It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@silveliniingggg @yirly @liezfujoshi @derbi @okky
@van_ey @alvinchia715 @shrug
@gelandangan @viumarvines @centraltio @rhein.a
enjoy..
Teman dan sahabat hanya sebatas dunia.
Layaknya bangunan, kami pun goyah saat mengetahui pilar utama dari keluarga telah runtuh.
Kini aku yg akan menjadi pilar itu.
Apakah aku bisa segagah pilar yg dibangun ayah dulu?
Apakah aku bisa sekuat ayah?
Sebaik ayah? Se..
Tapi? Bagaimana dengan orientasiku?
Pertanyaan itu selalu memenuhiku kepalaku, meski ayah sudah pergi 3 hari yg lalu.
Kumasuki kamar ayah dan ibu.
Disinilah malaikat pelindung kami tidur, disini juga aku dan dia bermain ketika kecil. Disini juga kami bermain dengan Mira kecil. Disini juga keluarga kami sering berkumpul ketika kami sedang ingin berbicara.
Dialah yg paling bijak, dialah yg paling baik, dialah yg paling lucu diantara kami.
Matanya meneduhkan jiwa kami, perkataanya selalu menjadi obat.
Dia kuat layaknya benteng.
Teduh layaknya air.
"Bu!"
"Iya Al."
Sebenarnya aku ingin membicarakan ini sejak kemarin, namun belum berani.
"Ayah ada kambuh sebelumnya?"
"Ada!"
"Kok, ibu gk beri tahu Aldi?"
"Kemarin itu sebelum pergi sama Bambang, dia agak kambuh. Namun katanya gk terlalu sakit, Ibu dah coba ngingatin tapi katanya urusannya saat itu sangat penting."
"Haduh.."
"Sabar ya Al, Ibu juga udah ikhlas kok. Walau masih juga sering terkenang."
"Aldi pikir ayah meninggal karena penyakitnya, ternyata.."
"Udah ah."
Ibu mencoba menguatkanku dengan kelemahannya. Aku bukan anak kecil sepolos Mira, aku tau betul rasanya kehilangan.
Bahkan jika kau merasakannya, kau akan merasa lebih baik tidak berjumpa jika harus kehilangan.
Namun, apakah kita bisa mengubah ketentuan?
Bahwa sebenarnya kehidupan adalah perjalanan menuju kematian yg dilakukan dengan cara dan jalan yg ditentukan oleh masing-masing individu.
Dan juga telah ditentukan takarannya oleh Sang Pencipta.
Bukankah kita telah menyetujuinya?
Bahkan kita telah setuju ketika kita belum terlahir ke dunia ini.
Lalu Mira? Dia hanya seorang remaja perempuan yg sedang mengalami pubertas. Dia akan jatuh sebentar dan bangkit lagi.
Aku dan ibu siap menjadi pelindungnya.
Menjadi tempat dia berkeluh, menangis, tertawa.
Dialah yg menjadi pelipur lara kami.
"Bu.."
"Sudah lah Al.."
"Oh yaudah, Aldi mandi dulu ya."
"Kamu gk kerja?"
"Cuti 5 hari."
"Toni gimana?"
"Dia malah nyuruh Aldi cuti dua minggu."
"hahaha ada-ada aja dia."
"Yaudah buk, habis mandi Aldi mau makan masakan Ibu."
"Iyaiya."
Akhirnya aku melihat senyum indahnya lagi. Dan itu berkat ngomongin Toni. Dasar Toni sinting!
Kebasahkan tubuhku, otakku masih menjerit memohon untuk di beri kesempatan diam.
Namun tak bisa, aku masih memikirkan bagaimana aku menyatakan pada Ibu siapa aku sebenarnya.
Apa reaksi Ibu?
Apa yg akan Ibu katakan?
Bagaimana jika Ibu benci padaku?
Bagaimana jika Ibu mengusirku?
Tapi bagaimana jika ibu menerimaku?
Lalu.. Mira?
Aku bukan bermaksud mengentengkannya, tapi aku bisa meyakinkannya. Apalagi dia memang orang yg pengertian.
Huh! Kuhembuskan nafasku.
Teringat kejadian kemarin.
"Halo Al!"
"Ton.. Ayahku meninggal!"
"Apa? Aku langsung kerumahmu!"
"Iya."
Kuhempaskan hpku dan tubuhku ke kasur di kamar, diluar sana tetangga sudah berkumpul, Mira dan Ibu menangis di depan jenazah ayah.
Aku tak sanggup melihat mereka seperti itu, aku sudah tak sanggup lagi menangis.
Aku tak mau menangis lagi, ketika melihat mereka menangis.
Aku tak mau terlihat lemah, biarlah aku ke kamar sebagai pengecut.
Pintu dibuka. Toni.
"Aldi!"
Aku menangis lagi, sial. Aku lemah sekali. Tapi aku pantas kan? Pantas menangis kan? Orang yg paling kucinta telah datang disaat orang yg kucinta lainnya telah pergi.
Toni langsung memelukku.
"Udah.. Ya Al."
".........."
Aku menangis sejadinya di pelukan Toni. Bibirku sudah terkunci rapat, kata-kata membeku di lidahku.
"Udah jgn nangis!"
Suara Toni bergetar setengah terisak. Dia juga.. Menangis.
"Aku janji Al, aku akan selalu disampingmu, selalu menjagamu dan keluargamu, selalu menjadi tempat kau kembali."
Kata-kata itu menjadi air sejuk yg tiba-tiba turun ke padang pasir.
Nada suara yg samar dan sedikit diselingi isakan.
Kini di hubungan kami yg menginjak 2 tahun.
Kami harus menjalani byk sekali rintangan.
Belum lagi rintangan yg lebih berat. Aku yakin suatu saat itu akan terjadi.
Sudahlah. Biarkan hari itu akan tiba.
Aku ingin menghabiskan air mataku dipelukan Toni sekarang.
"Jgn menangis Al!"
Kata yg keluar dari seseorang yg juga sedang menangis sambil mecium ubun-ubunku.
"Al! Supnya sudah mateng!"
"Iya bu"
Kulangkahkan kakiku ke meja makan.
Ibu kembali kedapur.
Kembali, kutatap kursi yg selalu diduduki ayah..
Arrghhh.. Aku lemah sekali.
Hpku bergetar. Om Bambang.
"Halo Om!"
"Aldi, kita perlu bicara!"
"Ada apa om?"
"Pokoknya kita harus bicara, sehabis zuhur datang ke tempat yg akan om sms alamatnya."
"Iyaiya."
-tttuuuutt-
Om Bambang ingin membicarakan apa?
Kuhabiskan makananku cepat.
_____________________________________
Apa yg ingin dibicarakan? Kata ku dalam hati saat kutarik motorku dari dalam garasi.
Kupacu dengan kecepatan standard, Om Bambang memberi alamatnya disini. Disebuah cofee cafe. Aku memasuki ruangan , kudapati Om Bambang duduk disudut ruangan sambil melihatku masuk. Tatapan matanya tampak panik, aku melihat begitu byk kesedihan dalam matanya.
Bagaimana tidak? Sahabatnya meninggal dihadapannya sendiri, dia berkata kemarin bahwa ayah sempat dibawa ke rumah sakit namun tidak tertolong.
Ayah terhimpit mobil yg dibawa Om Bambang saat menabrak truk.
Om Bambang bisa selamat karena bagian mobil yg menghantam truk adalah bagian kiri, karena Om Bambang adalah supirnya jadi hanya menderita luka ringan saja.
Aku benci mengingat cerita ini!!!
"Aldi.."
"Ya, ada apa Om?"
"Om minta maaf ya!"
"Ini bukan salah Om, ini murni kecelakaan, untuk apa om minta maaf?"
"Sebenarnya, ini semua karena om!"
"Maksudnya?" Aku memperbaiki posisi dudukku "jelasin om, apa yg gk aku tau."
Om bambang menelan ludahnya.
"Aldi, kamu jgn memotong pembicaraanya ya, agar om bisa menceritakan duduk masalahnya."
Om Bambang menjelaskan dengan nada bicara yg sgt dalam dan sendu.
Aku semakin deg-degan.
Aku langsung mengangguk.
"Sebenarnya, ayahmu dan om adalah sepasang kekasih sebelum ayahmu akhirnya menikah dengan ibumu!"
Duaaarr..
Seperti tersambar petir aku langsung terkejut bukan kepalang, aku membeku sesaat. Dengan pandangan yg masih tak percaya. Aku menggeleng-geleng.
"Apa?"
"Aldi dengerkan dulu."
Aku hilang kontrol sesaat.
Namun aku masih mau mendengarkan apa yg menjadi masa lalu ayah, rasa ingin tahu itu menyeruak.
"Jadi Om dukung dia untuk menikah dengan ibumu. Awalnya dia tak mau, akan tetapi setelah di desak oleh pihak keluarga, dan dukungan om. Akhirnya dia setuju dan membangun keluarga."
".............."
"Pada awalnya Om merasa bahagia ketika dia memiliki keluarga apalagi setelah kehadiranmu dan Mira. Semua berjalan seperti seharusnya. Namun, ada sesuatu yg menyiksa kami, yaitu kami tetap berhubungan. Kami saling mencintai, itu tak terpungkiri. Kami tak bisa menghilangkan cinta itu meski Ibumu, kau dan Mira sudah mendapatkan cinta dari ayahmu. Dan sesuatu yg menyiksa kami itu adalah mengkhianati Ibumu. Dia adalah wanita baik! Salah dia apa? Seharusnya dia mendapatkan seseorang yg dapat mencintainya seutuhnya. Tapi.. Setelah itu om sadar, bahwa pernikahan tidak dapat serta-merta menghilangkan rasa cinta, walaupun ikatan itu erat, namun ternyata cinta ikatannya lebih erat.
Om akhir-akhir ini merasa menyesal mendukung perjodohan itu, makanya akhir-akhir ini kami sering bertengkar."
Lidahku membeku di mulut. Kata-kata Om Bambang membekukannya.
Beneran.. Aku gk bisa berkata apa-apa selain diam melihat bibir Om Bambang berkomat-kamit.
Lagipula, bagaimana aku bertindak?
Perbuatan ayah tidak bisa dibenarkan apalagi disalahkan.
Jika aku seorang homophobia, pasti dengan sigap aku akan meninju mulut Om Bambang, dan meludahi kuburan ayah.
Tapi aku adalah salah satu bagian dari mereka.
Aku juga tau apa yg mereka rasakan, dan aku mulai kecewa sama ayah. Kenapa ketika ayah pergi baru semuanya terungkap. Jika aku sudah mengetahuinya aku mungkin bisa memahami, dan aku akan berbicara banyak, tentang rahasia terbesar ini pada ayah.
Aaayyyaaaahhhh!!!
Otakku berkoar-koar di kepala, sedangkan mulutku terkunci rapat dengan lidah yg membeku di dalamnya. Layaknya orang yg sakit gigi, aku tak bisa membuka mulutku.
"Kemarin kami bertengkar hebat di mobil, Om sudah memutuskan untuk pergi selamanya dan gk akan menganggu kalian lagi, tapi ayahmu tak mengijinkannya. Dia berdalih bahwa dia sangat mencintai Om, om juga memang masih sangat mencintainya. Tapi om harus realistis, makanya om memikirkan keputusan itu. Namun ayahmu berkata kalau dia mau berumah tangga gara-gara dukungan Om, kalau om pergi katanya dia akan gk ada pegangan hidup lagi.
Om mencoba jelaskan tapi hasilnya nihil, dia tetap kekeh mencegah om. Hingga akhirnya dia melepas seatbeltnya dan menyuruh om membuka pintu mobil karena dia mau keluar. Om langsung panik, lalu mencoba mencegahnya hingga om mengabaikan kondisi jalan. Dan terjadilah kecelakaan itu. Dan naasnya, kenapa ayahmu yg jadi korbannya. Kenapa bukan om! Kenapa? Om memang bodoh!! Tak seharusnya om memulai pertengkaran itu!! Om bodoh! Tolong Al.. Maafin om! Maaaff!"
Penjelasan Om Bambang membuatku limbung. Segala pemikiran tentang mereka bercabang-cabang.
Kekuatanku untuk berdiam akhirnya luntur!
"Ini semua memang salah om! Aku benci sama om! Jgn pernah ganggu kami lagi, pembunuh."
"Al, tolong maafin Om."
Aku tahu Om Bambang menangis, namun tetap menjaga suaraku agar tak mencolok dan menarik perhatian orang-orang disini.
"Om, aku gk nyangka om seperti itu. Tapi aku tak bisa bicara sama om sekarang. Tinggalkan kami untuk sementara waktu. Aku akan bicara ketika aku ingin."
"Tapi Al.."
Aku meninggalkan Om bambang dan secangkir kopi latteku di meja.
Yg pasti aku ingin pulang, menenangkan diri, dan mengambil keputusan.
Sesampainya di rumah..
Kubuka pintu rumah perlahan kudapati bebarapa orang disana. Mereka duduk di sofa ruang tamu.
Ada Om Irwan dan tante Siska temennya Ibu.
Ibu menyuruhku duduk.
Kuambil posisi duduk yg nyaman, padahal aku ingin kembali ke kamar dan menenangkan diri setelah aku mendapat hadiah dari Om Bambang. Hadiah? Ya hadiah!
Aku tak percaya ini.
"Al kenalin, ini Rani!"
Seharysnya kmu gam semrag itu sma om bamabang al... Krena kalian itu senasib......
Jgn2 bapak gue juga sekong... Gawatt
Hadiah dari Om Bambang itu Rani atau ceritanya?
Hahahahah, jgn baper eh bro.. Jgn suuzon gitu ama bokap, jadi gwe yg terkesan mensugesti :v
Cerita dong bro, rani itu kan.. Udah baca part 1 kan?
Hoohoho...
@silveliniingggg @yirly @liezfujoshi @derbi @okky
@van_ey @alvinchia715 @shrug
@gelandangan @viumarvines @centraltio @rhein.a @daser
enjoy..
Aku melihat seorang gadis bertudung biru berhias senyum manis. Dia duduk diantara orangtuanya. Aku menatap matanya sekilas.
"Eh iya, aku Aldi!"
Aku menyudahi perkataanku dengan senyum simpul dan anggukan.
"Jadi Rani ini sudah punya cukup umur Al untuk menikah, jadi kami berniat untuk menjodohkanmu dengan dia."
Kata ibu menjelaskan, aku mematung. Keringatku mulai mengalir. Kutatap ibu yg tak ragu-ragu menuturkan perkataannya barusan. Aku benar-benar kaget. Dia bahkan sama sekali tak memandangku. Ibu?
"Nak Al, kamu kan juga sudah cukup umur. Kerjaan kamu juga sudah ada kan? Jadi untuk apa ditunda lagi?"
Ayah Rani berkata lurus padaku.
"Bukan seperti itu pak, saya hanya ingin fokus pada pendidikan Mira terlebih dahulu. Apalagi setelah ayah meninggal saya menjadi tulang punggung keluarga ini."
Jawabku datar.
"Kamu tak perlu memikirkan Mira, ibu yg akan mengurusnya. Yg terpenting sekarang adalah kamu.
Kamu sudah harus menikah nak, untuk masa depanmu."
Ibu berkata lurus padaku.
Aku yg dikepung dengan keadaan seperti ini tak bisa berkelit.
Kepalaku terus menerus memikirkan Toni.
Apa yg akan aku katakan pada dia?
Apakah aku akan kehilangannya?
Apa dia akan pergi?
Atau..
"Gimana nak Al, kamu setuju? Kalau bisa secepatnya, tapi kalau tidak ya bisa dibincangkan lah menurut kesepakatan bersama."
Ibu Rani angkat bicara.
Aku masih saja terdiam, kulirik ibu. Ibu menatapku tajam.
Aku tak berani membantah.
Akupun..
Mengangguk.
"Terserah Ibu saya Om, tante. Maunya kapan!"
Aku berkata pelan tak berintonasi.
"Seperti ini, pak buk. Saya tak mau terburu-buru dulu. Lagipula saya belum membicarakan ini pada Aldi. Dia tampak terkejut kan? Jadi saya akan membicarakannya di ketemuan kedua. Dalam waktu dekat ini. Tapi saya pastikan bahwa anak saya akan menyunting anak bapak dan ibu."
Ujar ibu panjang.
Alhasil, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku pasrah.
"Yasudah kalau begitu, kami pamit dulu. Minggu depan akan kami minta konfirmasinya."
"Iya."
Rani berlalu sambil menitipkan senyum, aku membalasnya ketir.
Aku terdiam melihat mereka keluar rumah, perlahan bayang-bayang mereka sudah tak ada lagi.
Aku angkat bicara pada Ibu yg membereskan gelas suguhan para tamu.
"Ibu, apa-apaan ini? Kok tiba-tiba gini?"
"Ibu gk mau tau, pokoknya kamu harus nikah sama Rani."
Lalu ibu meninggalkanku duduk membisu. Pandanganku kosong.
Lagi-lagi bayangan Toni menyentil pikiranku. Aku..
Kenapa Ibu seperti itu?
Apa karena ibu merasa jadi kepala keluarga setelah ayah meninggal?
Aku terlalu menyayanginya hingga aku tak mau menyakiti hatinya apalagi dihadapan para tamu.
Untuk itu aku diam saja padahal aku ingin sekali memberontak.
Kuhempaskan badanku ke kasur di kamar, aku benar-benar berada di titik jenuh. Setelah aku menelan pahitnya masa lalu ayah kini aku harus menanggung getirnya masa depanku.
Apakah hidup sejahat ini?
Memutilasi hatiku dan menyiramkan garam setelahnya? Apakah dapat mengobati luka yg bahkan lebih dalam dari keyakinanku untuk bertahan?
Aaarghhhhh..
Ingin sekali aku menjerit.
Tapi aku hanya memiris di tempat tidurku, aku belum siap menumpahkan ini kepada Toni. Aku menangis pelan. Hatiku rasa berdenyut-denyut.
Aku ingin menumpahkan segalanya, tapi pada siapa?
'Dreet dreeet' hpku bergetar. Om Bambang? Mau apa lagi dia?
Kuangkat.
"Halo."
"Mau apa lagi Om?"
"Al, dengerin Om dulu!!"
"Udah semua udah jelas.."
"Tapi Al, kamu belum tau akar dari permasalahan ini. Kamu kan udah dewasa kamu pasti taulah mana yg benar dan salah, kamu juga sudah bisa menghadapi masalah dengan kepala dingin. Om maklumi sikapmu tadi, itu karena kamu syok dan lost control, tapi.. Kita bisa omongin ini baik-baik ya."
Iya aku sudah dewasa, seharusnya aku tak hanya menangis disini. Aku harus menghadapi Toni. Menghadapi reaksinya yg seperti apa. Tapi aku butuh saran, aku rasa Om Bambang bisa membantu.
"Om.."
"Ya, kamu kenapa Al, habis nangis?"
"Enggak kok om"
"Jadi?"
"Aku dijodohin Om sama wanita pilihan Ibu, ibu mendesakku."
"Wah bagus dong! Kamu bentar lagi akan menikah. Selamat ya."
"Eehhmm, sebenarnya aku.."
"Apa? Gk suka sama wanitanya? Bilang saja sama Ibumu."
"Bukan, bukan itu."
"Lalu?"
"Om, aku sudah punya kekasih!"
"Jelaskan saja sama ibumu, dia pasti akan mengerti."
"Tapi..dia gkkan mengerti."
"Kenapa?"
"Karena.."
"Jgn bilang.."
"Iya, seperti itu Om"
"Apa? Astaga! Om gk nyangka akan terjadi lagi , dan itu terjadi sama kamu Al!!"
"Apa yg harus kulakukan Om?"
"Tenang ya, lusa kita akan bicara. Tapi tolong Al, batalkan perjodohan itu. Kamu gk mau kan bernasib seperti ayahmu. Kamu tega pada Rani?"
"Tapi aku tak tega pada Ibu."
"Tenang saja, Om akan bicara pada Ibumu."
"Kalau ibu marah?"
"Akan Om tanggung resikonya."
"Makasih Om!"
"Ywdah, kamu istirahat ya."
"Iya."
"Om akan bantu semampu Om."
Dalam sekejap aku merasa seperti anak kecil. Merajuk sebentar baru berbaikan lagi. Aku sudah dewasa, tak seharusnya aku bersikap seperti itu.
Kututup mataku yg lelah ini.
_____________________________________
Mataku mengerjap beberapa kali.
Kutelusuri semua yg bagian resto, belum kudapati Toni disana.
Baiklah nanti sore dia akan muncul juga.
Biarlah hari ini aku menjalani kehidupanku seperti biasa, menjalankan kehidupan orang normal yg selalu meyeludupkan masalah ketika bekerja.
Hahaha..
Kutertawakan diriku sendiri.
Perlahan sore mulai menyapa, bersama suara angin yg mendesir aku hanya mengabaikannya.
Kudapati Toni, yg baru saja keluar dari dalam mobilnya.
Aku gelagapan, rasanya aku seperti mematung. Bergetar.
Apalagi dia mulai tersenyum padaku, aku malah makin bergetar.
Kukumpulkan nyaliku yg berceceran, kuatur nafasku yg berhamburan.
Semakin dekat dia semakin ciut aku.
"Woy, bengong aja."
"Aaa aaa ku.."
"Ada apa?"
Kini ekspresinya serius, dilihatnya dalam mataku. Aku menggerling, aku tak kuat. Kemudian dia menarikku ke dalam kamar resto.
Aku mengikut saja, karena aku tahu dia khawatir dengan kegelisahanku.
Masuk.
Pintu di kuncinya.
Aku masih membisu, dia pun memegang pundakku. Dan menatap mataku dalam.
Aku bergetar.
Mataku memerah, aku terisak.
Dia pun semakin panik.
"Tenang-tenang, apa yg terjadi Al, jelasin!"
"Aaa aakuu."
Arrgghh kata-kata itu sulit kali keluar, seperti merekat dilidahku.
Mataku tak bisa diajak kompromi dia malah mengeluarkan air yg sedikit itu.
"Katakan Al,."
"Aaaa aaakku dijodohkan."
Tangannya melemah, matanya terbelalak tak percaya. Dia seperti orang yg linglung.
Kupegang tangannya.
Kuteguk air liurku sendiri.
"Aku gk mau Ton, aku gk mau dijodohin."
"............."
"Aku sayang samamu Ton, sayang bgt."
"............"
"Ton, jgn tinggalkan aku, tolong. Akan kutolak perjodohan ini demi kamu."
".........."
"Toni.."
Kugoyang-goyangkan tangannya.
Dia masih terdiam.
Tiba-tiba dia memelukku erat.
Kubalas pelukan itu.
Pelukan inilah yg aku inginkan bukan yg lain, kenyamanan inilah yg kuinginkan bukan yg lain. Aku cuma ingin terus bersama Toni. Bersama kenangan cinta yg tak pernah mati. Aku hanya seorang yg ingin merasakan kebahagiaan bersama orang yg kucinta, tak pantaskah?
Toni melepas pelukannya.
Bibirnya mendarat di bibirku.
Kami berpagut lama.
Inilah yg membuat aku tak bisa meninggalkan Toni.
Rasa cinta yg kami pertahankan selama 2 tahun ini tak mau kami sudahi. Apalagi disinilah kami sudah bisa menyesuaikan diri terhadap diri kami masing-masing.
Aku tak ingin segalanya menjadi hilang.
Hilang dan pergi.
Tidaaak!
"Aku sangat sayang samamu Al."
"Iya, aku juga."
"Udah kamu jgn menangis lagi, kamu menyakitiku dalam sekali."
"Tapi.."
"Udah jgn bahas itu lagi."
"Baiklah.."
"Ikut aku."
Ditariknya tanganku. Aku setengah berlari mengikuti langkah cepatnya.
Dia belum berkata kemana dia membawaku.
Aku turut saja.
Aku hapal jalan ini, suasana ini.
Ya, kami akan ke pantai yg menjadi saksi percintaan kami. Saksi dari dua hati yg bersatu. Pantai inilah yg menjadi tempat kami berkeluh kesah.
Tangan Toni menyabet tanganku yg dingin, kami telah sampai.
Malam ini sepertinya agak mendung tetapi aku masih bisa menatap bulan disana.
Pantai telah terlihat sepi.
"Kita kenapa kesini?"
"Aku mau kita habiskan waktu disini Al."
Dia menuntunku duduk di bawah pohon kelapa.
Aku duduk disampingnya. Pengunjung sepi bahkan kurasa sudah tak ada.
"Ton, sebenarnya.. Aku tak ingin."
"Sudahlah, jgn bahas itu lagi."
Akhirnya kami kembali ke tempat ini.
Back to Part 1.