It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Yang patut di curigai ya cwok nerd tadi tuh....
@lulu_75
@melkikusuma1
@junaedhi
@sogotariuz
@liezfujoshi
@hendra_bastian
@kikyo
“Kamu tidak kembali ke kampus?” tanya Kenzo sesaat setelah mendudukan dirinya dengan bersandar di kepala ranjang. Kenzo yang tahu bahwa Levi masih ada jadwal mengajar cukup heran melihat Levi justru duduk santai di tepian tempat tidur dan tak melepas tatapan padanya.
“Aku akan menjagamu,” jewab Levi.
“Aku baik-baik saja, pergilah,! Kamu tidak mau kan disebut dosen yang tidak bertanggung jawab?”
“Lebih baik aku dicap seperti itu dibanding membiarkanmu sendiri,”
“Aku bilang aku baik-baik saja Lev...”
“Tap...”
“Dengar,! Kembalilah ke kampus dan secepatnya pulang. Kamu harus bertanggung jawab terhadap pekerjaanmu, aku baik-baik saja sekarang, percayalah,” ujar Kenzo meyakinkan.
“Kamu yakin?” Levi memastikan.
“Iya,” balas Kenzo mantap.
“Baiklah, aku akan kembali ke kampus dan setelah itu aku akan segera pulang,”
“Itu lebih baik,”
“Yasudah, aku pergi dulu,” pamit Levi yang tak lupa dengan ritualnya untuk mencium kening Kenzo.
“Save drive,!”
“Ya,”
Levi harus berberat hati meninggalkan Kenzo sendiri di rumah. Dia tahu bahwa konsentrasinya untuk megajar pasti akan berkurang karena hal itu, namun dia juga harus bertanggung jawab atas komitmennya untuk menjadi dosen. Dia percaya pada Kenzo bahwa kekasihnya itu akan baik-baik saja, walau kenyataanya tak selalu benar.
Kenzo, orang yang dicemaskan Levi masih tetap saja berusaha berfikir keras untuk mengetahui siapa sebanarnya orang dibalik kejadian tadi. Dia ingin tahu apa motif sebenarnya orang itu melakukan hal buruk padanya atau Levi. Otaknya kini benar-benar tak bisa tenang, obat yang dia minum untuk menenangkan pikiran nyatanya juga tak memberi efek besar. Rasa kantuk itu memang berlahan datang, namun rasa cemas dan khawatir justru makin besar seiring ingatannya pada kejadian yang baru saja dia dan Levi alami.
“Dia sudah berani datang rupanya?” Suara sosok yang Kenzo tidak mungkin lupa.
“Siapa dia?” tanya Kenzo tahu bahwa orang yang dibicarakan adalah sosok yang sama dengan orang yang tengah dia pikirkan.
“Orang yang akan membawa luka lama, dia tidak akan membiarkan dan melepaskanmu begitu saja,” jelasnya dengan suara yang sangat yakin.
“Apa yang akan dia lakukan?” tanya Kenzo yang kini merasa kepalanya semakin pusing dan sakit mendengar penjelasannya.
“Aku juga tidak tahu, yang jelas hidupmu dan juga kekasih Gay mu tidak akan baik-baik saja sekarang,” sambung sosok itu membuat denyutan di kepala Kenzo makin terasa.
“Dia tidak seharusnya mengikutsertakan Levi dalam hal ini,” ujar Kenzo.
“Itu hal mustahil,” jawabnya mantap.
“Apa maksudmu?” Kenzo makin bingung dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya.
“Dia tahu mana kekuatanmu dan mana kelemahanmu,”
“Aku tidak akan membiarkannya melukai Levi,” jelas Kenzo pasti.
“Tentu saja kamu akan melakukannya karena hal itu adalah bagian dari rancangannya,” ujar sosok itu dengan keyakinan peduh berbeda dengan Kenzo yang terlihat makin kalut.
“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, semua ini membuatku semakin pusing,” gumam Kenzo frustasi.
“Tinggalkan kekasih gay-mu dan kembali padaku,! Semua yang pernah kamu rasa dulu maka akan kembali kau rasakan,”
“Kenapa selalu setiap ucapanmu akan berakhir dengan hal yang paling aku tidak sukai huh?” geram Kenzo muak dengan ucapan yang sama. Ucapan yang sama sekali tak mendapat perhitungannya untuk dilakukan olehnya.
“Karena aku tidak akan membiarkanmu sendiri,”
“Aku tidak sendiri, ada Levi yang akan bersamaku,”
“Lelaki itu hanya akan membuatmu makin lemah,”
“Dan kamu berfikir bersamamu aku akan semakin kuat?” cibir Kenzo.
“Kamu tahu jawabannya,”
“Terserah katamu, aku hanya berfikir tentang Levi sekarang,” ujar Kenzo jengah dan memilih untuk memejamkan matanya dan berusaha pergi ke alam mimpinya.
#
“Siapa kamu?” tanya seorang anak kecil di ruangan gelap. Ruangan yang sangat dia benci.
“Aku teman yang akan selalu bersamamu,” jawab sosok lain yang baru ditemuinya itu.
“A..aku tidak butuh teman, a...aku hanya ingn keluar dari sini,”
“Aku akan menemanimu disini, kamu tidak usah takut,” ujarnya kembali meyakinkan.
“Apakah kamu juga akan menyakitiku seperti mereka?” selidik sang anak kecil.
“Tentu saja tidak, aku sudah bilang aku adalah temanmu, aku akan membuatmu selalu bahagia,”
“Benarkah?” anak kecil memastikan.
“Iya,”
“Ta..tapi kamu datang dari mana? Tempat ini tidak pernah ada yang menempati, aku juga takut berada disini, apakah kamu juga dihukum oleh mereka?”
“Tidak, mereka tidak mungkin menghukumku,” jawabnya dengan sorot mata yang mantap.
“Kenapa seperti itu?” tanya anak kecil 10 tahun itu bingung.
“Karena mereka tidak akan bisa,”
“Kalau begitu, jika aku berteman denganmu aku tidak akan disakiti oleh mereka?” tanyanya polos.
“Tentu, aku sudah bilang kalau aku akan membuatmu selalu bahagia,”
“Kamu berjanji?” ujar sang anak kecil langsung mengacungkan jari kelingkingnya sebagai tanda perjanjian.
“Apakah kamu juga berjanji akan menerimaku?” sela sosok lain itu.
“Aku berjanji akan menerimamu jika kamu membuatku bahagia seperti ucapanmu tadi,” ucap anak kecil itu dengan rasa ingin bahagia dan harapan baru yang muncul.
“Ya, aku berjanji akan selalu membuatmu bahagia, kamu percaya denganku?”
“Iya,
“Sekarang kita adalah satu, kamu adalah aku dan aku adalah kamu,”
“Iya, kita satu”
Pertemuan pertama mereka bukan tanpa sebab. Pertemuan pertama mereka karena ada rasa membutuhkan dan ada tawaran sisi lain yang dibutuhkan. Mereka dua yang berbeda namun mereka satu yang sama.
CEKLEK
Pintu ruangan biadab yang mengurung anak kecil itu kini terbuka dengan sosok kecil yang lain sedang berdiri menatapnya dengan mata tajam.
“Sedang apa kamu?” tanya sosok kecil lain. Sosok kecil yang terhitung secara umur tak berbeda.
“Siapa kamu?” tanya anak kecil yang selalu malang melihat sosok baru di depan pintu.
“Aku Tomi,” jawabnya mantap.
“Kamu datang untuk menjadi temanku juga?” tanya sosok anak kecil yang sedari tadi berada dalam ruangan gelap terkunci itu.
“Apakah jika aku berteman denganmu, kamu akan selalu bersamaku?”
“Iya,” jawab Tomi pasti.
“Baiklah, aku datang untuk menjadi temanmu,”
“Jadi sekarang kita berteman?” tanya anak kecil dalam ruangan gelap itu dan mulai berjalan menghampiri sosok kecil yang baru dia temui.
“Iya, kita berteman dan kamu harus selalu bersamaku,” balas Tomi setuju dengan pertemanan barunya.
“Apakah dengan selalu bersamamu aku akan bahagia?”
“Tentu, apapun yang aku lakukan membuatku bahagia dan kamu juga harus merasakannya,”
“Ja....” ucapan sang anak kecil harus terhenti karena tarikan pada tangannya oleh sosok teman barunya.
“Ayo pergi,! Kita akan bahagia jika keluar dari tempat ini,” tarik Tomi pada teman barunya.
“Iya,” balas anak kecil tanpa banyak protes.
Memiliki teman adalah hal yang menyenangkan. Memiliki teman adalah hal yang membahagiakan. Memiliki teman adalah yang selalu anak kecil itu harap dan inginkan, sekarang dia memiliki teman. Dia menemukan dua teman yang ditemuinya di hari dan waktu yang hampir sama. Dua teman yang menjanjikan bahagia. Dua teman yang berkata bahwa ‘kamu akan bahagia’. Dua teman yang mulai sekarang dam entah sampai kampan akan selalu bersamanya.......?
#
“Kenzo,? Sayang? Bangun,!”
“Em... Levi?” gumam Kenzo masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.
“Kenapa tidur di ruang tengah? Bukannya aku menyuruhmu istirahat di kamar?” tanya Levi.
Levi penasaran pada Kenzo, karena saat pulang dari kampus dia justru mendapati Kenzo yang meringkuk di sofa dengan mata terpejam namun dengan raut wajah cemas. Levi hanya punya satu dugaan mengenai penyebab wajah tidak tenang yang Kenzo perlihatkan, apalagi kalau bukan kejadian di tempat parkir.
Levi memaklumi itu, dia tahu Kenzo juga belum sepenuhnya bisa tenang dengan kejadian yang cukup membahayakan beberapa jam yang lalu.
“Ruangan tengah?” gumam Kenzo malah bingung dengan pernyataan Levi. Dia mencoba mencerna ucapan Levi dengan kesadaran yang lebih baik setelah berhasil membuat tubuhnya berubah dalam posisi duduk.
“Iya, kenapa kamu tidur disini?” ulang Levi.
“Em....” gumam Kenzo berusaha mengingat namun nihil, dia hanya ingat bahwa terakhir kalinya dia terjaga, dia masih ada di kamar dan tengah mencoba menidurkan dirinya sendiri.
“Ah, aku tadi haus dan mengambil minum, tapi karena kepalaku terasa sangat pusing, jadi aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di sofa. Tapi, ternyata aku malah ketiduran,” ujar Kenzo mencari alasan logis, karena sesungguhnya dia juga tidak ingat kenapa tubuhnya berada di ruang tengah.
“Apakah sekarang masih pusing?” tanya Levi khawatir. Tangannya langsung membelai kepala Kenzo lembut.
“Sedikit,” ujar Kenzo yang kali ini tidak berbohong.
“Ayo, sebaiknya kita kembali ke kamar. Kamu istirahat saja disana, itu akan lebih nyaman,” usul Levi yang langsung mendapat persetujuan Kenzo.
Perhatian, itulah yang Levi berikan pada seorang yang spesial untuknya, siapa lagi kalau bukan Kenzo. Dia mulai perhatiannya dengan memapah membantu Kenzo untuk menaiki tangga guna menuju kamarnya. Levi sempat menawarkan punggungnya untuk Kenzo agar Kenzo tak kecapekan berjalan dan bertumpu saja pada punggungnya, namun ide itu ditolak langsung oleh Kenzo. Levi tahu Kenzo adalah orang yang memiliki gengsi tinggi, maka dia hanya mengalah dan menuruti kemauan kekasihnya itu.
Perhatian kedua berlanjut setelah yang pertama selesai. Telaten dan penuh kasih sayang, itu yang dia jadikan bumbu masakannya. Masakan berupa sup kesukaan Kenzo menjadi hasil sempurna dari bumbu khususnya. Senyum tulus dia berikan kala bertatapan dengan objek perhatiannya hari ini. Tangan kokohnya kini terlihat lembut ketika menyendok dengan sabar sup buatannya dan menyuapkannya sedikit demi sedikit pada Kenzo.
“Ganti pakaianmu Ken,!” selanya setelah sup buatannya sudah lenyap berpindah ke lambung Kenzo.
“Hm,” gumam Kenzo lemas yang memang belum pulih. Pukulan yang diterimanya malam itu, tangannya yang teluka ketika berada di aparteman Rey, serta benturan keras di kepalanya ketika mobil Levi menerjang mobil yang dikendarainya ternyata membuat kombinasi tepat untuk membuat Kenzo berbaring lemah karena lelah dan mungkin fisik yang tidak sehat.
Perthatian Levi bertambah sekarang. Mengompres tubuh lengket Kenzo dan membantunya memakai pakaian yang nyaman untuk tidur menjadi pengisi perhatian ketiganya. Memposisikan Kenzo agar berada di posisi yang nyaman mungkin menjadi perhatian terakhirnya kali ini.
“Tidurlah,!” titah itu kembali keluar dari mulut Levi.
“Hm,..” gumaman masih menjadi balasan untuk Levi.
Mata itu benar-benar terlihat letih sekarang. Tubuhnya yang selalu terlihat kuat kini terlihat cukup rapuh karena kombinasi kesakitan fisik yang dialaminya dalam rentan waktu yang sempit. Senyum kecut berpasang dengan khawatir menjadi pengiring tidur sang empunya badan oleh tubuh lain yang sedari tadi memberikan perhatian. Kakinya berlahan membawanya untuk menjauh untuk sekedar sesaat. Dia pergi hanya untuk membersihkan diri.
Levi kembali dengan wajah yang lebih segar karena tetesan air sisa kegiatan mandi tertundanya. Dia pandang takjum sosok yang kini tengah berbaring. Sosok yang dengan gila menemukan cara ekstrem untuk menyelamatkan nyawanya.
Sosok yang juga tidak ingin dia hapus selamanya dari otaknya. Satu tahun dua bulan sebelas hari, itu adalah pertemuan pertamanya dengan sosok itu. Pertemuan pertama yang tidak pernah Levi duga akan berkembang sedekat dan senekat ini.
“Terima kasih,” gumam Levi serta kecupan sayang di kening setelah memutuskan untuk menghilangkan jadwal makan malam serta menggantinya dengan menemani orang terkasihnya terlelap dalam mimpi.
“AW... sakit tante, lepas,!” rintihan anak kecil kembali meraung di rumah itu. Jeweran di telinga kali ini yang menjadi penyebabnya. Dua tangan mungilnya berusaha berontak dan melepaskan tangan besar biadab dari telinganya namun percuma, dia kalah tenaga.
“Saya menyuruhmu membuat masakan dari daging tapi kenapa kamu memberikan daging Broni? Kamu tahu jika anjing itu adalah anjing kesayangan Tomi?” geram suara wanita yang tak sedikitpun terasa merdu di telinga anak kecil malang itu.
“Tap...tapi tante, aku mendapatkan daging itu dar.....” pembelaannya terputus karena datang seorang anak kecil seuasianya.
“Tomi?” gumam anak kecil itu memanggil nama pengunjung baru di ruangan itu. sosok yang belakangan menjadi temannya. Teman yang selalu membarikan bahagia, dan itu juga yang sosok anak kecil itu harapkan akan dia dapatkan sekarang.
“Tomi, katakan pada mamamu kalau daging itu kamu yang memberikannya,” ujar sang anak kecil pada Tomi, namun harapannya pupus ketika melihat Tomi melangkah pergi dari ruangan tanpa sepatah katapun.
“Jadi sekarang kamu menyalahkan Tomi karena perbuatanmu membunuh Broni?” sela suara wanita itu masih terasa menyakitkan semenyakitkan jewerannya yang terasa makin keras.
“AAW tante sakit,” rintih anak kecil tak punya ekspresi lain. Teman yang semula berkata bahwa dia akan memberikan bahagia, justru pergi dan tak peduli dengannya. Dia pasrah sekarang.
“Kamu tahu apa hukumanmu?” tanya wanita yang anak kecil itu panggil tante. Tanpa ditanya anak kecil itu juga hafal jika ruangan gelap yang paling dia benci akan menyapanya lagi kali ini.
“Tante, aku mohon jangan kurung aku lagi,...” pinta anak malang itu yang bagai angin lalu di telinga wanita itu. Mata yang terus berurai cairan bening tak menjadi peluluh dari kekejaman wanita itu. Dia tetap menyerat tubuh kecil itu menuju ruang pengadilan terakhir.
“Apa lagi yang anak sialan ini lakukan?” sela suara yang anak kecil itu yakin tak akan membantu.
“Dia membunuh Brori,” jawab wanita itu.
“Bukan aku yang membunuhnya tante, om....” jawab sang anak kecil mencoba membela diri namun yang didapat hanya perlakuan kasar. Seharusnya dia diam, itulah yang harusnya dia lakukan.
BUGH
Tubuh kecil itu terpental beberapa meter ketika kaki kekar lelaki yang dipanggilnya om, mendarat mulus di perutnya. Telinga yang semula dijewer harus terlepas namun masih menyisakan luka lain karena kuku wanita itu mencakar bagian telinganya disaat yang bersamaan dengan terhuyungnya tubuh itu akibat tendangan.
“AWW,...” ringis anak malang itu memegang perut cekungnya.
“Sekarang masuk,!!” teriak lelaki itu. ya, kali ini bukan dorongan atau tendangan yang mengiringinya memasuki ruangan biadab itu.
“I...iya...” tak mau menambah kesakitan fisik, anak itu hanya menurut. Berjalan tertatih menuju ruanga gelap yang sangat dibencinya dan secepat nafasnya, pintu ruangan tertutup.
Tubuh kecil itu tak kuat lagi untuk sekedar berdiri. Tubuhnya merosot karena luka fisik yang dia terima hari ini. Air matanya terasa sudah kering untukknya, namun masih berusaha anak itu keluarkan karena hanya itu pengalih rasa sakit.
“Kenapa kamu mengabaikanku setelah kau mengenalnya?” suara itu? suara yang menjadi teman pertamanya.
“Kamu?” gumam anak kecil itu kaget.
“Seharusnya kamu bersamaku, dan kamu tidak akan kembali ke tempat ini bersamaku lagi,”
“A... aku....”
“Mulai sekarang kamu tidak perlu percaya dengan orang lain. Percayalah padaku saja...”
“Apa kamu tidak berbohong?”
“Aku sudah bilang kalau aku akan membuatmu bahagia,”
“Dia juga mengatakannya,”
“Tapi dia melanggarnya,” sela suara itu. Anak kecil malang kini hanya bisa terdiam meratapi nasibnya.
“Percayalah padaku,!” selanya lagi.
“Kamu berjanji?”
“Aku tidak perlu berjanji untuk membuatmu bahagia, kita akan mencari bahagiamu bukan menjanjikannya,”
“Benarkah,?” senyum itu walau sedikit kini tengah merekah.
“Iya, jangan percaya dengan siapapun,.......termasuk kamu sendiri, kamu harus percaya denganku,”
“Harus begitu?”
“Iya, hanya percaya denganku,”
“Baiklah, aku hanya percaya denganmu, seperti itu?”
“Iya, seperti itu. Percaya denganku,” mata itu kini bersatu. Bersatu menjadi sebuah tujuan untuk bahagia. Dua ikatan yang tak mengatasnamakan perjanjian melainkan kepercayaan satu pihak.
CEKLEK
Suara pintu biadab itu tiba-tiba terbuka. Selalu saja seperti ini, ketika teman pertamanya berkunjung, teman kedua akan datang. Berbeda dengan pertemuan pertama mereka, kini tatapan tak suka anak kecil itu berikan pada sosok teman kedua.
“Ikut aku,!” suara teman keduanya bak sabdah.
“Aku tidak mau,” tolak anak kecil.
“Kamu harus mau,”
“Aku tidak mau, kamu bohong denganku, kamu tidak memberi bahagia untukku. Kamu meninggalkanku sendiri,”
“Aku hanya sebentar meninggalkanmu, sekarang ambil ini dan ikut denganku,! Aku akan membuatmu bahagia,” ujar teman kedua dengan menyodorkan pisau. Anak kecil itu ternyata tak sadar jika teman keduanya tengah memegang dua pisau yang berada di kedua tangannya.
“Untuk apa ini?” tanya anak kecil bingung namun tetap menerima pisau itu.
“Untuk membuatmu bahagia, ayo ikut aku,!” seru teman kedua beranjak meninggalkan anak kecil yang masih termenung walau sejenak karena sedetik kemudian dia menyusul teman keduanya.
Matanya hampir lepas dari tempatnya. Tubuhnya kaku, kakinya bergetar hebat, mulutnya menganga tak percaya ketika melihat dua sosok dewasa kini tengah berada di lantai. Mulut kedua orang itu terbuka dengan busa di mulutnya. Mulut dan mata mereka memandang seolah minta bantuan pada sosk kecil yang selalu mereka sakiti, namun sosok kecil itu membatu.
“Kemari,!” interupsi teman keduanya yang ternyata tengah berdiri diseberang dua sosok dewasa itu. Bak robot yang sudah distel, anak kecil itu hanya menurut. Dia kini berada lebih dekat dengan sosok dewasa itu.
“Gunakan benda itu untuk membuatmu bahagia,!”
“A..aku tidak tahu bagaimana caranya,” jawab anak kecil itu dengan tangan bergetar.
“Lihat aku,!” perintah teman keduanya.
“Ba..baik,” jawabnya masih dengan nada bergetar.
Mata anak kecil itu benar-benar tak pernah lepas barang sedetikpun dari tangan mungil teman keduanya, Tomi. Nafasnya tercekat ketika dia melihat dengan lihai tangan Tomi membelah berlahan dada wanita yang dia panggil tante. Goresan memanjang ke bawah tepat di payudara kiri wanita itu. Warna merah langsung menyambut kegiatan benda tajam yang menancap mulus, sedikit semburan merah mengiringi pejaman mata wanita itu. Sekarang tak ada lagi gerakan naik turun sebagai jalan keluar dan masuk nafas, wanita itu terdiam dan diam.
Benda tajam bernama pisau itu kini makin dalam menancap, semakin dalam lalu bergerak ke samping untuk membuat akses tangan Tomi masuk dan mencari sesuatu di dalamnya. Mata anak kecil itu ingin sekali tertutup dan segera berlari dari tempat itu, namun ada kekuatan lain yang menyuruhnya tetap tinggal. Nafasnya makin tak bisa dia kontol, dia tercekat dan tak bisa menamakan nafas macam apa yang dia rasakan.
“Dapat,!” sentak Tomi membuat kondisi anak kecil itu pada kenyataan.
Mata anak kecil itu semakin melotot tatkala teman keduanya bersuara dengan menggenggam sebuah benda aneh yang dia dapat dari dalam tubuh wanita itu. Benda berwana mereh itu berada di tangan mungil teman keduanya.
“Kamu tahu ini apa?” tanya teman keduanya sambil menyodorkan benda itu padanya.
“A..A...aku tidak tahu,” jawab anak kecil dengan suara yang sudah tidak bisa dia sembunyikan bahwa dia tengah ketakutan.
“Kenapa dengan suaramu?”
“A..aku takut,”
“Kenapa kamu takut?”
“A...aku tidak tahu, aku hanya takut,”
“Aku tidak takut, mungkin kamu harus melakukan apa yang aku lakukan agar tidak takut lagi,”
“Apakah bisa?”
“Buktinya aku tidak takut,”
“Ta...tapi a...”
“Kamu belum melakukannya jadi belum tahu rasanya, lakukan apa yang aku lakukan, pasti kamu tidak akan takut lagi,”
Anak kecil itu masih terbengong dan belum merespon ucapan teman keduanya. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, dia tidak bisa lebih lama berada di posisi seperti ini. dia ingin lari, tapi kakinya terlalu kaku. Dia tidak tahan dengan semuanya, otaknya menyuruh mata yang tengah melotot miliknya tertutup lalu berlari sekencang mungkin, namun tidak bisa.
Dia masih tetap memandang tajam pemandangan di depannya. Ada bagian dari tubuhnya yang tidak bisa dia kontrol, detik berlalu bagian itu makin kuat untuk melakukan hal yang tidak diinginkan oleh otak lamanya. Otak lamanya kini hanya sedikit sekali punya kuasa pada tubuh. Dia bertindak tak terkontol oleh otak lamanya dan tubuhnya sendiri. Dia berlahan tidak bisa menyuruh tubuhnya untuk melakukan hal yang dia inginkan.
Tubuh bergetarnya berlahan kembali tenang. Nafasnya kembali teratur. Matanya tak lagi memandang terkejut, namun memandang dengan sejuta makna yang tak bisa diartikan oleh anak kecil. Seluruh bagian tubuhnya kini bertindak, namun bukan dari kehendak otak yang dia miliki. Otak itu seolah sudah tertutup oleh otak lain, dia sadar dan melihat segalanya namun tidak bisa mengontrolnya. Dia mengikuti semua yang diperintahkan tubuhnya.
Dia berjalan mendekati sosok dewasa lelaki yang tergeletak disamping sang wanita. Matanya masih menyala, mulutnya tak henti mengeluarkan warna merah, nafasnya naik turun, keningnya berkerut dan seolah ingin menyampaikan sesuatu, namun anak kecil itu tidak tahu, dia hanya memiringkan kepalanya tanda tak peduli dan bingung.
Berlahan sudut bibirnya tertarik menyamping menunjukan seringaian yang mungkin ditakuti oleh sosok lelaki dewasa dihadapannya, itu ditandai dengan matanya yang makin lebar melotot dan dahi yang makin berkerut.
“Lakukan,!” sela teman keduanya. Anak kecil itu melirik sejenak teman keduanya yang ternyata tengah asik membuat jalan masuk menggunakan pisau sama dengan yang dia lakukan tadi di bagian dada lalu mengaduk isi tubuh wanita itu dibagian perut.
Anak kecil itu tak menjawab namun tubuhnya bergerak. Dia kini berada di atas tubuh sang lelaki dewasa. Tangan kanannya masih memgang erat benda pemberian teman keduanya. Tatapannya tak lepas sedetikpun dari wajah orang yang berada di bawahnya.
“Lakukan, kamu akan bahagia,” sela teman keduanya yang berhasil mendapatkan tatapan dari anak kecil itu.
“Aku akan bahagia,” balas anak kecil itu dengan suara datarnya.
“Tentu, kamu akan bahagia bersamaku,” ujar teman keduanya.
“Aku bahagia bukan denganmu, aku bahagia dengannya,” gumam anak kecil itu yang tak nampak dari mulut karena memang dia tengah membatin.
1 detik
2 detik
3 detik
4 detik
Detik kelima menjadi waktu eksekusi. Tangan anak kecil yang digerakan bukan dengan otaknya telah menjajah tubuh bagian atas lelaki dibawahnya. Butuh hitungan ke sepuluh untuk lelaki dewasa itu tidak bisa menutup matanya, dia melotot dan tak bisa terpejam lalu dia tidak lagi bergerak. Sudut bibir anak kecil itu tertarik kesamping menimbulkan seringai tak bermakna pada otaknya.
Tangan mungil anak itu bekerja sesuai kehendak tubuh dan otak barunya. Otak baru yang mengubur otak lamanya. Hitungan jam, dua sosok dewasa itu bernasib sama, tergeletak dengan warna merah sebagai hiasan. Dua senyum dari dua sosok kecil terlihat menjadi satu. Satu senyum yang mengatasnamakan bahagia untuk sosok anak kecil yang dia temui di tempat gelap.
Tubuhnya berdiri hendak meninggalkan kedua, tidak bukan dua tapi TIGA SOSOK yang tergeletak di lantai. Matanya berlahan menyusuri tempat itu. senyum itu masih tetap merekah sampai dia berjalan pergi. Dia berjalan pergi dari tempat itu, dia berjalan dengan sesuatu yang baru. Dia berjalan menuju pintu keluar, dia keluar, dia keluar dengan tubuh yang dikuasainya. Dia bebas,.......
#
“Aw...!!” pekikan itu terdengar dari ruang gelap. Ruang gelap yang dulu dan sampai sekarang dia sangat benci.
@lulu_75
@melkikusuma1
@junaedhi
@sogotariuz
@liezfujoshi
@hendra_bastian
@kikyo