It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Matanya terbuka dan sadarlah dia sekarang berada di tempat biadab ini. Dia baru sadar jika pekikannya muncul karena tak sengaja tangannya yang terluka berbeturan dengan kayu bekas kursi. Nafasnya tak begitu baik untuk seorang yang baru bangun tidur. Mimpi yang selalu dia lihat di tidurnya membuatnya tak mungkin terbangun dengan tenang. Kepalanya terasa bertambah sakit, bahkan untuk bangkit dan keluar dari tempat biadab itu-pun dia harus mengumpulkan tenanga maksimalnya.
Berkali-kali menarik dan membuang nafasnya secara teratur ternyata mampu membantunya untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Dia berlahan bangkit dan duduk bersandar dinding dingin ruangan gelap itu. Tangannya meraih kepalanya dan berlahan memijit lembut untuk membaikan keadaan tubuhnya.
“Aku harus melakukan sesuatu untuk kebahagiaanku,” gumaman kecil akhirnya keluar dari bibirnya.
Satu tekad telah dia coba bangun. Satu tekad yang mungkin akan berguna di waktu yang tak pernah dia duga. Satu tekad yang dia yakini akan merubah setidaknya untuk ketenangannya kelak.
Tubuhnya berlahan bangkit walau harus bertumpu pada dinding. Dia berjalan merambat pada dinding untuk mencapai pintu keluar. Dia yakin pintu itu tidak terkunci, karena dia bukan berada dalam mimpinya sekarang.
CEKLEK
Pintu berhasil dibuka, matanya mendadak menyipit karena silau sinar matahari. Berada di ruangan gelap membuatnya harus menyesuaikan lagi matanya pada kondisi sekitar. Dia tetap berjalan dengan merembet pada dinding, tubuhnya belum pulih sepenuhnnya, ditambah semalaman harus tidur di lantai dingin membuat tubuhnya makin memburuk.
“Kenzo?” suara itu berhasil membuat tubuhnya berhenti bergerak. Suara yang selalu membuatnya tenang di dunia nyata ternyata masih bisa dia dengar.
“Kenzo? Astaga,! Kamu darimana? Kenapa tadi kamu tidak ada di kamar?” tanya Levi, sang pemilik suara. Jelas terlihat nada khawatir dari sikapnya, namun hanya senyum simpul nan lemah yang menyambutnya dari lawan bicaranya.
“Kenapa malah tersenyum??” tanya Levi bingung karena Kenzo tak menjawab pertanyaannya dan malah tersenyum.
“Aku semalam mimpi sangat buruk, aku sekarang senang karena masih bisa mendengar suaramu juga melihatmu masih bersamaku,” jawab Kenzo.
“Kamu tidak usah lagi memikirkan apapun mimpimu,” ujar Levi berlahan mendekati Kenzo untuk membatunya berjalan.
“Mau kembali ke kamar atau kita sarapan dulu,?” tanya Levi kemudian.
“Bagaimana kalau kita sarapan saja? Aku lapar,” jawab Kenzo.
“Yasudah, kita sarapan tapi tunggu aku memasaknya lebih dulu. Aku sibuk mencarimu tadi sehingga tidak sempat buat sarapan,”
“Iya, tapi aku mau cuci muka dulu, kamu masak saja dulu,”
“Aku bantu ke kamar mandi,” tawar Levi yang langsung mendapat tolakan halus dari Kenzo.
“Tidak perlu, aku sudah baikan. Masaklah makanan yang enak, okey?”
“Serius bisa?”
“Iya, tenang saja. Masa ditabrak pake mobil aja berani, ke kamar mandi harus di bantu,” ujar Kenzo yang disambut kekehan dan hampir saja tangannya mengusik rambut Kenzo namun tertahan ketika dia ingat bahwa Kenzo tak menyukainya.
“Sorry,” ujar Levi.
“Thanks man,” balas Kenzo langsung berlalu sebelum tak lupa membari kecupan di pipi Kenzo.
“Kalau aku ingat tidak mengusik rambutmu lagi, apakah akan ada morning kiss lebih?” teriak Levi karena Kenzo sudah berlalu dari hadapannya.
“Hanya jika anda sedang beruntung Tuan Levi,” balas Kenzo sebelum hilang di balik pintu kamar mandi.
“Dasar,” gumam Levi disertai gelengan kepalanya.
Pagi yang seperti hari lalu memang menyapa namun akan tetap terasa berbeda bagi dua manusia yang dengan berani menantang garis ‘normal’ untuk mengatakan bahwa mereka adalah pasangan. Levi dan Kenzo sudah menetapkan untuk nama hubungan meraka. Menjadi sepasang kekasih dengan garis dan kodrat. Mereka lalui hari dengan apapun yang berbeda dari garis manusia ‘normal’.
“Masak apa?” suara interupsi Kenzo mengehentikan sejenak aktifitas Levi.
“Nasi goreng,” jawab Levi singkat.
“Bagaimana kondisimu hm?” tanya Levi melanjutkan pembicaraan dengan tangan yang masih sibuk dengan kegiatan membuat nasi goreng untuk sarapan mereka.
“Lebih baik,” jawab Kenzo sambil menuang air putih untuk melegakan tenggoronkannya yang terasa kering.
“Kenapa kemarin membolos kuliah?” sela Levi yang sukses membuat Kenzo tersedak karena kaget dengan pernyataan tiba-tiba Levi tentang kelakuannya kemarin yang meninggalkan kuliah.
“Kamu tahu darimana?” tanya Kenzo setelah berhasil menenangkan kembali kondisinya yang sempat tersedak minumannya sendiri.
“Aku dosen Ken, dan kamu seharusnya memilih waktu yang tepat untuk membolos agar tidak aku ketahui,” ujar Levi sambil membagi hasil masakannya pada dua piring yang sudah disiapkan.
“Maksud kamu?” tanya Kenzo bertambah bingung.
“Pak Rudi, dosen yang mengisi kelasmu kemarin, satu ruangan denganku dan kamu juga tahu itu,” balas Levi langsung meletakan dua piring nasi goreng buatannya di meja makan.
“Dia mengatakan padamu kalau aku membolos kelasnya?” tanya Kenzo masih enggan untuk menyentuh sarapannya.
“Tentu saja, kamu salah satu mahasiswa yang paling rajin, satu hari kamu absen tanpa keterangan tentu membuatnya bingung,”
“Buruk sekali nasibku,” gumam Kenzo dengan wajah kesal namun terlihat meyerah karena cerita ini sudah berlalu dan dia tidak mungkin bisa mengelak dari Levi.
“Makanlah,!” sela Levi.
“Hm,..” gumam Kenzo tak memperpanjang pembahasan tentang kelakuan bolosnya.
Keduanya kini lebih memilih menyibukan diri dengan kegiatan sarapan. Bunyi alat makan mengambil alih percakapan yang sempat terjadi diantara penghuninya. Namun yang pasti jika mereka ingin berbicara jujur, maka akan ada banyak topik yang ingin diagkat, terutama Levi. Dia sampai pada saat ini masih penasaran dengan kejadian di areal parkir. Banyak pertanyaan yang Levi pendam karena merasa belum menemukan waktu yang tepat. Tapi rasa penasarannya tak bisa dia simpan terlalu lama, ‘mungkin inilah waktu yang tepat’, pikirnya.
“Kenzo,” suara Levi menginterupsi di tengah kegiatan sarapan mereka.
“Hm,?” gumam Kenzo kini mengalihkan perhatiaannya pada Levi.
“Boleh aku menanyakan sesuatu?” tanya Levi yang sejujurnya sedikit ragu, namun dia tidak bisa menyimpan rasa penasarannya terlalu lama.
“Tentang?” balas Kenzo serambi menengguk air putih untuk menyamankan tenggorokannya.
“Tentang kejadian di parkiran,” ujar Levi menjelaskan maksud pertanyaannya.
“Apa yang ingin kamu tahu?” tanya Kenzo kini memilih untuk menyudahi acara sarapannya dan lebih memilih membahas topik yang baru diangakat Levi.
“Bagaimana kamu tahu jika rem mobilku tidak berfungsi?” tanya Levi langsung pada hal yang membuatnya sangat penasaran.
“Tunggu,!” titah Kenzo yang tiba-tiba beranjak dari kursi.
“Kamu mau kemana?” Levi bingung dengan tindakan Kenzo yang justru meninggalkannya saat dia menginginkan jawaban dari Kenzo.
“Tunggu sebentar,! Aku akan segera kembali,” Kenzo menghentikan sejenak langkahnya untuk menjawab kebingungan Levi. Mata Levi tak berpaling dari langkah Kenzo yang makin menjauh, dia melihat Kenzo menuju kamar mereka. Kenzo menepati janjinya, tak butuh waktu lama untuk dia kembali bergabung dengan Levi di meja makan.
“Aku mengambil ini di kamar,” ujar Kenzo seolah tahu apa yang ada di otak Levi. Dia menunjukan ponselnya.
“Lihat ini,!” Kenzo menyerahkan ponselnya pada Levi setelah beberapa saat sebelumnya mengutak atik mencari sesuatu di ponselnya.
Ekspresi Levi langsung berubah ketika dia membaca dan melihat pesan gambar yang dikirim nomor tak dikenal pada Kenzo.
“Bagaimana kamu tahu ini mobilku?” tanya Levi penasaran.
“Lihat ini,!” Kenzo menunjukan goresan panjang yang ada di bagian depan mobil.
“Goresan ini masih saya ingat dengan jelas, karena aku yang memerikasa mobilmu setelah insiden tunggalmu itu,” jelas Kenzo. Dia kembali ke tempat duduknya, menyandarkan tubuhnya, menghirup udara dalam-dalam sebelum akhirnya menghempaskannya berlahan.
“Kamu tahu siapa pengirimnya?” tanya Levi yang hanya dibalas gelengan Kenzo.
“Kita harus laporkan ini ke polisi,” ujar Levi yang berhasil menarik perhatian Kenzo dari posisi nyamannya.
“Tidak perlu,” sela Kenzo tak setuju.
“Why?”
“Kita harus menyelidikinya secara personal terlebih dahulu,”
“Dan kemudian kamu akan melakukan hal yang lebih nekat jika sesuatu terjadi padaku?” gumam Levi geram yang kembali teringat kelakuan nekat Kenzo.
“Belum tentu dia hanya mengincarmu, mungkin sebenarnya akulah objeknya,” kata Kenzo datar.
“Jika itu benar, maka tidak ada alasan lain untuk menyembunyikan ini dari polisi. Aku tidak akan pernah rela terjadi sesuatu yang buruk padamu,!” Levi menaikan nada bicaranya sebagai refleksi kekesalannya pada Kenzo yang masih berusaha bersikap tenang.
“Polisi tidak akan membantu,” balas Kenzo masih tak terpengaruh amarah Levi.
“Tentu polisi akan membantu kita, mereka akan melakukan penyelidikan,”
“Bahkan kita tidak tahu kita sedang berhadapan dengan siapa apalagi polisi,”
“Mere....”
“Aku sudah berusaha mengecek nomor ponsel itu, dan hasilnya nihil,”
“Bagaimana kamu melakukannya?”
“Sesaat setelah aku mendapat kiriman gambar itu, aku meminta temanku yang ahli dalam bidang telekomunikasi untuk mengeceknya, namun hasilnya nol. Nomor itu sudah tidak lagi terdeteksi. Tapi kamu tenang saja, temanku bilang dia akan kembali berusaha untuk mengeceknya, maka dari itu aku tidak mau ada pihak lain yang terlibat apalagi pihak sebesar kepolisian, itu akan membuat dia tahu langkah kita,” jelas Kenzo panjang.
“Tapi apakah ini tidak terlalu bersiko,?”
“Jika kita menginginkan kesuksesan besar, kita butuh resiko yang besar pula. Bukannya itu kata-katamu ketika pertama kali mengajar di kelas?” ujar Kenzo berusaha mencairkan suasana.
“Tutup mulutmu,! Ini bukan saatnya kita bercanda,”
“Siapa yang sedang bercanda,? Aku pikir kalimat itu memang yang paling tepat untuk menggembarkan keadaan kita sekarang,”
“Oke, aku akan terima usulanmu, tapi ingat selalu kabari apapun hasil penyelidikan rahasiamu itu padaku,!”
“Siap bos,!” ujar Kenzo dengan posisi hormat bak prajurit yang tengah mengiyakan perintah sang komandan.
“Ini benar-benar membuatku gila,”
gumam Levi hanya bisa menyandarkan punggungnya di kursi sambil memijit keningnya yang terasa makin pening.
“Percayalah semuanya akan baik-baik saja,” sela Kenzo berusaha menenangkan. Jujur diapun sama cemasnya dengan Levi, namun dia tidak mau terbawa suasana dan malah memperburuk. Dia percaya bahwa harus ada seseorang yang tenang dalam kondisi apapun yang mereka tengah hadapi, dan Kenzo adalah orangnya.
“Kamu tidak berangkat ke kampus?” sambung Kenzo yang baru menyadari jika pembicaraan pagi mereka menyita banyak waktu dam ketika dia melihat jam di ponselnya, dia baru sadar jika jam kuliah Levi harusnya sudah dimulai.
“Kamu bisa membolos, kenapa aku tidak,” jawab Levi enteng.
“Aku mahasiswa pak dosen,”
“Aku tahu itu, apa masalahnya?"
“Dasar,” gumam Kenzo hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan sikap seenaknya Levi. Dia sekarang hanya bisa mengikuti posisi Levi di kursinya.
Hening tiba-tiba tercipta sesaat setelah kedua orang yang tadi asik berdebat memilih untuk diam. Mereka dalam posisi berhadapan, namun mereka tak bisa memandang wajah satu sama lain, hal ini dikarenakan mereka lebih memilih untuk menghadap langit-langit rumah dan bersandar santai di kursi masing-masing.
Mata Levi menerawang dan sedikit kosong ketika menghadap langit-langit rumahnya. Pikirannya kini melayang entah kemana. Memikirkan kejadian yang beberapa hari menimpanya dan juga Kenzo membuat kepalanya makin berdenyut tak sehat.
Kajadian yang dimulai dari perampokan rumah, hingga Kenzo yang berbuat nekat untuk menyelamatkannya menjadi hal yang buruk untuk mengisi sejarah hidupnya. Tidak hanya itu, perdebatannya dengan Kenzo yang baru saja terjadi juga menyumbangkan kepenatan pikirannya.
Dia tahu Kenzo orang yang tenang dan teliti, namun untuk mengorek kasus ini, jujur Levi hanya manaruh sedikit kepercayaan pada partner hidupnya.
Kepenatan dan kepusingan Levi bertambah tatkala ingatannya kembali pada percakapannya kemarin dengan orang tuanya via telephon. Kedua orang tuanya terus saja menanyakan tentang kehidupan asmara anak tunggal mereka. Levi tentu akan bicara jujur dengan orang tuanya sesegera mungkin, dia akan membawa Kenzo menemui orang tuanya dan tentu dia akan memperjuangkan Kenzo apapun yang akan terjadi nanti.
Namun dengan kondisi baru yang menimpanya juga Kenzo, Levi kini memiliki sedikit keraguan untuk melakukannya. Bukan kerana takut atau apapun, namun fokus yang terpecah dia khawatirkan akan membuat suasana menjadi lebih buruk. Mengakui segalanya pada orang tuanya bukan hal mudah apalagi kini bertambah masalah baru yang tidak bisa dipandang sepele. Levi kini hanya bisa terus menarik panjang nafasnya berusaha untuk menenangkan diri.
@lulu_75
@melkikusuma1
@junaedhi
@sogotariuz
@liezfujoshi
@hendra_bastian
@kikyo
“Terima ini,!” balas anak yang dipanggil Verdy.
“Tendang langsung ke gawang Enzo,!!” teriakan lain datang dari teman satu timnya.
“GOOOAAAL,,..!!!” pekik Enzo sang pencetak gol.
“YEEE....” teriak teman satu timnya sambil berlari dan merayakan gol Enzo.
Pemainan bola yang sangat menyenangkan pikir para pelaku permainan. Enam orang yang dibagi menjadi dua tim bergelut dengan keringat untuk menghasilkan goal kemenangan tim. Tidak masalah siapa yang menang atau kalah, yang terpenting mereka bisa menikmati hari dengan hal yang menyenangkan.
Lapangan yang sederhana dan alat apa adanya tak menyurutkan sedikitpun semangat keenam orang itu. Walau begitu terasa aneh ketika melihat pemandangan yang bebeda dari enam orang tersebut. Bukan dari segi permainan mereka, namun jika dilihat maka akan ada semacam kesenjangan umur antara lima orang dan satu orang lainnya.
Satu orang yang tampak lebih dewasa dari yang lain, namun terlihat tak sedikitpun berbeda tingkah laku. Lima orang lain yang masih bisa dibilang anak-anak terlihat tak seimbang dengan satu anak yang berbeda itu. Satu anak yang menjadi sang pencetak goal kemenangan timnya, Enzo, mereka memanggilnya demikian.
“Aku capek,” gumam Enzo memilih untuk menghentikan permainannya dan duduk di pinggir lapangan.
“Aku juga,” sambung Verdy, teman satu tim Enzo.
“Sebaiknya kita istirahat saja dulu,” lanjut Vero teman satu tim Enzo dan Verdy.
“Kalian curang,! Kalian dalam keadaan unggul dan meminta istirahat, kalian pasti sengaja,” gerutu Anton, salah satu anggota tim lawan. Dia masih berdiri di hadapan tiga orang yang memutuskan istirahat tadi.
“Anton benar, kalian curang,” timpal Leo yang tak lain adalah teman satu tim Anton. Dia berdiri disamping Anton dengan berdecak pinggang.
“Aku sih menurut saja,” ujar Ali tak mau ikut berdebat.
“Sebaiknya kita istirahat saja dulu Ton,! Kita sudah bermain dari satu jam yang lalu, apa kamu tidak capek?” sela Verdy.
“Tapikan.....” gumam Anton terpotong oleh omongan Enzo.
“Kita istirahat saja dulu, setelah itu kita bisa lanjutkan lagi,” usul Enzo.
“Benar kata Enzo, kita istirahat dulu saja, aku sudah sangat capek,” Leo membenarkan.
“Bagaimana Leo?” tanya Anton meminta pendapat.
“Yasudah kita istirahat saja dulu, aku juga capek,” jawab Leo menyerah.
“Oke,” timpal Anton setuju.
“Kemarilah kalian,! Kita berbaring di rumput di bawah pohon besar ini,! rasanya sangat menyenangkan,” sela Enzo sembari membaringkan tubuhnya dan menggunakan tangannya sebagai bantalan.
“Boleh juga,” ujar Leo yang langsung mengikuti usulan Enzo begitupun keempat anak lainnya. Mereka kini berbaring sejajar di bawah pohon besar di pinggir lapangan.
“Em.... sangat nyaman,” gumam Ali sesaat setelah membaringkan badan lalu menutup mata untuk menikmati suasana.
“Benar,” timpal Vero.
Mereka ber-enam kini sibuk dengan pikiran dan angan masing-masing. Berteduh di bawah pohon besar di samping lapangan yang terik akibat panas matahari membuat tubuh mereka lebih nyaman dan enak. Mata mereka masing-masing terpejam namun tak ada yang sampai tertidur. Menikmati suasana lebih menyenangkan untuk dilakukan daripada melewatkannya untuk tidur, pikir mereka.
“Enzo,? Kenapa kamu baru berkumpul lagi dengan kami? Apa kamu sangat sibuk?” sela Anton sukses membuat Enzo membuka matanya.
“Aku tidak sibuk,” jawab Enzo.
“Lalu kenapa kamu jarang bermain lagi dengan kami? Kamu juga jarang bertemu dengan ibu kamu,” tanya Anton lagi.
“Aku hanya pergi sebentar,”
“Pergi kemana? Kenapa kamu tidak mengajak ibumu juga?”
“Aku tidak bisa membawa ibu, aku harus sendiri,”
“Apa kamu tidak kangen dengan ibumu?”
“Aku kangen dengan ibu, “
“Lalu........”
“Aku harus menemui ibu,” potong Enzo langsung bangkit dari tidurnya.
“Kamu mau kemana?” tanya Anton bingung.
“Aku harus menemui ibu, aku kangen dengannya,”
“Jadi kamu belum menemui ibumu?”
“Belum,”
“Yasudah sana pergi temui ibumu,! Nanti kalau sudah selesai kita lanjutkan lagi main bola,”
“Ya, aku harus menemui ibu dulu. nanti aku akan kembali lagi, kalian tunggu aku disini ya?”
“Ya,”
Tanpa menunggu lama, Enzo segera menunaikan keinginannya untuk menemui sang ibu. Melangkahkan kaki dengan cepat menjadi pilihan utama agar sesegera mungkin bertemu dengan wanita yang sangat dia sayangi. Rumah yang hanya berjarak beberapa meter saja dari lapangan membuatnya tak butuh waktu lama untuk sampai di tempat tinggal wanita yang di panggilnya Ibu. Wanita yang walau tak memiliki faktor alam sama dengannya, tetap mencintai dan menyayanginya.
“Ibu!!” teriak Enzo sesaat kakinya mencapai rumah wanita yang sangat ia sayangi. Rumah sang ibu.
“Ibu?” selanya lagi mendapat teriakan pertamanya tak berbalas. Tanpa pikir panjang dia langsung masuk ke dalam rumah dan mencari sosok wanita itu.
“Enzo,?” suara wanita yang sangat dirindukan Enzo akhirnya berhasil dia dengar. Suara yang berasal dari arah dapur rumahnya.
“Ibu?” ujar Enzo langsung berhambur memeluk wanita berumur setengah abad itu.
“Enzo kagen Ibu,” ujar Enzo tanpa melepas pelukannya.
“Ibu juga kagen Enzo,” balas sang Ibu.
“Apa kabar jagoan Ibu huh?” sambung sang Ibu sembari melepas sedikit pelukannya untuk meraih kedua sisi wajah Enzo dan menatapnya intens. Enzo sangat menyukai tetapan itu. Dia tak akan pernah bosan dengan tatapan kasih sayang itu.
“Enzo baik-baik saja, lalu Ibu? Apa Ibu juga baik?” Enzo memberikan jawaban sekaligus pertanyaan untuk Ibunya. Tangannya belum rela melepas pelukan sang di pinggang Ibunya.
“Iya, Ibu juga baik-baik saja,”
“Enzo senang mendengarnya,”
“Ibu juga senang mendengar Enzo baik-baik saja,”
“Enzo sayang Ibu,” ujar Enzo kembali memeluk wanita itu.
“Ibu juga sayang Enzo,” balas wanita itu memberikan kehangatan lain untuk anaknya.
“Apa Enzo sudah makan siang?” sela sang Ibu menghentikan sejenak moment kasih sayangnya.
“Belum,”
“Enzo mau makan siang apa? Ibu akan memasaknya untuk Enzo,”
“Tapi Enzo harus kembali ke lapangan,”
“Lapangan?”
“Iya, teman-teman Enzo menunggu disana. Tadi Enzo berjanji akan kembali kesana secepatnya, kalau Enzo makan disini, nanti mereka terlalu lama menunggu Enzo,” jawab Enzo dengan wajah sedikit cemberut karena menolak ajakan makan siang Ibunya. Dalam hati Enzo sangat ingin lebih lama bersama Ibunya, tapi bukannya sebagai lelaki dia harus bisa menepati janjinya, begitulah yang Ibunya pernah ajarkan padanya.
“Em... bagaimana kalau Enzo kembali ke lapangan dan panggil teman-teman Enzo ke rumah Ibu?”
“Untuk apa?”
“Tentu saja kita akan makan siang bersama, bagaimana?”
“Apa boleh teman-teman datang kesini?”
“Tentu saja sayang,?”
“Benarkah?” ujar Enzo berbinar.
“Iya, saat kamu memanggil teman-temanmu, Ibu akan memasak makanan untuk makan siang kalian. Jika saat kalian sudah datang tapi Ibu belum selesai memasak, kalian bisa bermain di halaman belakang, bagaimana?” usul sang Ibu.
“Wah... itu menyenangkan Ibu,” seru Enzo tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
“Iya sayang,”
“Tapi Ibu,...”
“Ada apa lagi sayang?”
“Em... bolehkan Enzo menginap di rumah Ibu untuk beberapa hari?” tanya Enzo sedikit ragu. Dia takut Ibunya tidak mengijinkannya tinggal bersama, apalagi sudah cukup lama dia tidak mengunjungi Ibunya.
“Tentu saja boleh,” jawab Ibu Enzo dengan senyum yang selalu Enzo sukai.
“Terima kasih Ibu,” balas Enzo kembali memeluk tubuh wanita yang tingginya tak terlalu beda dengannya. Enzo lebih tinggi beberapa cm dengan Ibunya.
“Kalau begitu Enzo ke lapangan sekarang ya Ibu,?”
“Iya, Ibu akan mulai memasak,”
“Ibu masak yang enak ya....” teriak Enzo sebagai tanda perpisahan sejenaknya dengan sang Ibu.
@lulu_75
@melkikusuma1
@junaedhi
@sogotariuz
@liezfujoshi
@hendra_bastian
@kikyo