It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Santai aja kak @gelandangan aku cuma bercanda kok
Nanti malam kutarik ke cerita baruku yg aneh kak, siap2 ya
Cerita yang ini tetep di update ya, hehe.
Trlalu dikit updatennya...
.
.makasih udh dlnjutin
Nanti ku inbox untuk masuk ke cerita baruku kak, cuma kakak yg diperlakukan istimewa karena kakak sama sekali gk bsa di mention
Masih lah
yg sabar ya, ngadepin penggemar banyak maunya macam saya
makasih. Yg sabar ya, ngadepin penggemar banyak maunya macam saya
Sila kutip bila ingin melihat formatnya.
@silveliniingggg @yirly @liezfujoshi @derbi @okky
@van_ey @alvinchia715 @shrug
@gelandangan @viumarvines @centraltio "rhein.a"
enjoy.. 1 part aja, besok sambung.
Kupacu motorku secepat angin yg menyambar tubuhku.
Sesekali kulirik jam ditangan, jam itu mengejekku dengan meletakkan jarum pendeknya di angka 9. Sialan!
Jalanan yg lumayan senggang membantuku banyak, dengan waktu 10 menit aku sudah di resto.
Tanpa melihat kanan dan kiri, seperti ayam. Aku hambur ke resto.
"Waw, pangeran baru datang!"
"Sorry Ton, capek bgt. Jadinya kebablasan. Kebiasaan! Hehehe."
"Yasudah sana cepat ganti baju."
"Oke."
Aku langsung tancap gas ke ruang ganti, langkahku yg setengah berlari meninggalkan Toni yg sedang sibuk dengan laptopnya.
Kumasuki ruangan loker. Seseorang sedang berberes disana.
"Bobby?"
"Eh, Al!"
"Kamu kerja disini lagi?"
"Iya."
"Oh.."
"Gk papa kan?"
"Eh, gk papa lah, lagian kan aku bukan ownernya. Ya.. aku gk berhaklah nentukan siapa yg boleh kerja disini atau gk."
"Emang Toni gk ngasih tau?"
"Udah sih, tapi kupikir dia bercanda."
"Hahaha, kalian!"
"Iya haha, udah ah, aku dah terlambat, kasihan pelayan baru itu. Cewek lagi. Apalagi pelanggan membludak. Kamu kok bantuin sih?"
"Udah dong, mau ngambil beberapa barang aja disini."
"Oh yaudah. Bye."
Aku menyiapkan tenagaku untuk menghadapi medan perang, yg terjadi setiap hari.
Dan soal Bobby tadi, Toni sudah memberi tahu, cuma karena aku anggap dia bercanda jadi gk terlalu menyita pikiranku.
Toni cuma bilang katanya Bobby udah mau berhenti dari kerjaan lamanya, setelah itu Toni juga merasa hutang budi pada Bobby karena telah membantu memperbaiki hubungan kami.
Tapi kan dia juga yg menghancurkanya? Lalu apakah kita harus dendam? Itulah percakapan kami sebelumnya.
Pada akhirnya, aku setuju.
Bukan bermaksud tak percaya dengan rajaku yg cerewet itu, tapi entah mengapa Bobby kembali bekerja kesini setelah 6 bulan kejadian itu? Tapi aku hanya berpesan. Jika terjadi lagi, semuanya akan berakhir! Tidak ada unsur ketidaksengajaan di kejadian kedua.
Lalu dia bersumpah atas nama yg Suci-Suci. Bahwa dia tak akan mengulanginya, perbuatannya ini hanya tulus balas budi.
Baiklah..
Kucoba membangun kembali tonggak kepercayaan yg hampir patah ini.
Dan yang paling menyebalkan.
"Ton? Kamu kenapa sih bisa terjebak saat itu?"
"Habisnya Bobby kan mantan gigolo, jadinya dia itu pinter bgt ngerayu, belum lagi dia hot bgt. Hah, gk tahan aku Al. Apalagi aku sudah pengen bgt sama kamu."
"Oh.."
"Hah? Oh aja? Kamu gk marah atau cemburu gitu?"
"Enggak!"
"Ih, berarti gk cinta! Kan cemburu tanda cinta!"
"Siapa bilang? Aku cinta samamu."
"Lalu kenapa gk cemburu?"
"Gk perlulah.. Seharusnya kamu mengerti, pada saat memergoki kalian reaksiku gimana. Masak itu gk membuktikan ke kamu bahwa aku cemburu?"
Baiklah aku jujur hanya pada kalian saja, aku benar-benar cemburu saat Toni bilang Bobby itu 'hot' .
Tapi aku yakin dia hanya menguji saja, dia mau melihat aku merajuk dan akhirnya dia akan mentertawakanku. Licik!
"Iya juga sih.."
"Dasar kunaf, kuat nafsu!"
"Gimana lagi? Udah setahun gk begituan."
"Aku bahkan lebih? Tapi biasa aja tuh!"
"Iya iya maaf!"
Dia menjewer telinganya.
"Klo sekali lagi terulang, dan kamu mau minta maaf. Syaratnya harus lari keliling alun-alun 700x selama 30 menit."
"Aihh, kejem bener."
"Biar tau rasa."
"Artinya mustahil kan Al, untuk dimaafin."
"Tuh ngerti."
"Iya, gk bakalan."
Hahaha..
Kali ini dia menjitak kepalaku. Pelan. Kubalas lebih kuat. Ditangkisnya. Kukelitiki. Gulat-gulatan. Capek. Tidur.
Eh, kok jadi mikirin ini-itu. Kerjaaa!!
Sore kembali lagi, dia telah menyeret matahari kurang lebih 170 derjat. Yang saat aku berangkat matahari itu memandangku dari arah timur, sekarang memandangku dari arah barat. Aku tak terasa bahwa bumi telah memutar perlahan mata yg telah memperhatikan kehidupan seluruh manusia itu.
"Al, aku pulang ya. Shiftku sudah selesai."
"Oke Bob, hati-hati."
"Kamu juga semangat kerja ya."
"Oke, eh Bob.."
"Ya?"
"Chandra apa kabar?"
Walau bagaimanapun, aku pernah merasakan kehadiran Chandra dihatiku, aku tak bisa serta-merta menyampakkannya seperti menyampakkan sampah.
"Oh, gk tau Al. Udah lost contact!"
"Kamu gk.."
"Udahlah Al, aku bisa mendapatkan yg lebih baik. Aku harap aku bisa seperti kamu dan Toni."
Apa? Ada seseorang yg menginginkan hubungan seperti kami? Aku hampir melontarkan tawa kerasku. Namun kubendung, alhasil hanya senyuman lebar.
"Hahah, kamu lucu Bob, hubungan kami gk ada yg istimewa."
"Itulah yg membuat hubungan kalian istimewa."
Aku tersentak dengan perkataan Bobby barusan.
"Maksudmu?"
"Hubungan kalian sederhana, sesederhana kalian saling mencintai. Tatapan kalian yg tidak berlebihan, candaan kalian yg tak membosankan, pertikaian yg diakhiri dengan pembelajaran di setiap masing-masing dari kalian.
Kalian tak mau menunjukan bahwa kalian adalah pasangan yg paling bahagia, kalian simpan itu rapat-rapat. Hubungan kalian layaknya hubungan persabahatan, yg tak mencolok namun terasa.
Kesederhanaan inilah yg membuat hubungan kalian menjadi begitu istimewa.
Aku menjadi yakin dengan pepatah.
"Beautiful thing not asks for attention."
Dan itu kulihat dari hubungan kalian berdua."
Toni menutup kata-katanya. Jelas!
Ciptaan manusia takkan bisa mengalahkan ciptaan Tuhan, tak akan meski hanya sebesar butiran debu.
Mengapa aku mengatakan itu setelah aku mendengan ucapan Bobby?
Layaknya cermin dan mata.
Ketika kita bercermin, kita tak dapat memastikan penampilam kita sudah bagus ataupun buruk.
Namun mata orang lainlah yg dapat melihatnya dengan fasih.
Seperti itulah, aku tak bisa menilai hubunganku dengan Toni, karena sama sekali tak pernah terbesit di pikiranku maupun Toni, kami tak pernah merencanakan mau seperti apa hubungan kami. Kami hanya menjalani apa adanya, mengalir seperti air. Aku apa-adanya. Toni apa-adanya. Kami tak menginginkan seseorang diantara kami berubah karena hubungan ini, namun kami berubah karena keinginan kami sendiri untuk memilah apa yg terbaik untuk hubungan ini.
Inikah disebut dengan kesederhanaan yg istimewa menurut Bobby?
Kalau begitu aku berterima kasih kepadanya karena telah mengapresiasi hubungan kami ini.
"Makasih Bob!"
"Santai aja, aku cabut ya!"
Kulihat badannya yg kokoh berjalan ke parkiran, tingginya yg setara dengan Toni, kulitnya yg cerah daripada Toni. Wajahnya yg lebih tampan dariku.
Aku tak mau mengatakannya..
Dia memang cocok jadi gigolo.
Namun semuanya tertampik, saat kata-katanya sudah menyadarkanku. Bahwa dia memang hanya orang yg mempunyai masa lalu yg kelam akibat pandangan dan keputusan yg keliru di masa lalu.
"Oy, disini rupanya."
"Apa Ton, ih! Ngagetin!"
"Kamu aja yg kagetan! Ngelamunin apa sih?"
"Gk da.."
"Oya udah, masuk gih, kerjaan menunggu tuh. Jgn ditinggalin terus, nanti pelanggan marah, aku yg digorok mereka."
"Iya cerewet."
"Makanya jgn bandel, sesekali nurut sama bos!"
"Hih! Bawa-bawa pangkat!"
"Biarin weee.."
"........"
"Haha, merajuk dia.."
"Ton.."
"Apa Aldi si perajuk?"
"Aku sayang bgt samamu Ton, sayaaaaaaang bgt."
"Aku juga. Tapi kok?"
"Udah ah, ayok.."
Kutarik tangan Toni, dia tampak kebingungan dengan pernyataanku tadi. Senyumanku pun terlukis dibibirku dengan leluasa.
Toni juga menggenggam tanganku erat, kulirik juga dia senyum sumringah.
Hubungan kami sederhana yg mewah.
_____________________________________
Kutarik selembar kertas kuayunkan penaku. Penaku menari-nari di atas kertas. Secangkir kopi menemani disini, di teras rumah. Aku sudah merangkai kata yg keluar begitu saja.
"Malam mulai pekat, angin mulai memeluk tubuhku. Berteman suara jangkrik, aku ingin menikmati malam ini. Mungkin jutaan bintang yg bertaburan di ujung langit sana sedang memandangiku, tapi kuabaikan. Tatapanku telah dicuri oleh sang rembulan. Cahaya lembutnya menyentuh seluruh tubuhku. Terkadang awan menutupinya, biarlah awan melakukan itu, aku tak kecewa meski aku hanya melihat setengah atau seperempat bagian darinya.
Cahaya samar lampu yg berada di ujung jalan sana samar terlihat, meski ratusan laron mengerumuninya ia tetap bersinar.
Daun nyiur melambai kearahku, aku tak membalasnya. Daun itu sering melakukannya, namun bukan karena kemauannya sendiri melainkan karena angin malam yg menggoyangkannya. Jadi untuk apa aku membalas lambaian yg dipaksakan? Dia tidak tulus.
Angin bertiup kencang, semua daun-daun di pohon menari-nari gembira, mereka mungkin ingin mengatakan kepadaku bahwa air hujan akan turun membasahi mereka. Seharusnya mereka tak melakukan itu, tanpa diberitahu pun aku sudah mengerti. Lumrah!
Aku menggesekkan tanganku, aku mulai kedinginan tetapi aku tak ingin beranjak.
Aku mendongak ke atas, bulan itu telah tenggelam di lautan awan hitam, aku tak dapat lagi menangkap sosoknya."
Kenapa kata 'bulan telah tenggelam di lautan awan hitam' keluar begitu saja, hatiku seperti ada yg mengganjal.
Kutilik memori-memori yg terasa mengganjal itu, kubuka kembali lembaran ingatan di otak.
Perlahan kupikirkan berkali-kali.
Namun nihil.
Perasaan ini murni hanya efek dari aku menuangkan apa yg kupikirkan ke dalam kertas itu.
Atau mungkin?
Ya!
Sebagian orang pasti akan berpikir bahwa ketika aku begitu cepat memaafkan Toni karena sudah jelas dia kepergok berkhianat itu adalah tindakan bodoh dan naif.
Bodoh karena terlalu cepat memaafkan.
Naif karena terlalu cepat memberi kesempatan.
Semua sudah jelas bukan?
Aku tak mau kehilangan dia, dia hendak bunuh diri!!
Bagaimana jika dia melakukan itu? Pasti aku akan menjadi orang yg paling merasa bersalah di dunia.
Tidak, perasaan mengganjal itu bukan tentang Toni. Karena hubungan ku dengan Toni sudah menemukan titik terang, jalan yg mulus, dan air yg mengalir tanpa hambatan.
Lalu, mengapa aku tetap tak tenang?
Kuteguk kopiku yg hampir dingin.
'Duaaar!!!'
Hampir aku tersedak, karuan aku terkejut ketika pintu tiba-tiba terhempas.
Atau mungkin dihempas, kulihat ke arah pintu. Mira!
Matanya merah, bibirnya pucat.
Mukanya menyimpan kesedihan yg mendalam, ia berulang kali meneguk air liurnya sendiri.
Lekuk alisnya naik dan turun, seperti ikan yg kehabisan nafas bibirnya bergetar, dengan kata-kata yg terdengar samar dan terbata-bata.
Kuhampiri adik kecilku yg panik itu, aku merasakan kepanikan dua kali lipat, bayangkan saja ketika adik kalian dalam kondisi seperti itu di depan mata kalian? Miris!
"Mira, ada apa?" Kataku sambil mengelus rambutnya "tenang-tenang."
Aku mencoba menenangkan Mira dengan ketidaktenanganku.
Mira kembali menelan air liurnya "baaang Al..ayahh..ibu..pingsan..ayah..di..kamar..kesana..ayok!" Katanya terbata-bata.
Ketidakjelasan kata-katanya semakin mendalamkan rasa kekhawatiranku.
Terbesit kata kamar, kutarik tangan Mira ke arah kamar.
Itu pasti ibu, karena ayah kemarin pergi dengan om Bambang, katanya pulangnya besok.
Ada apa dengan Ibu? Jantungku berdentum-dentum keras, keringatku mulai mengalir.
Kubuka kamar..
Ibu terduduk di bawah lantai, menangis hebat sambil memegang ranjang tidur, matanya basah sebasah mataku saat melihatnya seperti itu.
Mira menghambur ke pelukan Ibu.
Ratapan ibu masuk kedalam telinga dan otakku.
Di hp yg di pegang ibu, masih terdengar jelas suara orang yg berkata "halo-halo Mirna!"
Kuangkat sambungan telepon itu.
"Halo" suaraku bergetar.
"Ini Aldi?"
"Iya Om Bambang."
"Aldi, begini.."
"Ada apa Om?"
Otot kakiku hilang seketika, tersungkur ke lantai.
Bibirku bergetar, jantung berdegup hebat. Tatapan mataku menangkap raungan Ibu dan Mira yg saling berlomba. Pandanganku menyapu bersih isi ruangan.
Kuusap air mata yg mengalir di pipiku. Tapi aku ingin menangis lagi, aku belum puas menangis.
Sudah.. Dia sudah pergi.
"Aldi. Ayahmu sudah tiada, dia meninggal Di, om minta maaf!"
Suara itu terngiang-ngiang di telingaku.