur sana, barulah kita melayar dilaut..
Hh angingnya benar-benar sepoi-sepoi. Cukup dingin, ditambah lagi diujung langit utara sana awan hitam tampak menebal. Tapi kenapa Mas itu tak dingin hanya memakai Sempak san Kaos Singlet saja...?
"kowe kok sempakan tok kin? (kowe kok cuma pake sempak kin?)" tanya Pakde Waluyo pada pemuda yg dipanggilnya 'Kin itu.
"porah pak, sisan teles'e (iya pak, sekalian basahnya)" jawabnya.
Jendolannya besar sekali, sempak biru yg lusuh itu benar-benar seperti sesak sekali. Sesuatu didalamnya seperti hendak ingin keluar saja. Tak pernah sebelumnya aku memperhatikan kemaluan lelaki sejeli ini.
"seneng dijak Miyang? (senang diajak melaut?)" tanya mas Imam disampingku yg membuat lamunanku terhadap jendolan itu buyar seketika.
"hehe senenglah, rak tau numpak perahu aku mas (hehe senanglah, ga pernah naik perahu aku mas"
Mas Imam, senyum saja. Dia juga memakai singlet, dengan Bokser kuning lusuh cukup ketat. Bulge (jendolan) nya juga terlihat amat besar dan kokoh. Orang-orang disini memang nampaknya cuek-cuek saja dgn keadaan mereka sendiri. Padahal jika saja mereka tau aku memperhatikan kemaluan mereka, mungkin mereka akan berfikir dua kali untuk blak-blakan seperti ini.
"adahh adahhh.. Kebelet nguyuh..." sergah Pemudah yg dipanggil Pakde waluyo 'kin itu sembari berjalan tertatih-tatih ke pinggil perahu. Hendak kencing dia rupanya.
Ia berdiri mengangkang dipinggir perahu. Tepat disamping aku, mas Imam, dan pakde Waluyo yg tengah duduk dipapan duduk yg memang disediakan untuk duduk.
Ia mengangkang dibawah temaram lampu yg pengcahayaannya tidak terlalu terang. Otot lengannya, paha kekar gelapnya, benar-benar seksi.
Disibakkannya sempak biru itu dari lubang samping, dan keluarlah Peli dan dua kontolnya yg menggantung ketat. Besar sekali, orang-orang dikampung ini memang memiliki Kemaluan yg rata-rata besar-besar. Hh darahku berdesir. Entah kenapa aku jadi ingin memperhatikannya. Adekku dibawah sana juga sedikit menegang..
Sebenarnya aku juga dulu pernah melihat Peli dan Kontol pakde Waluyo saat dia buang hajat disungai. Besar sekali,. Pakde waluyo orangnya tinggi, gagah, kekar otot-ototnya. Kebanyakan para nelayan memang badannya proporsional untuk ukuran lelaki, perutnya pun ramping, padahal beliau sudah menginjak kepala 4. Saat pakde Waluyo membasuh Peli dan Kontolnya, benar2 gondal-gandul kemaluan itu disentuhnya. Besar sekali.
Oke kembali ke mas yg sedang kencing itu. Ku mencoba untuk berpura-pura melihat mendung, padahal sebenarnya hanya agar aku dapat leluasa memperhatikan kemaluan itu. Kuubah posisiku menghadap mas Kin yg tengah kencing itu.
Orang-orang disebelahnya tampak cuek saja dengan keadaanya yg tengah kencing seperti itu. Sangat berbeda dengan ku yg sedang bilngsatan disini.
Hh cuuurr.. Masih saja memancur, air itu mengalir tebal, bening putih, dan lama..
Kulihat Pakde Waluyo sempat melihat kearah kemaluan Mas 'kin itu. Tapi hanya sesaat sebelum akhirnya pakde memandang kearah lain. Ahh mungkin krn mereka sesama lelaki, jadi tak ada rangsangan, gairah atau apapun. Laki-laki melihat kemaluan laki-laki lain, itu sama saja seperti mereka melihat tangan, kaki, lengan dan sebagainya. Jadi ya biasa saja, berbanding terbalik 180 derajat denganku..
Pancuran air kencing itu mulai melemah, cruuut cruut crut, tersendat-sendat dan akhirnya berhenti mengucur. Tangan mas Dikin hendak mengambil air laut, mungkin ia ingin membasuh kemaluannya dengan air. Ia menungging-nungging disana hendak mengambil air laut, tapi kulihat, sepertinya air itu tak sampai dijangkaunya.. Perahu ini terlalu tinggi.
"mrene cewok kene (sini cebok disini)" melihat mas 'Kin kepayahan seperti itu, mas Imam menawarkan Mas 'kin untuk cebok dengan air didalam ember kecil yg dibawanya.
Dengan peli dan kontol masih keluar dari pinggiran celana dalam itu, mas Kin berjalan kearah mas Imam. Kontol itu terayun-ayun. Gondal-gandul besar sekali.
"gedi neni pelimu kin? (besar sekali penismu kin)" celetuk Pakde Rus pada mas 'Kin.
Mas Kin Nyengir saja..
"lah kui yo mbesok nek rabbi, bojone njerit-njerit (lah itu kalo nikah ya istrinya menjerit-njerit)" timpal pakde waluyo sembari tekekeh.
"semene iki mosok gede pak? (segini ini masa besar pak?)" ujar mas 'Kin sambil ngangkang dihadapan mas Imam, lalu kemudian membasuh kontolnya dengan air ember yg dibawa mas imam.
Ahhh Vulgar sekali. Padahal mas Kin ini ganteng lho. Matanya tajam, hidungnya mancung, tegas, kulitnya aga coklat, tapi justru itu yg membuatnya semakin ganteng. Rambutnya gondrong sedikit kusut, jadi lebih terkesan manly. Kalian tau Virzha Idol kan? Nah rambutnya mirip-mirip dengan mas 'kin.
Mas Imam, cekikian saja sambil melihat kemaluan mas Kin yg gondal-gandul besar sekali itu.
"iki kontol po bal kasti? (ini buah Zakar apa bola kasti?)" goda mas Imam dengan mennyentil kontol mas 'kin.
Kontol itu sedikit goyang-goyang karena disentuh tangan mas Imam. Ahh gondal gandul saking besarnya.
"athaahhhhh celeng kie (athaahhhh babi..)" sergah mas 'Kin sambil menepis tangan mas Imam.
Sontak yg lain tertawa saja melihat ulah mereka, aku juga tertawa saja.
Dimasukannya lagi kontol besar itu kedalam sempak lagi. Ahh pertunjukan selesai.. Padahal aq sangat menikmatinya.. Tapi jika seandainya kontol itu tetap dibiarkannya diangin-anginkan. Aku akan tambah tidak karuan disini.
Entah sejak kapan aq merasa seperti ini, tapi jendolan dan kontol-kontol mereka benar2 besar dan membuatku kelabakan... Hh
Tak terasa perahu kami sampai di gardu perbatasan Air laut dalam dengan Air laud dangkal. Aga' mentengah memang, tapi pantai tetap masih terlihat jelas dari sini. Awan gelap semakin pekat saja, bintang-bintang diatas sana sama sekali tak terlihat kerlipannya. Justru malah kilat-kilat putih yang terlihat seiring dengan gemuruhnya petir. Sepertinya akan turun hujan..
"kowe kene sek Tang, Pakde tak nggaet iwak. Ojo mingger perahu enko kejegur (kowe disini dulu Tang, Pakde meh ngambil ikan. Jangan kepinggir-pinggir ntar jatuh)" Ucap pakde waluyo padaku.
"pakde nek oleh rajungan gawe Bintang yo (Pakde, kalo dapet rajungan kasih ke aku yo)" pintaku.
Aku emang suka sekali dengan rajungan.
"ora mentengah laut yo ra ono rajungan. Paleng enko nek onone urang.. (ngga mentangah ya ga ada rajungan, paling nanti kalo ada ya Udang)"
"jiahh nek urang mah bosen. Bapak nek mantuk nggowo urang terus (jiah udang mah bosen, bapak kalo pulang pasti bawa udang terus)" tolakku.
"yo wes enko sak ento'e. oke? (ya udh nanti sedapatnya, oke?)" Pakde waluyo mengusap kepalaku sebelum akhirnya meninggalkanku untuk menangkap ikan-ikan itu.
Pakde Waluyo emang sangat baik padaku. Aku sering menginap dirumah beliau. Beliau pernah bilang kalo aku sudah dianggap sebagai anaknya sendiri, karena beliau tidak punya anak laki-laki, dan ingin sekali memiliki anak laki-laki. Saat aku hendak pergi ke sekolah, dan beliau melihatku, beliau pasti memberiku uang jajan. Bahkan dibanding bapakku sendiri sekalipun, Pakde Waluyo jauh lebih memanjakanku. Jarak rumah kami memang hanya beberapa sekat rumah saja, krn itulah aku sering menginap dan dekat sekali dengan pak de Waluyo.