It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@silveliniingggg @yirly @liezfujoshi @derbi @okky
@van_ey @alvinchia715 @shrug
@gelandangan @viumarvines @centraltio @ ; ;rhein.a
@daser enjoy.
Sungguh sangat tak pernah kubayangkan, akhirnya setelah apa yg kami lewati ternyata kami juga bisa membangun suasana romantis seperti ini.
Kurasakan Toni menggeser posisinya, mungkin duduk.
Aku masing mengantuk dan membalikan badan lalu membelakanginya.
Toni menepuk pundakku.
"Al, bangun, katanya mau lihat sunrise."
"Ehhhmmm,,"
Hah, aku kalah melawan kantuk! Mereka seperti merekatkan kelopak mataku dengan lem super duper lengket.
"Al, bangun ih! Kebiasaan!"
"........"
Memang sudah menjadi kebiasaanku bangun telat, jadi seolah tubuh ini sudah tak mau diajak kompromi untuk merasakan angin subuh.
Dan akhirnya Toni mengangkat tubuhku, dan membuatku duduk.
"Apaan sih? Masih ngantuk Ton!"
"Hayuk! Entar ketinggalan sunrise!"
"Ahhhh.."
Kujatuhkan lagi badanku dan Toni menahannya. Sial!
Dia langsung menuntunku duduk lagi.
Aku pun duduk seperti orang yg telah meminum segalon alkohol.
Kukucek mataku yg terasa berat.
Tangan Toni langsung menarik tubuhku keluar tenda.
Setelah keluar tenda kudapati ombak yg masih berkejar-kejaran.
Burung-burung yg sudah berlalu-lalang mencari makanan.
Beberapa nelayan sudah mendarat di pantai.
Pohon nyiur juga tak henti-hentinya bergoyang setelah diterpa oleh angin laut yg berhembus kencang dengan membawa kesejukannya.
"Eeesssshh.."
Aku menggesek-gesekan kedua telapak tanganku. Aku kedinginan.
Namun rajaku tak tinggal diam, dia langsung memberiku jaket yg di kenakan.
"Makanya bawa jaket!"
"Aku kan gk tau kita bakal nginap."
"Berarti aku berhasil dong ngasih surprisenya."
"Berhasil banget sayang. Hihihi."
"Apa? Ngomong apa? Cobak bilang sekali lagi?"
"Apaan sih?"
"Yg tadi ngomong apa barusan?"
"Oh, yg sayang itu."
"Iya, tumben Al, manggil aku sayang, ada apa? Hahaha."
"Karena aku sayang bgt samamu Ton."
"Aku juga kok."
"Rasa sayangku yg lebih byk Ton."
"Sepertinya rasa sayangku Al."
"Aku!"
"Aku!"
"Aku! Titik!"
"Yaudah imbang."
Aku tersenyum mendapati jawaban skeptis Toni.
Dia menuntunku duduk di atas pasir putih di depan tenda.
"Duduk ah."
"Iya."
"Bentar lagi Al sunrisenya."
"Okeoke."
"Kamu masih kedinginan?"
"Enggak, kamu?"
"Dingin sih."
"Rasain!"
"Ih tega!"
"Biarin."
"Dasar.."
"Ton!"
"Ya Al."
"Aku kan udah cerita tentang om Bambang kemarin?"
"Iya. Kenapa?"
"Kira-kira dia bisa meyakinkan ibu gk ya?"
"Semoga saja."
"Ton, kalo gk berhasil gimana?"
"Ya.. Mau gimana lagi?"
"Jgn gitu dong Ton! Aku gk mau menikah."
"Sebenarnya, akupun gk mau kamu menikah dengan wanita itu. Tapi kan kamu punya keluarga Al, apa kamu sanggup untuk egois?"
"Itulah yg jadi pokok masalahnya."
"Dengan Al, sudahlah. Kita hadapai aja, bencana pasti akan selalu terjadi. Tetapi takut adalah pilihan. Jadi jika kita sudah memilih takut, itu sama saja kita telah kalah."
"Okelah Ton."
"Hey lihat itu!"
Toni menunjuk secercah cahaya di ujung laut sana, cahaya itu langsung memberi efek terang pada seluruh permukaan bumi. Cahaya jingga keemasan.
Kami duduk depan tenda dengan bermandikan cahaya pagi dengan alunan gemerisik angin yg merdu.
Aku.. Takkan pernah melupakan ini Ton.
"Mau pulang sekarang Al?"
"Bentaran."
"Kenapa?"
"Aku masih takut menghadapi ibu."
"Al, aku tadi bilang apa?"
"Gk semudah teori Ton"
"Kita belum tahu kan sebelum di coba?"
"Iya sih."
"Hadapi Al, apapun keputusanmu akan aku dukung meskipun keputusanmu itu egois."
"Oke.. Aku coba."
"Kita pulang?"
"Oke, tapi bawa mobilnya pelan ya.."
"Iyaa haahhaha dasar!"
Toni tertawa dan mengacak-acak rambutku setelah itu kembali ke tenda.
Setelah 15 menit semuanya sudah selesai.
Kami akhirnya meninggalkan pantai yg menjadi saksi sebuah cinta dari anak manusia yg rumit.
Selamat tinggal PaTonDi.
Pantai Toni Aldi, hahahah. Aku sudah menjadi orang yg berlebihan sekarang.
_________________________________
"Ton, aku takut."
"Al.."
"Temenin aku Ton."
"Tapi.."
"Udah ayok."
Aku menarik tangan Toni keluar mobil, dia turut saja saat aku menggeretnya. Dia tak melawan.
Aku semakin deg-degan saat aku sudah di depan pintu. Tanganku yg bergetar mengetuk pintu dan mengucap salam.
Hari ini hari yg cerah, matahari berisinar dengan gagahnya. Namun beda halnya dengan perasaanku yg gelap bercampur rasa takut.
Suara langkah yg tergopoh-gopoh berlari ke arah pintu dan membukakan pintu.
Mira.
"Eh, bg Al, eh ada bg Toni. Silahkan masuk bg."
"Iya Mir."
Aku masuk dan Toni menurut.
"Mir, ibu mana?" Tanyaku pada Mira.
"Di dapur."
"Kemarin Om Bambang ada kemari?"
"Ada, kemarin sore. Tapi Mira ada kelas bimbel jadi gk bisa lama-lama ngobrol sama om, emang kenapa bg?"
"Gk da, sudah sana. Kamu gk sekolah?"
"Iya bentar lagi, ini juga dah mau berangkat."
Mira hambur membawa sepatunya ke depan rumah. Memakainya. Dan berlalu meninggalkan kami.
Dialah adikku yg paling kusayang, bagaimana aku bisa meninggalkan dia ya? Apakah aku seegois itu?
Ahh.. Aku merasa seperti telur di ujung tanduk.
"Al, aku pulang ya."
"Bentar Ton, kita jelasin semua sama ibu."
"Ehmm,.."
"Kamu takut?"
"Sedikit sih."
"Tuh kan praktek lebih susah daripada teori! Hehehe."
"Yawdah kamu menang."
"Aku panggilin ibu ya."
Aku berjalan menuju dapur, kudapati ibu yg lagi sibuk dengan aktivitasnya seperti biasa.
"Bu."
Ibu menoleh kearahku, lalu kembali mengebalikan pandangannya pada pisau yg sedang mengiris wortel.
"Bu."
"Hmmmm.."
"Ibu lagi apa?"
"Kamu dari mana kemarin, jam segini baru pulang?"
"Tidur di resto buk."
Terpaksa aku bohong.
"Hmm.."
"Buk, di depan ada Toni."
"Ngapain dia kesini?"
"Aldi yg ngajak buk, kita harus bicara!"
"Udahlah Al, ibu dah bosen! Kemarin juga ibu udah ngomongin itu dengan om Bambang. Ibu capek ngurusin kamu aja, anak ibu bukan kamu aja."
"Tapi bu.. "
"Ywdah, ini terakhir ya, apapun keputusan ibu dari percakapan kita nanti itu adalah hasil akhir dari masalah ini."
"Ii-iya buk."
Aku pasrah, apapun yg terjadi adalah kehendak dari Yang diatas. Memang kita tak bisa melawan takdir.
"Sudah sana temenin dulu Toni. Ibu mau buat minum."
Aku mengangguk dan melangkahkan kakiku ke ruang tamu, kulihat Toni masih duduk anteng disana, matanya langsung menangkapku saat aku sudah memasuki ruangan ini.
Aku pun duduk disampingnya.
"Bentar Ton, ibu masih buat minum."
Toni mengangguk dengan senyum hambar.
Dan setelah 5 menit menunggu ibu datang.
Ibu meletakkan nampan dan duduk dihadapan kami berdua.
Kami seperti terdakwa yg sedang di adili.
"Ibu sebenarnya sudah bosen Al dengan masalah ini."
Ibu memulai pembicaraan.
"Om Bambang udah jelasin semua kan bu." Jawabku.
"Udah, tapi memang ibu memikirkan perkataannya, untuk lebih meyakinkan ibu. Jelasin semua sama ibu." Jawab ibu.
"Sebenarnya bu, Toni sudah menjalani hubungan ini sudah 2 tahun bersama Aldi." Toni mengeluarkan suara.
"Iya buk." Kataku.
"Lalu?" Tanya Ibu.
"Kami saling mencintai buk, cuma itu yg bisa saya sampaikan buk." Jawab Toni
"Semua udah Aldi katakan kemarin sama Ibu, jadi Aldi juga sudah gk da lagi yg mau dikatakan." Jawabku.
"Baiklah... Kalian."
Aku tak percaya ini.
Mention ya? Please
apakah semua ibu bisa berbesar hati spt ibu Aldi?
Ditamatin aja ya, biar gk kepikiran
@silveliniingggg @yirly @liezfujoshi @derbi @okky
@van_ey @alvinchia715 @shrug
@gelandangan @viumarvines @centraltio @ rhein.a
@daser @andikariskisya2 part terakhir biar gk kepikiran lagi. Enjoy please!!
"Baiklah,, kalian sudah menentukan yg terbaik buat kalian. Jadi ibu hanya ingin Aldi bahagia. Apa yg kalian lakukan sebenarnya blum bisa ibu terima. Tapi ibu gk bisa buat apa-apa. Ibu bukan tipe orangtua yg egois atau mementingkan pandangan orang lain. Aldi juga sudah cukup dewasa untuk memilih apa yg benar dan salah. Bagaimana pun perbuatan baik kita, akan selalu ada yg tak suka, apalagi kita berbuat yg tidak baik. Ibu tidak bisa menggolongkan perbuatan kalian ini baik atau tidak. Pasti kalian sudah menggolongkannya kan? Pandangan orang lain pada dasarnya selalu tertuju pada pandangan umum. Pandangan tentang sebagian besar orang atau mayoritas. Tapi ibu takkan menyusahkan kalian, apapun yg kalian lakukan selama kalian merasa bahagia, ibu akan mendukung. Itu keputusan ibu. Tapi ingat pesan ibu, bersiaplah untuk menghadapi penolakan sosial, kalian harus siap."
Aku tak percaya ini.
Ibu menggamblangkan semuanya sampai ke akar-akarnya.
Aku dan Toni saling menukar pandangan, pandangan kami sulit untuk di kualifikasikan, apakah itu pandangan bahagia atau bingung.
Kami hanya berbicara melalui mata, tentu saja hal ini sulit untuk di mengerti.
"Bu, apa Om Bambang?"
"Om Bambang sudah ngomong sama ibu panjang lebar. Pokoknya semuanya sudah jelas. Tapi ibu dan om Bambang sepakat untuk menyembunyikan apa yg kami bicarakan. Tak semuanya dapat dibagi melalui lisan maupun tulisan. Ada kalanya kita hanya berharap untuk menjadi rahasia yg akan kita jaga sampai nyawa kita tak tergenggam lagi."
Rahasia? Apakah Om Bambang sudah menceritakan tentangnya dan Ayah?
Lalu kenapa reaksi ibu sepertinya biasa aja?
Om Bambang berhutang penjelasan padaku.
"Bu, kami akan ke.." Toni memulai bicara.
"Kami keluar sebentar bu.." Aku langsung memotong.
Aku tau pasti Toni ngomong yg macem-macem. Pasti dia akan berkata kami akan keluar negeri untuk mensyahkan cinta kami. Dia tak mau menunggu lama ternyata setelah dapat restu dia langsung melancarkan aksinya. Seperti ibu akan berubah pikiran saja? Dasar tak sabaran.
"Baik, kalian pertimbangkan dulu apa yg kalian lakukan, 5 menit kemudian kembalilah, ibu menunggu disini. Ibu ingin tau apa rencana kalian ke depan!"
"Iya bu.."
Aku menarik tangan Toni dan menggeretnya ke teras. Toni mengikut saja tanpa byk berkomentar.
Kududukkan dia di kursi.
"Tadi mau ngomong apa?"
"Bilang aja Al, kita mau menikah di eropa!"
"Mimpi! Emang kita kaya? Emang kita bisa mewujudkan semuanya? Jgn buat khayalan kita kemarin sebagai keseriusan. Itu hanya sebagai ungkapan khayalan yg manis."
"Tapi Al!"
"Gini Ton, ibuku single parent, Mira masih kelas 1 SMA, aku masih dibutuhkan di keluarga ini, aku adalah kepala keluarga. Dan apakah seorang kepala keluarga akan seegois itu? Maaf kalau aku ngomong gini Ton, aku dan kamu beda, kita beda. Kau bisa melakukan apapun sekarang tanpa ada yg akan tersakiti dan terabaikan. Lah aku? Kumohon mengertilah Ton."
"Maaf Al, aku sempat berpikiran sempit. Tapi aku hanya benar-benar senang saat mendengar perkataan ibumu dan mengabaikan semua. Tapi apa yg akan kita lakukan sekarang?"
"Tunggu sampai Mira lulus."
"Lulus apa?"
"Lulus dan menjadi perawat."
"Dia mau jadi perawat?"
"Iya."
"Kira-kira berapa lama?"
"4-5 tahun lagi."
"Lama bgt Al."
"Kita juga akan sekalian menabung Ton. Kumohon bersabarlah."
"Tapi.."
"Ton, sebenarnya hubungan kita seperti ini susah untuk dibawa kemana-mana. Itu tergantung dari kita seberapa lama kita dapat bertahan."
"Al, aku tau. Hanya saja aku tak bisa memastikan bahwa waktu akan berpihak pada kita."
"Kita berdua akan menghadapinya. Ada aku dan kau, Apa kamu meragukan itu? Semakin lama kita bersama maka akan semakin erat ikatan kita. Dan semakin susahlah untuk melepaskan ikatan itu, hingga dunia pun akan kewalahan. Kumohon, bersabarlah. Semua indah pada waktunya. Bukan saatnya kita bertingkah egois dan mengklaim bahwa dunia ini milik kita berdua hanya karena kita sedang saling jatuh cinta. Banyak kok pasangan-pasangan lain yg merasakan hal yg sama. Tapi sebagian dari mereka bisa untuk menyatukan cinta mereka tanpa ada pihak yg terabaikan dan tersisihkan."
"Al.."
"Ton, cinta itu bukan hanya diantara kekasih, cinta itu selalu ada diantara orang yg terkasih. Cinta bisa ada diantara anak dan orangtua, kakak dan adik, guru dan murid, dan lain-lain. Namun pasti dengan versi yg berbeda di setiap tempatnya. Kita tak bisa menjalani cinta yg lain dan mengabaikan cinta yg lainnya.
Kita..."
Belum sempat aku melanjutkan omonganku, Toni langsung memelukku.
Aku terkesiap dan hendak melawan karena takut dilihat orang lain.
Namun kali ini pelukannya berbeda, lebih nyaman, lebih intens dan lebih berasa.
Aku membalas pelukan itu.
"Aku mengerti Al, aku mengerti semua yg kau katakan. Aku beruntung memilikimu. Aku akan berusaha menjaga cinta kita, aku berjanji akan selalu menjadi pelindungmu. Selalu menjadi apapun yg akan membuatmu nyaman. Aku mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu."
Dia mengatakannya diselingi isakan yg disamarkan. Mendengar kata-kata yg lembut di telingaku serta dengan isakan kecil yg terasa, aku menjadi terenyuh. Mataku mulai memanas. Tak terasa air mata telah membingkai seluruh bola mataku.
"Aku juga beruntung memilikimu Ton, kau selalu ada di saatku terjatuh. Disaat aku tak punya pegangan. Aku takkan pernah merubahmu, kita akan berubah menurut kehendak hati kita sendiri. Berubah hanya untuk mendapatkan hasil yg terbaik bagi hubungan kita. Kita sudah bisa menelaah apa yg baik dan tidak untuk hubungan ini. Aku juga mencintamu, sangat mencintaimu. Tapi aku tidak akan membandingkan cinta siapa yg paling byk karena skornya imbang."
Aku mengatakannya dengan isakan dan nada goyonan yg bercampur aduk. Toni memegang pipiku dengan mata yg masih sedikit berkaca. Dan menertawakan apa yg baru aku katakan di ujung kalimat. Dia terus mengelus pipiku dengan mata yg tak mau berpaling dari mataku.
"Aku mencintaimu untuk selamanya."
"Tak ada yg selamanya dalam hidup ini, semua yg ada didunia ini tidak akan pernah menjadi selamanya."
"Jadi apa yg tepat."
"Mencintaiku sampai bosan."
"Kalau aku tak bosan?"
"Berarti selamanya. Hahaha."
Dia mencubit pipiku, aku memengang pipiku dengan sedikit meringis , kudorong dadanya menjauh. Dia hanya tertawa dan kembali duduk dengan posisi sempurna.
"Al, aku tak menyangka akan jadi seperti ini!"
"Aku juga. Kita ternyata memang jodoh."
"Iya Aldi item!"
"Kamu Toni genit."
"Hahahahahaha."
Kami melepaskan tawa yg disambut dengan angin yg membelai rambut-rambut kami.
Semua tampak indah saat cinta dapat terjalin tanpa hambatan.
Aku tak peduli pada dunia jika dia marah, aku tak peduli jika dia menentang.
Jika dia melakukan itu, maka akan kutunjukkan bahwa cinta dapat mengalahkannya.
Sesederhana itu? Tentu tidak.
Cinta tak selamanya bisa mengalahkan apapun jika sang pemilik cinta masih ragu terhadap cinta itu.
"Ibu dah nunggu tuh."
"Iya."
Kami masuk ke rumah dengan bergandengan tangan.
Oh indahnya, saat cinta yg terekspos di depan orang yg dicinta lainnya.
Aku sempat berpikir apakah aku adalah orang dengan sejuta keberuntungan?
Memilki ibu yg pengertian, ayah yg bertanggung jawab, ya walaupun byk rahasianya.
Punya kekasih yg.. Apa ya? Pokoknya the best lah.
Punya adik yg manis dan baik. Dan pasti akan pengetian seperti ibu.
Aku ini seperti si untung di salah satu tokoh kartun di serial donald bebek.
"Jadi apa keputusan kalian."
"Setelah Mira lulus dan menjadi perawat. Kami akan menikah!"
Aku yg menjawab perkataan ibu, sepertinya Toni juga sudah mengerti bahwa saat ini yg terbaik untuk dia saat ini adalah diam.
Memang apa lagi yg bisa dia katakan?
Bukankah sekarang ini kami adalah satu kesatuan.
Pemikiranku adalah pemikirannya.
Lidahku adalah lidahnya.
Ahhh, aku mulai berlebihan (lagi)
"Sampai seserius itu?"
"Iya bu, ada masalah bu?"
"Tidak, ibu hanya terkejut. Ibu tak menyangka hubungan ini punya titik akhir. Padahal ibu sempat berpikir bahwa kamu akan menjadi lajang selamanya. Mungkin pemikiran ibu yg masih sempit ya?"
"Mungkin. Tapi apakah ibu setuju?"
"Apapun keputusanmu Al, jika itu yg terbaik untukmu. Ibu akan dukung. Ibu sudah terbiasa mendukungmu maka dari itu untuk menolakmu itu sulit."
"Ibu.."
Aku hambur kepelukan ibu, mataku berkaca-kaca.
Bidadari ini sudah menjadi bidadari yg paling cantik dan paling baik di dunia ini, jika aku akan melihat bidadari jatuh dari khayangan dan duduk disamping ibu. Aku akan tetap memilih ibu.
Ibu memelukku erat dan menepuk-nepuk pundakku.
"Kamu harapan ibu, ibu tak mau kehilangan kamu."
"Aldi akan selalu bersama ibu."
"Ngomong-ngomong dimana kalian akan nikah."
Aku melepas pelukan ibu dan duduk ke posisi semula.
"Di Eropa atau di Amerika bu!"
Toni menyerobot pertanyaan ibu "kami akam menabung bu." Aku menambahi.
"Tapi itu akan mahal."
"50% saham perusahaan papa akan menjadi milik saya bu." Jawab Toni.
Ha?? Aku bener-bener terkejut dengan jawaban Toni. Aku gk tau bahwa Toni akan mengatakan itu.
Aku pikir kami akan menabung dengan laba dari penghasilan resto dan gajiku. Ternyata dia sudah punya investasi sendiri, pantas saja dia tak ragu mengajakku menikah secepatnya.
Tapi walau seperti itu, aku takkan merubah pemikiranku. Mira harus lulus terlebih dahulu.
Aku pura-pura mengetahui apapun yg dikatakan Toni di depan ibu, sebisa mungkin aku menyembunyikan eksperesi terkejutku.
Setelah om Bambang, kau berhutang penjelasan padaku Ton.
"Iya bu.." Kataku samar-samar.
Toni melirikku sejenak dan kembali menatap ibu.
"Oh, seperti itu. Berarti kalian masih lama lagi akan pergi. Ibu harap hubungan kalian baik-baik saja saat tiba waktunya. Kalau ibu mau jujur, ibu masih ada perasaan menolak pada hubungan kalian. Mungkin waktu bisa membunuhnya. Semoga saja."
"Semoga saja bu. Jadi bagaimana dengan keluarga Rani?"
"Itu urusan yg harus ibu selesaikan secepatnya. Ibu salah sudah mengambil keputusan terburu-buru. Tapi syukurlah semuanya sudah jelas sebelum terlanjur ke tahap selanjutnya. Maafkan ibu Al, terkadang orangtua memang egois, namun itu timbul karena hasrat ingin melindungi dan menyayangi buah hatinya."
"Enggak-enggak Bu, Aldi yg minta maaf sama ibu karena gk pernah jujur."
"Ibu sayang bgt sama Aldi."
"Aldi juga buk."
Kami berpelukan lagi. Air mata tak terbendung saat kami saling menukar kehangatan tubuh.
"Udah ah, malu ama nak Toni. Ibu mau ke dapur. Masak makan siang, jgn kemana-mana ya. Nanti kita makan siang disini."
Aku mengangguk. Toni tersenyum.
Lalu ibu bangkit dan berjalan menuju dapur.
Setelah tak kudapati lagi bayangan ibu, aku langsung menoleh ke arah Toni.
Mataku sudah mengisyaratkan bahwa aku ingin minta penjelasan tentang apa yg dia katakan tadi.
"Gini Al, 3 hari yg lalu. Aku di panggil papa. Yasudah, dalam pertemuan itu aku mendapat warisan itu. Aku gk nyangka kalau papa masih peduli denganku. Malah dia minta maaf, dan berkata bahwa apa yg dia berikan sekarang tidak dapat membayar apa yg dia lakukan dulu. Pada intinya dia minta maaf, dan sebenarnya aku tak pernah benar-benar benci dengannya. Untuk itu aku tak sulit untuk memaafkannya."
Aku lega mendapat panjelasan Toni. Ternyata kekasihku itu sudah bisa mengambil keputusan tepat dan manusiawi. Dia sekarang sudah menjadi raja tampan yg bijaksana.
"Itu baru pacarku. Tapi kenapa baru ngomong sekarang?"
"Gk bisa ngomong kemarin-kemarin karena kamu byk masalah. Lagipula aku juga gk mau mengganggu momen romantis kita. Btw, kamu semalam hot bgt!"
"Aerggghh.. Kenapa bahas itu sih?"
"Itu yg kupikirkan sedari tadi."
"Dasar genit!"
"Item."
"Sekarang gk item lagi ya!"
"Ya sih, tapi kulitku tetep lebih cerah darimu."
"Mulai rasis, gk mau ngomong!"
"Cie ngambek cie."
Aku memanyunkan bibir. Tanpa basa-basi dia langsung menarik tanganku dan menuntun kepalaku ke pahanya.
Aku mencoba melawan tapi ditahannya.
" Nanti ibu lihat gimana?"
"Biarin kan ibu udah tau!"
"Tapi kan tetep gk enak."
"Bawel ah."
Toni memajukan bibirnya ke bibirku , kami berpagut beberapa detik.
Lalu aku teringat sesuatu, aku mendorong Toni dan bangkit.
"Udah ah, aku mau nelpon om Bambang."
"Yah.."
Kutinggalkan Toni di sofa, matanya mengikuti sampai ke teras. Kududukkan tubuhku di kursi dan merogoh hp di saku setelah itu mencari kontak yg bertuliskan Om Bambang.
"Halo"
"Halo Om."
"Iya, ada apa Al?"
"Makasih ya Om."
"Untuk apa?"
"Untuk penjelasan om sama ibu, ibu berubah pikiran om."
"Wah bagus, untuk itu kamu harus benar-benar menunjukkan kesungguhan kalian dalam berhubungan. Supaya ibumu tak menyesal telah memberi restunya."
"Siap om, eh, om ada cerita tentang hubungan om dengan ayah?"
"Enggak ada!"
"Hah, syukurlah."
"Emangnya kenapa Al?"
"Apakah kita akan membohongi ibu untuk selamanya?"
"Ada kalanya kebenaran akan terkuak di akhirat saja. Hal itu untuk menghindari sebuah kejadian tidak diiginkan. Kebenaran pahit akan memahitkan semua kenangan indah."
"Iya om, Aldi ngerti. Tapi apa yg om bicarakan dengan Ibu?"
"Om tak bisa menceritakannya padamu."
"Ibu juga bilang begitu."
"Yasudah, semua sudah selesai bukan?"
"Iya om, makasih ya."
"Sama-sama. Kamu juga anak om, jadi om mohon jgn ragu-ragu untuk datang pada om saat ada masalah apapun."
"Iya om, sekali lagi terima kasih"
Beberapa kali aku mengatakan terima kasih pada Om Bambang, aku telah salah menuding dia sebagai orang jahat beberapa minggu lalu.
Seharusnya aku meminta maaf atas kejadian itu, tapi sepertinya om Bambang telah melupakan hal itu. Gk enak juga jika diungkit lagi.
Om Bambang pasti mengerti lah bagaimana perasaan orang kalut.
Terima kasih om.
Kuangkat tubuhku dari kursi, langkahku memasuki ruang tamu. Kudapati Toni terduduk di sofa dengan memijit-mijit tombol di benda elektroniknya. Dan setelah mendapatiku sudah masuk ke ruangan. Dia langsung menepuk-nepuk pahanya.
Aku mengerti, dia ingin mengulanginya lagi.
Huh! Dasar genit!
*****
Setelah 5 tahun..
"Wah, tunangan kamu ganteng juga Mir, dokter lagi. Hahaha"
"Iya dong, harus setimpal dong sama kecantikan Mira. Hihihi"
"Tapi tetep gantengan pacar abg lah!"
"Ih! Tapi iya sih. Abg beruntung bgt deh, apa meski Mira jadi laki-laki agar bisa jadi pacar bg Toni."
"Hahaha, ngaco kamu Mir!"
"Soalnya bg Toni itu ganteng bgt, lucu lagi. Ahh, iri sama abg."
"Kalau kamu tau seluk-beluknya Toni, kamu pasti nyesel udah memujinya."
"Emang abg sudah tahu seluk-beluknya bg Toni?"
"Udah dong, kan udah pacaran 7 tahun. Gimana sih kamu?"
"Wah berarti abg udah tau semuanya lah ya? Perut bg Toni kotak-kotak gk bg? Ukuran celana dalam bg Toni berapa bg?"
Aku terkekeh mendapati jawaban Mira, dasar anak kecil bandel! Entah kenapa walau dia sudah kepala dua, aku tetep menganggapnya adik kecilku.
Hah! Dia pasti sudah ketularan gilanya dari Toni.
"Gilak aja. Kamu ini ya."
"Eh, tapi bg.. bg Toni itu..."
"Sstth, yg diomongin datang."
Toni datang menghampiri kami. Dia tersenyum dengan wajah yg bersemat bulu-bulu halus di janggut dan sebagian pipinya. Ahh, tampannya rajaku.
"Ngomongi aku ya."
Mira menutup mulutnya untuk menahan tawa, aku hanya mesem-mesem gk jelas.
"Gr kamu Ton." Kataku pendek.
"Eh, Mir. Itu dah mau pulang keluarga tunanganmu. Cepet kesana, lama bgt buat minumnya." tutur Toni pada Mira.
"Iya bg, ini udah siap kok. Tadi bg Aldi ngotot nahan Mira karena dia pengen tau tentang tunagan Mira itu. Kayaknya dia naksir tuh bg!" Kata Mira lugas.
Toni menatapku tajam, dia tersenyum sambil menatapku penuh dengan pandangan mempesona. Pasti dia tau kalau Mira hanya bercanda.
"Aku ke depan, bg Ton, bg Al, ayok!"
"Iya, duluan kamu, nanti kami nyusul."
Jawabku.
Mira pergi meninggalkan dapur dengan membawa nampan berisi suguhan untuk tamu.
Setelah Mira tak nampak lagi, Toni mendatangiku dengan tatapan mautnya. Aku terdiam di pojokan.
Didekatkannya tubuhnya dan tubuhku.
Dada kami saling bertemu.
Jarak antara hidung kami tak lebih dari 5cm.
Aku bisa merasakan aroma desahan nafasnya.
"Kamu naksir adik iparmu?"
"Ada-ada aja kamu Ton."
"Sebentar lagi."
"Apanya?"
"Sebentar lagi kamu akan jadi milikku selamanya."
"Ohh, aku juga sudah tak sabar."
Dikecupnya bibirku dengan kecupan singkat. Setelah itu dia pun menarik tanganku ke ruang tamu.
Setelah sampai di ruang tamu, kudapati dua keluarga yg saling menukar kata dan canda. Aku tertegun saat kudapati bayangan ayah bergabung disana. Aku sesak, namun ku sembunyikan.
Kudapati ibu sedang menyunggingkan senyum setulus mentari. Dia senang dengan pertunangan ini.
Sebentar lagi..
*****
Pohon kamboja itu tergoyang-goyang diterpa angin. Beberapa daun dan siung bunganya berjatuhan di tanah yg coklat dan bertindih rumput.
Aku masih terdiam disini berteman angin yg menyapaku sesekali.
Kucabuti rumput yg menyusup dari tanah diatas makam ayah.
Toni menaburkan Bunga, dia juga ikut menyibukkan tangannya untuk mencabuti rumput liar yg iseng itu.
Entah kenapa, rasa sesak yg mengental di relung hatiku mendadak mencair dan tumpah.
"Ayah, Mira sudah menikah dengan dokter yg tampan dan pinter. Dia sudah di bawa ke Singapura oleh suaminya. Aku sedih bercampur senang yah. Senang karena adik kecilku akhirnya menjadi seorang istri secantik ibu, sedih karena Mira akan jarang lagi kulihat, melihat tawanya yg membuatku senang, senyumnya yg membuatku nyaman. Dia sudah besar yah. Seharusnya ayah disana saat adikku di sunting yah, seharusnya ayah melihat air mata bahagia ibu saat Mira sudah resmi menjadi istri, seharusnya ayah memandangku yg menyembunyikan rasa haru saat aku menjadi saksi pernikahan mereka"
Aku meneteskan air mata yg setiap menyentuh pipi langsung kuseka.
Toni merangkul pundakku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Aku juga bakal menjadi membentuk sebuah keluarga dengan caraku yah. Ayah pasti ngerti apa yg kumaksud, pasti ayah akan setuju jika ayah disini. Ibu akan kubawa ke tempat dimana kami akan mensyahkan cinta kami. Ke Belanda. Tapi ayah tak perlu sedih karena setahun sekali kami akan pulang dan melepas kangen dengan ayah. Ayah, aku mohon doa restu."
Aku mengakhiri kata-kataku.
Toni menarik tanganku untuk meninggalkan tempat ini, kamu sudah sejam disini.
Kami berjalan berangkulan. Toni memberikan senyuman yg paling manis dan kubalas dengan senyumku pula.
"Jika ini akhirnya, aku takkan pernah menyakitimu dulu."
"Lupakan itu, mari kita bangun hidup baru kita."
Kita..
Aku dan kau Toni.
Mengikat janji di langit sana, dengan harapan sebuah peresmian cinta yg suci.
Meninggalkan segala yg menyakitkan dan memulai sebuah hidup tanpa beban.
Ingatlah..
Kesederhanaanlah yg membuat hubungan menjadi lebih istimewa.
~TAMAT~
_____________________________________
Haaah!
Akhirnya selesai menulis cerita yg tak diminati ini.
Terima kasih teman-teman karena sudah mengikutinya.
Maaf bila ada yg tak berkenan.
Jika kalian menikmatinya, maka apresiasi lah dengan menekan tombol 'like' di setiap partnya.
Bukan memaksud lain, atau memaksa.
Aku hanya merasa dihargai jika kalian melakukan itu.
Tidak sulit bukan?
Jika tak mau juga tak apa.
Oya, jgn lupa tinggalin komen yah.
Klo gk mau juga, yasudah lah -_-
Terima kasih untuk perhatiannya.